Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TUMBAL 'Lemah Mayit' (Part 3) - Jasad Pertama

Ritual yang menistakan moral dan logika menjadi undangan untuk mereka yang menanti neraka


JASAD PERTAMA
(Sudut pandang Cahyo…)

Sebuah keputusan yang berat ketika aku harus pergi meninggalkan tempat dimana aku terlahir hingga tumbuh dewasa. Namun aku tidak ingin membiarkan kematian Bara menjadi sia-sia. Yah, dia Bara. Seorang ‘Aku’ dari semesta yang berbeda. Semesta tempat sekarang aku berada.

Cukup sulit meyakinkan Candramukti untuk membawaku ke semesta ini. Banyak yang perlu ia pertimbangkan, namun setidaknya kami sepakat dalam satu hal bahwa bencana gaib di semesta ini harus dihentikan.

Waktuku, tidak banyak. Hampir mustahil bagiku untuk menyelesaikan apa yang sudah diperbuat oleh keris pusaka mayit itu sejak ia menipu Bara hingga menguasai alam gaib di tanah ini. Baru beberapa hari saja aku tiba di semesta ini, berbagai kejadian diluar nalar sudah membuatku menggelengkan kepala.

Kalau di semestaku, mungkin mereka yang punya uanglah yang berkuasa. Tapi belum tentu hal itu berlaku di sini. Mereka yang menggadaikan Tuhan-nya dan menjalin perjanjian gaib dengan sekutu keris itu akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bahkan orang-orang kaya di perkotaan pun tak lepas dari hal seperti ini.

Ilmu klenik, peliharaan gaib, santet, pesugihan, hingga pengasihan mulai kembali menjadi hal yang kental. Tidak seperti yang terjadi di masa lalu ketika manusia harus melakukan tirakat dan lelaku untuk mendapatkan ilmu. Di sini, mereka hanya perlu meninggalkan agama dan mengikuti hasutan setan-setan yang semakin mudah untuk ditemukan.

Ada sedikit distorsi ruang dan waktu saat aku tiba di semesta ini. Aku tiba di waktu yang sama saat Bara meninggalkan semesta ini. Itu artinya, aku tiba beberapa tahun lebih cepat dibanding semestaku yang sebenarnya.

Candramukti tidak bisa menemaniku, ia membawa kliwon sebagai pembawa pesan yang menghubungkanku dengan semestaku. Untuk itu rencana utamaku adalah menemui seseorang yang mungkin bisa menyelesaikan menghentikan perbuatan Keris Pusaka Mayit ini. Dan kalau aku harus menduga siapa yang bisa, pikiranku segera tertuju kepada Danan.

Membutuhkan waktu cukup lama hingga aku bisa menemukan Danan di sebuah desa yang bernama Desa Pulungrejo. Kehidupanya jauh berbeda dengan Danan yang kukenal, bahkan sifatnya.

Bayangkan! Seorang Danan yang biasa menjadi sosok bijak yang mengingatkan kenakalanku kini justru berbanding terbalik. Ia sering bertingkah iseng jauh sekali dari sosok Danan yang Karismatik yang kukenal.

Aku menemukanya sedang memanfaatkan kemampuanya untuk mencari uang. Ia pura-pura meminta ‘syarat’ menolong bocah yang juga pura-pura kesurupan, dan menggunakan uang itu untuk dirinya sendiri. Hampir saja aku menghampirinya dan memberinya pelajaran, namun aku menahan diri ketika melihatnya masih memiliki niat baik untuk menyadarkan anak perempuan itu.

Walau memiliki perangai yang berbeda, ternyata Danan di desa ini masih diterima baik oleh warga. Keberadaanya pun diandalkan untuk menangani keberadaan makhluk-makhluk gaib yang mencoba mengganggu desanya. Aku merasa, ia masih ingin menjaga agar desanya tidak terjerat dalam tipu daya iblis.

Saat memperhatikan Danan di semesta ini, aku mulai menyadari apa yang membuatnya seperti itu. Kematian Paklek, Pakde Bisma dan hilangnya Bude Kirana membuatnya terpaksa bertahan hidup seorang diri. Hal itu juga yang terjadi padaku dulu hingga terbiasa mencari perhatian dengan hal-hal bodoh.

Walau begitu, Danan tetaplah Danan. Ia tetap dapat diandalkan ketika dibutuhkan. Dananjaya Sambara di semesta ini mewarisi dua keris pusaka milik leluhur sambara. Keris Ragasukma dan Keris Sukmageni yang seharusnya dimiliki oleh Paklek. Sayangnya, ia belum sepenuhnya mendapat pengakuan kedua pusaka itu. Namun ketika ia mampu menggunakanya. Mungkin itulah versi terkuat Danan yang pernah kulihat.

“Memangnya apa yang berbeda antara semesta ini dan semestamu, Cahyo?” Tanya Danan yang baru saja selesai memanaskan air dari sungai untuk membuat kopi yang hanya tersisa beberapa sachet di persediaan kami.

“Sama saja sebenarnya. Kota-kota besar tumbuh semakin pesat, dan hutan-hutan semakin terkikis. Hukum yang tidak jelas berpihak kepada siapa, hingga orang-orang yang mengejar hasrat fananya masing-masing.

Yang berbeda, di semestaku masih bisa dengan bebas menganut agama dan kepercayaanya masing-masing. Di semesta ini, bahkan sangat sulit aku menemukan tempat ibadah,” Ucapku.

“Kalau di ibukota masih banyak, Mas. Cuma udah nggak sama kayak dulu lagi. Masjid mulai sepi, bahkan kadang tidak ada yang mengumandankan adzan. Tempat ibadah agama lain pun jauh lebih mengenaskan,” Jelas Dipta.

Sungguh sedih aku membayangkan jika hal ini terjadi di semestaku. Godaan setan-setan itu memang sulit untuk ditolak. Dan ketika semakin banyak orang yang melakukannya, dosa itu akan dianggap sebagai hal yang biasa.

Yang membuatku semakin merasa sesak adalah ketika aku mengingat bahwa sebagian besar dari kekacauan ini adalah diriku dari alam ini.

“Mas Cahyo dan Mas Danan kenapa bisa sampai di desa ini? nggak mungkin terjebaks sepertiku kan?” Tanya Dipta.

Aku mengingat beberapa waktu ke belakang dimana aku dan Danan memutuskan untuk melakukan perjalanan. Kami mencari petunjuk mengenai keberadaan Keris Pusaka Mayit untuk menghentikan pengaruhnya di tanah ini. Kami tahu, hal itu tidak mudah karena ia sudah membentuk sekutu-sekutunya yang menguasai banyak wilayah.

Sudah beberapa tempat keramat kami datangi, namun tempat-tempat itu tidak lebih dari tempat yang dikuasai oleh sosok makhluk pencari tumbal tidak lebih.

“Ini desa kesekian yang kami datangi, Mas. Kami mencari petunjuk apapun tentang Keris Pusaka Mayit. Dan untung saja, Danan nemuin gulungan itu yang artinya desa ini memang memiliki hubungan dengan keris itu.” jelasku.

“Terus kalian mau ngapain setelah tahu dari gulungan lontar itu?”

Danan mendekat mengantarkan kopi untuk kami berdua.

“Ibarat keris itu adalah mesin, desa ini tuh penghasil bensinya, Mas. Kalau kita bisa menghentikan ritual dan menyadarkan warga. Keris Pusaka Mayit itu akan kehilangan desa penghasil demit yang akan menjadi anak buahnya,” Danan menjelaskan pada Dipta.
Dipta mengangguk mengerti.

“Tapi maap nih, mas. Saya nggak punya ilmu kanuragan kayak kalian berdua. Saya mungkin akan jadi beban disini,” Ucap Dipta.

Aku menyeruput kopiku dan menikmati sejenak suasana tenang di siang hari ini.

“Nggak gitu, Mas Dipta. Setiap manusia memiliki perannya masing-masing. Mungkin kami berperan menghentikan setan-setan ini, tapi orang seperti mas Dipta yang masih memegang teguh agama dan menjalankan amalanya lah yang akan menjadi ujung tombak kembalinya kepercayaan kepada Sang Pencipta di tanah ini,” ucapku.

“Setuju! Nggak gampang untuk terus taat beribadah di tengah cemoohan orang-orang,” tambah Danan.
Setelah menikmati perbincangan singkat itu, sekali lagi kami berjalan-jalan memperhatikan desa itu. Berkali-kali diperhatikan pun, desa itu tetap terlihat seperti desa biasa dengan warga yang ramah dan rukun. Dipta masih memandang dari jauh sosok Asri yang ternyata jauh dari bayangannya. Sepertinya ia sempat menaruh hati.

“Terus kita harus gimana, Cahyo?” Tanya Danan.
“Di pemakaman tempat ritual itu pasti ada sesuatu yang berhubungan dengan keris pusaka mayit. Pasti ada sesuatu yang menghubungkan desa ini dengan pusaka itu. Kita coba cari itu dulu,” Jawabku.

“Setahuku, pemakaman itu dijaga,” sebut Danan lagi.

“Ya, itu memang harus kita pikirkan…”

Kami menghemat tenaga dengan beristirahat di siang hari, dan setelah menyelesaikan kewajiban kami di waktu maghrib, kami pun mulai bergerak ke arah pemakaman.

Dari jauh kami memperhatikan kuburan-kuburan dengan satu jenis batu nisan. Namun untuk kuburan-kuburan baru, mereka menutupinya dengan tirai bambu. Yang membuatku sedikit terganggu adalah keberadaan tengkorak manusia yang tidak di kubur, dan hanya diletakkan begitu saja di atas kuburan tubuhnya.

Sama sekali tidak ada penerangan di tempat ini. Dengan sebatang obor, kami mengelilingi pemakaman mencoba mencari petunjuk.

Aku tak bisa membayangkan warga desa benar-benar berpesta di tempat mengerikan ini. Di tengah-tengah pemakaman ada tumpukan batu yang menjadi tempat dimana mereka menyajikan mayat. ada sisa-sisa tambang menggantung di pohon tempat mereka menggantung kepala dari mayat yang disajikan.

“Ini patung apa? bentuknya mengerikan begini” tanya Dipta yang melihat sebuah patung di punden berundak tempat warga melakukan pemujaan.

“Sesembahan mereka. mereka menyembah sesuatu yang dianggap sebagai perwujudan dari sisi gelap dewa..” Jawab Danan.

“Mereka disesatkan oleh sosok yang mengaku dewa ini..” Dipta membuat kesimpulannya sendiri.

“Para penganut kepercayaan yang memuja Dewa Dewi pun pasti juga akan bertentangan dengan ritual ini..” Tambahku.

Kami melanjutkan pencarian kami di pemakaman itu. Sepertinya satu malam tidak akan cukup jika kami harus mengecek semua nisan yang ada di tempat ini.

“Apa yang kalian lakukan di tempat ini?”

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang kami bertiga. Aku menoleh dan seorang kakek tengah berdiri di sana memperhatikan kami. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari keberadaannya?

“Ng—nggak Mbah, kami cuma pingin tahu saja,” Jawabku.

“Kalian bukan dari desa ini. Berani-beraninya kalian!” Ucapnya dengan raut wajah marah.

“I–iya, Mbah. Maaf, kita pergi…” Ucap Danan yang segera menarikku dan Dipta.

Kami segera melangkahkan kaki keluar dari situs pemakaman itu. Tapi ternyata niat kami tidak berjalan semulus itu.

Tiba-tiba obor kami mati begitu saja. Danan mencoba menyalakannya, namun batang koreknya enggan menyala. Kami pun segera sadar bahwa kakek itu melakukan sesuatu.

Kami menoleh kembali ke arah sang kakek penjaga makam itu, dan saat itu kami sadar. Kakek itu bukan kakek biasa.

“Desa ini dipenuhi oleh orang-orang baik. Tapi kami punya aturan untuk pendatang. Menjadi bagian dari desa ini, atau menjadi penghuni pemakaman ini…”
Mendengar ucapan itu, Dipta terlihat panik. Sepertinya ia juga tahu bahwa ucapan itu bukan ancaman semata.

“I–itu mas! Di belakang kakek itu!” Dipta menyadari sesuatu yang membuatnya semakin pucat.
Di belakang kakek itu samar-samar mulai bermunculan sosok pocong yang menyebar di antara pepohonan. pocong itu semakin menyebar ke seluruh hutan seolah berniat mengepung kami.

“Mereka adalah pendatang-pendatang seperti kalian yang menolak menjadi bagian dari kami..”
Sial, sepertinya kami tidak bisa menyelesaikan masalah ini secara tenang.

“Ki–kita bakal jadi kayak mereka?” Tanya Dipta yang ketakutan. Mendengar itu Danan pun meraupkan tangan nya ke wajah Dipta.

“Ngawur kamu! Mana ada manusia yang mempertahankan keyakinan nya pada Gusti Allah matinya jadi arwah gentayangan!” Ucap Danan.
“Dengerin tuh, Mas. Jangan terkecoh sama jin yang mengambil wujud manusia,” Tambahku.

Dipta mengangguk mencoba mengerti ucapan kami. Tapi sepertinya ucapan itu tidak mengurangi sedikitpun rasa takutnya.

“Ya udah, terus ini gimana?” Ucap Dipta.

“Nan, Urusin!” Perintahku.

Danan pun mengeluarkan kedua keris andalannya dan berjalan mendekat ke kakek itu. Ia meneteskan darahnya pada keris sukmageni dan membiarkan api putih membara.

“Biar aku yang menghabisi mereka!”

Danan mengambil posisi untuk melayang meninggalkan tubuhnya. Inilah kehebatan Danan di semesta ini, ia bisa menggunakan kedua pusaka itu secara bersamaan.

Bruak!!!

Tubuh Danan terjatuh tersungkur di tanah. Aku melongo melihat kelakuannya itu.

“Nan? Yang bener kamu?” Tanyaku.

“Diem! Nggak usah ketawa!” Teriak Danan.

Aku menepuk dahi ku melihat kelakuan Danan. Aku tak menyangka ia akan berulah di saat seperti ini.

“Sudah! Simpan saja pusakamu itu! Biar aku yang ngurus mereka?” Ucapku.



Kakek penunggu makam itu pun semakin kesal melihat kami.

“Sudah main-mainya?”

Aku pun membalas pertanyaan kakek itu dengan lantunan ayat-ayat suci yang membuat sebagian pocong-pocong itu tersiksa. Namun aku tahu, itu saja tidak cukup.

Kakek itu marah ketika setan-setan yang ia panggil mulai terbakar dan merintih. Ia memerintahkan pocong-pocong itu untuk menyerang kami.
“Hisap darahnya! Kuliti tubuhnya! Habiskan dagingnya!” Perintah kakek itu.

Pocong-pocong yang masih bisa bertahan dari ayat-ayat suci itu pun mendekat ke arah kami. Wujudnya semakin beringas memamerkan wajahnya yang sudah membusuk. Sebagian dari mereka memiliki taring dan gigi-gigi yang tajam seolah memang merupakan makhluk pemangsa manusia.

“Minggir!” Teriakku menendang salah satu dari mereka.

Bruaakkk!!

Pocong itu terpental dan membentur pohon, namun serangan fisikku tak berarti apa-apa buat mereka. Sebaliknya, beberapa dari mereka melayang-layang di atas kami dan meneteskan air liurnya.

“Hati-hati! Liurnya bisa bikin kalian gatal-gatal berminggu-minggu!” Ucapku.

“Sial!!” Keluh Danan.

Pemandangan di pemakaman itu berubah drastis. Apa yang terjadi di sana adalah pemandangan puluhan pocong yang mengerubungi tiga orang manusia dengan irama ayat-ayat suci yang mengiringinya.

“Kalianlah yang bodoh. Seharusnya kalian menjadi bagian dari desa ini..” ucap kakek itu.

“Berisik!” Teriakku.

“WANASURA!!”

Sebelum pocong-pocong itu membanjiri kami dengan liurnya. Aku membawa memanggil sosok yang bersemayam di tubuhku. Kekuatan sosok panglima kera dari alas Wanamarta merasuk ke tubuhku dan meminjamkan kekuatannya.

Dengan sekali ayunan aku menghempaskan pocong-pocong itu hingga tak lagi berani untuk mendekat.

“Maju!” Teriakku.

pocong-pocong itu tertahan.

“Serang mereka! kalian dibangkitkan untuk patuh padaku!” Teriak kakek itu.

Pocong itu kembali berniat mengeroyok kami sekali lagi. Namun Wanasura mengamuk dan mengancam mereka dari dalam tubuhku.

“GRaoooorrr!!!”

Suara raungan itu menggetarkan seisi hutan. Makhluk-makhluk itu pun gentar dan menghilang satu persatu.

“Apa yang kalian lakukan? Kalian takut dengan manusia-manusia itu?!” Kesal Kakek penjaga makam itu.

“Rupanya setan bisa sadar diri! Hahaha…” Tawa Danan.

Plakk!!!

Aku memukul kepala Danan yang mulai berlagak.

“Bantuin! Jangan cuma gaya doank!” Ucapku.
“Duh! Jangan gitu! Kan aku udah usaha juga!” Protes Danan.

Dipta mulai terlihat tenang, namun aku memperhatikan dari bibirnya tidak berhenti melafalkan ayat-ayat suci dan doa-doa yang ia bisa. Aku cukup lega melihat hal itu. Aku menyadari ia memiliki mental yang cukup kuat. Sepertinya kehidupanya juga tidak mudah.

Kakek penjaga makam itu geram. Ia mengeluarkan sebilah pisau dan menyayat tangan nya dari ujung jari ke siku. Nafasnya terengah-engah menahan rasa sakit dari luka akibat perbuatanya sendiri.

“Hati-hati..” Danan memperingatkanku.

Kakek penjaga makam itu pun meneteskan darahnya ke tanah sambil terus mengulang-ulang mantra yang tidak dapat kudengar dengan jelas.

Ada sesuatu yang mengerikan yang berasal dari tubuhnya. Saat itu aku dan Danan mengambil posisi di depan Dipta bersiap akan hal mengerikan yang akan muncul dari kakek itu.

Tapi sebelum sosok itu muncul, tiba-tiba asap hitam mengepul menyelimuti kakek itu.

“Jangan sia-siakan darahmu..” Suara yang terdengar begitu berat pun muncul bersama asap hitam yang menghisap tubuh kakek penjaga makam itu.

Aku dan Danan bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun saat asap itu menghilang, sosok kakek itu sudah tak ada lagi di tempatnya.

“Ca–Cahyo? Itu apa?” Danan tak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Mbuh, Nan. Sepertinya ada sosok yang lebih mengerikan di belakang kakek itu,” Jawabku.

Saat itu aku dan Danan memastikan bahwa sudah tidak ada lagi sosok yang mengancam di pemakaman itu. Entah apa yang terpikirkan oleh Dipta, saat itu tiba-tiba ia berjalan ke salah satu makam dan membersihkan batu nisannya.

“Di sini, Mas..” Ucap Dipta tiba-tiba.

Aku mendekat ke arah nisan itu dan ada sebuah lambang tergambar di sana. Nisan ini terlihat sangat tua dan berbeda dengan batu nisan lainnya.
“Apa maksudmu, Mas?” Tanyaku.

“Di sini dikuburkan jasad pertama yang menjadi inang pusaka mayit itu,” Jawab Dipta.

Aku dan Danan saling berpandangan menerka bagaimana Dipta bisa menebak keberadaan jasad itu.

“Mas, tau dari mana?” Tanyaku.

“Tadi saat pocong-pocong itu menyerbu kita, aku merasa ada suara yang berbisik ke arahku. Aku mencari suara, dan ternyata suara itu berasal dari pocong yang berdiri di atas kuburan ini…” Jelas Dipta.

“Suara?” Aku masih bingung.

Dipta mengaku mendengar suara dengan bahasa yang tidak jelas, namun entah mengapa ia mengerti bahwa suara itu menjelaskan tentang keberadaan jasad dari sosok itu sebagai korban pertama keris pusaka mayit.

Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain mempercayai ucapan Dipta. Yang bisa kami lakukan hanya mencoba menggali kuburan itu melihat apakah isi dari makam ini sesuai dengan apa yang ia katakan.

Benar saja, setelah cukup lama menghabiskan waktu menggali gundukan itu dengan tangan kosong, kami menemukan sebuah jenazah yang hanya tersisa tulang belulang yang menghitam. Namun terlihat bekas luka di tulang yang seharusnya melindungi jantungnya itu. Tapi, kami tidak menemukan tengkorak dari jasad ini.

“Terus kita apakan jenazah ini?” Tanyaku pada Dipta.
Dipta menggeleng. Wajahnya juga terlihat bingung.
“Nggak tahu, Mas. Hanya petunjuk tentang keberadaan jasad ini saja yang kudapatkan,” balas Dipta.

Dipta tidak berbohong, sepertinya ia memang tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang harus kami lakukan dengan jasad ini.

“Setidaknya, pasti ada petunjuk dari jasad i…”
Whusss!!!

Belum sempat Danan menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Keris Sukmageni menyala dan api putih muncul menembus warangkanya.

“Nan! Keris Sukmagenimu?” Aku mempertanyakan fenomena itu.

“Uwis telat! Demite wis lungo baru nyala!”(Sudah terlambat! Setannya sudah pergi, baru nyala!) Danan mengumpat keris pusaka peninggalan Paklek itu.

Jelas ia merasa kesal, saat kami membutuhkan kekuatan kedua pusaka itu, ternyata pusaka itu enggan mematuhi Danan. Dan sekarang tiba-tiba api putih keris sukmageni menyala.

“Mas..” Mas Dipta mencoba menerka. “Apa mungkin, menyalanya keris itu ada hubunganya dengan jasad ini?” Tanya Mas Dipta.

Benar juga, ucapan Dipta ada benarnya. “Keris Sukmageni itu punya kekuatan memulihkan luka gaib dan memurnikan kutukan. Mungkin saja ia merespon kutukan di jasad ini.”

Danan memandangi keris warisan paklek itu dan memutuskan membukanya dari warangka. Darah Danan yang diteteskan di keris itu sebelumnya, kini berubah menjadi tetesan api putih. Danan menoleh ke arahku seolah meminta persetujuan untuk meneteskan api putih itu pada jasad itu.

Aku pun mengangguk dan menyetujuinya. Dalam hati aku berpikir, mungkin ini alasan paklek tidak selalu menggunakan keris sukmageninya dalam setiap pertarunganya. Ia tahu kapan keris sukmageni akan bermanfaat, dan kapan keris sukmageni tidak akan menyala.

Benar saja, tepat setelah api putih itu menetes di tulang belulang itu. kobaran api putih menyala dan menyebar ke seluruh bagian tulang belulang itu. samar-samar kami melihat perubahan pada jasad itu, wana tulang belulang yang hitam kelam kini memutih menyerupai tulang sewajarnya.

“Benar, api keris sukmageni memurnikan jasad ini,” Ucapku.

“Apa ini artinya salah satu sumber kekuatan keris pusaka mayit itu sudah musnah?” Tanya Dipta.

“Bisa saja,” Sahutku.

“Belum…” Danan berkata sambil berpikir.

Aku dan Dipta pun serentak menoleh ke arahnya.
“Kepala jasad ini belum dimurnikan. Aku merasa kepala itulah yang menjadi pengikatnya,” Jelas Danan.

Aku sepakat dengan Danan, dan aku bisa menebak apa yang Danan maksud. Kita tahu, bahwa kepala jasad ini pasti disimpan secara khusus oleh warga desa.

“Kita kembali,” ajakku.
Danan dan Dipta mengangguk setuju. Setidaknya saat ini kami sudah mendapat beberapa petunjuk. Yang pertama dengan memurnikan jasad yang pernah menjadi inang dari pusaka mayit, hal ini mungkin bisa berdampak terhadap pusaka sialan itu.

Yang kedua, jika hal itu benar. Jalan yang harus kami tempuh semakin terang. Berarti, tugas kami adalah mencari semua jasad yang pernah menjadi inang dari pusaka itu dan memurnikannya seperti apa yang kami lakukan pada jasad ini.

***

Sisa malam itu kami gunakan untuk beristirahat. Aku terbangun lebih dulu dan berinisiatif mencoba mencari petunjuk mengenai keberadaan kepala jasad yang kami temukan semalam. Tapi, suasana desa di siang hari itu benar-benar berbeda. Sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Para penduduk yang sebelumnya terlihat ramah dan selalu menyapa kini menatapku dengan tatapan kesal. Setiap aku melintas, mereka selalu berhenti dan menatapku seolah aku adalah penjahat.

“Kami salah apa to, mas?”
“Tega-teganya kamu sama desa kami!”

Suara-suara itu terdengar dari warga yang berpapasan denganku, namun mereka tidak meminta jawaban. Mereka hanya mencibir dan meninggalkanku seolah sengaja tidak ingin bertikai.

“Kami nggak pernah menyakiti siapapun, lho! Tapi kenapa masnya malah bikin gara-gara!”

Aku pun mulai kesal dan berpaling pada orang yang mencibir itu.

“Siapa yang cari gara-ga….”
Sekali lagi, belum sempat aku berkata orang itu sudah pergi meninggalkanku. Mereka memang benar-benar hanya ingin mencemoohku.

Keadaan ini benar-benar menyiksaku. Namun yang menjadi pertanyaanku, apakah mereka sudah tahu tentang yang semalam kami perbuat? Dari mana?
Apakah kakek penjaga makam itu yang mengatakan kepada warga desa, atau ada dampak dari apa yang kami lakukan dengan memurnikan jasad semalam?

Saat itu aku memutuskan untuk tidak berlama-lama di desa. Aku merasa, keadaan akan semakin tidak kondusif bila aku berada di sana. Aku pun kembali ke gubuk dan menceritakan semua pada Danan dan Dipta.

“Jangan ke desa dulu!” Ucapku pada mereka yang sedang menyiapkan makanan.

“Kenapa? Mereka sudah tahu tentang semalam?” Tanya Danan.

AKu mengangguk dan menceritakan tentang apa yang terjadi selama aku di desa tadi.

“Tapi bukanya kita harus tetap mencari tahun tentan keberadaan kepala jasad semalam?” Tanya Dipta.
Aku mengerti akan hal itu, namun tidak mungkin kami lakukan di siang hari dengan keadaan warga desa yang sudah mengetahui perbuatan kami.

“Kita ke desa lagi nanti malam, diam-diam. Kita selidiki dengan berhati-hati tempat-tempat yang mungkin digunakan untuk menyimpat benda keramat,” Ucapku.

“Benar, malam-malam lebih aman. Nanti Mas Dipta di gubuk saja, ya.” Balas Danan.

Dipta pun menoleh ke sekeliling hutan dan memperhatikan makam-makam di hadapan gubuk kami.

“Hehe.. saya ikut mas-masnya aja. Kayaknya lebih aman kalau sama kalian,” Balas Dipta.

“Owalah, ya sudah kalau gitu.” Balasku.

“Lagipula, mungkin saja Mas Dipta bisa memberi petunjuk seperti semalam,” Tambah Danan.

Aku setuju mengenai itu. Tanpa petunjuk dari Mas Dipta, mungkin kami tidak akan mendapat petunjuk mengenai jasad itu. Tapi, hal itu sekaligus membuatku sedikit khawatir.

Apa yang terjadi pada Dipta apakah sebuah kharomah? Ataukah justru jebakan dari makhluk-makhluk gaib?

Tapi sepertinya aku memilih untuk percaya padanya. Menyalanya keris Sukmageni mungkin merupakan petunjuk untukku bahwa, petunjuk dari Dipta memang jalan untuk kami.
Deggg!

Menjelang maghrib, tiba-tiba aku dan Danan merasakan perasaan yang sama. Kami terduduk dari istirahat santai kami dengan wajah panik.

“Cahyo?” Tanya Danan.

“Iya, Nan! Ada yang nggak beres. Kekuatanya kerasa sampe sini,” Balasku.

Dipta menatap kami dengan wajah bingung.

Tang… Tang… Tang…

Suara gendang kembali terdengar dari atas gubuk kami. Kakek pemain gendang misterius tengah duduk di sana masih dengan gendang kesayanganya.

“Kalian sudah ditunggu oleh warga desa.. Khekhkehe,” Ucap pemain gendang itu.

“Kamu sendirian, Mbah? Penari pasanganmu nggak diajak?” Tanyaku mencoba membaca makhluk itu.

“Pa—pasangan? Bu–bukan! Kami bukan pasangan, kamu bukan siapa-siapa?” Jawabnya dengan wajah yang memerah.

“Lha tapi kok, muka mbah merah? Bertepuk sebelah tangan ya?” Ledekku.

“Heh! Ngawur! sudah nggak usah dibahas! Harusnya kalian tuh takut! Kabur! Bukan malah ngeledekin saya!!!” Teriak kakek itu masih dengan salah tingkahnya.

Saat itu aku dan Danan yang sebelumnya waspada dengan kakek itu pun tersenyum menahan tawa. Sepertinya tidak semua setan-setan disini berhubungan dengan keris pusaka mayit itu.

“Sudah, Mbah. Nggak papa kalau suka. Kalian cocok kok!” Balas Danan.

Mendengar ucapan itu tiba-tiba ia melompat dari atas gubuknya dan mendekat ke wajah Danan se dekat-dekatnya.

“Yang bener?” Tanyanya.

“I–iya, Mbah..” Jawab Danan yang kaget dengan tingkah kakek pemain gendang itu.

“Khekhekehe… Ya sudah, Pergi sana! Semoga kalian selamat!” Tang… tang…

Kakek itu pun pergi meninggalkan kami sambil memainkan gendangnya. Wajahnya yang sebelumnya menyeramkan kini berubah seperti anak kecil yang salah tingkah. Bahkan beberapa kali ia berhenti dan tertawa sendiri seolah membayangkan dirinya bersanding dengan penarinya itu.

Sang penari tanpa kepala..

Sumpah aku merinding membayangkan keberadaan pasangan yang seperti itu. Tapi bila itu merupakan hal baik, kenapa tidak?

Kami memang sengaja menunggu ketika langit benar-benar sudah menjemput gelapnya. Ketika kakek itu memberi tahu kami sudah ditunggu, itu berarti kami akan memasuki sebuah tempat yang mungkin merupakan perangkap yang membahayakan nyawa kami.

Aku dan Danan berusaha menenangkan diri dan memohon perlindungan kepada Sang Pencipta atas apa yang akan kami hadapi malam ini. Hal utama yang kutakutkan bukanlah keberadaan sosok dengan kekuatan mengerikan itu, tapi ketika kami harus berhadapan dengan warga desa.

Adu ilmu dan baku hantam dengan setan mungkin bukan masalah untukku. Namun ketika kami harus berhadapan dengan sesama manusia dan berpotensi melukainya, itu pilihan yang amat sulit.

rumah-rumah di desa terlihat sangat gelap. Cahaya obor dan lampu-lampu kecil berkumpul di satu tempat dan seolah membentuk sebuah jalan untuk menyambut kami.

Sial… semua warga desa berkumpul di pinggir-pinggir jalan sambil memandangi kami dengan ketus.
“Mas.. mereka kenapa, Mas?” Bisik Dipta.

“Udah diem aja, jangan direspon. Pura-pura nggak liat aja,” Balas Danan.

Dipta setuju dan mengangguk. Namun baru berjalan beberapa langkah, Dipta terhenti. Ada seorang perempuan yang menghadang kami di depan.

“A–Asri?” Tiba-tiba wajah Dipta berubah. Terlihat ia sangat diliputi kebingungan.

Dalam sekejap aku menduga bahwa Dipta sempat memiliki perasaan khusus dengan Asri.

“Asri salah apa, Mas Dipta? Kenapa Mas Dipta begini?” Ucap Asri.

“Tapi As…”

Belum sempat Dipta menjawab pertanyaan Asri, Danan menahan Dipta untuk menjawab Asri.
“Kamu sudah melihat dengan mata kepalamu sendiri! Jangan sampai kamu ragu, Mas!” Ucap Danan.

Aku yakin setelah ucapan Danan itu pikiran Dipta kembali kepada kejadian dimana ia melihat ritual di pemakaman dan apa yang Astrid lakukan disana. Namun saat aku melihat Dipta menarik nafas dan menghembuskan nafasnya dengan lega, aku menduka ia sudah mulai tenang.

“Tuhan Mas nggak akan mengizinkan kita bersama jika kamu masih hidup dengan cara ini,” Balas Dipta dengan wajah yang lebih lantang.
“Maksud, Mas? Asri hina?” Perempuan itu mulai memasang wajah sedihnya.

“Menerima kekurangan, ataupun masa lalu Asri bukan hal yang sullit. Waktu bisa membantu mas untuk menerimanya. Tapi mas tidak bisa menerima ajaran sesat yang sudah mendarah daging pada dirimu, dan sosok yang kalian puja!” Balas Dipta tegas.

“Bagus, Dipta! Itu baru cowok!!” Ucapku sambil menepuk bahu Dipta.

Asri pun menggunakan senjata terakhirnya sebagai seorang perempuan dan menangis di hadapan kami. Namun dengan hati yang teguh, kami melangkah melewatinya begitu saja.

“Mas, biasanya aku yang ditolak, Mas.. Akhirnya sekarang aku bisa nolak cewek,” Bisik Dipta pada Danan.

Plakk!!

“Ngawur kamu! Itu bukan prestasi!” Ucap Danan sambil memukul kepala Dipta. Aku tahu, pernyataan Dipta itu bukan berarti ia ingin menyombong. Ia hanya ingin mengalihkan suasana yang sangat aneh ini.

“Kalian mencari ini, kan?”

Seorang nenek melangkah di depan sebuah kuil batu tempat warga desa menggiring kami.
Yah benar. itu adalah apa yang kami cari. Kepala tengkorak yang sudah menghitam. Nenek itu juga tidak asing. Ia adalah Mbah Yasmin yang rumahnya sempat menjadi tempat tinggal Dipta saat sampai di desa ini.

“Serahkan pada kami, Mbah. Kami tidak ingin perseteruan,” ucapku.

“Anak-anak kurang ajar! Benda ini bukan milik kami. Mintalah sendiri pada yang punya!” Balas Mbah Yasmin sambil meletakkan tengkorak hitam itu di tingkat teratas kuil batu.

Sudah kuduga, hal ini akan terjadi. Kami harus berhadapan pada sosok yang bertanggung jawab atas kepala tengkorak itu.

Tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda apapun seluruh warga desa berlutut dan mengatupkan tanganya di depan dahinya. Mereka semua berlutut di mengarah ke kuil tersebut.

“Kami mohon keadilan demi warga kami yang tidak bersalah…” Ucap Mbah Yasmin yang diikuti dengan serangkaian doa-doa yang lebih mirip dengan mantra yang diucapkan oleh seluruh warga desa. Tanpa terkecuali.

Ini pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini. Di tengah seluruh warga desa yang melantunkan mantra-mantra dan api obor yang mengelilingi kami seolah saat ini kami sedang berada di tengah-tengah ritual yang sangat besar.

“Tidak bersalah? Kalian benar-benar tidak merasa ada yang salah dengan kepercayaan dan ritual kalian?” Ucap Danan.

Tidak ada yang menggubris ucapan Danan. Warga desa hanya berfokus pada ritualnya itu tanpa terganggu sama sekali.

Srassshhhh!!!!

Seiringan dengan mantra-mantra yang diucapkan warga desa, perlahan mulai muncul sosok-sosok pocong yang pernah kami liihat di pekarangan rumah Mbah Yasmin. Sayangnya tak hanya itu, langit malam pun mulai dipenuhi roh-roh yang melayang-layang menutupi cahaya rembulan.

“Kalian akan menjadi bagian dari mereka,” ucap Mbah Yasmin.

Sayangnya setan-setan itu bukan hidangan utama kami. Sosok-sosok mengerikan itu hanya penonton untuk kemunculan makhluk yang muncul dari kepungan asap di dekat kuil.

Aku dan Danan sudah bersiap menghadapi makhluk apapun yang muncul.

“Mas… Kalian keterlaluan…”
“Sakit… tolong…”

Di tengah kepulan asap itu tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing.

“Mas Karto? Mas Yatmo?!!”

Wajah Dipta terlihat pucat. Ada sosok makhluk yang tingginya melebihi rumah-rumah warga. Sosok itu muncul dari kepulan asap itu, namun yang membuat Dipta pucat bukan itu.

Di tangan makhluk itu ada kepala Mas Karto, Mas Yatmo, Dan Paidin. Walau sudah terpisah dari tubuhnya kepala itu masih hidup dan merintih.
“Ini karena kalian…” Ucap Kepala Paidin.

“Bengsek! Apa yang kau lakukan pada mereka?!!” Teriakku.

“Ini salah kalian!!” Teriak salah satu warga. “Karto harus menanggung akibatnya karena membawa dia ke desa ini!”

Mengerikan. Rupanya mereka bertiga diminta pertanggungjawaban karena mengantarkan Dipta ke warga desa ini.

“Mereka harusnya bahagia, mereka disempurnakan lebih dulu dari kami…” Ucap Mbah Yasmin.

Tidak! Mereka benar-benar tidak waras. Otak mereka telah dicuci seumur hidup mereka sehingga keberadaan setan-setan ini dan perbuatan kejam ini menjadi hal yang wajar di mata mereka.

“Hentikan perbuatan kalian!!”

Danan yang sudah tak mampu menahan emosinya pun menjatuhkan tubuhnya begitu saja dan melepaskan sukmanya menuju arah makhluk hitam penguasa desa ini.

Srattt!!

Dengan melampiaskan amarahnya, Danan menyerang tepat ke jantung makhluk itu dengan keris ragasukmanya. Beruntung, kali ini keris ragasukma mau mengikuti kehendak Danan.

Sayangnya, serangan itu sia-sia. Serangan Danan tembus begitu saja dan tak melukai sedikitpun makhluk hitam itu.

“Hanya yang berhati bersih dan berhati suci yang mampu menyentuh Sang Hyang Prawana,” Ucap Mbah Yasmin.

“Sang Hyang? Yang benar saja??!” Protes Danan.

Aku pun penasaran dan memanggil wanasura untuk membantuku menyerang sosok itu. Dan benar saja, seranganku tak mampu menyentuh sosok itu. Aku pun mencoba mengambil ketiga kepala warga desa itu. Aku berhasil menyentuhnya, namun tidak berhasil mengambilnya.

Sempat aku mengeria sosok Sang Hyang Prawana itu adalah tubuh bayangan, namun ternyata aku salah.

Brakkkk!!!!

Tubuhku terpental tiba-tiba dengan tendangan makhluk itu menghantam tubuhku tanpa ampun. Beruntung Wanasura sedang merasuk, jika tidak tulang tulangku mungnkin sudah hancur.

“Cahyo!”

Sukma Danan mencoba melindungiku dari serangan makhluk itu lagi, namun sekali lagi tubuhnya menembus serangan itu. Beruntung aku sempat melompat ke salah satu atap rumah untuk menghindari serangan itu.

Ini Gawat. Makhluk itu bisa menyerang kami, tapi kami tidak bisa menyentuhnya.

“Hentikan! Hentikan doa-doa kalian! Bagaimana mungkin kalian menyembah makhluk seperti ini??!!!” Teriak Dipta.

Sepertinya ia menyadari bahwa keberadaan makhluk ini berhubungan dengan doa-doa dan mantra-mantra yang ia baca. Sayangnya, setan itu pun mulai mengincar Dipta.

“Setan brengsek!! Aku Lawanmu!” Aku mencoba memprovokasi setan itu untuk mendekaat ke Dipta. Namun sepertinya aku tak berhasil, setan itu tidak menganggap aku sebagai ancamanya.

Bayangkan sosok makhluk tinggi rumah mencoba menghantam tubuhn Dipta yang hanya manusia biasa.

Dhummm!!!

Beruntung aku sempat menangkap tubuh Dipta dan membawanya menjauh.

“Pergi dari sini, ini diluar kemampuanmu!” Perintahku.

“Aku ngerti, Mas. Tapi harusnya aku bisa berbuat sesuatu,” Balas Dipta.

“Terserah, pokoknya jangan nekat” Balasku yang segera kembali meninggalkan Dipta dan mengalihkan sosok yang dianggap dewa oleh warga desa itu.

Ketika Danan tahu ia tak mampu menyerang setan itu, Ia pun kembali ke tubuhnya dan berbalik mengincar tengkorak hitam yang masih berada di tingkat teratas kuil itu.

“WANASURAA!!!”

Aku memanggil wanasura untuk mengerahkan semua yang ia punya. Bagaimanapun caranya aku harus memberi waktu pada Danan untuk melakukan rencananya.

Graaaaarrrrrr!!!!

Raungan Wanasura mengaum ke seluruh desa. Aku menghantamkan tanah tempat Sang Hyang Prawana dan membentuk sebuah lubang yang besar. Sayangnya, walau begitu pijakan sosok itu tak goyah.

“Aaarrrggh! Tolong!!”

Akibat seranganku, beberapa warga desa terhempas. Aku menoleh, dan merasa bersalah atas perbuatanku.

“Ka—kalian tidak apa-apa?”

Mereka tidak menjawabku dan semakin menatapku dengan wajah sinis.

“Setan seperti kalian harus mati! Kalian membawa bencana untuk desa ini!” Ucap Sang Hyang Prawana. Ia benar-benar membuat warga berpikir bahwa kami adalah sosok jahatnya.

“Hentikan!! Hentikan mantra kalian??! Kalian benar-benar berpikir makhluk yang membunuh Karto, Yatmo, dan paidin itu dewa kalian????!!!” Dipta kembali bersikeras menghentikan warga.

“Jangan ikut campur! Kalian orang-orang yang tidak tahu diuntung. Dialah yang memberi kebahagiaan dan melindungi desa kami!” Teriak Salah satu warga.

“Melindungi? Dari apa? Justru kalian dipaksa hidup berdampingan dengan setan! Bahagia apa? Perbuatan ritual pemuas nafsu itu hanya jebakan. Kalian akan membayarnya di akhirat nanti!” Teriak Dipta.

“Hentikan ocehanmu, Mas! Pandangan kita soal setelah kematian berbeda. Kami tidak mengharap pahala dan hanya menikmati dan mensyukuri apa yang diciptakan Sang Hyang Prawana untuk kami!” Kali ini Asri yang mengadang Dipta.

Aku yang khawatir bila Dipta menjadi bulan bulanan pun menghampirinya dan menghentikannya.

“Sudah, Mas. Jangan bahayakan dirimu,” ucapku.

“Kita harus menghentikan mantra mereka, Mas. Mantra itu yang membuat setan itu hidup.” Ucap Dipta.

“Kau tau dari mana?”

“Nenek berambut putih di rumah Mbah Yasmin itu. Ia selalu muncul di malam-malam tertentu. Mungkin saja ucapanya benar…”

Aku menoleh ke arah rumah Mbah Yasmin dan melihat seorang nenek sedang duduk di teras rumah Mbah Yasmin sambil menyisir rambutnya yang begitu panjang.

Sepertinya kami mulai mengerti apa yang harus kami lakukan. Tugasku adalah mengulur waktu sampai Danan berhasil memurnikan tengkorak hitam itu, dan Dipta menghentikan ritual warga desa.

Tapi sebelum aku menghadapi makhluk itu lagi. Seseorang muncul dari kejauhan dan berlari mendekat ke arahku. Ada kliwon yang bersamanya dan wajah mereka terlihat cemas.

“Candramukti?!”

Ia melompat mendekatinya, Cahyo menyambutku menaiki tubuhku dan memasang wajah menganjam ke sosok Sang Hyang Prawana itu.

“Waktumu tidak banyak, Cahyo….”

BERSAMBUNG PART AKHIR

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf bila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close