Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 2) - Gending Leuweung Sasar

.. Terdengar suara gending dari hutan yang sudah ditutup dan dihilangkan dari pandangan manusia itu..


WAYANG BATARA Deru ombak yang besar menerjang menuju pantai. Bukan purnama, namun laut pasang tak terkendali. Dari kegelapan laut, ribuan lelembut mendekat memancing gelombang besar yang mungkin saja bisa menenggelamkan satu desa. “Gimana ini, Ki? Apa sudah waktunya kami mati?” Ucap seorang nenek yang begitu cemas. Ia berada di sana mendampingi seorang dalang yang baru saja selesai menggelar pementasan. “Nggak, Mbah. Nggak ada seorang pun yang akan mati malam ini..” Ucapnya sambil membawa tiga buah wayang kulit yang berbeda dari miliknya yang lain. Aroma kemenyang tercium kian semerbak tercium oleh seluruh warga desa yang berkumpul di pantai meratapi nasibnya. Tanda kibasan wayang itu memberi isyarat suara gamelan yang mulai berbunyi mengiringi sang dalang. “Gending Geni Pamungkas…” Gamelan itu memainkan gending yang hampir tidak pernah dimainkan sebelumnya. Bersamaan dengan itu, Sang Dalang melakukan sebuah gerakan dengan memainkan wayangnya mengarah ke lautan di hadapanya. Cerita dan mantra terucap dengan bahasa yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh sang dalang. Namun dari gerakanya, ia seolah sedang melakukan sebuah adegan peperangan hanya dengan sebuah wayang berwujud buto di tangannya. “Kulo nyuwun pitulungan saking panjenengan.. (Saya meminta pertolongan darimu) Setelah kalimat itu terucapkan, irama gending mengalun semakin cepat dan semakin cepat. Iringan itu mengikuti permainan Sang Dalang yang membuat suasana di sekitar pantai menjadi mencekam. Sebagian warga tersadar, permainan itu memancing keberadaan setan-setan di sekitar pantai. Namun mereka hanya berdiam dan menonton. Mereka hanya ingin melihat bagaimana manusia-manusia di pinggir pantai itu musnah oleh serangan dedemit-dedemit itu. Tapi serangan dedemit dari arah laut itu tidak pernah sampai ke pantai. Ombak pun pecah jauh sebelum sampai ke daratan. Sosok-sosok itu musnah oleh kemunculan sosok makhluk yang begitu besar, sang raksasa yang datang atas panggilan sang dalang. Sosok itu berdiri di laut dalam, dan laut yang sering menghilangkan manusia itu hanya setinggi pinggang raksasa itu. Semua warga yang melihat kejadian itu tertegun tak percaya. Mereka takjub, namun juga takut. Mungkin sekarang sosok itu muncul untuk menolong desa, namun jika sosok itu berpindah pihak, desa mereka akan hancur dalam sekejap. Saat desa mulai tenang, Dalang itu pun pergi diam-diam dari desa. Ia sadar, sebagian warga juga merasa was-was dengan keberadaan wayang pusaka miliknya. Tak ada yang mengetahui kemana dalang itu pergi, tak ada yang mengetahui dimana wayang pusaka itu disimpan, namun sebagian orang percaya bahwa wayang itu akan muncul saat manusia membutuhkanya. Atau sebaliknya… ***

(Sudut pandang Danan…) Sampai cerita itu berakhir tidak ada yang tahu bagaimana bentuk wayang yang diturunkan oleh para Batara itu. Kisah ini pun dianggap terlalu tidak masuk akal dan dianggap sebagai dongeng oleh garis keturunan Ki Bayu. Walau begitu, cerita itu masih begitu mengesankan untukku. “Dengan kesaktian Ki Bayu menggunakan keris pusaka, Ki Bayu juga menganggap kisah itu sebagai sebuah dongeng?” Tanyaku. Ki Bayu menghela nafas. Angin yang bertiup masuk ke pendopo pun menggoyahkan api dari obor yang menerangi pertemuan kami malam itu. “Bukan tidak percaya, namun saya hanya berharap wayang-wayang itu tidak benar-benar nyata. Di zaman sekarang mungkin tidak ada yang pantas memiliki wayang itu,” Jawab Ki Bayu. “Saya sependapat, siapapun yang menguasai kekuatan sebesar itu pasti tergoda menggunakanya untuk nafsunya sendiri. Kalaupun tidak, ia pasti akan menjadi incaran orang-orang sakti..” Tambah Arsa. Aku mengangguk setuju dengan ucapan mereka berdua. Kami pun mulai kembali pada tujuan awal kami. Arsa mengeluarkan beberapa wayang pusaka warisan ayahnya. Aku ingat beberapa bentuk wayang itu sempat menyelamatkan kami di beberapa pertarungan. Dari wayang itu pernah muncul sosok besar yang bahkan disegani oleh Nyi Sendang Rangu. Sayangnya, Arsa belum mampu mengendalikan sosok itu. Tujuan perjalanan kami adalah pencarian informasi mengenai wayang-wayang ini yang mungkin kelak bisa membantu kami di pertempuran-pertempuran seperti yang pernah kami alami. Seperti yang baru saja kami dengar dari setan topeng itu. Tentang Pagelaran Sewu Lelembut. Tanpa adanya Cahyo dan Wanasura, kekuatan wayang Arsa akan memiliki peran penting. “Nuwun sewu, Ki. Apa kira-kira Ki Bayu mengetahui sesuatu tentang wayang-wayang saya ini?” Tanya Arsa. Dengan sopan Arsa membawa wayang-wayang itu ke hadapan Ki Bayu dan meletakkan di atas sebuah alas kain di hadapan Ki Bayu. Dalam sekejap, Ki Bayu menyadari bahwa wayang milik arsa itu bukanlah wayang biasa. Ia bahkan tidak berani menyentuh wayang milik Arsa itu. “I—ini?” Ki Bayu memperhatikan wayang itu dan menatap Arsa benar-benar. “Ternyata benar, kalian bukan orang biasa.” “Bukan Ki, kami juga orang kampung biasa, nggak lebih,” Balas Arsa. “Tapi kalian berjalan di takdir yang berat,” Aku tak menampik ucapan Ki Bayu itu. Memang kami sadar, kelebihan yang diberikan kepada kami ini membawa tanggung jawab besar. Ki Bayu mencoba sebisanya mengenali wayang itu. Ia memperbaiki posisi duduknya dan memejamkan matanya. Dalam beberapa saat Ki Bayu sudah menyelam kedalam kesadaranya dan mencoba menyatukan dirinya dengan sesuatu yang memancar dari wayang Arsa. “Ki?” Arsa penasaran dengan apa yang Ki Bayu lakukan. “Sst.. “ Aku memberikan isyarat dengan jariku kepada Arsa agar ia memberi waktu sejenak untuk ritual Ki Bayu. Arsa pun kembali mundur dari posisinya dan hanya memperhatikan ritual itu. Suara tokek dan serangga malam menjadi semakin jelas saat itu. Api dari obor sesekali tertiup angin menggoda cahaya yang masuk di ruangan ini. Ketenangan itu terjadi cukup lama. “Ayahmu orang hebat, Le..” Ucap Ki Bayu tiba-tiba. Mendengar ucapan itu kami pun mendekat ke Ki Bayu sekali lagi. “Maksudnya, Ki?” Tanya Arsa. “Saya coba ceritakan sedikit tentang yang saya tahu mengenai wayang ini, ya..” Aku dan Arsa sudah penasaran dengan apa hasil dari semedi Ki Bayu barusan. “Ki Buto, kamu pernah mendengar nama itu?” Tanya Ki Bayu. Mendengar pertanyaan itu seketika wajah Arsa pucat. Aku benar-benar belum mengetahui apapun tentang kisah ini. “Yang aku tahu, dia pernah membantu bapak,” Jawab Arsa singkat. Ki Bayu mengangguk dan memulai ceritanya. Menurut Ki Bayu, ia belum mengerti sepenuhnya tentang wayang Arsa, namun dari energi wayang itu ia mengikuti kemana saja wayang itu pernah berada. Menurut Ki Bayu, wayang-wayang itu sudah menemani ayah Arsa seumur hidupnya sebagai penyampai pesan antara permohonan manusia, dengan jawaban Sang Pencipta. Pementasan wayang yang diadakan oleh Ayah Arsa biasanya sebagai ucap syukur atas kemakmuran dan hasil panen warga, atau atas permohonan petunjuk atas masalah yang warga hadapi. “Ki Darmo Suseno.. Aku tak menyangka akan bertemu dengan anak dari sosok hebat itu,” Ucap Ki Bayu. “Bapak kenal dengan ayah saya?” Tanya Arsa. “Sedikit.. Yang saya tahu, di masa muda Ki Darmo dikenal sebagai dalang gembel. Ia mendapatkan ilmu pedalangan dari melakukan pementasan jalanan..” Ki Bayu menceritakan bahwa Ki Darmo, ayah Arsa merupakan sosok dalang yang disegani. Ia sering meniru permainan dalang yang ia tonton dan mempelajarinya. Ia memulai permainan wayang di desa-desa yang tak pernah mengenal hiburan. Kadang bayaranya hanya beberapa liter beras, atau beberapa ikat kacang.

Ki Darmo tidak masalah. Selama warga desa yang ia datangi bisa tertawa dan melepas lelahnya ia sudah cukup senang. “Bayangin warga desa suntuk dengan kegiatan dan masalahnya, menonton permainan kita, mereka tersenyum. Itu pahala… Yang kita berikan itu hiburan. warga jadi senang , terus mereka bisa lupa akan rasa lelah setelah seharian bekerja. Itu pahala juga.. Itu ucapan yang saya dengar saat tanpa sengaja bertemu dengan Ki Darmo Suseno. Dia tidak hanya memainkan wayang dengan tubuhnya, tapi juga dengan hatinya,” ucap Ki Bayu. Tanpa sadar aku melihat airmata mengambang di mata Arsa. Jangankan Arsa, aku yang tidak memiliki hubungan darah dengan Ki Darmo pun ikut tersentuh mendengar ucapan itu. Tapi menurut Ki Bayu, Ki Darmo Suseno pun juga memiliki takdir yang besar. Permainan wayangnya juga dipercaya mampu menenangkan bencana alam seperti air pasang, banjir, badai, hingga tanah longsor. Namun menurut Ki Darmo, bencana yang terjadi biasanya berhubungan dengan ulah manusia yang merusak alam dan menyinggung sosok penunggu di wilayah itu. Wayang-wayang yang diwariskan oleh Arsa itu adalah wayang yang istimewa. Kala itu Ki Darmo kesulitan untuk menghadapi bencana yang berasal dari laut. Sebelum bencana itu terjadi, Ia mengetahui, kekuatan besar itu berasal dari keberadaan ritual yang dilakukan oleh dedemit dalam jumlah besar. Ia tahu bahwa ia mungkin tak mungkin bisa menghadapi kekuatan sebesar itu. Namun di tengah kebingunganya ia bertemu oleh beberapa sosok yang memberinya petunjuk. Ada sosok besar yang memintanya membuat wayang pusaka yang saat ini dimiliki oleh Arsa. Petunjuk itu juga datang bersama seekor kerbau putih yang dikurbankan untuk membuat wayang kulit. Dengan bantuan dari sebuah desa pengrajin wayang, dalam waktu yang cukup singkat wayang itu pun selesai. Malamnya, Ki Darmo mencari cara untuk mendapatkan petunjuk atas penggunaan wayang yang belum memiliki kekuatan apa-apa itu.

Tapi saat melewati tengah malam, yang hadir bukanlah sosok yang sebelumnya memberi petunjuk pada Ki Darmo. Melainkan sosok makhluk-makhluk penguasa alam yang sempat ‘bertarung’ dengan Ki Darmo melalui pementasan wayangnya. “Jika kalian masih dendam, kalian boleh membunuhku nanti. Tapi biarkan aku menuntaskan tugasku terlebih dahulu,” Ki Bayu memperagakan ucapan Ki Darmo Suseno. Namun bukan itu tujuan makhluk makhluk itu. Satu-persatu sosok-sosok besar itu merasuki wayang-wayang yang dihaturkan oleh Ki Darmo. Jelas saja Ki Darmo bingung, namun ia merasakan kini wayangnya menyimpan kekuatan yang sangat mengerikan. “Kami adalah bagian dari alam, jika yang kau perjuangkan adalah demi menjaga keseimbangan alam, maka jangan ragu menggunakan kekuatan kami… Suara sosok besar yang dulu mengerikan saat itu terdengar begitu sopan di telinga Ki Darmo” ucap Ki Bayu. Saat itulah wayang-wayang pusaka itu menemukan titik sempurnanya. Salah satu sosok yang mendiami wayang itu adalah Ki Buto. “Tapi untuk membatasi kekuatan mereka, ayahmu juga memiliki sebuah pusaka? Kamu tahu?” Tanya Ki Bayu. “Gelang kuningan?” “Benar, Dimana gelang itu sekarang?” Wajah Arsa terlihat bingung, ia menatapku sebentar dan merunduk. “Sudah saya hancurkan..” jawabnya ragu. “Hmmm.. jadi begitu,” Respon Ki Bayu. “Tu—tunggu? Kenapa gelang itu harus dihancurkan?” Tanyaku. Arsa pun menarik nafasnya sejenak. Ia pun menceritakan tentang kejadian semasa ia masih belum menyadari bahwa ia akan berurusan dengan hal gaib. Ia masih bekerja kantoran layaknya pemuda pada umumnya. Namun sebuah kejadian merubah segalanya. Ada sosok gaib yang bangkit dan menyerang teman-temanya. Di tengah keadaan hidup dan mati ada suara yang memberi petunjuk untuk menghancurkan gelang kuningan miliknya, dan saat itulah Ki Buto muncul. “Saat itu Ki Buto membantuku memusnahkan setan itu, tapi ia justru menjadi masalah yang pekat untukku. Makanya setelahnya aku melakukan perjalanan dan tiba di desa Kandimaya. ” ucap Arsa. Ternyata ada cerita seperti ini di balik seorang dalang beranama Ki Arsa. Memang aku sudah menebak hal ini, amanah yang diemban oleh Arsa tidak main-main. “Ya sudah, hanya itu informasi yang bisa saya dapat. Selanjutnya takdir yang akan menuntun kalian.” Ucap Ki Bayu. “Te—terima kasih Ki, apa yang Ki Bayu cerita mengenai bapak benar-benar berharga untuk saya,” Balas Arsa. Aku menoleh ke arah Arsa sejenak dan sedikit tersenyum. Aku yakin kisah mengenai ayahnya lebih berharga untuknya dibanding informasi mengenai wayang-wayang itu. “Iya, Ki. Kami sangat terbantu. Terima kasih banyak,” Balasku. Ki Bayu pun meninggalkan posisi duduknya dan berdiri. “Kalau sudah selesai, mungkin ini saatnya kita menemui kedua anak itu..” Ucap Ki Bayu. ***

DESA TUMBAL Murti dan Marni, kedua remaja itu masih begitu belia. Bahkan di umurnya saat ini, masih belum waktunya mereka untuk meninggalkan sekolah. Tapi, sekarang mereka malah ada di desa ini. Bukan hanya tersesat, namun mereka diincar oleh setan-setan yang mengutuk mereka. Apa yang terjadi saat kami tiba di desa ini jelas-jelas merupakan pertanda akan terjadinya sesuatu yang besar. Aku sudah menghubungi paklek akan hal itu dan ia berjanji akan menghubungi Ki Duduy yang lebih tahu mengenai Leuweung Sasar. Saat ini pencarian petunjuk mengenai Pagelaran Sewu Lelembut menjadi masalah utama kami. Cara berpakaian Murti dan Marni cukup berbeda dengan warga desa. Marni masih mengenakan kebaya sederhana, dan Murti mengenakan celana dan pakaian kain seperti yang dikenakan orang-orang jawa di jaman dulu. Sepertinya, mereka memang hidup di desa yang jauh dari modernisasi. “Saya Danan, ini teman saya Arsa. Kalian sehat?” Tanyaku sambil memperkenalkan diri. “Ka—kami baik-baik saja, Mas. Justru kami khawatir dengan warga desa. Mereka mati-matian melindungi kami..” Balas Murti dengan gelagat tidak enak. Bahkan sampai sekarang pun posisi duduknya masih kaku, begitu juga dengan adiknya. “Mas Murti sudah mengatakan ke warga desa kalau keberadaan kami akan membawa kutukan, tapi mereka bersikeras menyembunyikan kami,” Tambah Marni. Aku menoleh ke arah Ki Bayu dan beberapa warga desa yang masih berjaga disana. Sungguh, aku sangat menghargai mereka. Bisa saja ada nyawa yang melayang hanya demi melindungi mereka. “Saya kagum sama warga desa ini, Ki,” Ucap Arsa. “Jangan begitu, saya yakin kalian pun juga akan melakukan hal yang serupa, kan?” Ucap Ki Bayu. Entah mengapa tiba-tiba Marni tak mampu menahan air matanya. Sang Kakak pun berusaha menenangkan Marni sebisanya. “Desa-desa sebelumnya tidak menganggap kami manusia, Mas. Mereka mengusir, bahkan mengancam akan membunuh kami. Saya sempat berpikir bahwa manusia di luar desa benar-benar jahat,” Isak Marni. Aku menghela nafas mendengar perkataan itu. Wajar bila warga desa takut akan keberadaan mereka yang dikutuk. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun selain setan-setan yang terus mengincar mereka berdua. Memang itulah tujuan mereka. “Ya sudah, tenang saja. Di sini kalian aman. Sekarang kalian bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” Tanyaku. Marni menyeruput teh hangat yang diberikan seorang ibu padanya. Ia sedikit lebih tenang setelahnya. Murti menatap marni seolah meminta persetujuan. Anggukan Marni menjadi isyarat bahwa Murti diijinkan untuk memulai bercerita. “Setan-setan itu bangkit dari tanah di desa kami, Mas. Kami tak menyangka bahwa tanah di desa kami adalah tanah terkutuk. Lemah Mayit…” Murti menceritakan bahwa sudah lebih dari setahun sejak kejadian mengerikan di desanya. Kala itu mereka dikejutkan dengan kemunculan sosok yang muncul dari sebuah pemakaman keramat yang terlah tertutup oleh hutan. Sosok itu muncul di tengah malam dengan bau menyengat yang tercium oleh seluruh warga desa. Hampir semua warga keluar dari rumah mencari arah makhluk yang jelas membuat mereka khawatir seketika. Makhluk itu terlihat berjalan dengan lemah, namun wujudnya yang seperti mayat hidup dengan daging yang membusuk membuat warga desa pucat. Kedatangannya tiba-tiba membuat tanah di desa itu bergejolak dan memunculkan tangan-tangan yang seolah berusaha untuk bangkit. Sementara warga desa bersiap dengan parang dan berbagai senjata, tiba-tiba ada beberapa orang warga desa yang menembus kerumunan dan mendekati sosok itu. Mereka berlutut, dan ada sepasang suami istri yang membawa bayinya yang baru lahir ke hadapan makhluk itu.


“Ternyata diam-diam ada warga desa yang menganut kepercayaan sesat yang menanti kebangkitan setan itu, Raden Girisangkur..” Murti Geram. Sosok bernama Raden Girisangkur itu memakan bayi itu hidup-hidup. Warga desa yang ingin menghentikan perbuatan itu tiba-tiba berteriak dan bertingkah tak terkendali. Mereka kerasukan setiap mendekat ke makhluk mengerikan itu. Dalam waktu semalam desa mereka sudah diambil alih oleh sosok bernama Raden Girisangkur dan pengikutnya itu. Warga desa sudah seperti tahanan. Mereka hanya menanti mati menunggu dirinya dirasuki anak buah Raden Girisangkur yang sudah bersemayam di tanah-tanah rumah yang mereka tinggali, dan menyerahkan diri untuk menjadi kurban. Tubuh mereka akan menjadi santapan Raden Girisangkur dan pengikutnya. Semakin hari wujud Raden Girisangkur mulai pulih, daging dan kulitnya mulai tumbuh seiring semakin banyaknya tumbal yang dipersembahkan untuknya. Warga desa mulai mengerti bahwa ada satu keturunan di desa itu yang masih menganut kepercayaan sesat dan berpura-pura menjadi bagian dari warga. Diam-diam warga itu masih melakukan ritual terlarang yang melibatkan pesta sex, minuman memabukkan, hingga penumbalan. Mereka menanti kebangkitan Raden Girisangkur untuk memimpin mereka mendapatkan kesaktian dan mencapai kesempurnaan. Warga yang ingin melarikan diri tak pernah berhasil. Setiap memasuki hutan, mereka akan kerasukan dan tiba-tiba sudah kembali di desa. Mereka hanya tinggal menunggu giliran untuk menjadi santapan sekte sesat itu. Tanpa pandang bulu tua, muda, baru lahir, atau hampir mati mereka semua menjadi kurbang untuk Raden Girisangkur. Suatu ketika, warga mulai menyadari bahwa Raden Girisangkur selalu mengadakan ritual tiap malam-malam tertentu di pemakaman keramat, bahkan setan-setan pengikutnya juga menjadi bagian dalam ritual itu. Warga merencanakan pelarian untuk meninggalkan desa saat Raden Girisangkur dan para pengikutnya sedang mabuk di dalam ritualnya. Mereka pun bergegas hanya dengan membawa barang seadanya untuk mereka bertahan hidup. Hampir saja mereka berhasil, namun hutan itu masih wilayah kekuasaan makhluk-makhluk pengikut setan itu. Mereka tertahan dan harus berhadapan dengan makhluk yang berusaha merebut kesadaran mereka. Orang tua Murti dan Marni melihat celah dan meminta kedua anaknya itu untuk pergi ke arah sebuah sendang yang dianggap keramat. Mereka berharap Murti dan Marni bisa selamat dan mencari pertolongan. Sayangnya, begitu lepas dari wilayah sendang itu setan-setan suruhan Raden Girisangkur masih mengincar mereka. ***

Sekali lagi nasib naas menimpa sebuah desa terpencil. Sebenarnya masih ada berapa desa di pulau ini yang jauh terkucil dari peradaban manusia? Mungkin sebagian memang ingin menjauh dari perkembangan zaman yang merusak alam. Namun siapa sangka, masih ada desa yang menyimpan misteri seperti ini. “Dulu memang ada kisah turun-temurun mengenai aliran sesat yang dianut oleh leluhur kami. Namun sejak desa kami kedatangan sosok ulama yang menyadarkan leluhur kami, desa kami pun mulai berubah..” Marni memberanikan diri untuk bercerita. Entah mengapa cerita Marni tentang sosok ulama itu mengingatkanku akan seseorang yang sudah beberapa kali menolong kami. “Sebaiknya kalian…” Brukkkk! Belum sempat aku berkata pada mereka, tiba-tiba Marni jatuh terkulai. Ia kehilangan kesadaran tanpa sebab-akibat. “Ma—Marni?” Arsa Bingung. Aku pun mendekat dan memeriksa keadaan Marni. “Semenjak meninggalkan desa, Marni sering begini, Mas. Menjelang subuh tiba-tiba dia pingsan. Kalau sudah begini, biasa nanti malam kami akan mendapat teror lagi,” Jelas Murti. Aku meletakkan jariku di lengan Marni dan mendapati denyut nadinya masih berdegup dengan normal. Aku mencoba memulihkan keadaan Marni dengan membacakan doa-doa yang seharusnya mampu menghilangkan pengaruh gaib dari tubuh Marni. Tapi itu juga tidak berhasil. Murti menjelaskan bahwa Marni akan kembali tersadar saat matahari sudah melewati puncaknya. Saat itu artinya mereka berdua harus meninggalkan desa yang mereka singgahi sebelum desa yang mereka datangi itu menjadi korban serangan pasukan lelembut suruhan Raden Girisangkur. “Sudah, kalian tenang saja di sini. Kalau memang setan-setan itu datang berarti seharusnya kami juga bisa mencari petunjuk mengenai pagelaran itu,” ucapku. “Ba—baik, Mas. Tapi tolong jangan memaksakan diri. Jangan sampai ada korban lagi karena keberadaan kami,” Balas Murti. Mendengar ucapan itu aku pun mengelus rambut Murti untuk menenangkanya. “Tidak ada yang akan celaka. Kali ini kami memiliki waktu untuk bersiap. Kejadian semalam tidak akan terulang lagi,” Balasku. Benar saja, menjelang tengah hari Marni terbangun dengan panik. Ia berteriak-teriak ketakutan dan memperingati kami semua. “Mereka akan datang lagi! Mereka akan menyerang lagi!” Teriak Marni. Aku pun memberi isyarat Murti untuk menenangkan adiknya itu. Saat ini yang harus mereka lakukan adalah menciptakan pagar baik untuk diri mereka masing-masing agar setan-setan itu tidak menjadikan mereka sebagai ‘antena’nya. Arsa membantuku dengan memasang beberapa pagar gaib dengan menggunakan beberapa jenis rempah dan tanaman-tanaman khusus. Tiap sudut-sudut pagar itu dibacakan doa yang akan terus menggema di alam lain hingga setan pun enggan mendekat. Setidaknya aku bisa mengurangi jumlah mereka dengan itu. Sambil menunggu matahari tenggelam, Aku, Arsa, dan Ki Bayu menghabiskan waktu untuk bersemedi menenangkan pikiran dan memulihkan luka-luka dari malam sebelumnya. Kami tahu, malam ini akan terjadi kekacauan lagi. … Cring… cring… cring… Di tengah semediku, suara lonceng kecil menggema. Aku merasakan kehadiran sosok yang kukenal di sekitarku. Aku pun menghentikan semediku dan mengintip ke jendela luar. Seekor kucing hitam…

Ia berjalan dengan kaki yang pincang menjauh keluar desa. Saat aku hendak menghampirinya, sosok itu pun menghilang. “Ada apa, Mas?” Tanya Arsa yang menyadari kebingunganku. “Oh, nggak. Kita lanjut lagi,” Meong Hideung sampai menunjukkan wujudnya padaku di tempat ini. Hal itu benar-benar menjadi pertanda dan semakin menguatkan firasatku. Menjelang maghrib, seluruh warga desa berkumpul di balai desa, masjid, dan beberapa rumah yang berdekatan. Marni dan Murti ada di balai desa bersama kami. Apapun yang terjadi, kami harus melindungi mereka berdua. Suara cemas warga desa terdengar tak terelakkan, namun Arsa dengan bijak mendekati warga hingga merubah suara cemas itu menjadi lantunan doa-doa sederhana. Malam semakin larut. Rasa cemas melanda di tengah keheningan yang membawa rasa takut. Aku masih dalam posisi semediku berusaha untuk selalu waspada akan apa yang mungkin terjadi. Duong!!! Suara gong yang menggema begitu lama tiba-tiba terdengar di sekitar desa. Setahuku tidak ada suara gong yang bisa menggema sebesar ini di desa ini. “Mas?” Arsa mengingatkanku. Aku mengangguk dan mulai bersiap. Di sisi lain tiba-tiba seorang ibu terlihat pucat menatap ke arah luar jendela. “Se—setan..” ucap ibu itu. Wajah seorang nenek yang melayang dan tengah tertawa tepat berada di depan ibu itu. Sosok itu memamerkan sebelah wajahnya yang sudah busuk dan hancur tak berbentuk. Aku menghampirinya dan sosok nenek itu melayang pergi menjauh. Sialnya, apa yang terlihat di luar sana benar-benar tidak pernah terpikirkan olehku. Seolah menjadi sebuah isyarat, suara gong itu menjadi awal mula mulainya sebuah gending yang mengumpulkan setan-setan di sekitar tempat ini. Saat ini di luar bangunan, makhluk-makhluk dari berbagai wujud berkumpul dan melakukan tarian-tarian yang mengerikan. “Jangan ada yang keluar! Jauhi jendela dan pintu!” Teriakku memperingatkan warga baik yang di balai desa maupun di tempat lain. “Khekehkehe… Ayo keluar… Ayo mati bersama kami… Khekheke,” Suara-suara mengerikan itu mulai terdengar ke sekeliling bangunan. Wajah warga desa semakin pucat, namun doa-doa masih melantun di bibir mereka. “Besok pagi, tak ada manusia lagi di desa ini… kalian akan jadi bagian dari kami… khekheke…” Mereka tidak main-main. Kali ini mereka benar-benar berniat menguasai desa ini. “Mas, jangan terkecoh. Bukan setan-setan itu masalah utamanya. Ini bukan gending biasa,” Ucap Arsa. “Kamu tahu gending ini?”


Arsa menggeleng, “Nggak, tapi sebagai seorang dalang aku tahu kalau ini gending keramat. Akan ada banyak nyawa yang dicabut saat gending ini dimainkan.” Brakkk!! Aku sudah tak tahan dan membuka pintu. Pemandangan di desa saat ini sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Desa ini sudah berubah menjadi kampung demit dengan setan-setan yang sudah berada di setiap sisinya. Tapi di tengah-tengah setan-setan itu ada satu yang mencolok. Sosok seorang kakek yang masih terus berdiri menatap ke arah bangunan ini sambil mengenakan sebuah topeng. Tubuhnya memang terlihat renta, tapi aku merasakan kekuatan yang mengerikan dari dalam dirinya. “Arsa, Ki Bayu, jaga warga desa!” Perintahku. Tepat saat aku turun ke jalan, setan-setan itu menyingkir seolah membukakan jalan menuju sosok itu. Aku menelan ludah menyaksikan pemandangan di hadapanku. Cahyo, seandainya kau ada di sini pasti kamu sudah bertingkah mengesalkan hingga aku lupa akan suasana mencekam ini. Tak ada pemain gamelan, tidak ada alat musik, namun entah mengapa suara gending gamelan terdengar jelas di seluruh desa ini. Alunan suara itu membuat setan-setan ini gemetar seolah menahan diri untuk mengamuk. “Ndang… Njoged!” (Cepat.. menari!) Ucap setan bertopeng itu sambil menari-nari sendiri. Aku enggan, terlebih aku tak mengerti maksudnya. Yang kuinginkan hanyalah segera menghabisi makhluk itu. Keris Ragasukma pun muncul di tanganku dan akan segera kuhujamkan ke tubuh kakek itu. “Bocah goblok!” Dhuaggg!!! Seketika aku terjatuh terhantam ke tanah. Sesuatu menimpa tubuhku dan rasanya begitu berat. “Arrrrgggghhhh!!!” Teriakku menahan rasa sakit itu. Tubuhku seperti tertiban benda yang begitu berat selama berkali-kali. Aku mencoba memperhatikanya, ternyata sesosok buto sedang menari-nari dan menjadikanku sebagai pijakkanya. Dhummm!! Dhumm! Dhumm! Aku meringis kesakitan dengan beban itu. “Minggir!!!” Teriakku sambil membacakan sebuah amalan api yang membuat sosok buto itu terbakar. Blarrr!!! Makhluk itu terbakar dan meronta kesakitan. Aku mengamankan posisiku dan kembali mengincar kakek bertopeng itu dengan keris di genggamanku. Sial, ia mempermainkanku. Berkali-kali aku menyerang, ia menghindar sambil menari-nari sesuka hatinya. “Kakek brengsek!!!” Srattt!! Srattt!!! Tak ada satupun seranganku yang melukainya. Ia bukan makhluk biasa. Kekuatan hitam yang memancar dalam dirinya begitu pekat.

“Raden Girisangkur harus memastikan pementasanya berjalan dengan lancar. Penghalang seperti kalian harus mati…khekehke” Tiba-tiba sosok itu sudah berada di belakangku. Ia mencoba mencengkeram leherku, namun aku berhasil menghindar dengan sekuat tenaga. Tidak, aku tidak menghindar. Tubuhku bergerak sendiri mengikuti suara yang mengalun di dalam pikiranku. Suara gending yang berusaha menguasai tubuhku. “Mas Danan!” Arsa ingin segera menyusulku, namun tiba-tiba sosok setan-setan yang mengepung desa ini menahannya. “Arsa! Tahan!!” Teriakku berusaha membuatnya untuk tidak ikut campur dalam pertarungan ini. Salah sedikit saja, desa ini bisa hancur oleh setan-setan ini. Aku pun membacakan lantuan ayat-ayat suci yang mengalun layaknya sebuah puisi. Angin bertiup dengan tenang, namun angin itu berubah menjadi sayatan-sayatan tajam di tubuh setan-setan di sekitarku. Gambuh rumekso… Suara Gending keramat dan gambuh rumekso pun beradu membuatku kembali mengendalikan tubuhku. “Khekhekhe…akhirnya aku dapat perlawanan,” ucap kakek itu. Trangg!! Trang!! Kini kerisku beradu dengan cakar kakek itu. Tanganya begitu keras, hingga keris ragasukma tak mampu melukainya. Ini akan menjadi pertarungan yang panjang. Sialnya, kakek itu punya siasat. Tariannya menyebarkan kekuatan hitam yang kini menyelimuti tubuhku. Tanpa kusadari, tubuhku mulai terpengaruh. Kulitku pucat, mataku mulai memerah. Kekuatan dari asap hitam itu mempengaruhi tubuhku. “Mati!”Kakek itu bersiap menghantamkan cakarnya ke arahku, tapi kobaran api membakar tubuhku memusnahkan semua kutukan di dalam diriku. Ini.. geni baraloka. Aku menoleh ke atas, dan roh paklek tengah melayang di atas desa ini. “I—itu paklek!!” Arsa juga menyadari keberadaan Paklek. Aku pun tak membuang waktu dan membacakan mantra di kepalan tanganku. Dhuaagg! Ajian lebur saketi mementalkan kakek itu menjauh, namun aku tahu itu saja tidak cukup untuk mengalahkannya. “Pengganggu!” Keluh kakek penari itu. Ia pun memberi isyarat dan memerintahkan setan-setan itu untuk menyerang balai desa. Tapi rupanya paklek sudah bersiap. Tiba-tiba sekeliling bangunan tempat kami berlindung dikelilingi api yang membuat setan-setan itu enggan mendekat.

Saat itu aku benar-benar menarik nafas lega. “Brengsek!!” Kakek penari itu kesal. Aku pun ingin segera mengakhiri pertarungan itu. Dengan sebuah mantra, keris ragasukmaku pun mengeluarkan kilatan putih. Dengan cepat aku mengincar kakek penari itu untuk menghabisinya. Tapi.. kakek itu tak lagi ada di tempatnya. Aku menoleh ke segala arah mencari keberadaanya. Sialnya, kakek penari itu sudah berada di hadapan arsa yang berusaha melindungi Marni, Murti, dan seluruh warga yang ada di balai desa. Geni Baraloka tak mampu mencegahnya. “Jangan berani-berani mendekat!” Ucap Arsa yang menggenggam wayangnya yang berwujud jatayu. Ia mengibaskan wayang itu dan sosok burung besar melayang-layang melindungi dirinya. “Mainanmu sama sekali bukan tandingan milik tuanku..” Ucap Kakek penari itu. Whhoooosssshh!!!! Kekuatan hitam dari tubuh kakek penari itu menderu dengan kencang membentuk badai asap hitam. Sosok perwujudan makhluk yang dipanggil Arsapun kesakitan dan menghilang tertelan kekuatan itu.

“Danan!” Teriak Paklek memperingatkanku. Sial! Arsa dalam bahaya! Aku berlari sekuat tenaga, paklek pun menyusul. Namun dalam wujud roh, ia tidak dapat berbuat banyak. Jauh di hadapanku terlihat sang kakek penari mencekik arsa dan mengangkatnya. Arsa tak berkutik, tenaga kakek penari itu begitu besar. “ARSAAA!” Teriakku. Tidak, aku tidak bisa kehilangan lagi seorang temanku. Kejadian ini mengingatkanku akan kematian Sena. Hal ini tak boleh terulang lagi. “Lepaskan! Kau akan menyesal jika melukainya,” Tiba-tiba Ki Bayu muncul dengan keris pusaka andalanya itu. “Ancamanmu sama sekali tidak membuatku gemetar… khekekhe,” Kakek itu meremehkan ucapan Ki Bayu. “Bukan aku. Kau akan segera mengetahuinya,” ucap Ki Bayu. Alih-alih menghadapi kakek itu dengan kerisnya, ki bayu justru duduk bersila seperti saat ia mencoba mengenali wayang arsa. Kali ini ia meletakkan keris pisaka itu di dahinya. “Dia membutuhkan bantuanmu. Muncullah sebelum dia mati..” Ucap Ki Bayu. Aku tak mengerti dengan apa yang Ki Bayu lakukan tapi… Deggg!!Tiba-tiba perasaan aneh menyelimuti tubuhku. Aku mencari asal kekuatan itu, namun tak ada wujud apappun yang terlihat. Sebuah tangan.. Kepulan asap hitam membentuk sebuah tangan muncul dari dalam tanah dan menangkap kakek penari itu dengan tiba-tiba. “Ohokk”Kakek penari itu tak mampu bereaksi, ia memuntahkan darah hitam dari tubuhnya saat tangan raksasa itu meremas tubuhnya. Arsa terjatuh, namun ia terlihat ketakutan dengan keberadaan tangan raksasa itu. “Siapa kau? Tak usah ikut campur.. Ohooekk” ucap kakek penari yang tak berkutik dengan keberadaan sosok itu. Wajar saja, kekuatanya begitu mengancam siapapun yang ada di tempat ini. Bahkan setan-setan yang mengepung desa ini pun pergi begitu saja, ketakutan dengan sosok itu. Tak ada jawaban, tak ada ucapan apapun. Sosok itu merasa kakek penari itu tak pantas untuk berbicara denganya. Tanpa sempat melakukan perlawanan, tubuh kakek penari itu pun hancur. Suara tulang-tulang yang patah dan teriakan kesakitanya memekakakan telinga. Brukk.. Tubuh itu terbuang begitu saja tak berdaya. Asap hitam meninggalkan tubuhnya yang mati dengan bola mata yang keluar dari tubuhnya yang hancur. “Danan, hati-hati..” Ucap Paklek.

Aku mengangguk dan berusaha mendekat dengan lebih hati-hati ke arah Arsa. Namun kekuatan dari sosok itu benar-benar menekanku. Mungkin aku harus bersiap memanggil Nyi Sendang Rangu. “Urusanmu denganku, Ki Buto! Jangan sakiti warga desa ini!” Ucap Arsa yang benar-benar tak berdaya dihadapan tangan raksasa itu. “Jangan Arsa!” Teriakku. Namun aku tidak sempat. Tangan itu lebih dulu menangkap Arsa dan mengangkatnya setinggi-tingginya. Ia ingin membanting arsa ke tanah. “Hentikan, Ki Buto! Jika kau mau melepaskan Arsa, Keris pusaka ini akan kupersembahkan untukmu,” Ucap Ki Bayu tiba-tiba. Aku terhenti, sepertinya Ki Bayu sudah merencanakan hal ini. Benar saja, burung api dari keris itu pun melayang dan menari-nari di sekitar sosok lengan Ki Buto itu. Seolah terkesima dengan keindahan itu, tangan itu pun melepaskan Arsa dan membiarkan tubuhnya nya jatuh di atas atap balai desa. Ki Bayu meletakkan keris itu di dekat Ki Buto, dan sosok itu menghilang bersama tangan hitam yang kembali berubah menjadi asap. Malam itu menjadi malam yang berat untuk kami. Berbagai macam kebetulan menyelamatkan kami. Setidaknya saat ini kami selamat. Namun sesuatu yang lebih besar pasti akan terjadi setelah ini. “Paklek, sepertinya aku harus ke desa Murti dan Marni. Semua ini berasal dari tempat itu,” Ucapku pada sukma paklek.

“Tunggu..” Tiba-tiba suara seseorang muncul bersama kabut pagi yang mulai datang. Suara langkah kecil yang berlompatan dari satu atap ke atap lainya terdengar dan terhenti tak jauh di tempatku berada. “Kliwon?” Ucap Arsa. Benar itu dia. Namun kali ini ia tidak sedang bersama dengan Cahyo. Teman baru kamilah yang ada bersamanya, Candramukti. “Tak ada yang bisa kalian lakukan walau datang ke desa itu. Kutukan dari tanah terkutuk itu tidak akan mudah dihilangkan,” Ucap Candramukti. “Kau yakin?” Candramukti mengangguk. Sepertinya ia memiliki rencana. “Takdir memang punya misterinya sendiri. Di semesta Bara, Cahyo sedang berada di desa itu. keadaan di sana jauh lebih mengenaskan. Kalian ke sana saat Cahyo sudah menemukan cara untuk menolong mereka.” Jelas Candramukti. Aku tak menyangka, bahkan di semesta lain pun Cahyo juga masih berada di garis takdir yang sama. Aku menoleh ke arah Marni dan Murti, aku takut mereka kecewa.

“Mungkin benar ucapan mas itu. Bila kita datang secara tiba-tiba tanpa persiapan, mereka bisa menghabisi warga desa begitu saja dengan mudah,” Ucap Marni. “Yang lebih berbahaya, saat ini gending leuweung sasar sudah berkumandang. Sesuatu yang sangat terkutuk sudah dimulai di hutan terlarang itu,” Ucap Candramukti. “Kalau gitu kita kesana,” ucapku. Saat itu paklek mendekatiku. “Paklek sudah menemui Ki Duduy, Leuweung Sasar sudah di segel sejak tragedi sebelumnya. Tidak ada satupun manusia yang diizinkan untuk masuk ke sana,” Ucap Paklek. “Tapi ini akan menjadi bencana besar, Paklek! Banyak nyawa yang dipertaruhkan!” balasku. Paklek terlihat bingung. “Benar, Ki Duduy juga sudah mengerti. Tapi Ia mengatakan sebaiknya kita tidak usah ikut campur dengan urusan di Leuweung Sasar. Hutan itu sudah punya penjaganya sendiri yang bahkan memasang nyawanya di depan hutan itu bagi siapa yang berani melewatinya,” Jelas Paklek. Aku mengingat keadaan terakhir kali kami menembus hutan terkutuk itu. Walaupun banyak tipu muslihat dan kematian di sana, tapi harus ada yang menghentikan semua ini sebelum terlambat. Aku menoleh ke arah Marni dan Murti. Desa mereka bisa saja menjadi korban pertama ketika tumbal untuk pagelaran itu dimulai. “Tidak bisa! Apapun yang terjadi, kita harus masuk ke hutan itu, Paklek! Kita harus hentikan semua ini! Apapun resikonya, dan siapapun yang harus kami hadapi! ”

BERSAMBUNG

Terima kasih buat teman-teman yang bersedia membaca part 3 ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close