Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TUMBAL "Lemah Mayit" (Part 4 END) - Tanah Para Mayat


TANAH PARA MAYAT (Sudut pandang Cahyo…) Apakah desa ini bisa diselamatkan? Akan lebih mudah jika desa ini diserang sekumpulan makhluk gaib, dan kami berjuang untuk mengusir setan-setan itu dari desa ini. Setelah itu masalah selesai. Tapi saat ini keadaan begitu rumit. Setan-setan di desa ini ada karena mereka, warga desa sendiri. Mereka mengundang setan-setan itu, memberi makan, dan membiarkan mereka menjadi bagian dari hidup mereka. Lantas bagaimana cara kami untuk menghentikan kegilaan ini. Ritual gila di pemakaman yang terus berjalan selama ratusan tahun seolah menjadikan desa ini sebagai tempat setan-setan itu mendapatkan makanannya. Pemujaan yang warga desa lakukan merupakan sumber kekuatan dari makhluk yang dikutuk itu.

Dan kini, seluruh desa membiarkan setan itu membunuh Mas Karto, Yatmo, dan Paidin. Kepala mereka jelas tergenggam di tangan makhluk terkutuk yang mereka puja dan seluruh warga desa masih melantunkan mantra-mantra pemujaan untuknya. “Asri, kamu harus hentikan ini, Sri! Setan itu sudah membunuh teman-teman kalian!” Dipta mencoba meyakinkan Asri. “Cukup, Mas! Dewa kami kalian anggap setan?! Mereka bertiga itu mati karena kamu, Mas! Jangan memutar balikkan fakta!” Balas Asri. Aku semakin khawatir mendengar jawaban dari Asri. Sepertinya usaha Dipta menghentikan warga desa tidak akan cepat. Whooosh!! Makhluk itu mencoba menghempaskan tubuhku, beruntung aku cukup cekatan menghindari serangannya.

“Hati-hati, setan itu bukan hal terburuk di desa ini. Ada sosok bernama Raden Girisangkur yang akan bangkit dari tanah terkutuk ini,” Ucap Candramukti. “Hah? Darimana kau tahu?” Tanyaku. “Di semestamu Danan juga berurusan dengan desa ini. Takdir kalian benar-benar gila!” “Apa? Di Semestaku? Apa Paklek dan Danan dalam Bahaya?” “Tenang, mereka sudah aman. Kita fokus pada desa ini dulu. Ku Ceritakan nanti.” Sial, kami saja belum mendapatkan cara untuk mengalahkan setan yang tidak dapat kami sentuh ini. Sekarang Candramukti malah memberi kabar yang tidak mengenakkan tentang keberadaan sosok lain yang lebih mengerikan. “Tolong Mas Dipta.. Matilah. Agar kami juga diijinkan untuk mati..” Rintih kepala Mas Karto. “Sakit.. Tolong matilah mas..” Kepala Paidin turut merintih kesakitan sementara kepala Mas Yatmo masih menjadi mainan makhluk itu.

Aku geram. Bagaimana caranya kepala itu masih bisa hidup tanpa tubuhnya. “Lihatlah kekejaman kalian!” Ucap Mbah Yasmin. “AAARRRGHHH KALIAN INI GOBLOK APA GILA SIH???!” Teriakku kesal. “AKU TIDAK SUDI MATI DI TANGAN MAKHLUK INI DEMI KALIAN! TAPI AKU JANJI AKAN MENYELAMATKAN JIWA KALIAN WALAU HARUS MATI! Mendengar teriakanku Dipta dan Danan terhenti dan menoleh sejenak ke arahku. “Hahaha! Jawaban yang bagus! Sebentar lagi aku selesai! Siap-siap!” Ucap Danan. Api putih membara membakar kuil batu yang menjadi tempat Danan meruwat tengkorak hitam itu. “Apa yang kau lakukan??!!” Teriak Mbah Yasmin. “Menyelamatkan desamu!” Balas Danan dengan lagaknya. Sungguh jauh berbeda dengan gelagat Danan yang kukenal. “DUSTA! Kalian adalah orang-orang terkutuk yang ingin memusnahkan desa kami!” Teriak Mbah Yasmin. “SUKMAGENI MENGAMUKLAH!!!” Teriak Danan yang terlihat sangat kesal dengan ucapan Mbah Yasmin itu. Seketika kerisnya menyala dan api putih yang membakar kuil itu menjalar membentuk retakan yang membara di seluruh tanah desa.

“A–apa? Apa yang kalian lakukan? Kalian hendak membakar desa kami?” Ucap warga yang mulai panik. Saat itu warga berhamburan, mantra-mantra mereka terhenti. Namun suara jeritan terdengar di sekitar mereka. “Aarrrghh.. hentikan siksaan ini!” “Lepaskan kami…” “Kalian orang-orang terkutuk!” Suara itu terdengar dari dalam tanah yang terbakar api dari Keris Sukmageni. Secara serentak tiba-tiba seluruh desa sudah dipenuhi makhluk-makhluk mengerikan. Pocong, mayat hidup, kepala melayang, dan tubuh-tubuh yang tidak utuh. “Apa-apaan ini, Danan?” Teriakku. “MBUH! Keluarin saja semua! Setan, Arwah gentayangan, dedemit, semua yang terikat di tanah terkutuk ini! KELUAR!!” Teriak Danan yang sepertinya sudah tidak mampu lagi menahan kesabarannya. Semua warga ketakutan, bau amis tercium pekat, suara tangisan, teriakan, semua melengking di telinga kami semua. Ini gila! Jumlah makhluk-makhluk itu bahkan berlipat-lipat dari jumlah warga desa. “Cuih!” Mbah Yasmin meludah.”Memangnya kenapa? Kami sudah terbiasa hidup berdampingan bersama mereka!” “Itu menurutmu! Raut wajah warga berkata lain!” Teriak Dipta. Memang benar. Mungkin warga desa sudah terbiasa melihat roh-roh yang melintas di sekitar mereka. Tapi walau begitu mereka pasti tidak menyangka bahwa selama ini mereka hidup bersama makhluk mengerikan sebanyak ini.

Danan yang sudah termakan emosi berjalan ke arah Sang Hyang Prawana itu. “Ini yang terjadi pada keluarga, saudara, teman, dan seluruh warga yang telah mati! Tanyakan sendiri pada mereka keselamatan apa yang diberikan oleh setan biadab itu!!” Teriak Danan. Gila, aku tidak menyangka Danan sampai berpikir seperti ini. Beberapa dari warga mulai mengenali roh-roh dan jasad yang berada di sekeliling mereka. “E–eyang?” Asri menatap ke seorang nenek yang memeluk kepalanya sendiri. “Jangan panggil aku eyangmu! Kamu membuatku seperti ini! Ini sakit Asri.. sakit… Jiwa eyang hanya menjadi bulan-bulanan mereka!” Rintih nenek itu “Kalian mempersembahkan kami pada setan! Kalian juga harus merasakan siksaan ini!” Wajah seluruh warga desa pucat. Mereka pasti tidak menyangka melihat pemandangan ini. Saat itu Mbah Yasmin terlihat kebingungan, dari situ aku bisa menebak siapa pemegang kunci dari segala permasalahan di desa ini. “Wanasura…” Sekali lagi kekuatan wanasura merasuk ke dalam tubuhku. Candramukti membentuk sebuah kabut yang menutupi tubuh Sang Hyang Prawana itu. “Rasakan desa busuk!!” Teriakku. Dhummm!!! Tanah pun bergetar. Sosok setan yang mereka anggap dewa itu pun terjatuh dan tumbang. Warga desa dan Mbah Yasmin tidak percaya dengan apa yang ada di hadapan matanya.

“Tidak mungkin? Tidak mungkin dewa bisa kau perlakukan seperti itu!” Teriak Mbah Yasmin melihat Sang Hyang Prawana terjatuh di tanah. “Hhrrrrr… Lanjutkan mantra kalian! Ini semua terjadi karena kalian!” Ancam Sang Hyang Prawana. Beberapa warga mulai ingin membaca mantra lagi. Namun mereka Ragu. “Kalian masih ingin menyembah makhluk itu? Konyol! Ada sosok Tuhan yang lebih berkuasa dan lebih layak untuk disembah!” Teriak Dipta. Warga desa terhenti, namun Sang Hyang Prawana semakin murka. “Manusia brengsek!!” Sang Hyang Prawana mengamuk dan mengincar Dipta. Namun sebelum itu terjadi, sekali lagi aku memukul tanah sekuat tenaga dan Setan itu terjatuh kesakitan. “Apa yang kau lakukan?” Mbah Yasmin masih tak percaya bahwa aku bisa mengimbangi setan itu. “Apanya yang tidak bisa disentuh? Sosok yang mengaku dewa itu hanya menukar keberadaanya dengan bayangannya. Akal-akalan bodohmu sudah kuketahui!” Balasku. Benar, aku menyadari itu ketika api dari Keris Sukmageni Danan menjalar di tanah. Bayangan itu seperti seolah mencari cara untuk menjauhi api putih yang menjalar itu. “Hahahaha! Berarti sejak awal kalian menginjak-injak dewa kalian sendiri!” Tawa Danan. “Bener juga,” Dipta sedikit mulai berani tertawa. Sudah cukup, aku harus segera menyelesaikan semua ini. “Mbah Yasmin, bawa panggil semua teman-temanmu! Kita selesaikan semua disini!” Ucapku. “Apa maksudmu?”

“Tidak usah berlagak bodoh! Panggil penjaga makam itu! Dan bila sosok Raden Girisangkur itu benar ada di sini, bawa mereka ke hadapanku!” Teriakku. Wajah Mbah Yasmin berubah kesal. Ia kini berdiri di sebelah Sang Hyang Prawana bersama setan-setan penghuni lemah mayit ini. Danan menghampiriku dan kami berdua berdiri berhadapan dengan mereka membelakangi warga desa yang saat ini masih kebingungan. “Cih! Keluar Ki Puger!” teriak Mbah Yasmin. Benar saja, sosok kakek penjaga makam yang sebelumnya berhadapan dengan kami muncul dari salah satu sudut desa. “Benar firasatku, seharusnya ku habisi saja mereka di makam, Prawana!” Ucap kakek yang di panggil Ki Puger itu. “Mana? Mana sosok yang kau maksud, Candramukti? Siapa? Raden Girisangkur?” Tanyaku. Aku mencari ke seluruh setan-setan itu dan sepertinya memang tidak ada sosok lain selain mereka. Candramukti terlihat berpikir keras. “Apa sosok itu tidak bersemayam di desa ini? Tidak, akar dari desa ini sama..” Gumam Candramukti. “Nggak usah dipikirin, Cahyo. Kalau dia muncul tinggal kita urus belakangan,” ucap Danan. Benar ucapan Danan. Saat ini mengurus semua makhluk yang berada di hadapan kami sudah cukup merepotkan. “Dipta, jaga warga desa. Biar aku tenangkan arwah-arwah warga desa ini agar tidak menjadi tumbal mereka lagi,” Perintah Danan. Dipta mengangguk, sementara Candramukti maju dengan mata tombak yang melayang di sekitarnya. Hal itu sedikit membuatku bernostalgia mengingat Pak Kuswara dan Mbah Wira. Mata tombak Candramukti pun melesat menembus kepala yang melayang dan setan-setan yang mengepung desa ini. “Aku urus setan-setan gentayangan ini,” ucap nya. “Heh! Tunggu! Terus aku yang disuruh ngelawan dewa dadungan sama pasangan kakek nenek uzur ini?” Protesku yang merasa terjebak. “Haha! Makasi lho, Cahyo!” Ledek Danan. Aku hanya menggeleng kesal melihat inisiatif mereka. Tapi mau bagaimana lagi. “Prawana, warga desa ini sudah terhasut. Mereka tak berguna lagi. Kita makan saja mereka!” Perintah Ki Puger. “Baik.. tapi aku butuh tubuh. Grrr!!!” Balas Sang Hyang Prawana dengan suara nafasnya yang berat. “Akan ku ambilkan satu,” jawab Ki Puger. Sratttt!!! Kejadian yang terduga tiba-tiba terjadi di hadapan kami. Tangan Sang Hyang Prawana mencengkeram tubuh Mbah Yasmin.

“Prawana! Jangan gila! Dia ibumu!!!” Teriak Ki puger panik, namun sosok makhluk hitam itu tak peduli. “Tangan…” Sratttt!! Setan itu memakan tangan nenek yang sudah berumur sangat tua itu. “Hentikan!! Sakit!!!” Teriak Mbah Yasmin. “Kaki…” Srattt!!! Darah bermuncratan dari tubuh Mbah Yasmin yang menjadi santapan makhluk itu. Benar saja, wujud hitam itu mulai memiliki bentuk yang jelas. Ia tidak lagi bersembunyi di balik bayangan dan mulai mendapatkan tubuhnya. “Enak!! Daging ibu enak! Kenapa kalian hanya memberiku daging sampah itu selama ini?” Aku bergidik ngeri mendengarnya. “Ya sudah jika itu maumu! Sekarang habisi mereka!” Balas Ki Puger yang seolah tidak begitu peduli dengan Mbah Yasmin. Ki puger pun mulai waspada. Ia pun meneteskan darahnya ke tanah sambil terus mengulang-ulang mantra yang tidak dapat kudengar dengan jelas. Ada sesuatu yang mengerikan yang berasal dari tubuhnya.

“Sudah kubilang jangan sia-siakan darahmu!!!” Teriak Setan Prawana itu. Baru saja selesai menyantap ibunya. Setan itu mencoba menangkap Ki Puger, namun ki puger sudah waspada dan mengelak menjauh. “Aku tak selemah ibumu! Kekuatanmu berasal dariku!” Ucap Ki Puger. Ki puger pun melompat dan meludahi wajah Prawana dan seketika wajahnya membara dengan api berwarna hitam. “Panasss!!!” Teriak Prawana. Aku tersenyum kecil. Ini hal bagus, ada perpecahan di antara mereka. “Heh! Serang! Ngapain diem aja!” Teriak Danan yang protes saat melihatku mengambil posisi duduk di atas batu sambil membenarkan posisi sarungku. “Lah? Sabar nonton dulu!” Tak!!! “Aduh!” Sebuah batu melayang tepat di kepalaku. “Kurang ajar kowe, Nan!!” Sepertinya Danan mulai kesal melihat tingkahku. Tapi yang kulakukan ini memang benar, daripada aku harus menghabiskan tenagaku, sebaiknya aku menonton drama keluarga dedemit ini. Sepertinya aku bisa menebak akhir dari perdebatan mereka. Ki Puger benar-benar sosok yang sakti. Seandainya ia tetap menggunakan ajian itu saat di pemakaman kemarin, mungkin kami akan kerepotan. “Aku ini Dewa! Kalian hanya alat untuk melahirkanku!!!” Teriak Prawana dengan penuh amarah. Aku menoleh sekilas ke arah warga desa. Saat ini sepertinya mereka sudah mengenali siapa lawan dan siapa kawan. “Asri! Dewamu ngambek tuh!” Ledekku. “Heh, Mas! Jangan gitu!” Bela Dipta. Aku hanya tertawa sambil menggeleng membayangkan bagaimana mereka memuja sosok setan yang ternyata kelakuannya seperti bocil ini. “Kalian harusnya sudah sadar kan kalau nggak bisa menandingiku,” Bukan berniat sombong, namun aku hanya mencoba memprovokasi mereka. “Cih! Bocah sombong! Kita urus urusan kita nanti, Prawana! Habisi dulu mereka,” perintah Ki Puger. “Baik..” Kini Prawana menurut. Kekuatan hitam yang begitu menekan kini mendekat ke arahku. Ia memimpin di hadapan Prawana untuk memulai seranganya. “Isi perutmu akan menjadi hidangan penutup Prawana!” Gertak Ki Puger. Aku bersiap dengan kuda-kudaku menghadapi serangan mereka berdua. Sraaaaatttt!!! Tangan setan prawana itu mengayun. Serangan mereka berdua tidak lagi sampai ke arahku. Craaat!!! Darah Ki Puger bermuncratan di tangan Prawana. “Terkutuk kau Prawana!! Terkutuk! Aku yang menciptakanmu! Aku yang memohon kelahiranmu pada penguasa Setra Gandamayit!!” Setan itu tidak peduli. Ia tidak menyia-nyiakan setetespun darah Ki Puger. Ia memerasnya memelintir tubuhnya hingga suara gemeretak tulang ki pugar terdengar.. “Aararrrgghhh!!! Nyawa Ki Puger pun melayang di tangan anak gaibnya itu sendiri. Darah Ki Puger kini menyatu dengan sosok terkutuk itu dan saat itu juga aura mencekam yang sebelumnya dimiliki Ki Puger kini berlipat-lipat memancar dari tubuh Setan Prawana itu.

“Sudah kuduga akan menjadi seperti ini,” gumamku. Sudah beberapa kejadian seperti ini terjadi di hadapan mataku. Aku ingat bagaimana Gandara Baruwa dulu memakan tubuh dukun yang membangkitkanya, atau Batara Naga yang yang memakan tubuh Ki Ronggo Gupolo dulu. Setan tidak memiliki rasa belas kasihan. Tidak ada yang namanya iblis patuh pada manusia. Tidak ada yang namanya manusia mampu memerintah iblis. Itu hanya tipu daya mereka yang memanfaatkan nafsu dan kebodohan manusia. Pada akhirnya mereka hanya akan bernasib mengenaskan. Entah saat masih hidup atau setelah mati. Bayangan Sang Hyang Prawana hilang, sepertinya ia kembali pada wujud aslinya sang setan yang sesungguhnya. Sayang sekali, padahal aku sempat berpikir menyerang bayangan nya dengan membabi buta pasti akan cukup asik. “Sudah?” Tanyaku. “Hrrrr… hr….” Nafas Setan Prawana itu terdengar begitu berat. “Terima kasih sudah menunggu…” “Untuk mati!” WHOOSSHHH!!!! Hembusan angin yang begitu kencang menerbangkan tubuhku hingga terpental. Seluruh warga desa pun tercerai berai tertiup hembusan angin itu. BLARRR!!! Petir menyambar bersama turunya hujan badai yang besar. Aku langsung menyadari bahwa cuaca ini adalah ulah Prawana. “Hentikan!” Aku melompat sekuat tenaga menembus badai dengan tenaga wanasura, Dhuaaggg!!! Pukulanku berhasil menjangkau tubuhnya, namun seranganku tak berdampak banyak padanya. Sebaliknya, ada sesuatu yang menyelimuti tubuhnya yang membuatku merasa terganggu. Setan Prawana itu pun menertawaiku. “Setan brengsek!” Aku berteriak untuk menguatkan kesadaranku. Dhuagg! Dhuagg!! Berkali-kali aku mendaratkan pukulan, seranganku hanya mampu membuatnya sedikit mundur tanpa membuatnya merasakan sakit. “Bodoh! Manusia bukan lawan untuk seorang dewa!” Setan Prawana itu membalasku dengan mengerang begitu keras hingga suaranya membuatku terpental. “Sial!!” Gerutuku. Aku kembali berdiri dan mencoba sekali lagi. “Dewa? Bahkan kerajaan demit Setra Gandamayit Pun sudah pernah kami hadapi!” Ucapku. Berkali-kali pukulan ku mendarat di tubuh makhluk itu. Walaupun kali ini aku bisa menyentuhnya dengan mudah, ternyata kekuatanku dan wanasura pun tak cukup untuk mengimbanginya. “Omong kosong!” Makhluk itu tak mempercayai ucapanku. Kali ini ia mencoba menangkapku, namun beruntung kelincahan wanasura masih lebih cepat dibanding tangan Prawana. Ia gagal meraih tubuhku. Badai semakin kencang menerpa desa ini. atap-atap bangunan pun beterbangan dan guntur bergemuruh. “Gila, kekuatannya menggerakkan alam,” Ucap Candramukti. Setan Prawana itu menatap ke arah warga desa dan mulai mengincar mereka. “Karena kalian aku harus memanen semua manusia di desa ini malam ini!” ucapnya. “Jangan bercanda!” Dhuaggg!!! kali ini pukulanku mendarat di wajahnya. Aku tak memberinya kesempatan untuk bergerak ke arah warga desa. “Minggir!” Sebuah pukulan menghantam tubuhku. Aku menahannya dengan kedua tanganku, namun aku masih terpental hingga tubuhku menjatuhkan rumah warga. Aku ingin bergegas berdiri untuk kembali menghadapinya, namun aku tertahan dengan sesuatu yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Tunggu sebentar, Le… Sebentar lagi..” Suara seorang nenek terdengar di belakangku. Aku menoleh dan mendapati seorang nenek berambut putih panjang di sana. “Ma–maksud nenek?” “Teman kecilmu sedang melakukan sesuatu..” Sepertinya aku mengerti apa yang nenek itu maksud. Yang ia maksud pasti Kliwon. Walau begitu aku masih harus menahan makhluk itu agar tidak menyentuh warga desa.

Saat langit bergemuruh, tiba-tiba kliwon melompat dari atas pohon dan berhadapan dengan sosok raksasa itu. Ada sesuatu yang dibawa oleh Kliwon. Sebuah benda menyerupai cawan batu. “Kliwon? Apa itu?” Tanyaku. Belum sempat memahami maksud kliwon, Setan Pawana itu terlihat marah. Sepertinya benda itu berhubungan dengan didinya. Tang… Tang… Suara gendang terdengar di sela-sela rintikan hujan yang semakin deras. Sang kakek penabuh gendang itu tiba-tiba muncul dan duduk dengan santainya di atas atap rumah tempatku terjatuh tadi. “Cawan batu itu tempat pernikahan darah antara Mbah Yasmin dan Ki Puger. di tempat itu ditemukan pasti ada kuburan janin Prawana,” ucap kakek penabuh gendang itu. Aku melihat Danan yang urusannya sudah hampir selesai menenangkan roh-roh itu. “Danan! Jauhkan setan itu dari warga desa!” Teriakku.

“Heh! Mau kemana?!” Aku tak menjawab dan hanya meminta kliwon menunjukkanku dimana tempatnya menemukan cawan batu ini. “Oh! Tenang Cahyo! Warga desa aman disini!” Balas Danan Lagi. Aku sedikit curiga dengan perkataanya itu. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Setan Prawana itu memilih untuk mengejarku. Sepertinya ia mengetahui niatku. “Sial kau, Danan!!” Braaakkk!!! Brakkkk!!! Hantaman tubuh setan besar itu menghancurkan rumah yang kulewati, bahkan dahan-dahan pohon besar pun ditabrak olehnya. “Cepat, Kliwon!” Teriakku. Kliwon menuntunku menuju hutan yang mengarah ke tempat ritual. Kami pun menerobos hutan itu sambil menjaga jarak dari setan Pranawa yang menyadari niat kami. Sayangnya menjauh saja tidak cukup. “Menjauh dari tempat itu! Hutan ini kuburan kalian!” Teriak Setan Prawana itu bersamaan dengan mengamuknya badai dan longsor di hutan ini. Sial, pohon-pohon pun tumbang imbas kekuatan Prawana itu. Kami pun terjebak di tengah hutan yang tertutup pohon-pohon tumbang ini. Tapi aku tak boleh terhenti disini. Sementara Kliwon mencari celah, aku dengan kekuatan Wanasura menyingkirkan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalan kami. Aku sempat mengira Kliwon akan membawaku ke altar di tempat pemakaman, namun ternyata aku salah. Ia membawaku masuk lebih dalam lagi hingga menemukan sebuah gua yang cukup besar. “Ternyata Ki Puger mengawasi pemakaman itu dari sini…” ucapku. Aku melihat gua ini difungsikan sebagai tempat tinggal. ada bekas obor, pakaian-pakaian kotor, hingga peralatan makan. Di depan gua terdapat sebuah batu besar tempat Ki Puger meletakkan sesajinya. Di tempat itulah Kliwon berhenti. “Bagus, Kliwon!” Pujiku. Dari arah hutan, Setan Prawana itu menerobos dengan penuh amarah. Aku membalasnya dengan senyum sambil mengalirkan kekuatan wanasura ke kedua tanganku. “Di sini kan tubuhmu?” ucapku. Kraaaakkk!!!! Batu itu hancur berkeping-keping. Petunjuk kliwon benar, ada sisa-sisa kain kafan dan tulang-tulang kecil terkubur dan terawetkan di bawah batu itu. Aku mengambil sisa-sisa janin ritual itu dan membawanya ke dalam gua dan membakarnya. “Semoga dengan ini semua selesai!” Ucapku. Tepat sebelum Setan Prawana itu mencapai gua ini tiba-tiba ia terhenti. “MANUSIA BRENGSEK!!”

Kekuatan hitam yang didapatkan dari darah ayahnya menguap keluar dari dalam dirinya. Tubuhnya yang ia dapat dari memakan tubuh Mbah Yasmin pun menghilang. Sisa-sisa tubuh kedua makhluk malang yang melakukan perjanjian dengan iblis itu pun keluar dari tubuh Prawana. Kini setan itu tak lagi memiliki tubuh. “Aku masih bisa membunuhmu!” Sosok itu pun menggunakan sisa kekuatannya dengan memadatkan asap hitam yang membentuk tubuhnya. Udara di sekitar gua ini pun menghitam dan rasa sakit mulai menjalar di seluruh tubuhku. Itu baru permulaan, setan itu ingin menghantamkan gumpalan asap hitam itu ke arahku. “Lari, Kliwon!” Sial, aku terjebak di dalam gua ini. Dengan kecepatan wanasura pun makhluk itu masih dapat dengan mudah menyergapku di luar gua ini. Sratttt!!! Sratt!! Srattt!!! Di tengah kebingunganku tiba-tiba kilatan cahaya putih melesat menerjang berkali-kali ke tubuh Setan Prawana itu. Gumpalan asap itu menghilang. Aku mulai bisa melihat apa yang terjadi di sana. Itu Roh Danan. “Danan hati-hati! Asap itu membawa kutukan!” Teriakku. Namun ia tidak peduli.

Berkali-kali asap itu membakar, membusukkan, hingga melukai tubuh rohnya, ia tetap kembali pulih. “Si bodoh itu berhasil menggunakan jurus andalannya lagi,” gumamku sambil tersenyum. Danan membiarkan tubuhnya terbakar dengan kekuatan api keris sukmageni sementara rohnya berada disini menghabisi Setan Prawana dengan kekuatan keris ragasukmanya. Pemandangan itu membuatku yakin, bahwa seharusnya memang Dananlah yang akan menghentikan bencana di semesta ini. Jika itu benar, tugasku hanya memastikan bahwa ia menyadari takdirnya itu. Blarrrr!!! Roh setan itu musnah dengan serangan bertubi-tubi dari Danan. Roh nya melayang dan mencari keberadaanku. Saat itu aku hanya mengangkat tangan dan memberikan jempol memuji kehebatannya. Hujan mulai berhenti, langit pun kembali tenang dan beberapa saat kemudian matahari mulai muncul seolah menandakan akhir dari malam mengerikan ini. ***

Pagi itu dipenuhi dengan isak tangis warga. Bukan karena bangunan-bangunan yang hancur ataupun korban berjatuhan. Namun tangis itu membawa penyesalan yang mendalam pada seluruh warga desa. Mereka melihat sendiri bagaimana nasib keluarga, saudara, sahabat, leluhur, dan orang-orang yang mereka kenal setelah kematiannya. Mereka sendirilah yang membuat orang-orang yang mereka sayangi menjadi santapan dedemit yang mereka sembah. “Eyang, maafin Asri…” “Karto, Paidin, Yatmo.. kali ini kami akan memakamkan kalian dengan selayaknya,” “Tidak.. ritual itu tidak boleh terjadi lagi…” Kalimat-kalimat penyesalan itu terdengar dari mulut warga desa yang terhasut tipu daya iblis selama turun temurun. Aku melihat Dipta disana. Ia menatap warga desa dengan iba. Tak jarang ia menghibur beberapa warga yang hanyut dalam penyesalan. Sebelumnya ia bertanya. Warga desa tidak pernah tahu seperti apa kepercayaan yang benar. Mereka hanya menerima kepercayaan ini turun temurun dari leluhurnya. Benar dan salah benar-benar abu-abu di mata mereka. Lantas apakah warga desa berdosa atas ini? Yang aku tahu, Tuhan itu maha adil. Ia selalu memiliki cara untuk menyampaikan jalan yang benar kepada manusia se terpencil apapun itu. Oleh karena itulah nabi-nabi diturunkan. Para pengikutnya, murid-muridnya, kitabnya akan menyebarkan bagaimana seharusnya jalan hidup sebagai seorang manusia. Saat melihat keberadaan makam-makam dekat gubuk itu, akupun merasakan hal itu. Bisa saja keberadaan mereka adalah jalan Tuhan untuk sedikit menyadarkan warga desa bahwa ada ajaran lain selain ajaran yang mereka anut. Mungkin sebagian dari mereka sudah ada yang merasakan pergulatan batin dan merasakan keanehan dari ajaran yang mereka anut, namun mereka takut dengan tradisi mereka. Aku merasa bahwa Dipta benar-benar merasa kasihan dan memikirkan desa ini. Aku tak ingin ikut campur dulu dengan kegelisahan warga desa. Biarkan saja mereka melampiaskan kesedihannya terlebih dahulu. Saat ini aku, Danan, dan Candramukti penasaran dengan beberapa sosok yang kini berada di hadapan kami. Nenek di rumah Mbah Yasmin, pemain gendang, dan penari tanpa kepala.

“Jadi, siapa sebenarnya kalian? Apa hubungan kalian dengan keris pusaka mayit itu?” Tanyaku. TANGG!!!! Saat itu kami bertiga kaget berjamaah dengan suara gendang yang dimainkan di rumah mbah Yasmin itu. “Kek! Jangan bercanda!” Protes Danan dengan muka kesal. “Khekehkhe!Mumpung masih hidup banyak-banyak bercanda! Kalau sudah mati bercandanya nakutin! Khekehkehe!” Tawa kakek itu puas. Aku kesal, tapi ucapan kakek itu ada benarnya juga.

“Jangan kira desa ini menjadi mengerikan karena keris bernyawa itu. Desa ini memiliki sejarah kelam sejak awal,” Ucap nenek berambut putih panjang itu. “Lemah mayit ya, Nek?” Tanya Danan. “Benar, keris itu hanya memanfaatkan kekuatan hitam dari tempat ini,” Benar ucapan nenek itu. Lemah mayit adalah sumber daya gaib yang besar untuk keris itu menghimpun kekuatan. “Kami penghuni desa ini jauh sebelum keris itu datang dan menjadikan kepala desa ini menjadi korban pertamanya,” ucap Penari itu. “Kalian diam saja?” Tanyak. “Khekehke! urusan keris itu hanya dengan manusia. Sesama setan dilarang saling menyenggol,” ucap kakek itu. “Bohong,” bantahku. “Khekehke… ketahuan ya?” Nenek itu melanjutkan ceritanya. Sepertinya ia lebih bisa diajak bicara dibanding kakek-kakek yang senang bercanda itu.

“Mereka takkan berani mengusik kami. Kamilah penguasa lemah mayit ini yang sebenarnya,” ucap sang nenek. Seketika kekuatan yang besar menekan kami di rumah ini. Suasana tiba-tiba mencekam dan membuat bulu kuduk ku berdiri. Ketiga sosok itu kini terlihat begitu mengerikan. Seketika kami bertiga melompat dari posisi kami dan waspada. Mereka bertiga benar-benar bukan makhluk biasa. “Sudah! Mereka ketakutan tuh, khekheke,” Ucap kakek pemain gendang itu. Sang nenek pun tersenyum dan keadaan di rumah ini kembali seperti semula. “Ka–kalian penguasa tanah ini?” tanyaku. “Nggak percaya? Tanya saja sama penariku! Khekhekhe!” Tawa kakek itu lagi. “Nggak lucu kek! suruh nanya sama yang nggak punya kepala,” kesal danan. Sepertinya Danan di semesta ini kesabaranya hanya setipis tissue. Kakek itu malah tertawa kencang melihat reaksi Danan. Sepertinya raut wajah kesal danan adalah hiburan yang menarik untuknya.

“Soal Raden Girisangkur…” Nenek itu memulai lagi ceritanya. Nenek itu menceritakan bahwa apa yang dikatakan Candramukti tidak salah. Memang ada sosok besar yang bersemayam di tanah ini sejak ratusan tahun yang lalu. Keberadaanya lebih dulu sebelum mereka menjadi penguasa Lemah Mayit. Namun saat keris pusaka mayit mendapatkan kekuatannya, ia memanfaatkan Jasad raden Girisangkur. Kekuatan yang seharusnya membangkitkan jasad itu diserap dan memperkuat keris pusaka itu. dengan kekuatan Raden Girisangkur, secara natural setan-setan pengikut Raden Girisangkur pun patuh pada keris pusaka mayit itu. Kini semuanya mulai jelas. Keris itu memang membuat perbedaan signifikan antara semesta ini dan semestaku. “Kenapa kalian diam saja? bukankah sebagai danyang kalian mempertahankan tempat kekuasaan kalian?” Tanya Candramukti. “Kami tidak diam. Ada satu lagi yang merupakan bagian dari kami. Ia meninggalkan desa untuk membawa manusia lain ke tempat ini. Hal itu sudah kami lakukan bahkan sebelum keris itu datang..” Ucap nenek itu. “Untuk apa?” Aku penasaran. “Menyadarkan warga desa..” Aku cukup kaget mendengar pernyataan itu. Mereka pun menjelaskan bahwa tanah terkutuk tidak harus selamanya terkutuk. Seharusnya ketika manusia yang meninggali sebuah tempat melakukan hal baik dan rajin mendoakan tempat mereka tinggal mungkin bisa saja kutukan itu akan pergi. “Kami juga ingin tenang, tapi kami harus memastikan bahwa seluruh kutukan di tanah ini sudah pergi lebih dulu,” ujar kakek pemain gendang itu. Mendengar kisah itu aku pun bertatapan dengan Danan. tak kusangka kami akan mendengar kata-kata itu dari makhluk gaib. “Seandainya keris itu tidak datang, mungkin ajaran sosok ulama yang datang bersama seekor kucing hitam itu sudah menyebar dan mengubah desa ini…” ucap nenek itu lagi. Mendengar ucapan itu aku jadi teringat akan beberapa teman yang merupakan murid dan keturunan dari ulama dengan ciri-ciri serupa. Mungkin sosok mereka juga ada di semesta ini. Tak banyak lagi yang bisa kami gali dari mereka. Yang pasti aku dan Danan sudah mendapat cukup petunjuk untuk perjalanan kami berikutnya.

Seharusnya warga desa ini sudah menyadari kesalahanya dan bisa memperbaiki kehidupannya. Walaupun aku juga tahu satu fakta bahwa keberadaan desa ini sebagai Lemah Mayit tak bisa hilang begitu saja. Mungkin saja akan datang lagi setan-setan yang ingin memanfaatkan itu, namun apabila warga desa tetap berpegang teguh pada ajaran Sang Pencipta aku yakin desa ini akan terlindungi dengan aman. Candramukti sudah menghabiskan waktu cukup lama di semesta ini. Waktunya sudah tidak banyak, dan kali ini sepertinya aku harus ikut dengannya untuk sementara waktu. “Kapan kamu kembali lagi?” Tanya Danan. “Tidak lama. Tenang saja, aku sudah membuat daftar nama orang-orang yang mungkin juga hidup di semesta ini. Dan mereka sahabat yang baik dan dapat diandalkan,” Jawabku. Aku memberikan sebuah kertas berisikan nama-nama dan petunjuk dari teman-teman yang pernah berjuang denganku di berbagai bencana selama ini. Mereka tersebar dari sudut barat pulau jawa hingga pulau Bali. Semoga saja mereka masih hidup dan Danan bisa meyakinkan mereka. Danan membaca catatanku, ia cukup kaget melihatnya. “Pelintas alam, penguasa ilmu leak, penyintas ilmu rawarontek, keturunan Darmawijaya? I–ini nggak bercanda kan? Orang-orang sakti ini benar ada?” Tanya Danan. Aku mengangguk. “Benar, dan mereka semua orang baik yang bahkan rela bertaruh nyawa dengan kita.” Ucapku. “Eh tunggu! Catatan khusus untuk nenek penyintas ilmu rawarontek itu dibaca ya! Salah-salah kamu bisa babak belur!” Danan mengernyitkan dahi mendengar perkataanku, namun seharusnya catatan-catatanku sudah cukup untuk memandunya mengumpulkan Pendekar Jagad Segoro demit di semesta Bara. “Terima kasih. Melihat nama sambara di salah satu dari nama ini, mungkin aku juga bisa mencari tahu jejak keberadaan ibu,” Saat itu Dipta menghampiri kami dengan membawa semua perlengkapanya. Sepertinya ia juga sudah siap untuk meninggalkan tempat yang pasti tak bisa ia lupakan ini. “Terima kasih, Mas. Tanpa kalian mungkin saya akan jadi bagian dari setan-setan itu,” Ucap Dipta. Aku menepuk pundak dipta sekaligus memuji keberaniannya.

“Kalian hidup di bumi yang kejam, maka jadilah air mengalir yang tak goyah dengan berbagai rintangan,” Ucapku. Dipta mengangguk. Kami pun berpisah setelah mengantarkan Dipta ke jalur yang aman. “Cahyo! Saat kau kembali, aku pasti sudah memiliki teman-teman yang kuat sepertimu!” Teriak Danan. Aku tak menoleh dan hanya mengangkat tanganku menjawab pernyataan itu. Aku, kliwon dan Candramukti pun masuk kedalam kabut yang dipanggil oleh kekuatan Candramukti. Mau tidak mau aku harus kembali. Danan, Paklek dan semestaku saat ini sedang membutuhkanku. ***

EPILOG (Sudut pandang Dipta) “Kowe mudun ning kene wae yo, Le…” (Kamu turun di sini saja ya, Nak…) Tiba-tiba suara seorang kakek terdengar dekat di telingaku. Seketika aku tersentak dan jantungku berdegup kencang. Suara tanpa wujud itu membuatku seluruh tubuhku merinding di dalam bus yang mulai terasa aneh ini. Aku pun beranjak dari kursiku, mengambil tas yang diletakkan di ruang kecil di atas kursiku. Aku mengenakan tas itu di punggungku dan melangkah dengan ragu menuju pintu yang terbuka itu. Kakiku sedikit gemetar. Perasaan yang tak biasa menyelimutiku ketika para penumpang yang sebelumnya kulihat tengah tertidur kini menatap ke satu arah, ke arahku. Wajah mereka pucat, mereka hanya menatap dengan raut wajah yang datar. Jelas ada sesuatu yang tidak beres dengan keadaan ini. Aku pun mempercepat langkahku dan turun meninggalkan bus itu. Hanya hutan dan jalanan sepi di tengah gelapnya malam. Namun setidaknya, yang kulakukan adalah keputusan yang tepat. Setidaknya untuk saat ini. Tepat saat pintu bus itu tertutup, dari jendela tak lagi terlihat penumpang-penumpang yang menatapku dengan wajah pucat. Dari luar terlihat kursi-kursi penumpang itu diisi oleh sosok pocong yang kini menatapku dengan matanya yang menghitam.

Rasa takutku semakin menjadi, dan aku hanya mampu menggenggam sebuah benda yang terkalung di dadaku sambil membacakan beberapa doa yang kubisa. Bus itu pun menutup pintunya dan berjalan meninggalkanku di pinggir hutan yang begitu gelap. Tepat saat bus itu pergi, samar-samar terlihat seorang kakek berpakaian surjan lusuh dengan rambut putih yang panjang. Ia menatapku dari seberang jalan sambil tersenyum tanpa suara. Saat itu aku pun sadar bahwa aku belum lolos dari desa itu. Desa yang dipenuhi oleh manusia dan makhluk-makhluk terkutuk. Desa yang menginginkanku menjadi bagian darinya. Namun sebenarnya aku sudah menyadari sesuatu saat aku meninggalkan desa itu tadi. Desa itu membutuhkanku. Di Ibukota aku hanya seorang pria yang menjadi beban masyarakat, sementara di kampung mungkin hidupku tidak akan berubah. Tapi di desa ini, mungkin aku bisa mengenalkan warga desa tentang bagaimana kehidupan yang disiapkan Sang Pencipta untuk mereka umat-umatnya. Mungkin aku bisa sedikit mengajarkan mereka bagaimana cara ibadah yang tepat dan bagaimana cara perilaku sesama manusia yang diharapkan oleh Tuhan.

Mungkin aku bisa menjadi seseorang yang membuka jalan kepada desa yang dikutuk itu untuk menjadi desa yang penuh berkah. Kelak saat Mas Cahyo kembali, ia akan melihat desa ini sebagai desa yang nyaman untuk kami saling bercerita. Aku menatap kembali kalung yang kukenakan. Ini pemberian Asri, ia memberikan kalung ini agar aku tidak melupakan desanya dan agar aku teringat untuk kembali ke desanya setelah berhasil membersihkan masa lalu desanya itu. Tapi tak kusangka, aku akan kembali secepat ini. Tangg!! Suara gendang terdengar dari kakek berpakaian surjan yang sudah menungguku di seberang jalan. Ia tersenyum melihat reaksiku. “Ya sudah, Kek! Saya akan tinggal di sana lebih lama! Lain kali nggak usah nakut-nakutin pake setan sama pocong-pocong di bus tadi!” Ucapku pada Kakek pemain gendang itu. Ia pun memainkan gendangnya lagi sepanjang perjalananku kembali ke desa. Sang penari tanpa kepala pun muncul dari hutan mengikuti irama gendang yang dimainkan. “Yang terjadi di bus tadi bukan bercanda. Setan-setan, pocong-pocong, itu akan terus ada dan semakin banyak jika tidak ada yang menuntun warga desa ke jalan yang benar.. Khekehke” Aku menelan ludah mendengar ucapan kakek pemain gendang itu. Saat itu aku hanya bisa menghela nafas menerima takdir ini. Yah, aku ikhlas.. Mungkin aku harus memperkenalkan ulang tentang diriku. Dipta Radita, Itu adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku dengan harapan bahwa aku akan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Tapi sayangnya, keadaanku saat ini masih berbanding terbalik dengan niat mereka menyematkan nama itu. Pengangguran, pengamen, anak jalanan. Tapi itu adalah masa laluku. Mungkin aku bukan orang sukses seperti harapan orang-orang. Tidak banyak uang, tidak punya rumah dan mobil mewah. Tapi aku bisa memperkenalkan diriku dengan bangga saat ini. Aku adalah Dipta Radita, seorang pria yang mencoba menuntun warga sebuah Desa terkutuk untuk kembali pada ajaran Sang Pencipta. Dan aku yakin, kelak orang tuaku akan bangga dengan pilihanku ini.
(DESA TUMBAL TAMAT)

Terima kasih buat teman-teman yang bersedia menikmati cerita ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close