Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 1) - Topeng Nyawa

Mari merayakan kematian di tengah pementasan para mayat. Nikmati semua yang bernyawa, ludahi semua yang bertaqwa. Pagelaran terkutuk ini hanya untuk penghuni neraka...


PROLOG - Raksasa di Balik Kobaran Api Binar purnama menerangi suara gending gamelan yang mengiringi sebuah pementasan wayang. Seorang dalang memainkan dengan menegangkan kisah pewayangan yang membuat seluruh penontonya terpukau. Setiap wayang yang dimainkan seolah memiliki nyawa dan berlaku layaknya tokoh yang diceritakan pada lakon yang dimainkan. Ada jiwa yang dimasukkan kedalamnya, jiwa seorang dalang yang menelusuri jejak kitab-kitab pewayangan selama berpuluh-puluh tahun hingga bisa menampilkan sehebat itu pementasan itu. "Bapak keren ya, Bu!" ucap seorang anak yang mengagumi permainan ayahnya di atas panggung. "Iyo le, tapi ini sudah lewat tengah malam. Kamu tidur ya," balas ibu dari anak itu. "Emoh bu, Arsa mau nonton bapak sampai selesai," bantah anak itu. "Heh, besok kamu sekolah. Sebentar lagi aja ya, habis itu pulang sama ibu," rayu ibunya. Anak itu memasang muka cemberut, namun ia tahu kalau ia tidak bisa membantah perintah ibunya itu. Alunan gending gamelan masih terdengar sayup-sayup dari rumah mereka. Anak itu tertidur bersama dengan ibunya yang setia menemani di sebelahnya. Ada sebuah mimpi yang dijaga oleh sang ibu, tentang seorang anak yang bercita-cita meneruskan mimpi ayahnya membawa kebajikan budaya warisan leluhurnya ke seluruh penjuru Nusantara. ... "Bu! Bu Arimbi! Buka Bu!!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berteriak sembari menggedor pintu rumah. Ibu dan anak itu terbangun dan mengumpulkan kesadaranya. Ia melihat cahaya matahari masih malu untuk menembus tirai jendela kamarnya. Merekapun segera menghampiri asal suara itu dan mencari tahu maksud dari orang itu. "Pak Joyo? ada apa, Pak?..." Belum sempat menyelesaikan pertanyaanya, Ibu itu melihat kobaran api dari arah pementasan. "Bu? itu api apa, Bu?" Tanya Arsa yang mulai panik dengan menggenggam baju ibunya itu. "Pa—panggung, panggung dan gubuk sekitar pementasan kebakaran, Bu! Cepat pergi, api akan sampai ke tempat ini!!" teriak orang itu. Ucapan Pak Joyo seketika membuat Arimbi panik. Iapun menggendong Arsa dan mendekat ke arah panggung. "Bapak!! Bapak!!" Teriak Arimbi sembari berusaha melindungi Arsa dari panasnya api. "Arimbi, sudah... kita harus segera pergi, api mulai menyebar" ucap salah seorang warga. "Tapi.. Suami saya! Suami saya dimana??!" Beberapa warga saling bertatapan, wajahnya seolah memberi jawaban buruk atas keadaan suami Arimbi. "Ma—maaf Arimbi, Ki Darmo Suseno gagal melarikan diri.." balas salah seorang warga. Seketika tangis Arimbi meledak, ia segera berlari menuju panggung namun beberapa warga memaksa menariknya untuk menjauh. Kobaran api sudah tidak dapat dipadamkan, rumah-rumah kayu yang mendominasi desa menjadi santapan lezat untuk api yang siap menghanguskan seluruh desa. Arsa menahan tangis di gendongan ibunya. Ia terus menatap panggung tempat semalam ia menyaksikan kehebatan ayahnya. Tapi ada sesuatu yang terus membuatnya menatap api itu begitu lama.. Dari balik api yang melahap seluruh desa, Arsa seolah melihat bayangan sosok raksasa besar yang tertawa di tengah kobaran api. Sosok raksasa yang di kisah pewayangan sering disebut dengan nama Buto.. Entah itu halusinasinya atau tidak, tapi samar-samar ia melihat seseorang sedang berdiri seorang diri di hadapan makhluk itu dengan menggenggam keris di tanganya. Sekilas sosok itu menoleh dan menatap Arsa dari jauh. "Bapak pamit yo, Le..." ***

ANAK-ANAK TERKUTUK Suara langkah kaki terdengar melangkah dengan terburu-buru di dalam hutan. Mereka harus terus berlari hingga terengah-engah di jalur hutan yang sulit dilalui oleh manusia. Mereka berlari demi sesuatu yang berharga. Nyawa mereka. “Mas, bener kan? Mendingan kita tetap tinggal di desa saja?!” Ucap seorang wanita yang menyesal atas keputusan yang telah mereka perbuat. “Marni, tinggal di desa pun percuma. Kita hanya menunggu giliran untuk mati berikutnya!” Jawab seorang pria yang berlari bersamanya. “Paling nggak, kita nggak mati sekarang, Mas. Marni takut..” Pria itu menoleh ke belakang sejenak dan tak lagi melihat sesuatu yang mengejarnya. Ia mengambil sebatang bambu tempat mereka menyimpan air dan meberikan pada adik perempuanya itu. “Ini, kamu minum dulu. tenangin diri kamu..” Mereka adalah Marti dan Murni. Kakak beradik remaja dari salah satu suku yang hidup di pedalaman desa di hutan belantara di sudut pulau Jawa. Marni mulai mengatur nafasnya. Ia mulai tenang setelah beristirahat sejenak. “Apa kita melakukan keputusan ya tepat, Mas?” Marni mulai ragu. “Mas Janji. Walaupun Mas harus mati, Mas akan melepaskan desa dari kutukan makhluk itu. Desa kita masih akan hidup lebih dari seratus hari! Tidak seperti yang dikatakan oleh makhluk terkutuk itu!” Marni mengangguk, namun belum sempat membalas ucapan itu, tiba-tiba dari pepohonan mendeka sosok yang membuat mereka kembali gemetar. “Kepala itu lagi, Mas!” Suara Marni gemetar. “Lari! Jangan nengok ke belakang!” Mereka berdua pun melanjutkan pelarianya. Sambil menembus hutan, Murti melemparkan beberapa rempah yang ia bawa dan dipercaya mampu menghalau makhluk yang mengejar mereka walau hanya sesaat. “Kepala-kepala itu makin banyak, Mas!” “Jangan dilihat! Sebentar lagi kita sampai ke sendang. Kata kamituo, mereka takut dengan air dari sendang itu!” Suara tawa cekikikan terdengar dari seluruh penjuru hutan. Kepala-kepala tanpa tubuh itu melayang menembus pepohonan mengincar dua nyawa yang belum ingin menyerah itu. “Khikhikhi… jadi seperti kami saja, Nduk! Kaliang tidak butuh tubuh itu lagi,” Sosok kepala itu berbisik saat mendekat ke telinga Marni. “Pergi!! Pergi!!” Tak jauh dari mereka terlihat sebuah sendang yang tertutupi ilalang yang tinggi. Ada sedikit ruang tak ditumbuhi tumbuhan besar yang membuat cahaya bulan menerangi sendang berair tenang itu. “Itu, Mirna! Itu sendangnya!” Teriak Murti. Kala itu Mirna tidak menjawab. Sebaliknya, langkahnya melemah. Murti menoleh dan melihat leher adiknya itu sudah terlilit rambut, usus dan berbagai bagian tubuh dari kepala-kepala yang berhasil menangkapnya. “La—lari, Mas!” Ucap Marni dengan wajah yang mulai pucat. “MARNI!!!” Murti murka! Ia melempar sisa serbuh rempah yang ada di tas rotanya ke kepala-kepala itu. Namun bukanya pergi, kepala-kepala itu terlihat meledeknya. “Lari, Mas! Khikhikhi..” “Marni mati ya, Mas…” “Mas ikut mati, ya…” Kepala-kepala itu meniru ekspresi Marni sambil menarik kepala marni untuk memisahkannya. “Jangan!! Jangan!!! Lepaskan!!” Murti memeluk tubuh adiknya itu dan menahan kepala Marni agar tetap di tempatnya. Namun makhluk itu semakin banyak mendekat. Kali ini tidak hanya Marni, kepala-kepala itu sudah mengikat leher Murti untuk memisahkannya juga dari tubuhnya. “La—ri, Mas…” Marni masih berusaha berbicara. Murti meneteskan air matanya menyesali keputusannya. Karenanya adiknya kehilangan nyawa, dan ia pun tak sanggup hidup bila hal itu terjadi. Srattt!! Seketika Murti merasakan perasaan yang berbeda. Ia membuka mata dan semua begitu gelap. Ia tersadar bahwa tubuhnya dan sang adik terlilit oleh sebuah benda seperti selendang yang berwarna kuning. “Jangan ikut campur, mereka mangsa kami..” Suara kepala itu terdengar sedikit menjauh. “Kalian yang jangan berani mengusik wilayahku. Saat berada di tempat ini, mereka adalah mangsaku..” Ada suara seorang perempuan yang cukup berat menjawab kepala-kepala itu. Murti berhasil melihat wajahnya saat selendang itu mulai terlepas, namun selendang itu masih terlilit di tubuh mereka seolah menjaga mereka dari setan berwujud kepala buntung itu. Kepala-kepala itu menjauh, namun ada satu bayangan hitam dari sosok makhluk menyerupai manusia melayang mendekat. Murti dan Marni mengenalinya dan saat itu mereka berdua gemetar. Sepertinya mereka tidak menyangka sosok itu akan mendatanginya sendiri. “Jangan harap kalian bisa pergi! Kutukan kalian nyata. Tempat manapun yang kalian datangi akan menjadi tempat kami mencari mangsa!” Murti gemetar, namun ia lebih khawatir dengan Marni yang tak henti-hentinya terpaku dengan sosok itu. trauma terlihat di wajahnya, yang bisa murti lakukan hanya terus memeluknya. Selendang kuning itu kembali melayang dan tak lagi melilit mereka, ia kembali menoleh pada sosok perempuan yang sudah berjalan kembali ke arah sendang dengan kaki telanjang itu. Murti ingin berkata, namun ia tidak tahu apakah makhluk itu berada di pihaknya atau sama saja seperti makhluk-makhluk tadi. “Te—terima kasih..” Marni berbicara dengan lemas. Saat itu langkah sosok wanita itu terhenti. “Pergi! Jangan kotori sendangku dengan darah kalian…” Sosok itu pun menghilang dari pandangan Murti dan Marni. Sisa malam itu mereka habiskan di pinggir sendang yang mereka yakini sebagai tempat yang paling aman. ***

Peradaban modern adalah tempat yang asing untuk Murti dan Marni. Mobil dan motor yang berlalu lalang, hiruk pikuk jalur antar kota membuat mereka berdua merasa di dunia yang amat sangat berbeda. Desa mereka berdua sudah mengenal listrik yang dipasok dengan pembangkit sederhana dengan tenaga arus sungai, setidaknya listrik itu cukup untuk menyalakan satu buah lampu bohlam di setiap rumah. Untuk mereka, hal itu sudah lebih dari cukup ketika ada cahaya yang menerangi malam di desa mereka. Tapi kini mereka sadar, jarak mereka terlalu jauh dengan masa kini. “Setan? Kepala terbang? Nggak usah ngarang kalian. Kami sudah capek denger laporan ngada-ada begini!” Murti dan Marni mendapat penolakan tegas saat melaporkan kejadian di desanya pada kantor polisi terdekat. Jelas saja, cerita mereka sangat sulit dipercaya. Atau, mungkin saja mereka percaya namun karena merasa mereka tak mampu menangani hal seperti itu, mereka memilih untuk menolak laporan Murti. Ada seorang anggota polisi yang kasihan dengan mereka berdua. Diam-diam ia mendengar laporan tak masuk akal yang dipaparkan oleh Murti dan Marni, hal itu tetap tak masuk akal di pikiranya. “Hey, nak! Sini..” Panggil polisi itu. Murti dan Marni menghampiri polisi itu dan memberikan secarik kertas yang berisi sebuah alamat. “Mungkin orang itu mau mendengar cerita aneh kalian,” ucap anggota polisi itu yang segera pergi meninggalkan mereka berdua. Murti dan Marni pun bingung melihat secarik kertas dengan alamat berserta sedikit denah. Namun siapa orang itu, mereka berdua juga tak punya petunjuk. Di tengah kebingungannya, Murti dan Marni terhenti saat melihat keramaian di sebuah lapangan desa. Suara nyaring slompret terdengar mengiringi sekelompok penari kuda lumping yang tengah menghibur penonton. “Bagus ya? Mas inget, itu namanya kesenian kuda lumping,” ucap Murti. “Oo, Murti juga pernah denger. Tapi katanya sampai ada yang kesurupan ya , Mas?” “Kalau itu mas nggak tahu. Coba kita liat aja sebentar. Mas juga penasaran..” Mereka berdua pun menerobos kumpulan penonton dan berhasil sampai di posisi paling depan. Banyak pemuda dan anak-anak kecil yang terkesima dan duduk di depan menikmati penampilan itu. Ctarrr!!! Suara cambuk menggema mengagetkan Marni yang terpaku dengan kelincahan para pemain yang menunggangi kuda lumpingnya. Penampilan itu begitu istimewa di mata mereka, namun bukan kesenian itu yang menjadi pemandangan Murti. Senyum sang adik yang senang menonton pertunjukkan itu menjadi pelepas lelah untuk Murti. Di tengah pertunjukkan, terlihat seorang pemain yang mulai kehilangan kesadaran. Ia bertingkah seperti binatang hingga memakan pecahan kaca begitu saja. Mirna dan Murni menikmati pertunjukkan itu, sampai ada salah seorang pemain yang menghentikan tariannya dan berdiri terdiam dengan wajah yang pucat. Mata pria itu memutih dan menyeringai dengan dengan aneh. Ia kerasukan, namun tidak sama seperti temannya. Murti merasa tidak asing dengan senyuman itu. Ia melihat ke sekelilingnya dan melihat penonton merasa biasa dengan pemain kuda lumping yang kerasukan. Tapi firasat murti berkata lain. “Marni, kita pergi!” “Pergi? Kenapa mas?” “Ada yang nggak beres sama salah satu pemain itu,” “Bukanya udah biasa ya pemain kuda lumping kesurupan?” “Mas ngerasa ada yang beda aja. Kita pergi, Mar,” Melihat kekhawatiran kakaknya, Marni pun menurut. Mereka pun meninggalkan lapangan dan menjauh dari kerumunan itu. Namun tanpa mereka sadari, sosok pemain yang kesurupan itu hanya menatap mengikuti ke arah mereka berdua pergi. ***

TOPENG NYAWA (Sudut pandang Danan) Sebuah rumah joglo besar berdiri megah di sebuah desa tak jauh dari Gunung Tidar. Beberapa pria yang sudah cukup sepuh menyambutku dan Arsa mempesrilahkan kami masuk ke dalam rumah itu. Ornamen-ornamen kuno dan barang-barang yang nyeni menghiasi rumah yang bisa kuanggap megah, namun tetap berkesan sederhana. Aku menunggu sambil memandangi satu persatu benda-benda yang terpajang di dinding-rumah ini sementara Arsa masuk terus ke dalam ruangan yang mereka tunjukkan. Tak lama, hanya sebentar Arsa keluar lagi dengan wajah cukup kecewa. “Berbeda, Mas. Yang menjadi pusaka mereka adalah wayang pandawa. Wayang itu juga keramat, namun tidak sama seperti yang Bapak wariskan,” ucap Arsa. “Ya sudah. Kita nggak terburu-buru kan? Justru ini ajangmu untuk silahturahmi dan berkenalan dengan dalang-dalang lain,” hiburku. Arsa mengangguk setuju, namun sebelum kami pulang sang dalang pemilik rumah megah ini muncul dari dalam dan menghampiri Arsa. “Mohon maaf yo, Le. Mudah-mudahan kamu bisa nemuin apa yang kamu cari,” ucap Ki Purno pada Arsa. “Eh, nggak Ki. Saya justru berterima kasih. Walau nggak nemu apa yang saya cari, tapi bisa bertemu Ki Purno sudah membuat saya senang,” Balas Arsa dengan polosnya. “hahaha, kalian bebas untuk mampir ke sini. Pintu sanggar saya terbuka lebar untuk kalian,” “Matur nuwun, lho Ki. Tapi apa mungkin Ki Purno punya informasi mengenai jenis wayang pusaka seperti milik Arsa?” Tanyaku. Ki Purno mencoba mengingat-ingat sambil mengelus janggutnya. Dari gerak-geriknya, ia seperti merasa memiliki petunjuk. “Sebenarnya, saya pernah mendengar sebuah cerita. Anggap saja ini dongeng, tapi seandainya kalian menemukan kesamaan. Ini mungkin menjadi sebuah petunjuk..” Ki Purno mempersilahkan kami untuk duduk dan menyajikan kami suguhan ringan. Ini pertanda bahwa ceritanya mungkin akan panjang. Ki Purno menceritakan bahwa di zaman dulu ada kisah tentang keberadaan padepokan wayang yang hanya menyajikan permainanya untuk makhluk-makhluk tak kasat mata. Permainan mereka disukai oleh makhluk-makhluk itu hingga apapun yang mereka minta pasti akan dikabulkan oleh makhluk-makhluk itu. Sang dalang yang merasa diatas angin memanfaatkan makhluk-makhluk itu untuk memenuhi hasratnya. Mereka menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil dengan menawarkan bantuan dari alam lain. Sang dalang menjadi raja di belakang layar dan mengendalikan kerajaan itu untuk memenuhi keinginannya. Sayangnya apa yang ingin ia capai bukanlah nafsu seorang manusia pada umumnya. Ia ingin menggapai kesaktian yang mampu menyaingi para Batara. Karena itulah, ia harus berkuasa agar dapat dengan bebas mencari pengorbanan untuk setiap ritualnya. Pementasan wayang yang seharusnya menjadi waktu untuk dakwah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat di kerajaan itu. Bahkan wayang yang dimainkan pun mulai berwujud berbeda dengan wayang kulit pada umumnya. Ada roh-roh yang bersemayam di setiap wayang yang dimainkan. Sang dalang mengorbankan rakyatnya untuk membuat seribu wayang dari kulit mereka. Wayang itu akan menjadi wadah setan-setan yang mengabdi kepadanya. Ritual sewu demit itu yang akan memberikannya kesaktian yang setara dengan para Batara. Apa yang dilakukan oleh dalang itu tak hanya mengkhawatirkan rakyat kerajaan itu, bahkan banyak sosok gaib yang mulai terusik. Ketika dalang itu mendapatkan kesaktianya, itu artinya keseimbangan alam akan bergeser. Kekhawatiran itu dijawab oleh para batara. Mereka pun menurunkan wayang-wayang tanpa wujud tokoh yang mewakili peran para batara. Wayang ras buto, wanara, hingga ksatria. Wayang-wayang itu diturunkan ke seorang dalang untuk menggagalkan ritual sewu demit itu. Dengan restu para batara, ritual itu pun berhasil digagalkan. Namun sang dalang utusan itu sadar, bahwa wayang para batara itu bisa menjadi pisau bermata dua. Ia pun menyembunyikan keberadaanya dan menganggapnya telah menghilang dari dunia ini. … Aku menelan ludah mendengar kisah hebat itu. Walau singkat, cerita itu berhasil jantungku berdetak dan bersemangat. “Itu benar, Ki? Ada wayang yang diturunkan oleh para Batara di tanah ini?” Arsa pun pasti ikut bersemangat mendengar cerita itu. “Heh, sudah saya bilang. Cerita ini cuma kabar burung. Bisa saja itu hanya cerita bijak yang dibuat untuk menceritakan bahwa Gusti mboten sare. Tuhan tidak akan membiarkan manusia hancur melawan kebatilan,” Balas Ki Purno. “Terus kenapa, Ki Purno nyeritain ini?” Tanyaku. “Cerita perjalanan kalian pun tidak kalah aneh nya dengan legenda tadi. Entah saya merasa cerita itu akan berguna untuk kalian,” Jawab Ki Purno. Aku dan Arsa mengangguk. Walau mungkin kisah itu hanya legenda semata, mendengarnya saja aku sudah cukup senang. “Cerita ini saya dengar dari salah satu desa di lereng gunung Semeru. Mampirlah ke sana. Teh melati di sana rasanya enak..” Ucap Ki Purno. Aku menoleh ke Arsa dan rasanya Arsa juga setuju untuk meluangkan waktu ke desa yang dimaksud oleh Ki Purno. “Iya, Ki. Kami akan mampir ke sana. Terima kasih atas semua wejangan dan petunjuknya,” Ucap Arsa. Walau tidak mendapatkan apa yang kami cari, namun kami tidak meninggalkan joglo itu dengan tangan kosong. Mungkin saja cerita itu menjadi petunjuk untuk kami. Kalaupun tidak, cerita itu bisa menjadi motivasi untuk kami. ***

Desa Ranubaya, Sebuah desa yang diberkahi pemandangan indah akan kemegahan gunung tertinggi di pulau Jawa, Semeru. Udara dingin dan cahaya matahari yang menyinari desa merupakan berkah yang tak tergantikan dari Sang Pencipta. Kami tiba di desa ini saat subuh dan memutuskan untuk menikmati sarapan dulu di warung kecil di terminal transit yang sebenarnya masih pantas disebut sebagai halte ini. “Jarang-jarang ada anak muda yang datang ke desa terpencil begini. Mas-masnya ada acara di sini?” Tanya Ibu pemilik warung makan itu. “Haha ndak, Bu. Cuma mau ketemu orang aja. Ibu kenal Ki Bayu Harjo?” Arsa mencoba mencari petunjuk tentang tempat yang akan kami datangi. “Lha nggak mungkin nggak kenal to. Itu liat..” Ibu itu menunjukkan jarinya ke arah sebuah baliho kayu sederhana yang terpasang di terminal. Ada poster sederhana yang mengumumkan adanya pementasan wayang di desa ini, dan nama dalang yang tertulis adalah nama yang kami cari. “Wah, kebetulan banget, Mas!” Ucap Arsa. “Iya, pas nih. Nggak sia-sia kita kesini,” Balasku. Dua gelas kopi pun diantarkan kepada kami bersama beberapa gorengan yang masih hangat. Dalam sekejap aku yakin, rasa lelah selama perjalanan tadi bisa lenyap seketika dengan sajian dan suasana di kaki gunung ini. “Pementasan itu dalam rangka, acara merti deso ya, Bu? Masih rutin diadain di desa ini?” Tanyaku. “Acara ‘Merti Deso’ nya sih rutin. Tapi pementasan kali ini acara khusus. Buat ngusir bala,” Jawab Ibu itu. “Ngusir Bala?” Tanyaku. Ibu itu pun menceritakan bahwa sudah beberapa hari desa mengalami keanehan. Banyak anak-anak kecil yang jatuh sakit secara tiba-tiba. Perempuan yang kesurupan, hingga orang-orang yang mengaku melihat desa Ranubaya dikelilingi oleh setan-setan dengan berbagai wujud. “Yang bener, Bu?” Ibu itu mengangguk. “Anak saya juga sampai sekarang masih terbaring di ranjang, Mas. Setiap mencoba melangkah keluar rumah dia pasti teriak-teriak ketakutan kayak kesetanan gitu,” Saat itu aku dan Arsa saling berpandangan. Memang di beberapa daerah, acara merti deso dan pementasan wayang sering menjadi andalan untuk mengusir bala atau wabah yang menyerang desa. Filosofinya, ketika desa kembali bersih seharusnya penyakit tidak akan mendekat. Sosialisasi antar warga seharusnya bisa mengurangi konflik yang terjadi antar warga. Pementasan wayang di malam hari bisa menjadi ajang dakwah untuk mengingatkan warga akan nilai-nilai moral dan sosial. Tapi untuk beberapa kasus. Pementasan wayang memang dipercaya sebagai perantara untuk keselarasan alam dan penghuninya, baik yang kasat mata, ataupun yang tak kasat mata. Aku dan Arsa menghabiskan siang kami dengan mengelilingi desa mencoba mencari tahu tentang apa yang sebenarnya menimpa desa ini. Saat itu warga sedang sibuk dengan acara bersih desa, hingga arak-arakan sesaji yang pada akhirnya menjadi rebutan warga. Walau terlihat meriah, dalam sekejap saja, kami berdua menyadari bahwa cerita Ibu warung tentang bala yang menyerang desa ini itu benar adanya. Mungkin di siang hari hal itu tidak begitu terlihat, tapi entah saat malam nanti. Namun saat melihat ke rumah-rumah warga, kami tahu bahwa penyakit yang menimpa anak-anak dan teror yang mengincar warga memang berhubungan hal gaib. Saat malam semakin larut, kami mengambil posisi di alun-alun desa menanti pementasan Ki Bayu sesuai yang diumumkan di spanduk dan baliho sekitar desa. Panggung sederhana sudah berdiri, dan sebagian penjaja makanan sudah menempati tempatnya masing-masing untuk memancing pelanggan. Sebungkus kacang rebus menjadi pilihan kami untuk teman menonton pementasan wayang semalam suntuk itu. Lakon Wahyu Katentreman menjadi pilihan Ki Bayu untuk pementasan malam ini. Setelah suara gong, saron, dan bonang berbunyi, dalam waktu singkat warga pun memenuhi alun-alun. Yang cukup membuatku sedikit terkesima, warga desa tetap bercengkerama seperti biasa seolah tidak memusingkan bencana yang menimpa desa mereka. “Mas, emang bener katanya acara ini sengaja dibuat buat tolak bala?” Aku mencoba iseng menanyakan kepada salah seorang warga yang duduk di dekatku.

“Wah, masnya pendatang ya? Iya mas, biasanya habis diadain acara beginian keaadaan balik normal, mas. Setan-setanya pada pergi!” Ucapnya santai. “Kok warga keliatan tenang-tenang aja ya, Mas? Kalau kejadian di desa saya, pasti warga bakal ketakutan,” Tambah Arsa. “Takut yo takut, Mas. Tapi Ki Bayu bilang, adanya bencana itu untuk mengingatkan manusia akan perbuatanya. Toh Gusti Allah nggak akan ngizinin cobaan yang lebih dari kemampuan umatnya, kan?” Ucap orang itu. Mendengar tanggapan itu aku cukup tersentil. Sepertinya aku salah meragukan warga desa ini. Mereka benar-benar menanggapi masalah desanya dengan tenang. Suara tembang dari sinden membuka pementasan Dalang yang dipimpin oleh Ki Bayu Harjo. Beberapa doa dan petuah disampaikan sebelum wayang-wayang kulit itu menari di genggaman tangan dalang yang cukup senior itu. Walau sudah melihat berbagai pementasan wayang. Aku selalu merasa bahwa setiap dalang punya ciri khas dan tekniknya sendiri dalam memainkan lakonya. Semua itu seolah memberi keberagaman yang tak terbatas untuk cerita-cerita pewayangan. Sayangnya, mereka benar-benar datang. Makhluk-makhluk tak kasat mata yang meneror desa ini berada diatara warga dan menjadi bagian dari penonton pementasan ini. “Mas Danan..” Arsa menyadari sosok-sosok itu. Aku mengangguk dan menahan ngeri melihat pemandangan di alun-alun ini. Makhluk-makhluk yang berdatangan adalah setan berwujud kepala-kepala tanpa tubuh yang melayang-layang diantara warga desa. “Hanja sirah.. Tidak mungkin makhluk-makhluk itu sampai di desa Ranubaya tanpa sebab,” ucapku. “Iya, Mas. Mereka setan-setan yang bergentayangan di tanah bekas peperangan. Seharusnya mereka terikat pada tanah dimana darah mereka tertumpah,” Ucap Arsa. Kala itu suasana mulai menceka. Walau tidak bisa melihat sosok-sosok itu, warga desa mulai merasakan keanehan mulai dari hawa dingin, hingga rasa merinding di sekujur tubuh. Aku bisa menebak, bila tak memiliki kesadaran yang kuat, sebentar lagi akan ada warga desa yang kesurupan. Praaak!!! Suara dodogan dan keprakan Ki Bayu terhantam dengan keras secara bersamaan. Saat itu seketika suasana hening seketika. “Panjenengan-panjenengan sedanten boten kagungan restu kagem manggon ing deso iki..” (Kalian semua tidak punya restu untuk berada di desa ini…) Tiba-tiba Ki Bayu berbicara tanpa diiringi suara apapun. Suara hening itu berganti dengan bisik-bisik warga yang menerka-nerka apa yang terjadi. “Ki Bayu lagi berbicara sama makhluk-makhluk halus..” “Sing nggenah? Endi demite? (Yang bener? Dimana setanya?) “Lha mbuh, nek kowe sakti pasti weruh..”(Nggak tahu, kalau kamu sakti pasti kelihatan) Sepertinya warga sudah menyadari bahwa Ki Bayu tengah berkomunikasi dengan setan-setan yang mengerubungi tempat ini. “Deso iki boten duwe perkoro kalih panjenengan. Sumonggo panjengan tindak saking mriki..” (Desa ini tidak memiliki masalah dengan kalian. Silahkan kalian pergi dari desa ini) Tiba-tiba kabut turun dan menyelimuti desa Ranubaya. Warga saling merapatkan diri ketika menyadari suasana sudah mulai berbeda. “Khikhikhi…” “Hrrr… ono sing nantang awake dewe…Hrrr” Berbagai suara mengerikan terdengar dari balik kabut. Suara itu mengelilingi seluruh desa melayang-layang dan mulai menunjukkan wujudnya dalam wujud kepala-kepala yang melayang. “Se—setan!!” “Kepala?! Kepala melayang!” Saat itu tiba-tiba warga desa bisa melihat semua setan-setan yang saat ini berada diantara mereka. Warga pun menjauh dari makhluk itu dan mendekat ke arah panggung mencari perlindungan dari Ki Bayu. Prang! Dok.. dok.. dok!! Terlihat Ki Bayu geram dengan perbuatan setan-setan itu yang berani menunjukkan wujudnya di depan warga desa. Ia mengeluarkan keris pusaka yang terikat di pinggangnya dan mencabutnya dari warangka. Saat itu sosok makhluk berwujud burung yang terbakar api melayang di sisinya. Sepertinya itu adalah perwujudan khodam dari keris milik Ki Bayu. “Kulo njaluk tulung nggih, Nyi..”(Saya minta tolong ya, Nyi..) Ucap Ki Bayu pada sosok burung yang terbakar itu. Makhluk itu pun melesat ke sekeliling desa menerjang kepala-kepala yang meneror desa. satu persatu kepala itu berubah menjadi kobaran api dan musnah begitu saja. “Ki Bayu ternyata bukan dalang biasa. Pusaka itu punya kekuatan yang mengerikan,” ucap Arsa. Aku setuju. Desa ini beruntung memiliki sosok Ki Bayu yang melindungi desa ini. Hoekk! Ki Bayu terjatuh, ia memuntahkan darah dari mulutnya. “Ki! Sudah Ki! Jangan memaksakan diri!” Salah seorang sinden mencoba menahan Ki Bayu. Namun Ki Bayu masih mempertahankan keris itu di genggamanya. “Kita tidak bisa tinggal diam, kesaktian keris itu menggerogoti tubuhnya,” ucapku. Sayangnya sebelum aku bertindak, sesuatu yang mengerikan kembali terjadi. Ada sosok topeng berwujud batara kala berwarna putih yang melayang dan mendekat ke arah pementasan. “Wong-wong goblok! (Orang-orang goblok!) Kalian pikir bisa menghentikan kami hanya dengan pagelaran dan pusaka remeh itu?!” Topeng itu berbicara menantang Ki Bayu. Ki Bayu yang sudah susah payah untuk berdiri memberi isyarat burung api itu untuk menyerang topeng itu. Namun Ki Bayu tertahan saat melihat ada ratusan kepala yang muncul di belakang topeng tanpa tubuh itu.

Keris Ki Bayu terjatuh dari tanganya, dan sosok burung api itu menghilang. “Khekehkeh.. serahkan saja kedua bocah itu! Seluruh nyawa di desa ini bisa mati hanya karena kalian melindungi mereka!” “Kami tidak mengerti apa yang kau katakan! Tidak ada orang yang kau cari di desa ini!” Balas Ki Bayu. Saat itu ada tiga warga desa melayang secara tiba-tiba. Kepala-kepala itu menjerat rambutnya ke leher warga dan membawanya melayang setinggi mungkin. “Khikhikhi… manusia itu makhluk lemah. Kepala kalian akan hancur jika jatuh dari ketinggian ini. Serahkan saja kedua anak itu..” Kepala-kepala itu mengancam mereka. Memang benar, jatuh dari ketinggian itu tak akan ada yang bisa selamat. “Ja—jangan! Jangan! Kami tidak tahu! Kami tidak tahu apa yang kalian katakan!” Warga desa itu benar-benar ketakutan. Sepertinya mereka memang korban atas sesuatu yang tidak mereka ketahui. “Khekhekhe.. Mati saja kalian!” Ucap Topeng itu. Mendengar perintah dari topeng misterius itu, ketiga tubuh warga itu pun terjatuh dari ketinggian. “Arsa!” teriakku. Arsa mengibaskan wayang jatayu yang sudah ia genggam sejak tadi. Sosok roh berwujud burung melayang mendekat ke tubuh-tubuh yang terjatuh itu secepat mungkin dan berusaha menangkapnya. Untuk mencegah setan-setan itu melakukan hal serupa, aku pun memisahkan sukma dari ragaku dan melesat ke arah Hanja sirah yang mengincar warga lain untuk dihabisi. Srattt!! Sratt!!! Secepat mungkin aku menghujamkan keris ragasukma ke setan-setan kepala itu dan memusnahkanya dari sekitar warga. Keberadan kami disadari oleh Ki Bayu, dan ia pun langsung menoleh ke tempat kami berada. “Siapa yang berani-berani ikut campur!!” Setan topeng itu mengamuk. Kabut hitam yang mengisi topengnya itu membesar dan membentuk tubuh menyerupai seorang kakek kurus. Aku pun kembali ke tubuhku dan mengajak Arsa untuk mengambil posisi di depan warga desa. “Ikut campur? Melihat kalian mau membunuh manusia dan kami tidak boleh ikut campur? Konyol!” Teriakku.


Ki Bayu turun dari panggungnya, warga desa pun membuka jalan dan mengantarkan dirinya ke dekat kami. “Te—terima kasih. Kalian ini siapa?” ucap Ki Bayu. “Tenang saja, Ki. Jangan memaksakan diri. Biar Mas Danan yang menghadapi setan-setan itu.” ucap Arsa membantu Ki Bayu untuk berdiri. “Iya, Ki. Biar saya yang berhadapan dengan mereka. Tolong bantu Arsa melindungi warga desa,” ucapku. Bukanya aku jumawa. Tapi keberadaan setan-setan kepala dan topeng ini memang seharusnya bukan perkara sulit. Namun entah jika pemilik asli topeng ini muncul atau sosok yang memerintahkan kepala-kelapa ini datang. Entah apakah aku bisa mengalahkanya. Yang terpenting, saat ini aku harus mengusir mereka dari desa ini. “Bocah sombong!” Dalam sekejap seketika topeng itu melesat dan berada di wajahku. “Mas Danan!” “Arrrgghh!!!!” Ada sesuatu merasuki tubuhku. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskannya dari wajahku topeng itu tetap melekat dan berusaha mengambil kesadaranku. “Mas! Bertahan, Mas!” Teriak Arsa. “Jangan mendekat!!” Aku berusaha menjauh diari siapapun yang ada di sekitarku. Sesuatu di tubuhku seolah berusaha ingin bergerak untuk mencelakai siapapun di dekatku. “Khekehe… Bagaimana jika kau sendiri yang membunuh mereka semua,” Suara tawa sang kakek terdengar di alam pikiranku. Tubuhku mulai tak mampu menguasai diri, dan tanganku mulai mengarahkan keris ragasukma ke arah Arsa. “Nak? Bagaimana ini?” Tanya Ki Bayu yang mulai panik. “Berlindung di belakang saya, Ki..” ucap Arsa. Dari pandangan mataku saat ini, warga desa terlihat seperti sosok-sosok mayat yang bergerak dengan tubuh yang sudah membusuk. Mereka semua berteriak mengancam ke arahku. “Bunuh… bunuh mereka! Jangan biarkan satupun dari mereka hidup..” Suara itu terdengar berkali-kali di telingaku. Kewarasanku sulit untuk ku pertahankan. Tapi tidak! Aku tidak boleh membunuh siapapun! Jangan sampai aku membunuh seorangpun. Ada sosok yang berdiri dihadapanku. Aku tak bisa membedakannya. Mereka terlihat seperti setan-setan yang sangat kubenci. Dengan keris ragasukma di tanganku, aku pun menebas wajah sosok itu dengan sekuat tenaga. “MAS DANAN!!” Prakk!!! Suara benda yang pecah terdengar. Penglihatanku kembali dan rasa lega datang saat aku melihat tubuhku ada di hadapanku. Topeng itu pecah dan terjatuh. Aku pun segera mengambil alih kembali tubuhku dan menjauh. “Brengsek!!! Bagaimana bisa?!! Apa yang terjadi?” Setan itu mengumpat tak menduga apa yang terjadi. Aku tak mau menjawab. Seandainya aku terlambat memisahkan sukmaku dari tubuhku, mungkin saja aku sudah melukai orang lain. Setan topeng itu tidak bisa diremehkan. Bahkan ketika aku menggunakan Ajian Ragasukma, pengaruhnya bahkan masih mempengaruhi tubuh dan sukmaku yang telah terpisah. Aku mengajak Arsa melantunkan ayat-ayat suci untuk mengusik setan-setan yang masih berusaha mengepung kami dan menjauhkannya dari warga desa. Sialnya, setan topeng itu tidak musnah. Walau sudah terbelah menjadi dua topeng itu masih melayang dengan asap hitam yang mengendalikannya. Blarr!!! Blarr!! Blar!!! Belum sempat aku bertindak, tiba-tiba Hanja Sirah itu terbakar satu persatu. Aku menoleh ke arah Ki Bayu, ia sudah di posisi duduk bersilanya dengan keris di tangannya. Sepertinya ia ingin segera menyelesaikan ini semua. Tak mau kalah dengan ki bayu, aku pun membacakan ajian pada keris ragasukma hingga kilatan putih mulai menyala. Dengan sekuat tenaga aku menghantamkan keris itu pada topeng laknat itu. Sratt!! Seranganku memecahkan sebagian dari topeng itu, tanpa memberi celah aku ingin menebas kembali makhluk itu, namun entah bagaimana topeng itu sudah berada di wajah Arsa. “Arsa!” Teriakku. Arsa berdiri terdiam. Ia tidak bergerak. “Khekehkeh… rupanya bocah ini lebih mudah untuk ku kuasai!” ucap sosok topeng itu melalui tubuh arsa. “Sial! Aku lengah!” Namun belum sempat aku berbuat apapun, tiba-tiba terjadi sesuatu dengan topeng di wajah arsa itu. “BERANI BERANINYA KAU!!!” Suara sosok yang begitu berat terdengar dari tubuh arsa. Topeng itu retak. Asap hitam yang menyelimuti topeng itu berubah menjadi api. “Siapa?! Siapa kau!! Kenapa kau bisa ada di tubuhnya??!!” Topeng itu melepaskan dirinya dari wajah arsa. Namun setan itu sepertinya ketakutan sejadi-jadinya, sementara Arsa jatuh terkulai. Aku bingung dengan apa yang terjadi.

Setan topeng itu pun menjauh dari kami. Ia melihat sudah tidak banyak pasukannya yang tersisa. “Jika kalian tidak menyerahkan kedua anak itu, tumbal yang diminta akan lebih besar. Mereka akan menjadi bagian dari pagelaran sewu lelembut. Nyawa mereka sebanding dengan seratus nyawa manusia,” ucap Setan topeng itu. “Pagelaran sewu lelembut??!!!” Teriak Ki Bayu. “HAHAHA! Kau sudah tahu rupanya! Datanglah! Kami mengundangmu dan akan kau saksikan pementasan yang lebih indah dari permainan bodohmu. Pertumpahan darah, tarian arwah, pesta seribu demit, Semua akan menjadi bagian dari pertunjukan di hutan keramat. Leuweung Sasar Taneh Bereum.” Tunggu? Leuweung Sasar? Aku berlari mencoba mengejar sosok itu untuk mencari tahu tentang apa yang ia maksud. Namun ia kabut menelan keberadaanya dan menghilangkannya dari pandanganku. Aku menoleh ke arah Ki Bayu, wajahnya begitu pucat. Ia benar-benar ketakutan saat mendengar kata-kata pagelaran sewu lelembut itu. Warga pun menghampiri ki bayu setelah yakin keadaan mulai aman. Ia pun mencari seorang ibu yang sudah cukup berumur diantara warga. “Bagaimana kedua anak itu? Apa mereka aman?” Tanya Ki Bayu. Ibu itu mengangguk sambil menahan air matanya. “Tenang saja, Ki. Mereka aman. Semua warga menjaganya..” balas warga yang lain. Saat itu aku dan Arsa saling bertatapan mempertanyakan apa yang terjadi. “Tu—tunggu, Ki? Jadi sebenarnya kalian juga tahu mengenai kedua anak itu?” Tanyaku. “Maafkan kami, Mas. Walau apapun yang terjadi, kami tidak mungkin menyerahkan kedua anak tidak bersalah itu pada setan-setan biadab itu,” Balas Ki Bayu. “Ta—tapi kalian bisa mati?” Protes Arsa. “Yang menentukan hidup dan mati kami itu Gusti Allah. Kalau kami memilih keputusan yang benar, kami yakin yang terjadi pada desa kami adalah takdir yang terbaik,” balas pemuda yang tadi sempat duduk di dekat kami. Sekali lagi aku meremehkan warga desa ini. Terbuat dari apa hati mereka ini? Bahkan berbagai penyakit, teror gaib harus mereka tanggung demi melindungi kedua anak itu. “Sebenarnya siapa kedua anak itu, Ki?” Tanya Arsa. “Sebelum ku kenalkan kalian pada mereka, mungkin ada baiknya kita berkenalan lebih dulu. Kita bicara di rumah saya saja, ya..” Ajak Ki Bayu. Benar juga. Kejadian tadi membuat kami lupa memperkenalkan diri pada Ki bayu. Sepertinya memang kami harus menghabiskan banyak waktu di tempat ini. Ada banyak hal yang harus kucari tahu. Mulai dari niatan awal kami mencari tahu tentang wayang keramat Arsa, tentang siapa kedua anak yang membawa kutukan di desa ini, dan tentang hal yang dikatakan oleh setan topeng itu. Pagelaran Sewu Lelembut. Jika itu adalah bencana besar, jelas bencana itu terjadi di saat yang buruk. Saat ini Cahyo berada di tempat yang tak dapat kami gapai. Sulit bagiku untuk meminta pertolongan darinya. Jelas, tanpa kehadiran Cahyo aku kehilangan satu kekuatan yang sangat dapat diandalkan. Tapi jika pementasan itu berada di Leuweung Sasar. Seharusnya ‘mereka’ bisa membantu menangani bencana ini. Bantuan dua pendekar dari tanah pasundan itu akan sangat membantu. Sepertinya mau tak mau, kami harus merepotkan mereka sekali lagi.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau abgian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya
close