Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TUMBAL "Lemah Mayit" (Part 2) - Pemujaan Hawa Nafsu

Ritual itu menepiskan semua moral, jasad manusia tidak ada harganya di sana. Dan semua warga desa itu menikmatinya..


KEPERCAYAAN TERLARANG Kepala seorang manusia tersaji di sebuah kuil batu yang terlihat sangat kuno. Ada beberapa nampan sesajen mengelilingi kuil itu seolah warga desa sudah biasa dengan keberadaan kepala manusia di sana. “Malam ini acara untuknya. Kita akan mengantarnya menuju kesempurnaan…” Asri berkata dengan senyum seolah tidak ada yang aneh dengan keberadaan kepala manusia itu. Begitu banyak tanya berputar dikepalaku. Sudah begitu banyak hal aneh terjadi beberapa tahun terakhir ini di Tanah Jawa, sebagian besar berhubungan dengan hal mistis yang mulai digemari lagi oleh orang-orang. Namun, apa yang terlihat di hadapanku saat ini benar-benar masih tidak masuk di nalarku. “Kenapa tidak dikubur? Mengapa kepalanya saja?” Tanyaku dengan sedikit ragu. Asri tersenyum dan menarik lenganku untuk melanjutkan perjalanan. “Nanti malam saja Asri ceritain, biar Mas Dipta ngeliat langsung upacaranya. Daripada tambah bingung,” Balas Asri yang kembali mengajakku menikmati perjalanan kami menuju rumah. “Sudah pulang, Le?” Sambut Mbah Yasmin yang tengah sibuk mengurus tanaman di halamanya walau langit sudah mulai redup. “Iya, Mbah. Sini saya bantuin, Mbah,” ucapku sambil membantunya memberi pupuk pada taman di sekitar rumahnya. Setelahnya, Mbah Yasmin membawa sebuah ember dan menyirami tanaman itu dengan air. Tunggu, itu bukan air. Hidungku mencium bau yang cukup aneh. Cairan itu terlihat kental dan berwarna cokelat pekat dan sedikit berbau amis. “Itu apa, mbah?” “Oh.. ini biar tanamanya subur,” balas Mbah Yasmin. Aku menatap ke wajah Mbah Yasmin berharap ada penjelasan lain darinya, namun ia tidak meneruskan penjelasan itu. “Tanaman hias seperti ini tidak menghasilkan buah atau sesuatu yang berguna. Tapi kalau dirawat dengan benar, tanaman ini bisa mendatangkan teman untuk berkunjung,” cerita Mbah Yasmin. Aku menganggap cerita Mbah Yasmin itu sebagai harapan bahwa tanaman ini akan tumbuh dengan indah dan memancing perhatian tetangga yang lain. Di rumah Mbah Yasmin ada sumur yang telah dipasangi pompa manual. Sebelum mandi, mau tidak mau aku harus mengisi bak air dengan memompa sumur dan memindahkan airnya ke bak. Cukup melelahkan di awal, namun sepertinya aku masih bisa terbiasa dengan hal ini. Apalagi saat aku menyadari bahkan seorang Mbah Yasmin pun masih melakukan hal ini. Di meja makan sudah tersedia singkong rebus dan segelas teh yang masih hangat. Mbah Yasmin mengatakan bahwa malam ini kita akan menikmati acara warga desa. Di sana banyak makanan berlimpah. Aku mengerti maksud Mbah Yasmin, namun disaat bersamaan pula aku mengingat keberadaan kepala manusia itu. Ingin sekali aku bertanya pada Mbah Yasmin, namun saat aku teringat akan keanehan yang terjadi semalam sebaiknya aku mengurungkan niatku. Mbah Yasmin mengatakan bahwa acara akan dimulai saat tengah malam. Ia menyuruhku untuk beristirahat dulu, dan akan membangunkanku saat akan berangkat. Dalam hati aku bertanya-tanya, acara seperti apa yang diadakan pada tengah malam? Sebelum malam mencapai puncaknya, Mbah Yasmin mengetuk pintu kamarku. Aku yang telah bersiap sejak beberapa jam sebelumnya pun merapikan pakaianku sebentar dan membuka pintu. “Hahaha, wis nduwe konco lungo to?” (Hahaha, sudah punya teman pergi to?) Tawa Mbah Yasmin menjurus ke arah Asri yang lebih dulu datang menjemputku. “Hehe, iya mbah. Bareng kan, Mbah?” “Duluan saja, nikmati waktumu..” “Jangan gitu, Mbah,” Aku merasa tidak enak. Mbah pun mendorong tubuhku dan memaksaku keluar rumah. “Wis, ndang lungo o..” (Sudah, pergi saja)

Asri menyambutku dengan pakaiannya yang lebih rapi yang membuatnya terlihat semakin cantik layaknya seorang kembang desa. Lampu minyak yang ia bawa menyinari wajahnya yang dalam sekejap membuatku menjadi kesemsem dengan penampilannya. “Jalan sekarang yuk, Mas,” Ajak Asri. “Iya, dek..” Balasku singkat. Kami pun menikmati udara malam itu berdua, namun yang cukup aneh aku tidak mendengar adanya suara keramaian dari balai desa. Berkali-kali aku celingak-celinguk mencari keberadaan acara itu namun, tidak satupun petunjuk yang kudapat. “Nyari apa, Mas?” “Acaranya memang dimana, Dek Asri?” “Acaranya diluar desa, kok. Tapi nggak jauh.” Aku hanya mengangguk dan melanjutkan perbincangan tidak penting diantara kita berdua. Jalur yang kami lewati cukup berbeda. Ada jalan setapak kecil di hutan dan kami berjalan mengikuti jalan yang tak bercabang itu. Suara serangga hutan dan binatang malam mulai terdengar di sekitarku. Mungkin jika seorang diri, aku akan gelisah dan ketakutan. Tapi saat ini, bersama Asri justru suasana seperti ini membuatku tak ingin cepat-cepat sampai. Setelah melalui hutan, aku mulai menyadari bahwa kami melintasi beberapa benda. Aku memperhatikannya dan menduga bahwa itu adalah batu nisan. Belum sempat aku bertanya ke Asri, tak jauh di hadapan kami sudah terlihat cahaya dari api unggun, obor, dan suara ramai. “Itu! kita sudah sampai, Mas!” Ucap Asri senang. Sampai? Aku masih bingung dengan dimana aku berada. Saat ini di sekitar kami adalah kuburan yang dikelilingi pepohonan hutan, dan di hadapanku terlihat keramaian orang-orang yang berada di tengah-tengah pemakaman ini. “Sri? Bukannya ini pemakaman?” Aku memastikan. “Benar mas. Memangnya kenapa?” Asri menatapku dengan wajah bingung. Entah mengapa ia merasa hal ini memang wajar. Menyadari kebingunganku, Asri pun menggenggam telapak tanganku. “Kuburan itu tempat yang paling paling baik, Mas. Di sini adalah tempat dimana manusia tidak mengenal perbedaan kasta, kekayaan, jabatan. Mereka semua meninggalkannya ketika dikuburkan. Dan itu artinya juga bahwa tempat ini adalah tempat yang paling dekat yang menghubungkan kita manusia, dengan alam Sang Pencipta,” Penjelasan Asri terasa masuk akal bagiku. Jika memang itu tujuannya, semua ini bisa saja terlihat wajar. Kami menghampiri warga desa yang sudah lebih dulu berada di sekitar api unggun. Saat semakin mendekat, bau alkohol tercium begitu pekat. Terlihat sebagian warga tengah mabuk menikmati minuman yang disediakan begitu banyak disana. Tapi saat aku menatap ke sekeliling, pemandangan lainnya begitu membuatku tersentak. Sebagian dari warga desa tak mengenakan pakaian. Pria dan wanita berhubungan dengan bebas di sana tanpa ada yang menghalangi. Mas Karto, Yatmo, Paidin mereka ada di sana sambil bercumbu dengan perempuan desa yang tengah mabuk tanpa sehelai benangpun. “I—ini apa Asri?” Tanyaku setengah takut.

“Ini Ritual Ibadah, Mas. Memangnya di tempat, Mas tidak begini?” Ucap Asri. Ibadah? Ritual? Ini adalah perbuatan gila. Belum sempat aku merespon ucapan Asri tiba-tiba beberapa pemuda memanggil Asri. Asri menyambutnya dengan senyum dan menghampiri mereka. “Ayo, Mas!” Ajak Asri. Aku masih terdiam, namun hanya berjarak beberapa langkah dari hadapanku, Asri sudah menjadi objek seksual dari pemuda yang memanggilnya. Dengan inisiatifnya, Asri mengambil segelas minuman keras dan meminumnya. Tubuh Asri di jamah oleh beberapa pemuda dengan umur yang beragam, ia bukan satu-satunya perempuan disana. Ada seorang lagi yang lebih berumur yang sudah lebih dulu menikmati kenikmatan yang diberikan oleh pria-pria disana. Gila! Ini Gila! Asri yang terlihat menawan saat bersamaku tadi kini tak mengenakan sehelai benangpun. Seorang pria memuaskan dirinya dengan memasukkan kelaminya ke dalam kewanitaan Asri. Tak ada perlawanan, justru Asri membalasnya dengan desahan kenikmatan. “Mas Dipta, ayo ke sini. Mas juga boleh kok nikmatin tubuh Asri…” Undang Asri dengan tubuh yang masih dikuasai oleh pemuda itu. Aku masih tertegun. Suara-suara warga desa yang mengalunkan irama berbahasa kuno bersahutan dengan desahan dan tawa. Pemuda-pemuda itu terlihat seolah memuja keindahan tubuh Asri dan menikmatinya tanpa melewatkan sedikitpun. Beberapa gerakan-gerakan rumit pun mereka lakukan dalam berhubungan, sesaat gerakan itu membuatku tergambarkan bahwa pesta ini adalah sebuah ritual. “Saya mengerti kebingunganmu. Kamu tidak usah heran. Sejak jaman dulu, seksualitas bukanlah hal yang tabu, namun lebih ke arah sakral. Mencapai puncak kenikmatan adalah cara kami untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan sang pencipta,” Mbah Yasmin tiba dan menebak apa yang kupikirkan. Aku masih tak sanggup berkata-kata, namun ia masih melanjutkan penjelasannya. “Ada dua cara dalam mencapai kesempurnaan. Menahan hawa nafsu, atau melampiaskan hawa nafsu sampai seorang manusia muak akan kenikmatan dan melepaskannya. Kami adalah penganut ajaran yang kedua..”

Mbah Yasmin tak lagi melanjutkan perkataannya. Ia ikut dalam pesta itu dan melakukan hal yang serupa seperti yang Astrid lakukan. Aku tak menyangka, masih ada yang ingin melakukan hal itu dengan Mbah Yasmin yang umurnya sudah begitu tua. Aku sudah cukup tercengang dengan pemandangan yang mereka lakukan, namun ternyata itu saja belum cukup. Aku baru sadar bahwa di tengah api unggun itu ada jasad tanpa kepala yang terbaring dengan berbagai rempah-rempah. Tak jauh dari jasad itu, ada kepala manusia yang digantung, yang sebelumnya berada di kuil batu di dekat balai desa. Mereka menyusunnya seolah kepala itu sedang menatap tubuhnya sendiri. Selang beberapa saat, seseorang yang sudah cukup berumur membawa pisau dan mendekati jasad tanpa kepala itu. Ia menorehkan pisau itu di tubuh itu, mengambil sedikit daging dan memakannya sambil menatap ke arah kepala yang menggantung itu. Ia menikmati daging itu dengan segelas minuman keras sambil tertawa. Hoeeekkk!!! Aku hampir saja muntah melihat pemandangan itu. Apa lagi yang bisa membuatku kaget? Pesta di tengah makam, mabuk-mabukan, hubungan sex bebas, hingga memakan jasad manusia? Ada apa dengan warga desa ini. Saat itu aku merasa bahwa aku berada di tempat terkutuk. Dengan segera aku pun berpaling dari acara ritual itu dan kembali menuju ke desa. Aku harus meninggalkan desa ini… Aku menelusuri jalur hutan yang sebelumnya kulalui bersama Asri. Kali ini tanpa penerangan. Bila tadi aku melaluinya dengan tenang, kali ini suasana begitu mencekam. Dari jauh suara pesta mereka terdengar sayup-sayup, namun suara lain terdengar dari sekitar hutan. Suara tawa cekikikan, suara langkah tanpa wujud, hingga suara bisikan-bisikan. Seolah-olah sesuatu yang tak kasat mata ikut berpesta bersama mereka di hutan ini. Aku berusaha untuk tidak mengindahkan suara-suara itu, namun semakin bertambahnya rasa takutku semakin terlihat sosok-sosok bayangan yang seolah mengerubungiku. Cahaya obor mulai terlihat dari jauh. Aku hampir bernapas lega ketika menyadari desa sudah berada di hadapanku. Namun aku kembali merasakan perasaan saat pertama memasuki desa ini. Sepi, tak ada satu orang pun di desa. Pasti semua warga desa berkumpul di ritual itu. Dengan tergesa-gesa aku menuju rumah mbah Yasmin untuk mengemasi barang-barangku. Tak ada alasan untukku tinggal di desa yang gila seperti ini. Cara mereka memperlakukan mayat, berpesta dengan minuman keras dan berhubungan badan, hingga memuja sosok yang tak masuk di akal. Aku harus segera pergi. Brakkkk!!! Aku tersentak saat hampir saja selesai mengemasi barang-barangku. Pintu rumah Mbah Yasmin tertutup dengan sendirinya. Saat itu rasa merinding yang kurasakan semakin menjadi jadi. Seketika suasana menjadi berbeda dari sebelumnya. Tang… tung…Tang… Sesuatu mendekat, itu adalah suara gendang yang dipukul oleh seseorang. Seketika aku teringat akan penari tanpa kepala yang menari berkeliling desa semalam. Tidak.. tidak mungkin sosok itu benar-benar nyata. Aku masih tidak bisa mempercayai itu. Dengan perlahan aku membuka gorden jendela kamar dan mengintip dari sela jendela. Tapi belum sempat aku mendapat keberadaan pemain gendang itu, aku tersentak dengan apa yang terlihat. Tiba-tiba sekeliling rumah ini dikelilingi oleh pocong. Mereka berlutut, tengkurap di sekitar rumah ini. Aku memperhatikannya dan menyadari bahwa mereka menjilati tanah di sekitar tanaman mbok Yasmin. Itu adalah tanah yang disirami oleh cairan aneh berwarna hitam pekat itu. Jangan-jangan, mereka adalah “teman” yang dimaksud oleh Mbok Yasmin. Suaraku terjatuh terdengar oleh mereka. Dari tempatku berada, terlihat dari sela jendela adanya sosok pocong yang mendekat ke arah jendela kamar ini. Aku tak mampu menahan rasa takutku, dengan susah payah aku menyeret langkahku dan bersembunyi di balik lemari. Daun jendela pun terbuka dengan sendirinya. Bau bangkai semakin menyengat. Aku yakin pocong itu sedang menatap seisi kamar ini dari luar sana. Aku hanya bisa meringkuk berharap pocong itu tidak menyadari keberadaanku. Saat bau bangkai itu mulai pudar, aku memberanikan diri meninggalkan persembunyianku dan meninggalkan kamar. Aku tak ingin pocong-pocong diluar itu menyadari keberadaanku. Kukunci pintu kamar rapat-rapat dan mengatur nafasku. “Koe ra semestine ono ning kene le…”(Kamu nggak seharusnya ada di sini, nak..) Di tengah kekalutanku tiba-tiba terdengar suara nenek di ruangan tengah. Aku menoleh ke arah suara itu, dan kali ini di depan cermin tua milik Mbah Yasmin, terlihat seorang nenek dengan wajah yang begitu tua sedang menyisir rambut putihnya yang panjang di sana. Aku ingat, nenek itu adalah nenek yang pernah kulihat di teras malam itu.

Awalnya aku masih berharap bahwa nenek itu adalah seorang manusia. Mungkin saja kerabat dari Mbah Yasmin. Namun saat aku melihat pantulan dari cermin, terlihat jelas wajah sebenarnya dari nenek itu. Mukanya hitam dan penuh dengan borok. Aku benar-benar ketakutan tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku di malam ini. Tapi saat itu tiba-tiba aku mendengarkan suara dari luar. “Bilang aja kamu mau ikut ke ritual, Kan?!” “Enak aja! Aku Cuma mau mastiin setan apaan disana?” “Ngapusi! Bilang aja mau liat perempuan nggak pake baju di sana..” Aku mengingat salah satu suara mereka. Itu adalah suara Pandu. Saat itu aku aku berlari ke arah pintu ingin menghampiri mereka. Brakk!! Brak!!! Pintu terkunci, biar bagaimanapun aku mencoba untuk keluar pintu itu tetap tak bisa dibuka. “Ning njobo bahaya lho, le…” (Di luar bahaya lho, nak…) Nenek mengerikan tadi pun menoleh ke arahku yang masih berusaha membuka paksa pintu rumah ini. “Nggak! Nggak! Aku nggak mau ada di desa ini!” Teriakku. “Aku wis ngandani yo, le..” (Aku sudah ngasi tau ya, nak…) Brakk! Pintu pun terbuka. Aku sekuat tenaga berlari ke arah dua pemuda yang salah satunya adalah Pandu yang kutemui di dekat komplek pemakaman yang terlupakan di desa. “Pandu! Tolong!” Teriakku. “Lha? Dipta?” Pandu cukup heran melihat kedatanganku, namun entah mengapa aku merasakan raut wajah sedikit lega di wajahnya. “Ini desa apa, Pandu? Kenapa banyak setan… dan di desa ada ritual…” “Tu—tunggu? Pandu? Sejak kapan nama kamu jadi Pandu?” Tanya seorang pemuda yang berjalan bersama Pandu itu. “Udah diem aja, di desa begini kan nggak mungkin aku ngasi tau nama asli. Takutnya Mas Dipta terbawa juga dengan mereka,” Jelas Pandu. Tunggu, aku sedikit mencerna perkataan Pandu itu. Apa ini artinya Pandu bukanlah nama sebenarnya dari pemuda itu. “Namanya Cahyo, Mas. Kalau saya Danan. Bener juga kata Cahyo. Penduduk desa ini memiliki kepercayaan yang berbeda. Ada baiknya menjaga informasi diri kita..” Cahyo dan Danan. Dari cara mereka bersikap dan tak gentar dengan setan-setan di sekitar tempat ini aku yakin mereka bukan orang biasa. “Nan,” Cahyo memberi isyarat pada Danan sambil melempar pandangan ke arah rumah Mbah Yasmin. Mereka jelas melihat pocong-pocong yang menjilati cairan yang disiramkan oleh Mbah Yasmin Maghrib tadi. Danan mengangguk. Ia berjalan ke arah rumah mbah yasmin dan meletakkan tangannya di tengah halaman. Ayat-ayat suci pun dilantunkan bersama doa-doa yang sedikit kumengerti. Dari situ aku yakin bahwa Danan bukanlah bagian dari warga desa ini. Saat itu seketika bau bangkai tercium dengan begitu menyengat. Tiba-tiba perhatian pocong-pocong itu mengarah ke Danan, dan ternyata bukan itu tujuan Danan. Tanah di halaman rumah Mbah Yasmin bergerak seolah ada sesuatu yang ingin memberontak keluar dari tanah. Saat itu Danan melepaskan tangannya dan mundur. “Sebanyak ini?” Danan kaget dengan apa yang dilihatnya. Hampir seluruh tanah halaman Mbah Yasmin bergetar, dan sudah ada beberapa kain kafan yang menyeruak keluar. Cahyo menggeleng melihat pemandangan itu. “A—apa itu, Mas?” Tanyaku. “Untung kamu cepat pergi. Penghuni rumah ini sudah mengoleksi puluhan mayat di halaman rumahnya,” ucap Cahyo. Deg!! Jantungku berdegup mendengar perkataan Cahyo saat itu. puluhan mayat? Yang benar saja? Untuk apa Mbah Yasmin melakukan itu? “Te—terus gimana mas?” tanyaku. Cahyo menoleh ke arah Danan memberi isyarat menanyakan apa yang akan dilakukan. “Sepertinya nggak bisa malam ini. Kita mundur dulu,” balas Danan. “Payah! Harusnya seorang Danan itu ahli meruwat. Masa lahan segini aja nggak bisa,” Ledek Cahyo. “Sabar. Kalau Danan yang kamu kenal bisa. Masa aku nggak?” Balas Danan. Cahyo membalas jawaban itu dengan menepuk bahu Danan dan mengajaknya pergi. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka perbincangkan, namun aku mulai bisa menebak maksud keberadaan mereka di desa ini. Kamipun pergi menjauh dari rumah Mbah Yasmin. Saat itu aku benar-benar was-was dan tak bisa menahan untuk tidak menoleh ke belakang. Aku bergidik ngeri melihat halaman rumah Mbah Yasmin dipenuhi sekumpulan pocong yang menampakkan dirinya. Sayangnya tidak hanya rumah Mbah Yasmin. Hampir di setiap rumah terdapat makhluk-makhluk dengan wujud mengerikan yang meninggali halamannya. Desa ini sudah seperti tempat tinggal ternyaman untuk mereka. ***

PEMAKAMAN YANG LAIN Mas Cahyo dan Mas Danan mengajakku melintasi pemakaman dimana terdapat berbagai batu nisan. Berbeda dengan pemakaman di tengah hutan, batu nisan di pemakaman ini menggambarkan bahwa jasad yang dikuburkan menganut ajaran agama. Walau berbeda-beda, setidaknya mereka percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Mungkin karena itulah pemakaman di sini tidak diurus hingga ditumbuhi ilalang yang tinggi. Ada sebuah gubuk tua yang dirapikan dengan sederhana tak jauh dari pemakaman. Sepertinya di sinilah Cahyo dan Danan beristirahat. Kalau bisa melihat sisi sebenarnya dari desa itu, tidak heran mereka berdua lebih memilih untuk tinggal disini. Saat itu Cahyo dan Danan menanyakan bagaimana aku bisa tersesat di tempat ini. Akupun menceritakan tentang bagaimana niatku meninggalkan ibukota dan pulang ke kampung, namun tiba-tiba aku tersesat di tempat ini setelah diantar bus misterius itu. Menurut Cahyo, apa yang terjadi padaku adalah pengaruh dari uang yang kugunakan. Uang itu berasal dari desa ini, dan secara misterius uang itu akan menuntunku untuk sampai ke desa ini. Itu adalah maksud dari orang yang memberikan uang itu. “Memangnya mas tidak merasa aneh ada orang yang memberikan uang sebanyak itu dengan Cuma-Cuma?” Tanya Danan. “Pasti, tapi namanya butuh, Mas. Lantas apa artinya mereka yang kuberikan dengan uang ini akan tiba di desa ini juga?” Tanyaku. “Bisa iya, bisa juga nggak. Tapi biasanya Cuma si penerima uang pertama yang menjadi incaran,” Balas Cahyo. Aku sedikit lega. Aku tak ingin membayangkan bahwa elang akan tiba di desa ini dan mengalami nasib yang sama sepertiku. Cahyo pun mulai menceritakan tentang wujud sebenarnya dari desa ini. Desa tersembunyi yang menurut cahyo menjadi tempat yang bisa disebut sebagai ‘penghasil dedemit’. “Desa ini menjadi sarang yang nyaman buat setan-setan. Setiap ritual yang mereka lakukan akan mengundang mereka dan menjadikan mereka berhubungan dengan manusia. Setan-setan yang terkumpul di desa inilah yang kelak akan dimanfaatkan oleh dukun-dukun diluar sana.” Jelas Cahyo. Mendengar ucapan itu aku menggeleng. Memang saat ini praktik klenik semakin marak lagi. Namun aku tidak menyangka bahwa setan-setan itu juga dihasilkan di suatu tempat. “Keberadaan kalian untuk mengusir setan-setan itu?” Tanyaku. “Niatnya begitu, tapi nggak gampang, Mas.” Balas Cahyo. Mas Cahyo menceritakan bahwa seandainya pun ia bisa mengusir dan menenangkan setan-setan di desa ini sedikit demi sedikit, itu tak akan bertahan lama. Kepercayaan warga desa dan ritual yang mereka lakukan akan terus memanggil makhluk-makhluk terkutuk itu dan tak ada yang akan berubah. “Penduduk desa ini konon menganut salah satu keturunan raja di tanah jawa. Raja yang menurut mitosnya menganut kepercayaan serupa dimana hubungan pria dan wanita merupakan sesuatu yang sakral, dan darah manusia adalah berkah yang mendekatkan mereka pada kesempurnaan,” jelas Danan. Sebenarnya samar-samar aku merasa pernah mendengar tentang raja yang dimaksud. Namun siapa sangka kepercayaan itu benar-benar ada. “Menikmati kenikmatan duniawi, menuruti nafsu hingga mati rasa untuk mencapai kesempurnaan. Itu benar-benar diluar nalarku,” Balas Cahyo. “Itu untuk kita yang sudah menerima agama, Cahyo. Untuk masyarakat dulu, sex itu bukan hal yang tabu malah menjadi sesuatu yang sakral. Mereka belum mengenal surga dan neraka. Kematian hanya dianggap sebagai siklus di dunia ini,” Tambah Danan. Aku mengangguk-angguk mendengar perbincangan mereka. Namun yang kupikirkan saat ini hanyalah bagaimana cara agar aku bisa pergi dari desa ini secepatnya. “Terus, Mas. Apa saya bisa segera pergi dari desa ini?” Tanyaku. Mas Danan dan Mas Cahyo saling bertatapan. “Nah itu masalahnya,” sebut mas cahyo. Aku mengernyitkan dahiku mendengar ucapan mas cahyo. “Temenku yang ini kelewat pinter. Jangankan kamu, kami aja belum tau caranya keluar dari desa ini,” tambah Danan. Plakk!! “Nggak gitu jawabnya, Nan. Ngisin-ngisini wae.Yang bener, tugas kita di desa ini masih belum selesai. Makanya kita belum bisa pergi,” Balas Cahyo. Tu—tunggu. Bahkan orang seperti mereka pun tidak bisa pergi dari desa ini? Bagaimana denganku yang sama sekali tidak mengerti apapun tentang hal gaib? Srakk!! Di tengah perbincangan kami tiba-tiba Mas Cahyo dan Mas Danan terdiam. Mereka seolah merasakan sesuatu. Tang… Suara gendang itu… “Mas?” Aku menoleh ke arah Mas Cahyo, namun ia memberi isyarat jari ke arahku untuk diam. “Ssst..” Mas Cahyo dan Mas Danan bergerak ke sudut-sudut jendela dan mengintip apa yang sebenarnya membuat ia merasa gelisah. “Kita dikepung..” ucap Mas Cahyo. “Brengsek..” Mas Danan mengumpat sepertinya apa yang terjadi di luar adalah sesuatu yang buruk. Suara gendang terdengar mengalun membentuk irama. Dari arahnya aku menebak pemain gendang itu sedang mengitari rumah ini. “Jangan keluar dari gubuk ini,” Perintah Mas Cahyo. Aku hanya mengangguk tanpa bisa memutuskan untuk berbuat apa. Sepertinya mereka memutuskan untuk menghadapi apapun yang berada di luar sana. Krekk! Pintu gubuk pun terbuka. Sekali lagi aku melihat pemandangan sosok itu, sang penari tanpa kepala. Walaupun sudah pernah melihat wujudnya, sepertinya aku tak akan pernah terbiasa. “Ayu-ayu ra nduwe ndas..”(Cantik-cantik nggak punya kepala..) ucap Mas Cahyo dengan entengnya. Plak!!! Mas Danan memukul kepala temannya itu atas ucapan seenaknya yang ia lontarkan. “Sing nggenah kalo ngomong!”(yang bener kalau ngomong)

“Nggak usah tegang-tegang gitu kenapa, Nan,” “Nggak gitu! Yang bener aja, gimana bisa ngomong ayu kalau kepala aja nggak ada,” Ucap Danan. Buggh! Cahyo menyenggol bahu Danan dengan wajah kesalnya. “Assemm kowe, Nan.” Jelas-jelas sebelum membuka pintu tadi mereka merasa tegang. Sepertinya perbincangan konyol mereka ini adalah cara mereka untuk menenangkan diri. Tang… “Wis tak kandani, ora usah ikut campur karo urusan deso iki!” (Sudah kukatakan tidak usah ikut campur dengan urusan desa ini) Suara seorang kakek terdengar dari salah satu tempat. Cahyo menoleh dan mendapati kakek itu tengah duduk dengan santai di atas gubuk tempat kami berada. “Bisa nggak, kalau dibalik. Urusan desa ini jangan ikut campur sama urusan dunia luar,” Balas Danan. “Lha mbuh? Udu urusanku!” (Lha nggak tahu, bukan urusanku!) Balas kakek itu. “Terus kenapa kau membawa mereka ke tempat ini? Mengancam?” Tanya Cahyo. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Yang terlihat olehku saat ini hanya penari tanpa kepala itu. Apa yang dimaksud oleh Mas Cahyo? “Bukan aku yang membawa mereka. Saya Cuma jasa penari demit keliling, nggak lebih…” Balasnya. “Kalian orang-orang baik, sayang sekali jika kalian mati di tempat ini…” Kakek itu melompat turun dari atap gubuk ini dan kembali memainkan gendangnya. Trang..tang..tang.. Ia mengajak teman penari tanpa kepalanya itu kembali menari melintasi ilalang-ilalang tinggi di pemakaman. Suara itu menghilang perlahan beberapa saat setelah wujudnya menghilang dari pandangan kami. Namun Mas Danan dan Mas Cahyo masih terlihat cemas. “Mas, penari itu sudah pergi?” Tanyaku yang memberanikan diri untuk keluar. Namun tepat saat aku meninggalkan gubuk, wajahku pucat seketika. Gubuk ini dikepung oleh kepala-kepala tanpa tubuh yang melayang-layang. Sebagian kepala itu sudah membusuk, dan beberapa diantaranya mengenakan sanggul ataupun perhiasan yang menandakan bahwa kepala itu pernah hidup di zaman kerajaan. “Mas.. Cahyo…” ucapku gemetar. “Jaga kesadaranmu, Mas Dipta. Jangan jauh-jauh dari kami,” Balas Mas Cahyo. Saat ini yang ada di hadapanku adalah kepala-kepala manusia yang melayang tertawa, menangis, mengancam, hingga menjerit kesakitan. Suara-suara itu terngiang-ngiang di telingaku seolah hendak merebut kesadaranku. Berbeda denganku, Mas Cahyo dan Mas Danan justru mengambil posisi duduk dan bersahut-sahutan melantunkan ayat-ayat suci yang menggema hingga ke sekitar tempat ini. Kepala-kepala itu pun tak berani mendekat. Suara-suara mengerikan yang meneror kami pun perlahan semakin berkuran berganti dengan suara Mas Danan dan Mas Cahyo yang dengan khusyuk melantunkan amalannya. Brukkk!! Brukk!! Brukk!!! Sesuatu jatuh di dekatku dengan suara keras. Aku pun menoleh dan mencari tahu benda apa yang bisa jatuh dengan suara keras itu, dan aku menyesal. Seharusnya aku sudah menyadarinya. “Ke—kepala?!!!” Kepala itu mulai berjatuhan ke sekitar kami. Teriakan, tawa, tangis yang meneror kami pun berganti dengan suara hujan kepala yang jatuh di sekitar kami. “Sudah selesai..” Mas Cahyo selesai dengan amalannya dan kembali berdiri. Ia menggeleng melihat pemandangan kepala-kepala yang berserakan di sekitar kami. “Mas? Ini gimana?” Tanyaku. “Ya gimana lagi, kita kubur biar nggak gentayangan lagi,” Jawab Mas Cahyo. Mengubur kepala-kepala ini? Aku menoleh ke salah satu kepala dan kepala itu sudah membusuk dan mengeluarkan bau yang menyengat. Aku menahan muntah saat melihatnya, namun benar ucapan Mas Cahyo. Kami harus menguburnya dengan layak. Saat Mas Cahyo memulai menggali sebuah lubang di dekat pemakaman, Mas Danan justru menoleh ke satu arah. Ia seolah merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. “Kamu ngerasain juga?” Tanya Mas Cahyo. “Iya..” “Kita nggak boleh lengah. Kepala-kepala ini cuma peringatan untuk kita,” Balas Mas Cahyo sambil mulai menggali. Mas Danan mengangguk sepakat. Ia juga mulai mengumpulkan kepala-kepala yang berserakan itu. Saat ini aku tidak bisa membayangkan, teror semengerikan ini hanya sekedar peringatan semata. Apa yang sebenarnya ada dibalik kejadian malam ini? Apalagi yang bisa ia lakukan kepada kami? Aku tak sekuat Mas Danan yang mampu menahan rasa jijik dan rasa takut pada kepala-kepala itu hingga memilih membantu mas cahyo menggali lubang dengan peralatan seadanya. “Mas Dipta..” Mas Danan menepuk pundakku yang tengah kesulitan memindahkan tanah dari dalam lubang. “TUKOKNO AKU KLAMBI!!” (BELIKAN AKU BAJU!!) Sebuah kepala wanita tanpa mata berada tepat di hadapan wajahku dengan rambut yang terangkat keatas. “HWAAA!!!” Aku berteriak hingga masuk ke dalam lubang. Sementara itu Mas Danan malah tertawa cekikikan melihat reaksiku yang kaget dengan perbuatannya. “Mas jangan bercanda! Kepala manusia itu!” Teriakku kesal. “Iyo, Nan! Bisa kualat kamu mainin kepala mayat!” Tambah Cahyo. “Jangan serius-serius. Dunia ini butuh candaan untuk jadi lebih nyaman. Hahaha,” Balas Danan. “Ya tapi nggak kepala mayat juga,” Cahyo menggeleng. Menjelang pagi, kami pun selesai mengubur semua kepala itu dan menghaturkan doa-doa kepada Sang Pencipta untuk menenangkan roh dari pemilik kepala-kepala ini. Semoga saja mereka tidak digunakan lagi oleh makhluk-makhluk biadab yang mempermainkan hidup seseorang. ***

TANAH MAYAT Malam itu begitu melelahkan untukku. Bahkan di gubuk tua yang penuh nyamuk inipun aku bisa tertidur dengan lelap sampai tengah hari. Tapi tidak dengan Mas Danan dan Mas Cahyo. Mereka justru sudah bangun dan sudah melakukan banyak hal. Dari dalam gubuk aku seolah mendengar mereka berdua berbicara dengan seseorang, namun aku tidak mendengar dengan jelas. Logatnya tidak seperti suara warga desa di sini. “Sarapan, Mas Dipta.” Mas Cahyo yang mengetahui bahwa aku sudah terbangun pun memanggilku keluar. Aku pun mendatangi mereka dan mengambil posisi duduk di batu dengan pemandangan pemakaman. Hufft… Sungguh berbeda dengan pemandangan pagi kemarin yang disempurnakan dengan keberadaan Asri di depan rumah. Tapi aku sangat bersyukur dengan pemandangan ini. Keindahan Asri hanyalah ilusi semata. Ritual yang Asri lakukan, bagaimana tubuh Asri diperlakukan, hingga ekspresi wajah Asri saat tubuhnya dinikmati oleh warga desa benar-benar tak bisa kulupakan. Sepertinya itu akan membekas seumur hidup di ingatanku. “Cuma ada pisang, Mas. Seadanya dulu ya.” Ucap Mas Cahyo. “Pisang juga udah syukur, Mas. Di Jakarta saya pernah sampai mungutin sayur-sayur busuk yang dibuang tukang sayur Cuma buat ganjel perut,” Balasku. “Nah, Bener ucapanmu ,Cahyo! Bahkan makanan di hutan masih lebih baik daripada hidup susah di ibukota,” Celetuk Danan. “Iyo, Nan. Di hutan masih ketemu buah, biji-bijian, umbi-umbian. Bisa nangkep ayam hutan, mancing ikan. Yang penting nggak manja aja,” Balas Cahyo. Ucapan Mas Cahyo ada benarnya. Tapi untuk orang sepertiku yang tidak mengerti tentang alam, tetap saja mustahil untuk bertahan hidup di hutan. “Bisa dapet pisang darimana, Mas?” “Oh, kalau ini urusan tim bagian logistik,” ucap Mas Cahyo sambil menunjuk ke arah atap gubuk. Tepat saat aku menoleh kulit pisang mendarat di wajahku. “Aduh!” Aku menyingkirkanya dan mendapati seekor kera sedang menertawakanku. “Haha.. maafin ya, Mas. Namanya Kliwon. Dia emang suka iseng,” Ucap Mas Cahyo. “Nggak, nggak papa, Mas. Mana mungkin marah sama yang udah nyariin sarapan,” Balasku. Mendengar jawabanku kera bernama Kliwon itu melompat dan menghampiriku. Ia menaiki pundakku begitu saja dan bersikap begitu ramah. Sepertinya aku akan cepat akrab dengan Kliwon. Setelah selesai dengan urusan bersih-bersih. Mereka berdua mengajakku untuk mengawasi desa dari sebuah bukit kecil. Cukup jauh, tapi desa itu terlihat dengan jelas dari atas bukit. “Sekilas seperti desa biasa ya, Nan..” Ucap Cahyo. “Iya. Tapi aku kemarin berhasil nemuin ini..” Danan mengeluarkan sebuah gulungan Serat tua yang bertuliskan aksara kuno. Aku sama sekali tidak mengerti artinya namun mereka berdua memandangnya dengan begitu serius. “I—itu isi tulisannya apa, Mas Cahyo?” Tanyaku. “Nggak bisa baca tulisan jawa kawi?” Tanya Mas Cahyo. Aku menggeleng meresponya. “Sama..” Balas Mas Cahyo. Aku pun menjauh dan menatap Mas Cahyo dengan muka masam. “Terus kenapa ngeliatin serius gitu, MAS?!” ucapku kesal. “Ya kan Danan nunjukin, lha aku ngeliatin. Tinggal nunggu Danan jelasin lah!” Plakk!! Danan memukul kepala Mas Cahyo dengan kesal. Sepertinya ia juga terkecoh dengan tingkah Mas Cahyo. “Ngomong kalau nggak ngerti! Wis kadung tak enteni,” (Ngomong kalau nggak ngerti! Sudah terlanjur aku tungguin) Kesal Danan. “Kamu ngerti, to?” Tanya Mas Cahyo. “lumayan, tapi aku bisa nangkep intinya..” Balas Danan.

“Nah untuk hal ini kamu lebih pinter dari Danan yang satunya..” Mas Danan menceritakan bahwa Desa ini sebelumnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan. Sebuah kerajaan yang dipimpin oleh sosok raja penganut kepercayaan yang aneh. Ia melakukan pemujaan dengan meminum darah, berhubungan badan, memakan daging mayat, hingga menari sepuasnya. Semua itu adalah cara dari penganut aliran kepercayaan itu untuk mencapai kesempurnaan. Desa ini sebelumnya adalah pemilihan orang-orang yang akan dipersembahkan untuk ritual. Dan di desa ini juga mayat-mayat sisa ritual dibuang dan dikuburkan. Saat itu warga kerajaan menyebut tanah ini dengan nama Lemah Mayit atau Tanah Mayat. Layaknya sebuah karma, kerajaan itu hancur dan dikalahkan saat sang raja dan petinggi-petingginya sedang terbuai oleh kenikmatan dan menikmati ritual yang rutin mereka jalankan. Walau sudah dikuasai oleh kerajaan lain, tak ada satupun orang yang mau mendekat ke Lemah Mayit ini. Selang cukup lama, zaman kerajaan mulai berganti. Tanah ini mulai dihuni oleh orang-orang yang tidak mengetahui mengenai apa yang terjadi di tempat ini sebelumnya. Mereka membangun peradaban dan membawa kepercayaan dan agama masuk. Desa ini sempat menjadi tempat yang damai dan mulai melupakan masa lalunya sebagai Lemah Mayit. Namun sebuah kejadian merubah segalanya. Ada sebuah keris yang tiba-tiba jatuh di desa ini. Salah seorang sesepuh desa dipercaya untuk menyimpan keris itu dan mencari tahu tentangnya. Namun ternyata hal itu menjadi awal mula dimana masyarakat desa mulai meninggalkan kepercayaannya. Keris itu mempengaruhi sesepuh desa dan menunjukkan tentang aliran kepercayaan sang raja yang terlihat sebagai cara menyenangkan untuk mencapai kesempurnaan. Ia dituntun menemukan pemakaman yang menjadi pusat kesakralan lemah mayit. Sedikit demi sedikit kepercayaan desa semakin terkikis, mereka mulai kembali menganut kepercayaan yang sama dengan sang raja di masa itu. Saat itulah roh-roh penasaran yang bersemayam di tanah itu bangkit dan mendapatkan ‘makanan’ mereka. Roh itu berdampingan secara tidak langsung dengan warga desa. Seolah mendapat pencerahan semu, mereka merasa mendapatkan hidup yang bahagia dengan memuja sosok sosok yang mereka kira sebagai sisi gelap sang desa. Namun pada kenyataanya mereka diperdaya oleh sosok yang mengatas namakan itu. “Gulungan lontar ini ditulis oleh warga desa terakhir yang masih bertahan dengan kepercayaanya terhadap Sang Pencipta. Ia bahkan mengasingkan diri di gubuk ini agar tidak terpengaruh oleh warga lain..” Jelas Mas Danan. “Kamu dapet itu dari mana?” Tanya Mas Cahyo. “Lokasi ritual kemarin. Kan udah dibilang, aku cari informasi..” Balas Danan dengan muka sedikit sombong. Ia menceritakan bahwa Gulungan itu sebenarnya diletakkan di tempat yang mudah ditemukan. Namun sang penulis tahu, bahwa mereka yang datang dengan membawa hawa nafsu tidak akan berniat pada gulungan itu hingga gulungan itu bertahan selama berpuluh-puluh tahun di sana. Mas Cahyo terlihat berpikir keras. Sepertinya ia sedang berusaha menjahit sesuatu di pikiran nya. “Akhirnya ketemu!” Ucap Mas Cahyo tiba-tiba. “Ketemu apa, Mas?” Tanyaku. Cahyo tidak menjawabku. Ia justru berpaling ke arah Danan. “Tidak salah lagi. Keris itu pasti pusaka mayit yang membunuh paklek. Kalau kita bisa menghentikan ritual itu kembali terjadi, kekuatan keris pusaka mayit itu pasti akan berkurang!” Ucap Mas Cahyo. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang mas Cahyo katakan. Namun aku sedikit menduga, bahwa apa yang mereka bahas mungkin ada hubunganya dengan semakin meluasnya bencana gaib yang dulu menyebar sangat masif hingga saat ini. Keris Pusaka Mayit? Benda itu terdengar begitu mengerikan. Semoga saja aku tidak pernah berurusan dengan benda itu.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close