Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TUMBAL "Lemah Mayit" (Part 1) - Desa Tanpa Nama

Misteri di desa itu membawa petaka yang mempertaruhkan banyak nyawa...


PROLOG Suara deru mesin bus terdengar berdesing di antara jalur lintas Jawa yang terasa begitu sepi. Aku menatap ke luar jendela, hanya sekumpulan pepohonan yang sedikit terlihat berkat cahaya temaram dari rembulan. Setelah sebelumnya melewati beberapa kota, sebagian banyak penumpang sudah turun dan hanya tersisa sedikit penumpang yang berada di bus ini. Aku salah satunya, dan sepertinya tak lebih dari lima orang yang masih berada di kursi-kursi depanku. Mereka semua terlelap terlena dengan suasana gelap dan alunan lagu era 80an yang disetel oleh sang Supir. Jauh melintasi jalur berkelok di pinggir hutan, entah mengapa tiba-tiba aku merasa bus ini melambat. Perlahan terdengar suara rem bus yang khas berdesis seolah hendak berhenti. Anehnya, aku tak melihat ada satupun terminal, halte, atau apapun di depan. Aku yang bingung pun mendangak berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Brak! Pintu bus terbuka. Aku mengernyitkan dahi saat menyadari tidak ada satupun penumpang yang turun ataupun naik. Sempat kukira sang supir ingin mengecek sesuatu, atau mungkin sekedar buang air kecil. Namun ia tidak beranjak dari kursinya dan hanya menatap ke depan tanpa menoleh sedikitpun ke arah pintu penumpang di sebelah kirinya. “Kowe mudun ning kene wae yo, Le…” (Kamu turun di sini saja ya, Nak…) Tiba-tiba suara seorang kakek terdengar dekat di telingaku. Seketika aku tersentak dan jantungku berdegup kencang. Suara tanpa wujud itu membuatku seluruh tubuhku merinding. Aku pun beranjak dari kursiku, mengambil tas yang aku letakkan di ruang kecil di atas kursi. Aku mengenakan tas itu di punggungku dan mElangkah dengan ragu menuju pintu yang terbuka itu.

Kakiku sedikit gemetar. Perasaan yang tak biasa menyelimutiku ketika para penumpang yang sebelumnya kulihat tengah tertidur, kini menatap ke satu arah, ke arahku. Wajah mereka pucat, mereka hanya menatap dengan raut wajah yang datar. Jelas ada sesuatu yang tidak beres dengan keadaan ini. Aku pun mempercepat langkahku dan turun meninggalkan bus itu. Hanya hutan dan jalanan sepi di tengah gelapnya malam. Namun setidaknya, yang kulakukan adalah keputusan yang tepat. Setidaknya untuk saat ini. Tepat saat pintu bus itu tertutup, dari jendela tak lagi terlihat penumpang-penumpang yang menatapku dengan wajah pucat. Dari luar terlihat kursi-kursi penumpang itu diisi oleh sosok pocong-pocong yang kini menatapku dengan matanya yang menghitam. Rasa takutku semakin menjadi, dan aku hanya mampu menggenggam sebuah benda yang terkalung di dadaku sambil membacakan beberapa doa yang kubisa. Bus itu pun menutup pintunya dan berjalan meninggalkanku di pinggir hutan yang begitu gelap. Tepat saat bus itu pergi, samar-samar terlihat seorang kakek berpakaian surjan lusuh dengan rambut putih yang panjang. Ia menatapku dari seberang jalan sambil tersenyum tanpa suara. Saat itu aku pun sadar bahwa aku belum lolos dari desa itu. Desa yang dipenuhi oleh manusia dan makhluk-makhluk terkutuk. Desa yang menginginkanku menjadi bagian darinya. Desa Tumbal Lemah Mayit… ***

Part 1 – Desa Tanpa Nama Menjadi pengangguran lebih dari satu tahun bukanlah sesuatu yang kubayangkan saat aku kuliah di salah satu universitas ternama di Ibukota saat itu. Jaminan seorang sarjana akan dibutuhkan di dunia kerja, hingga pekerjaan yang dapat dibanggakan oleh kedua orang tuaku di desa sudah lagi tidak relevan saat ini. Krisis moneter yang menerpa negeri ini merubah banyak hal. Nilai uang tak lagi sama, rasa aman tak lagi dapat kami nikmati hingga begitu sulit untuk orang sepertiku berjuang di ibukota ini. Dipta Radita, Sebuah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku dengan harapan bahwa aku akan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Tapi sayangnya, keadaanku saat ini masih berbanding terbalik dengan niat mereka menyematkan nama itu. “Dipta, keluar ga?” Terdengar suara seseorang yang tanpa tahu malu berteriak di depan pintu kosku dengan lantang. “Iya! Lima menit!” Dia Elang, teman seperjuanganku yang turut berjuang mengadu nasib di Ibukota yang katanya lebih kejam dari Ibu tiri ini. Saat ini, mungkin aku bisa mengatakan bahwa ungkapan itu tidak mengada-ngada. Bisa makan kenyang sehari sekali saja aku sudah sangat bersyukur. Aku mengganti celanaku dengan celana panjang yang robek di bagian lutut dan mengambil gitar tua dengan satu senar putus yang belum sempat ku perbaiki. Di depan, Elang sudah menanti dengan gaya ‘kampunganya’ dengan topi yang dipakai terbalik ke belakang. “Perempatan pulomas?” Tanyaku sambil mengikuti langkah kakinya. “Terminal aja, cari bis yang ke Klender.” “Cari mati, lu? Ketahuan Bang Kohar babak belur lagi kita!” “Ya jangan sampai ketahuan lah Blo’on!” Umpatnya sambil mengibaskan topinya ke kepalaku. Yah, inilah profesi kami saat ini. Profesi yang menyelamatkan kami agar bisa bertahan hidup di ibukota yang sangat padat ini. Bukan aku ingin menyerah, namun aku masih berharap bahwa akan ada waktunya aku mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan kedua orang tuaku di kota ini.

Dengan berhati-hati kami menunggu beberapa puluh meter dari gerbang terminal. Sesekali kami mengintip keberadaan Bang Kohar yang masih asyik bermain gaplesambil menerima setoran dari pengamen dan pedagang asongan yang mencari makan di wilayahnya. Sebuah bus metromini bernomor 042 terlihat keluar dari terminal. Elang mengintip dari jauh dan memastikan tidak ada pengamen yang sudah lebih dulu menaiki bus itu. “Naik, Dip!” Ucap Elang memberikan isyarat aman. Dengan terburu-buru kami mengejar pintu belakang bus berkursi oranye yang enggan melambat untuk kami itu. Mata kami melihat sekeliling dan terlihat sudah setengah dari kursi yang berjajar dua-dua itu terisi. “Berita hangat! 49 Narapidana kabur dari Lapas, lima ditangkap empat puluh empat masih kabur! Siap-siap pemilu dengan 48 Pandui politik.. Ini jumlah napi sama Panduinya janjian ape? Silahkan dibaca, dua ribu aja. Harga korannya 1.400 yang 600 buat tukang koran-nya nabung naik haji..” Suara khas sang penjual koran mengisi perjalanan lebih dulu sebelum kami. Tak hanya memahami berita hari ini, ia bahkan menambah celotehan lucu yang berhasil membuat beberapa penumpang tersenyum-tersenyum kecil. “Alhamdullilah, makasi Bu.. laris, laris!” Beberapa penumpang penasaran dengan berita yang dijabarkan oleh tukang koran itu dan membelinya. Tapi menurutku, bisa saja ada yang membeli bukan karena beritanya, tapi karena terhibur oleh celetukan tukang koran itu. “Duluan, Lang!” Tukang koran itu menyapa kami sebelum turun di salah satu lampu merah. Kami membalas seadanya sambil melambaikan tangan. Saat ini giliran kami yang menemani penumpang dengan permainan gitarku dan suara lantang Elang. “Dikulum-kulum lalu Dikunyah-kunyah. Assalamualaikum, Tuan dan Nyonyah. Dua musisi jalanan yang diimpor langsung dari pedalaman Afrika Selatan mohon izin menemani perjalanan, ” Dengan luwes Elang mengambil posisi membuka penampilan kami di bus ini. Aku menyambungnya dengan suara genjrengan yang segera disambut dengan lirik lagu band Padi yang dinyanyikan oleh Elang. Mungkin ada lebih dari lima bus yang kami naiki, dan beberapa diantaranya kami harus berurusan dengan preman jalanan yang meminta ‘jatah’ dari uang kami yang tidak seberapa. Bukan tidak mau melawan, namun ketimbang kami babak belur dan tak bisa mencari uang lagi lebih baik kami sedikit berbagi kepada mereka yang ‘membutuhkan’. Membutuhkan diberi sepuluh sampai dua puluh pukulan biar kapok maksudku.

“Sarapan dulu yuk,” Ajak Dipta. “Emang duit sisanya cukup? Diambil abang-abangan tadi kan?” Tanyaku. Elang melirik ke kanan ke kiri dan memasukkan tangannya dalam celananya. Aku geli melihat kelakuannya, namun ia menunjukkan beberapa lembar uang kertas dari zona terlarangnya. “Najis dah lu, Lang! Bau dah tu duit!” “Peduli setan, Dip. Yang penting duitnya selamat. Makan gak?” “Pakek nanya..” Balasku sambil merangkul Elang dan memuji ide briliannya. Dua bungkus nasi warteg portugal atau porsi tukang gali memuaskan rasa lapar yang telah kami tahan sejak tadi pagi. Di bawah pohon rindang, bertemankan seplastik es teh yang kami bagi berdua rasa lapar kami tertuntaskan sesingkat-singkatnya. “Gilak, kenyang banget gua. Warteg Mbok Yum emang manteb, sayang nggak bisa ngutang..” Ujar Elang. “Nggak usah ngutang juga udah murah, kalo banyak yang ngutang terus dia bangkrut kita yang repot.” “Setuju gua sama lu..” Seusai makan kami bersandar sejenak di bawah pohon sambil menunggu nasi portugal kami tercerna dengan sempurna. Hari masih cukup panjang untuk kami mengais rezeki. Tak hanya untuk makan, aku juga masih perlu uang untuk membayar kamar kosku yang sudah terlambat hampir satu bulan. Tanpa kami sadari, adzan maghrib berkumandang saat kami sedang mengamen. Kami berhenti menyanyi dan memilih untuk menyudahi sesi di bus itu. Kantung permen kami edarkan untuk mengumpulkan receh. Tidak begitu banyak, namun saat kami menghampiri penumpang di belakang, kami terhenti. Seorang pria kurus yang sudah cukup berumur dengan rambut yang sudah memutih duduk di kursi ujung paling belakang. Ia memasukkan puluhan uang lima puluh ribuan yang digulung dengan karet ke dalam kantung permen kami. Aku dan Elang saling bertatapan mempertanyakan perbuatan bapak itu. “P—Pak? Ini bener?” Tanyaku “Iya, bawa saja,” Jawabnya santai. Elang terlihat tersenyum sumringah, aku pun iya, namun di balik senyuman itu tersimpan rasa curiga pada bapak itu. “Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga rejeki bapak lancar,” balas Elang. Kami pun turun dari bus sambil tersenyum senang. Bila dibagi berdua pun, dengan uang ini aku bisa membayar kosku untuk satu bulan kedepan, itu pun masih sisa. Tapi baru saja kami berjalan beberapa langkah, tiba-tiba kami terhenti saat melihat beberapa orang tengah berkumpul tak jauh dari pandangan kami. Itu gerombolan bang Kohar.

Spontan aku dan Elang berbalik pura-pura untuk tidak melihatnya, namun Bang Kohar tidak sebodoh itu. “Elang, Dipta.. Sini lu!” Teriaknya dari jauh. Aku menoleh ke arah Elang, dan tanpa berkata sepatah katapun kami memutuskan untuk berlari secepat mungkin menjauh dari mereka. “Si Anjing! Kejar!!” Teriak Bang Kohar. Seketika kami berdua dikejar oleh gerombalan preman terminal. Kami sadar, kalau kami menjawab tadi kami akan dihajar dan sudah pasti semua uang yang kami dapatkan tadi akan diambil olehnya. Melarikan diri adalah keputusan terbaik. Tapi Bang Kohar bukan preman biasa. Ia memiliki banyak anak buah. Dalam pelarian kami tiba-tiba beberapa preman yang sedang nongkrong di warung menghadang kami. Kami pun terjepit dan mereka menangkap kami dengan mudah. Satu persatu bogem mentah dan sundutan rokok pun mendarat di tubuh kami. “Udah tahu nggak bisa kabur, dasar Goblok!” Ucap Bang Kohar yang sudah puas menghajar kami berdua hingga babak belur. Sesuai dugaan kami, semua uang yang kami dapat dirampas, dan mereka membiarkan kami berdua terbaring di sudut gang dengan wajah yang penuh dengan darah. Mataku memar hingga sulit untuk terbuka, namun aku masih bisa mendengar betapa senangnya Bang Kohar yang mendapatkan uang kami. Ia mengajak semua teman-temanya untuk mabuk-mabukan dengan uang itu.

Sial! Sial!!! Umpatku dalam hati. Aku berusaha berdiri, namun tubuhku lebih setuju untuk tetap duduk dan bersandar sejenak. Elang berusaha untuk berdiri. Ia mengambil topinya yang sudah terinjak-injak itu dan membersihkanya dari debu. “Gua balik duluan ya, Dip..” ucapnya sambil mElangkah dengan lemas. “Iya, besok ngamen lagi?” tanyaku. “Liat besok kalau kuat. Sama cari alat musik pengganti buat gitar lu juga tuh..” Balas sambil menoleh ke arah gitarku yang sudah pecah buah perlakuan Bang Kohar dan anak buahnya. Aku hanya menghela nafas melihat gitarku dan berusaha untuk berdiri. Babak belur seperti ini sudah biasa bagi kami, selama masih bisa berjalan kami hanya bisa menahan rasa sakit kami dan menganggap kejadian ini tidak pernah terjadi. Elang pergi, namun aku masih memilih untuk tetap terduduk di sudut gang itu. Sudut ini semakin gelap saat malam menyelimuti langit. Saat itu aku meratapi keadaanku yang begitu menyedihkan, bahkan menjadi seorang pengamen pun aku tidak bisa. Sehina itu kah takdir yang Tuhan berikan kepadaku? … Entah berapa lama aku melamun, tiba-tiba aku tersadar dengan tetesan hujan yang jatuh di wajahku. Masih bergumul dalam batinku pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu kujawab. Apakah mungkin ini saatnya aku menyerah dan kembali membawa rasa malu ke kampung kedua orang tuaku? Saat aku mElangkah kembali ke jalan, suasana mulai sepi. Tak ada orang yang melintas, dan suara kendaraan yang lalu lalang pun tak sebanyak biasanya. Namun mataku terpancing pada sosok seseorang yang berdiri menggunakan payung dan menatap ke arahku di tengah hujan yang mulai deras. Wajahnya tidak asing. Saat aku mendekat aku menyadari bahwa ia adalah sosok pria tua yang memberikan kami segulung uang di bus. Aku berjalan melintasinya sambil sedikit merunduk, namun aku sadar wajahnya menoleh mengikutiku. “Kalian tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu,” ucap bapak tua tadi. Aku menghela nafas mendengar ucapan itu. “Ya bagaimana lagi, Pak. Namanya juga orang kecil,” Aku ingin melanjutkan langkahku untuk segera pulang, namun sebelum itu bapak tua tadi menyodorkan sesuatu padaku. Segulung uang yang diikat dengan karet. Jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang kami terima tadi. “A—apa ini pak?” Tanyaku bingung. Bapak itu tidak menjawab dan hanya menyodorkan uang itu padaku. Jelas ia meminta aku untuk mengambilnya. Namun saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh, entah mengapa aku tak bisa menjelaskan perasaan itu. Berbagai rencana terlintas di pikiranku saat melihat uang itu. Namun sepertinya, uang itu adalah jalanku untuk menyerah. Aku akan melunasi tunggakan kosku, dan kembali ke kampung ibu setelah ini. Aku pun meraih uang itu, dan tanpa berkata sepatah katapun bapak tua itu berpaling dan meninggalkanku di tengah hujan yang deras. ***

Kampungku terletak di salah satu kota terujung di Jawa Timur. Membutuhkan waktu sehari semalam untuk sampai kesana dengan bus antar kota yang kunaiki. Setidaknya aku memiliki sedikit waktu untuk memikirkan bagaimana aku menjelaskan keadaanku selama ini di Ibukota pada kedua orang tuaku. Setelah melunasi tunggakan kosku tadi, aku sempat mampir ke rumah Elang dan menceritakan tentang uang yang kudapat. Sama sepertiku, ia juga merasa aneh dengan bapak tua yang begitu dermawan memberikan uang itu pada kami begitu saja. Walau begitu, Elang tetap menerimanya dan mengantarkan keberangkatanku. Entah berapa lama lagi, namun aku sudah berjanji akan berusaha menyempatkan diri dan mampir menemuinya. “Istirahat makan malam, tiga puluh menit!” Seorang kondektur berteriak mengumumkan alasan berhentinya bus yang kunaiki di rumah makan. Aku pun turun sambil membawa satu-satunya tas bawaanku untuk mengisi perutku sejenak. Sudah ada menu sederhana yang disediakan oleh PO Bus tersebut untuk setiap penumpangnya. Tiga puluh menit terasa begitu singkat. Saat kondektur mulai mengumpulkan penumpang kembali, aku segera meninggalkan meja makanku dan naik kembali ke bus. Ada sesuatu yang aneh yang kurasakan saat itu. Aku menaiki bus dan berjalan menuju kursi ku yang berada di baris belakang. Sudah ada penumpang yang duduk di kursi mereka masing-masing, namun wajah mereka semua terlihat pucat. Aku juga sempat menoleh kepada supir bus, dan ia hanya menatap terpaku dengan wajah yang sama pucatnya. Aku berusaha untuk tidak mempedulikan hal itu dan kembali ke kursiku. Hari sudah malam, hal terbaik yang bisa dilakukan hanya lah tidur dan berharap besok aku terbangun saat sudah mendekati terminal tujuanku. … Tak.. tak.. tak… Di tengah tidurku aku terganggu dengan suara ketukan dari kaca jendela. Aku mencoba tetap tertidur dan mengabaikannya, namun suara itu terus terdengar seolah enggan untuk berhenti. Tak… Tak… Mau tak mau aku pun membuka mata. Aku tersadar saat itu bus tengah berhenti dan mesin tidak menyala. Aku mengintip keluar jendela mencoba mencari asal suara itu, dan saat itu terlihat sebuah tulisan jari di jendela yang bawah dengan embun. “Lemah Mayit” Aku yang awalnya masih setengah mengantuk segera terjaga melihat tulisan itu. Sempat kukira itu adalah perbuatan orang iseng, namun saat aku melihat ke arah lain. Sesuatu yang aneh terjadi.

aku duduk seorang diri di kursi sepasang, di sebelahku juga hanya ada seorang penumpang wanita yang duduk di dekat jendela. Aku menoleh ke arahnya dan menyadari dia bukan penumpang yang sama dengan sebelumnya. Terlihat penumpang itu tertawa-tawa kecil sambil menunduk dan menutupi wajahnya dengan rambutnya. Saat itu jantungku benar-benar berdegup kencang. Aku merinding… Ada sesuatu yang tidak wajar. Dengan menahan rasa takutku aku sedikit berdiri mengintip keadaan penumpang lainnya, saat itu wajahku pucat seketika. Hampir dari setengah penumpang yang menempati bus ini tidak memiliki kepala. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat dan mencari keberadaan sang supir dan yang kutemukan adalah sosok makhluk hitam berbulu yang menguasai kursi pengemudi itu. “Se–setan! Setan…” Aku mencoba berteriak, namun suaraku tertahan di tenggorokanku. Merasa tidak mungkin berada di tempat ini lebih lama, aku pun buru-buru mengambil tasku dan meninggalkan tempat dudukku menuju pintu keluar di belakang. Pergi… aku harus pergi meninggalkan bus ini. Tidak mungkin aku terus berada di bus yang berisi makhluk seperti ini. Kakiku lemas, aku terjatuh saat menuruni bus itu. Namun tepat setelah langkah terakhirku meninggalkan bus, mesin bus itu menyala. Bus itu pergi meninggalkanku di jalan tanah yang dikelilingi hutan. Gelap, tak ada sedikitpun penerangan yang ada di tempat ini. Hanya cahaya bulan yang sedikit membuatku mampu melihat apa yang ada di sekitarku. Pohon pohon, dan beberapa batu besar yang mungkin dijadikan sebagai penanda. Sejenak aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Aku berjalan tanpa arah berusaha mencari petunjuk untuk segera meninggalkan tempat ini. Sayangnya, walau telah berjalan cukup lama, tak ada hal lain yang kutemukan selain pepohonan. Sempat aku berpikir untuk berhenti dan menghabiskan malam di pinggir jalan dan berharap saat pagi datang ada kendaraan yang melintas. Mungkin aku bisa menumpang menuju terminal terdekat nanti. Tapi sebelum aku memutuskan, terlihat cahaya dari salah satu sisi hutan. Aku mencoba melihat dengan jelas dan secara sekilas terlihat nyala obor dari sana. Rasa penasaran membuatku memasuki hutan dan menyadari bahwa cahaya itu berasal dari sebuah desa. Aku sedikit lega melihat desa itu dan memilih untuk berjalan kesana. Setidaknya aku bisa sedikit lebih aman berada di sana dibanding terlantung-lantung di pinggir jalan. Ada sebuah gapura desa tua yang sudah rusak dan hanya diperbaiki seadanya. Beberapa sudut desa terpasang penerangan sederhana yang terbuat dari botol-botol kecil berisi minyak, sepertinya desa ini masih belum dijangkau oleh listrik. Sepi, hampir tak ada suara saat aku memasuki desa ini. Jelas saja, ini sudah lewat tengah malam. Saat itu aku hanya memperhatikan rumah-rumah kayu sederhana yang tersebar di desa ini. Hampir setiap rumah memiliki kebun yang ditanami berbagai macam tanaman. Setelah mengamati cukup lama aku pun mulai mendengar suara dari ayam dari salah satu kandang milik warga yang sepertinya terusik. Aku mulai berpikir sepertinya aku harus nekat mengetuk salah satu pintu rumah warga atau aku hanya beristirahat di salah satu teras warga. srak.. srak.. srak.. ada suara mendekat. Aku buru-buru menoleh dan melihat beberapa orang mendekat dari jauh dengan membawa sebatang obor bambu. Ada tiga orang pria yang mengenakan pakaian sederhana berkalungkan sarung dengan membawa sebuah kentongan. Dengan mudah aku menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan ronda. “Lah? Masnya bukan warga sini kan?” Salah seorang pemuda mendekatiku dan mencari tahu tentangku. “Iya, saya Dipta Mas. Tadi saya diturunin bus di pinggir hutan, habis itu nggak sengaja ngeliat desa ini. Saya pikir daripada bermalam di pinggir hutan mending saya ke sini,” Aku mencoba menjelaskan. “Owalah, kasihan masnya. biar istirahat di balai desa saja,” balas pemuda lainnya.

“Boleh Mas? Saya berterima kasih banget kalau boleh.” “Halah, jelas boleh mas. Saya Karto, dua teman saya ini Yatmo dan Paidin. Kita anterin ke sana mas, masih ada kopi anget juga nih.” Ucap seseorang yang mengaku bernama Karto itu. Balai desa tidak begitu jauh. Salah satu bangunan yang cukup besar dan mungkin satu-satunya bangunan yang dibangun penuh dengan tembok. di dekatnya Ada sebuah ruangan kecil menyerupai pos yang mungkin sering digunakan untuk istirahat mereka yang sedang ronda di malam hari. “Istirahat di sini dulu saja mas. Saya buatin kopi sebentar,” seru Mas Karto. “Wah, nggak usah repot-repot Mas. Saya cuman sebentar, besok langsung mau berangkat lagi.” “Cuma kopi kok mas, biar masnya ngangetin badan dulu. Jangan sampai besok malah sakit,” Balasnya. Benar ucapan Mas Karto. Memang sedari tadi aku menahan dingin. Secangkir kopi panas pasti mampu bisa sedikit menghangatkan tubuhku. “Nggak usah buru-buru mas, kalau besok masih capek nginep semalem dua malem juga nggak papa. Nanti tak anterin makanan, atau mampir rumahku yo rapopo,” Ucap Mas Yamto. “Wah matur nuwun lho, Mas. Sebisanya saya nggak mau ngerepotin.” “Ngerepotin apa? Desa ini tuh desa terpencil, kalau kedatangan tamu kita seneng betul,” Tambah Mas Paidin. Kopi yang sebelumnya kutolak dengan jaim ternyata habis lebih dari dua gelas. Beberapa perbincangan mengenai penyebab aku tiba di desa ini menjadi topik utama obrolan kami sebelum mereka meninggalkanku untuk beristirahat. Aku menoleh ke arah jam dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Saat itu aku memutuskan untuk tidur di tikar yang mereka sediakan dan mengenakan tas untuk menopang kepalaku. Saat itu yang terbayang di kepalaku hanyalah bus tempatku terbangun tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan makhluk-makhluk apa yang berada di sana? Kemana penumpang yang lain? ***

Cahaya matahari yang lolos dari kisi-kisi jendela berhasil menyentuh garis mataku dan membangunkanku. Aku tersadar pagi sudah hampir habis dan tidak ada seorangpun yang membangungkanku. Aku duduk dan mengamati sekitar mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Dari luar sudah terdengar suara warga yang beraktivitas, aku meninggalkan tikarku dan membuka pintu untuk melihat keadaan sekitar. Di meja dekat pintu sudah tersedia gelas dan termos yang masih baru bersama nasi lengkap bersama dengan lauk pauknya. Benar-benar warga desa ini, sudah lama aku tidak merasakan keramahan seperti ini di ibukota. Aku mencuci muka sebentar dan menikmati nasi dengan lauk oseng kacang panjang dan ikan asin. Teh yang masih hangat melengkapi pagi yang terasa sempurna untukku saat itu. “Mas Dipta, sudah bangun?” tegur Mas Yamto yang melintas dengan sepedanya dan berhenti sejenak. Terlihat ada beberapa ayam yang di gantung di keranjang belakang sepedanya. Sepertinya itulah keseharian Mas Yamto. “Sudah, Mas. Terima kasih lauknya.” Ucapku. “Tadi Paidin yang nganterin. Santai dulu saja, Mas. Nanti habis nganter ayam saya mampir,” ucapnya. “Iya, Mas.” Pagi itu seketika niatku untuk bergegas meninggalkan desa tertahan. Pemandangan tenangnya suasana desa dan lalu lalang warga desa yang ramah membuatku begitu nyaman. “Monggo, Mas..” Lamunanku terpecah dengan melintasnya seorang gadis desa di hadapanku. Ia sedikit menunduk sambil membenahi rambut poninya yang panjang. “Monggo…” Balasku singkat, namun aku tak sadar mataku sulit terlepas dari wanita yang manis dan ayu itu. Ia terlihat begitu sederhana dengan kebaya desa yang sudah jarang dikenakan oleh masyarakat zaman sekarang. Bahkan di desaku, jarik dan kebaya hanya dikenakan oleh mbah-mbah yang sudah sepuh. Tapi tidak di desa ini.. “Asri namanya, anaknya Pak Eko. Nanti kenalan saja,” Ucap Mas Karto yang tak kusadari tiba-tiba sudah berada di dekatku. “Eh, nggak mas. Nggak,” Ucapku. “Halah, santai mas. Namanya anak muda,” Aku benar-benar malu saat itu. Mas Karto memergokiku sedang menatap Asri tak berkedip. Namun sepertinya Mas Karto menanggapinya dengan santai. Saat itu Mas Karto mengajakku untuk berkeliling desa. Jujur saja, sejak melihat suasana pagi desa (Dan bertemu Asri) aku mulai tertarik dengan suasana desa ini. Aku pun ijin untuk mandi sejenak dan mengikuti kemana Mas Karto mengajakku. Tak ada yang berubah dari desa ini dengan yang semalam kulihat. hanya saja, cahaya matahari yang menembus dedaunan membuat hampir setiap sudut desa terlihat indah. Bangunan kayu yang semalam terasa seram justru terlihat sederhana dan nyaman. “Nyuci, Bude?” Tegur Mas Karto pada seorang ibu yang melintas. “Iyo, Le..” Ibu itu melihatku dan sedikit menunduk. Sepertinya arah yang ia tuju adalah arah sungai tempat ibu-ibu mencuci pakaian dan bebersih. “Sudah ada sumur kan? Kok masih pada nyuci di sungai?” Tanyaku. “Namanya ibu-ibu, sudah kebiasaan dari dulu. Di sungai biasanya sambil ngerumpi. Lagian belum semua warga di sini punya sumur, Mas.” Aku mengangguk-angguk mendengar jawaban Mas Karto. Sebenarnya ada sedikit hal di desa ini yang terlihat sedikit berbeda. Hampir di setiap rumah memiliki ornamen yang sama. Ada patung gupolo yang menghiasi gerbang rumah mereka. Beberapa ukiran di pintu-pintu rumah pun terlihat hampir serupa. Yang paling menarik perhatianku desa ini memiliki sebuah patung yang menjadi tugu tak jauh dari balai desa tempatku menginap. Tidak ada masjid atau tempat ibadah lain di desa ini. Sepertinya seluruh warga menganut agama kepercayaan yang sama yang aku sendiri belum mengerti. Kesimpulanku itu berdasarkan penemuanku akan keberadaan beberapa tungku yang di gantung di beberapa pohon di sekitar desa ini. “Mas Dipta, ya?” Seseorang menyambutku saat kembali tiba di balai desa. Mas Karto memperkenalkan bahwa orang itu adalah kepala desa. Ia memperkenalkan dirinya dengan Nama Pak Jumadi.

“Maaf ya pak, saya sampai merepotkan,” Ucapku. “Nggak, Mas. Kami senang ada yang mampir ke desa. Jarang sekali ada yang mau mampir ke desa kami. Kata orang-orang yang datang, disini nggak ada apa-apa,” Balasnya sambil tersenyum ramah. Yah, tidak ada yang salah dengan apa yang pendatang lain katakan. Hampir tidak ada nilai ekonomi yang bisa dilirik dari desa ini. Bahkan program listrik masuk desa pun belum sampai di desa ini. Tapi untukku yang sudah jenuh dan putus asa dengan khidupan di ibukota, tempat ini benar-benar memberi suasana yang baru. “Mas, malam nanti nginep dimana? Di rumah saya saja,” Tawar Pak Jumadi. “Eh, sa…” “Mas Dipta sudah saya mintakan ijin untuk menginap di rumah Mbah Yasmi, Pak,” Potong Mas Karto. Lho.. lho, aku belum memutuskan akan menginap atau tidak. Bisa-bisanya Mas Karto sudah mencarikanku tempat menginap. “Wah, Mas. Saya nggak mau ngerepotin lagi. Kalau bisa saya minta tumpangan ke terminal terdekat,” balasku.

“Nggak usah nggak enakan, Mas. Santai dulu saja. Mbah Yasmi seneng banget pas tahu ada yang mau menginap,” Ucap Mas Karto. “Wah iya, Mas. Mbah Yasmi hidup sendiri. Tapi rumahnya salah satu yang paling nyaman di desa ini. Masakannya enak lho. Nginep dulu aja sebentar lagi,” Tambah Pak Jumadi. “Apa nggak apa-apa, pak?” Aku memastikan. “Nggak apa-apa, kamu mau jadi warga desa ini juga kami malah senang,” Dalam hati aku berpikir, ternyata masih ada orang-orang seperti mereka yang begitu ramah dan tulus. Tapi tidak mungkin aku menumpang seterusnya di desa ini. Setidaknya, mungkin menetap sementara di sini bisa menenangkan pikiranku. Mas Karto mengantarkanku ke salah satu rumah warga yang bernama Mbah Yasmin. Benar ucapan Pak Jumadi, rumah Mbah Yasmin memang terlihat cukup nyaman dengan halaman yang luas dan terawat. “Mbah, ini Mas Dipta,” Mas Karto memperkenalkanku. “Owalah Le, masih muda juga. Ayo masuk, rumah Mbah nggak gitu bagus, tapi mudah-mudahan kamu bisa betah,” Sambut Mbah Yasmin. “Mbah, ini sih nyaman banget, Mbah. Saya yang nggak enak jadi ngerepotin,” Walau dipanggil Mbah, Mbah Yasmin tidak setua yang kukira. Justru wajahnya masih seperti ibu-ibu umur 40-50an. Sepertinya ada alasan khusus sampai ia dipanggil dengan sebutan mbah. Aku melihat rumahnya yang benar-benar terawat. Cukup luas dengan tiga kamar. Tapi menurut Mas Karto, Mbah Yasmin tinggal sendirian sejak anak-anaknya tak lagi hidup bersamanya. “Kamarnya di sini ya. Sudah Mbah beresin. Di betah-betahin ya, Le. Kamar Mbah yang diujung. Kalau butuh apa-apa ngomong aja sama Mbah,” ucapnya. Aku benar-benar berterima kasih pada Mbah Yasmin. Ia benar-benar menyambutku. Sebenarnya awalnya aku sedikit kepikiran. Biasanya kalau menginap di rumah-rumah seperti ini ada kata-kata penutup seperti.. Jangan sekali-kali kamu masuk ke kamar yang ada di ujung.. Plak! “Ngelamunin apa?” Tanya Mas Karto menepuk pundakku. “Eh, e—enggak mas. Kamarnya nyaman, besar pula. Kamar kos saya aja cuma setengahnya kamar ini,” ucapku. “Ya sudah, saya tinggal dulu ya. Inget kan rumah saya dimana?” “Iya, mas..” Balasku sambil mencoba mengingat jalan yang ditunjukkan olehnya barusan. Mas Karto pun menitipkanku pada Mbah Yasmin. Aku mengantarkannya ke luar dan sebelum dia pergi, ia mendekat dan membisikkan sesuatu padaku. “Saya lupa ngasi tau..”

Mas Karto menunjuk ke arah rumah di depan Mbah Yasmin. Di sana terlihat ada seorang gadis yang baru saja sampai dan masuk ke rumahnya. Tanpa kusadari ekspresiku sedikit berubah melihatnya. “Itu rumah Asri,” Ucap Mas Karto sambil sedikit tersenyum. Ternyata rumah Asri bersebrangan dengan rumah Mbah Yasmin. Bahkan dari jendela kamar yang kutempati aku bisa melihat dengan jelas keadaan rumah Asri. Walaupun cukup senang, aku tidak berani berpikir macam-macam. Aku hanya seorang pendatang di sini. Tepat setelah Mas Karto menghilang dari pandanganku, aku pun kembali ke dalam dan membantu Mbah Yasmin membereskan gelas minuman yang ia gunakan untuk menyuguhkan kami. “Dibetah-betahin ya, Le. Mbah tinggal sendiri di sini. Kalau ada tamu Mbah seneng banget,” ucapnya. “Njih, Mbah. Matur nuwun..” Di sini sepertinya aku harus membiasakan menggunakan bahasa jawaku yang sudah jarang kugunakan saat di Jakarta. Mengobrol dengan Mbah Yasmin lebih nyaman menggunakan bahasa jawa, seperti saat aku bercerita pada nenekku sendiri. Di sisa hari itu aku gunakan untuk menikmati sore di teras rumah. Mbah membuatkanku jamu yang berhasil membuat tubuhku hangat dan nyaman sambil menemani. Tak ada suara adzan di desa ini. Saat aku menanyakan arah kiblat ke Mbah pun, ia tidak mengerti. Beruntung aku memperhatikan arah matahari sejak tadi hingga bisa menentukan arah kiblat. Aku tidak menyalahkannya, dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. Namun melakukan sholat maghrib tanpa panggilan suara adzan, terasa cukup berbeda untukku. Sehabis menikmati singkong rebus buatan Mbah aku menghabiskan waktu di kamar. Menurut perkataan mbah, warga di desa tidak bergantung pada nasi. Singkong dan ubi lebih menjadi favorit mereka karena mudah didapat dan dimasak. Namun lauk-lauk pendamping tetap ada. Cukup aneh ya. Tapi untuk aku yang selama ini bertahan hidup dengan makan sekali sehari, ini sudah lebih dari cukup. Sambil beristirahat, aku menikmati pemandangan dari jendela. Suara nguro-uro Mbah Yasmin terdengar merdu melengkapi malamku di desa itu. Sekilas terlihat bayangan Mbah Yasmin tengah menyisir rambutnya di teras. Sepertinya, itu adalah rutinitas Mbah Yasmin di malam hari. Tanpa kusadari, aku pun tertidur lelap dengan begitu nyamannya suasana di tempat ini. sebelum sempat tertidur, aku sempat berpikir. Sepertinya aku akan menikmati dulu hari-hariku di desa ini. …

Dalam tidurku samar-samar aku mendengar suara beberapa langkah kaki dari luar jendela. Sekilas aku merasa ada orang yang melintas di jalan di luar rumah ini. Tung… Terdengar suara gendang yang dipukul. Sekali… dua kali… Dalam jeda yang cukup lama, suara gendang itu bertalu-latu membentuk sebuah irama. Hanya suara gendang dan beberapa langkah kaki. Tidurku terganggu, namun aku menikmati irama itu. Aku pun membuka mata dan mulai merasa penasaran. Siapa orang yang bermain gendang di tengah malam? Aku pun membuka daun jendela kayu yang hanya terkunci dengan ganjalan kayu kecil. Nyala api dari botol minyak yang diletakkan di depan untuk menerangi rumah mulai redup. Namun aku masih bisa melihat orang-orang yang melintas itu. Ada seorang kakek yang menggendong gendang dengan tali di lehernya. Ia memainkanya sambil berjalan dan menari. Tapi ia tidak sendiri. Ada seorang lagi menari bersamanya. Seorang perempuan mengenakan selendang dan kebaya seorang penari. Ia menari mengikuti alunan gendang itu melintasi jalanan rumah ini. Baru saja aku ingin mengagumi penampilan mereka, tapi semua itu buyar saat aku melihat dengan jelas wujud penari itu. Ia menari tanpa kepala… Hanya tubuh indah seorang penari yang menari gemulai mengikuti irama gendang. Berkali-kali aku mencoba memastikan, namun aku benar-benar tidak salah. Aku merinding, namun rasa penasaranku kali ini menggebu-gebu. Aku pun meninggalkan kamar dengan senyap agar tidak mengganggu Mbah Yasmin. Dengan hati-hati aku pun membuka pintu, namun suara gendang itu sudah menjauh menuju ke salah satu arah hutan. Sepertinya itu adalah arah sungai yang dituju oleh ibu-ibu tadi. “Isih peteng lho, Le.. lereno meneh,” (Masih gelap lho, nak.. Istirahatlah lagi) Deg! Aku kaget dengan suara dari sebelahku. Aku menoleh dan melihat seorang nenek berada di teras dambil menyisir rambut putihnya yang begitu panjang. Wujudnya persis seperti bayangan yang kulihat sebelum tidur. Ternyata yang kulihat bukan Mbah Yasmin. Perasaanku aneh. Sesuatu di dalam diriku seolah mengatakan bahwa aku harus segera menjauh dari nenek itu. “Nggih, Mbah…” Balasku singkat sambil kembali masuk ke dalam kamar. ***

Pagi kembali datang. Aku mencoba memikirkan tentang apa yang kulihat semalam. Penari tanpa kepala? Hingga nenek yang berada di teras rumah? Apa itu mimpi? Tidak. Aku benar-benar memastikan itu semua semalam. “Kulonuwon…” Suara seorang wanita memecah lamunanku di pagi itu. Ia berjalan mendekat dengan membawa sesusun rantang. “Mas Dipta kan? Asri, mas…” Itu Asri. Ia mengenalkan diriku dengan keanggunannya yang sederhana. “I—iya, masuk Sri..” “Eh, Dek Asri. Kok pagi-pagi sudah kesini,” Tiba-tiba mbah Yasmin muncul dari dalam rumah. “Mau nganterin ini. Buat Mas Dipta sama Mbah Yasmin. Asri masak banyak,” ucapnya sambil menyerahkan rantang kepada Mbah Yasmin. “Ya ampun pake repot-repot. Mbah baru mau potong ayam,” “Repot apanya, Mbah? Asri seneng kalau ada yang mau ngicipin masakan Asri,” ucapnya. Saat itu aku terkesima dengan perangai Asri. Tutur kata, tingkah laku, dan kesopanan khas gadis desa benar-benar membuatku kagum. Jelas makhluk seperti Asri tidak akan bisa kutemukan di Jakarta. “Maturnuwun yo dek Asri. Ntar mas icipin..” “Iyo, Mas. Kalau senggang mampir aja ke rumah. Nanti Asri kenalin sama ibu.” “I—iya, Sri. Nanti mas mampir.” Asri pun pamit sambil mencium tangan Mbah Yasmin dengan sopan. Entah aku tak bisa berhenti terkesima dengan tutur kata dan gerak gerik Asri yang begitu sederhana. “Ayo, Le. Makan dulu,” Ajak Mbah Yasmin. Pagi itu aku menikmati sayur lodeh masakan Asri. Sesuai dugaanku, masakan orang secantik Asri tidak mungkin tidak enak. Aku bahkan menikmatinya hingga lupa ingin menanyakan kejadian semalam pada Mbah Yasmin. Merasa tidak mau terlalu menjadi beban, pagi itu aku membantu Mbah Yasmin membersihkan kandang ayam dan menyirami tanaman di kebunnya. Mungkin bantuanku tidak seberapa, tapi setidaknya aku menunjukan sedikit etika ketika menumpang di rumah orang.

Lewat tengah hari aku aku kembali menghabiskan waktuku dengan berkeliling desa. Masih banyak tempat-tempat yang membuatku takjub seperti keberadaan pohon-pohon tua yang begitu dijaga di desa ini. Namun ada satu hal yang menarik perhatianku. Pemakaman… Di salah satu ujung desa ada pemakaman yang tak terurus. Rumput tumbuh dengan tinggi dengan nisan-nisan yang sudah berlumut dan mulai retak. Yang membuatku terhenti di sana, adalah bentuk-bentuk nisan di pemakaman itu. Nisan itu menunjukkan bahwa jasad yang terkubur disana adalah jasad dari berbagai agama. Hal itu sedikit kontradiktif dengan desa yang tak memiliki tempat ibadah ini. “Pemakaman ini sudah ada jauh sebelum desa ini ada. Kalau pemakaman warga, ada jauh di dalam hutan.” Tiba-tiba suara seorang pemuda terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan yang terlihat adalah seorang pria mengenakan kaos lusuh, celana pendek, dan mengalungkan sarungnya dengan cara yang tidak biasa. “Eh, mas..” “Masnya pendatang juga?” Tanya pemuda itu. “I—iya, mas? Mas Juga?” Balasku. Ia mengangguk dan berdiri di sampingku sambil menatap pemakaman itu. Ia membacakan doa singkat sejenak dan aku dengan spontan mengikutinya. “Saya Dipta, Mas. Dari Jakarta. Baru sampai sini dua hari yang lalu,” Aku mencoba memperkenalkan diriku terlebih dahulu. “Saya… Saya Pandu, Mas. Dari Klaten,” Balasnya. Entah mengapa aku merasa ia ragu menyebutkan namanya. “Sudah lama, di sini? Tinggal di rumah siapa, Mas?” Tanyaku. Mas Pandu menunjuk ke ujung pemakaman. Sepertinya dari jauh terlihat ada bangunan kecil di sana. “Saya tinggal di situ. Sudah hampir sebulan saya disini.” “Sendirian?” Ia mengangguk. “Kenapa nggak di rumah warga saja?” Aku penasaran. “Nggak papa, Mas. Pengen aja di sana.” Jawaban Pandu cukup misterius untukku. Mungkin ia memang memiliki beberapa hal yang tak bisa diceritakan. Aku sempat menceritakan bahwa mungkin aku akan meninggalkan desa dalam beberapa hari. Namun reaksi Pandu cukup membuatku khawatir. Ia mengatakan bahwa tidak mudah untuk meninggalkan desa ini. Desa ini terlalu terpencil dan untuk kendaraan melewati desa ini sepertinya sangat jarang. “Aku masih megang uang sih mas. Siapa tau ada salah satu warga desa ini yang mau mengantarkanku jika dibayar. Siapa tau masnya mau bareng?” Ucapku sambil menunjukkan sisa gulungan uang yang masih diikat dengan karet. Melihat uang itu, tiba-tiba raut wajah Pandu berubah. Ia mendekat dan mengangkat pergelangan tanganku. “Ke—kenapa, Mas?” “Mas dapet uang ini dari mana?” Tanya Pandu. “Ada bapak-bapak yang cukup tua memberikan kepada saya sewaktu mengamen,” jawabku. Pandu melepaskan tangannya dan meminta maaf padaku. “Sudah, sudah tidak apa-apa.” Balasnya. Aneh. Tingkah laku Pandu benar-benar aneh saat itu. Tapi memang sudah banyak hal aneh yang kulihat saat tiba di desa ini. “Walau desa ini punya kepercayaan yang berbeda dengan kita, jangan pernah tinggalkan ibadah ya, Mas. Kalau ada apa-apa, masnya bisa cari saya di gubuk itu. Mohon maaf, saya harus pamit.” Ucapnya. “I—iya, Mas. Terima kasih..” Pandu pun memasuki pemakaman itu dan menghilang diantara ilalang-ilalang yang tinggi. Satu hal yang pasti, bertemu dengan Pandu membuatku kembali merasakan keanehan pada desa yang sudah membuatku nyaman ini. Aku kembali memasuki desa, dan tanpa terasa langit sudah mulai memerah. Sepertinya sore ini desa cukup ramai. Cukup banyak orang yang berlalu lalang. Sepertinya mereka baru saja menyelesaikan kegiatan sehari-harinya. “Mas Dipta? Dari mana?” Asri melintas dengan menenteng sebuah keranjang. “Habis jalan-jalan aja. Ini mau pulang kok,” Jawabku berharap Asri ingin berjalan pulang bersama denganku. “Ya udah, bareng aja..” Yesss! Gayung bersambut. Sore itu kami menghabiskan senja dengan berjalan berdua menuju rumah. Saat melewati balai desa Asri berhenti sejenak. “Oh iya, nanti malam ada acara di sini. Ada yang pentas juga. Temenin Asri mau nggak, Mas?” ucapnya.

“Acara? Di sini?” Asri mengangguk. Memang ada beberapa perbedaan ornamen di tempat ini. Sudah ada beberapa janur dan kain-kain merah yang di lampirkan di pohon-pohon. Namun tidak ada panggung atau dekorasi yang terlalu meriah. “Boleh aja, Sri.” Balasku sambil menahan rasa senangku agar wajahku tidak terlihat memalukan di hadapan Asri. ”Memangnya acara apa?” Asri menunjuk ke arah sebuah bangunan batu setinggi dua meter yang berbentuk seperti kuil. Sudah ada banyak sesaji dan dupa di sana. Ukiran patung-patung menghiasinya sebagai ornamen. Namun semakin aku memperhatikannya, semakin terlihat ada sesuatu janggal. Di bagian tengah bangunan itu ada tempat meletakkan persembahan. Sudah ada beberapa nampan berisi bunga sesaji di sekeliling sesuatu yang dijadikan persembahan itu. Tapi… bentuk persembahan yang diletakkan di sana benar-benar tidak biasa. Aku mendekat, dan saat itu tiba-tiba keringat dingin mengucur saat aku melihat wujud persembahan itu. “I—itu kepala manusia?” Tanyaku sambil menoleh ke arah Asri. Asri pun mengangguk. “Malam ini acara untuknya. Kita akan mengantarkan dia menuju kesempurnaan…” Balas Asri sambil tersenyum seolah tidak ada yang aneh dengan keberadaan kepala manusia di kuil batu itu.

BERSAMBUNG

Terima kasih buat temen-temen yang sudah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf jika ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya
close