Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEMBAH SEWU MAYIT (Part 6 END)


Part akhir - Misteri yang tersisa

Aku bergegas turun dari bukit lalu kembali ke dalam hutan. Di sana, kulihat sosok bersisik emas itu tengah berdiri di antara tubuh-tubuh tanpa kepala yang bergelimpangan.

Untuk sesaat kami saling pandang, saling menatap satu sama lain dengan perasaan yang sulit dilukiskan.

Lalu perlahan-lahan sosok bersisik emas itu berubah wujud, kembali pada bentuk manusia yang seketika membuatku kaget bukan kepalang..

UTARI?

Aku pun kembali pada wujud manusia. Sama sepertiku, Utari nampak kaget begitu melihatku.

"Ka-kamu?" Utari berucap heran. Aku melangkah mendekatinya, tapi Utari malah berbalik pergi lalu hilang di balik kegelapan.

"TUNGGU!"

Aku berniat untuk mengejarnya, tapi urung kulakukan karena teringat dengan Linda. Aku bergegas kembali ke tempat dimana Linda kurebahkan tadi, tapi pikiranku kini tak bisa lepas dari Utari.

Kutemui Linda yang baru sadar sambil memegangi kepala. Dia nampak kaget melihatku datang dari balik kegelapan.

"Aku dimana?" Tanya Linda kebingungan sambil memandangi sekeliling.

"Kita ada di dalam hutan. Ayo, sekarang kita pulang." Ucapku padanya yang masih nampak lemah dan layu.

Kubopong tubuh Linda karena dia tak sanggup berjalan. Apa yang baru saja dialaminya pasti membuat sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu.

Selama perjalanan keluar hutan, Linda masih nampak kebingungan. Dia benar-benar tak tau kalau sudah terjadi pertempuran dahsyat demi menyelamatkan dirinya.

"Saya kenapa? Yang lain kemana?" Tanya Linda dalam boponganku.

"Kamu tadi kesurupan lalu pingsan. Yang lain pergi cari bantuan."

"Saya tadi lihat mahluk menakutkan. Dia menjambak rambut saya, lalu mas Yudha datang, setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi."

"Mungkin kamu cuma mimpi." Sahutku sambil tersenyum.

Linda pun diam. Aku tak tau apakah dia percaya dengan ucapanku yang terkesan sekenanya, tapi yang terpenting, gadis ini sudah terhindar dari malapetaka.

Akhirnya kami tiba di mulut desa. Nampak di kejauhan pak Wongso dan beberapa orang warga tengah berkerumun. Salah satu dari mereka yang melihat kedatangan kami langsung berteriak sembari menunjuk.

"Itu mereka!"

Semua orang seketika menoleh. Pak Wongso nampak terkejut lalu setengah berlari menghampiri kami.

"Ya Allah! Syukurlah kalian selamat!"

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu terus berjalan sembari membopong Linda menuju rumah pak Wongso diantar orang-orang yang tak henti berucap syukur.

Setibanya di rumah pak Wongso, Kristin dan kedua temannya langsung kaget melihat kedatangan kami. Mereka menyambut kami dengan wajah suka cita.

"Ya Tuhan! Linda! Syukurlah kamu ketemu!" Pekik Kristin sambil berlari menghampiri. Bu Sumirah lantas meminta agar Linda segera dibawa ke dalam kamar.

"Saya minta air putih." Pintaku sesaat setelah membaringkan Linda di atas kasur. Kristin pun segera memberikan apa yang kuminta.

Sejenak kubacakan doa-doa di bibir gelas, lalu minta Linda untuk meminumnya. "Minum ini, supaya hawa jahat tuntas keluar dari tubuhmu."

Linda pun menurut lalu menenggak air dalam gelas sampai habis. Setelahnya, dia nampak jauh lebih baik. "Terima kasih mas." Ucapnya dengan pandangan mata yang tulus.

Aku tersenyum padanya, lalu meninggalkannya untuk bergabung bersama pak Wongso serta yang lain yang telah menunggu di ruang tamu.

"Mas Yudha, cuma ini yang bisa saya dapatkan, apakah ini cukup kuat untuk menopang pocong Ki Krowok?" Tanya pak Wongso sembari tunjukkan beberapa lembar karung goni.

"Nggak perlu pak. Ki Krowok sudah musnah."

"Musnah? Musnah bagaimana?" Tanya pak Wongso heran.

Lalu kuceritakan tentang bagaimana jasad Ki Krowok hidup lagi lalu kuhancurkan. Tentu saja dengan segala pengurangan agar ceritanya terdengar wajar dan bisa diterima.

"Walah! Nggak nyangka ya? Ternyata mas Yudha ini orang sakti!" Pak Wongso memuji sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Ah, biasa saja pak. Ki Krowok memang bisa hidup lagi, tapi dia tak bisa apa-apa. Tubuhnya memang jadi berat, tapi rapuh. Cuma sekali pukul langsung hancur." Jelasku sengaja merendah.

"Jadi sekarang sudah aman?" Tanya Ferdy penasaran. Aku pun menjawab dengan penuh keyakinan.

"Insya Allah."

"Alhamdulillaaah." Semua orang berucap syukur, tapi tidak dengan Tomo.

"Beneran sudah aman?" Tanya pemuda gondrong itu dengan wajah penuh selidik.

"Iya, kalau nggak percaya, sekarang kamu boleh lihat ke sana." Jawabku coba menguji nyalinya.

Tapi Tomo langsung melengos sambil menjawab dengan mimik wajah yang lucu. "Ya mana berani maaas!"

Aku pun tertawa lalu menunjuk cincin yang melingkar di jarinya. "Lho? Bukannya kamu punya cincin warisan kakekmu itu?"

Tapi Tomo cuma bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala. Lalu aku beralih pada pak Wongso dan menceritakan perihal kemunculan Utari.

"Pak, tadi di sana saya dibantu Utari."

"Utari?" Pak Wongso seketika kernyitkan dahi.

"Iya. Saya mau tanya, apa bapak kenal orang tuanya?"

"Kalau kakek dan neneknya saya kenal, ibunya juga saya kenal. Mereka asli orang sini. Tapi bapaknya Utari yang kami tak tahu. Ibunya Utari cuma bungkam waktu kami tanya."

"Kalau mbah Karjan?" Tanyaku lagi. "Oh kakek bungkuk itu? Dia juga asli orang sini. Banyak yang bilang kalau dia keturunan Ki Krowok, makanya dia yang jaga makamnya. Mungkin itu sebagai bentuk tanggung jawabnya atas dosa-dosa Ki Krowok dulu, sepertinya dia ingin menjaga agar ki Krowok tak bangun lagi." Jelas pak Wongso.

Aku tertegun. Kakek bungkuk? Apa jangan-jangan sosok kakek yang kulihat di bawah pohon beringin besar tempo hari? Tapi bisa jadi itu benar dia. Mungkin dia sengaja tunjukkan jalan yang benar agar kami tak tersesat.

***

Esok harinya, Linda sudah pulih seperti sedia kala. Tak henti-hentinya dia ucapkan terima kasih karena merasa dirinya telah kuselamatkan.

"Terima kasih ya mas." Ucap Linda untuk kesekian kalinya.

"Iya, sama-sama."

"Gila Lin, mas Yudha itu perduli banget sama lo. Mas Yudha nekat cari lo sendirian malem-malem, yang lainnya malah disuruh pulang. Bener-bener cocok Lin. Udah lah, jadiin aja!" Ujar Kristin berapi-api.

Tapi sekarang Linda tak mendelik, dia malah tersipu sambil menundukkan wajah. Sementara aku cuma bisa senyum-senyum saja.

Hari itu aku sengaja kembali ke lembah untuk menemui Utari di rumahnya berbekal petunjuk dari pak Wongso. Tapi sesampainya di sana, Utari tak ada. Aku cari dia di area lembah, bukit dan sekitar hutan, tapi dia juga tak bisa kutemukan.

Kemana dia?

Akhirnya aku kembali pulang dengan perasaan kecewa. Aku belum sempat berterima kasih padanya, segala misteri tentang dirinya pun belum terungkap. Siapa dia? Bagaimana bisa dia menjelma menjadi siluman ular persis seperti diriku?

Lewat tengah hari, kami pun pamit pada pak Wongso. Lelaki itu melepas kepergian kami sambil berpesan agar kami tak sungkan-sungkan untuk berkunjung lagi.

Selama perjalanan pulang, tak henti-hentinya Kristin dan kawan-kawannya membicarakan tentang pengalaman kami di makam Ki Krowok dan lembah Sewu Mayit. Sementara aku lebih banyak diam di samping Linda yang kali ini sengaja minta duduk di belakang bersamaku.

"Lin? Cieeeee... Anteng banget dari tadi duduk sama mas Yudha!" Ejek Tomo setengah berteriak dari kursi depan, sementara Ferdy senyum-senyum di balik stir.

Kristin yang duduk di bangku tengah pun langsung mendelik. "Sirik aja lo! Biarin aja kenapa! Linda itu sengaja minta duduk di belakang karena dia belum merasa tenang. Emang cincin lo itu bisa bantu kalo Linda kenapa-napa?"

"Iya! Iya! Gue akui, kalo dibanding sama ilmunya mas Yudha, cincin gue jelas kalah jauh." Sahut Tomo.

"Kamu masih pusing?" Aku coba bertanya pada Linda yang sejak tadi hanya diam di sampingku.

"Sedikit mas, tapi nggak apa-apa kok. Lagian kan ada mas Yudha." Jawab Linda dengan wajah merona merah.

Kristin yang kebetulan melihat adegan tadi langsung senyum-senyum sendiri. Linda yang menyadari akan hal itu jadi terlihat risih.

Apaan sih?" Tanya Linda malu-malu.

"Enggaaaak.. Nggak apa-apa. Seneng gue lihatnya." Sahut Kristin sambil tersenyum.

Dan mobil pun terus melaju...

***

Singkat cerita, menjelang tengah malam, mobil pun sampai di depan kontakanku. Aku turun dari mobil lalu ucapkan salam perpisahan pada Kristin dan teman-temannya yang berencana mampir dan menginap di rumah pak Hermawan.

Keesokan harinya, seseorang mengetuk pintu kontrakanku. Ketika pintu kubuka, aku terkejut melihat Kristin dan Linda yang berdiri di depan pintu.

"Halo mas Yudha!" Sapa Kristin sambil tersenyum lebar.

"Eh? Kalian? Ada apa? Ayo masuk, maaf tempatnya berantakan."

"Iya nggak apa-apa mas. Ini lho, saya cuma mau anter Linda, dari kemarin dia merengek minta dianter ke sini sebelum kami pulang ke Jakarta." Ujar Kristin sambil melirik Linda yang duduk di sampingnya.

"Ooh.. Gitu. Ada perlu apa Lin? Ada yang bisa saya bantu?"

"Nggak mas, cuma mau main aja. Mas Yudha nggak kerja?" Tanya Linda.

"Enggak. Saya sengaja minta ijin satu hari. Soalnya capek banget." Jawabku sambil memijit-mijit lengan.

Linda tersenyum manis lalu menyodorkan bungkusan yang sejak tadi dia bawa. "Ini mas, saya bawa makanan buat mas Yudha, mas sudah makan belum?"

Wajahku langsung sumringah lalu menyambut bungkusan itu. "Wah! Kebetulan! Saya memang belum makan! Makasih ya."

Lalu kami berbincang-bincang barang sejenak, hingga tak lama kemudian Kristin dan Linda pamit untuk langsung pulang ke Jakarta.

"Mas, kalau nanti ke Jakarta, mampir ya?" Ujar Linda menawarkan.

"Insya Allah."

Keduanya pun akhirnya pergi, sambil Linda terus melambaikan tangan hingga mobil menjauh lalu tak nampak lagi.

Sepeninggalan Kristin dan Linda, aku yang memang kelaparan, segera membuka bungkusan dan langsung girang melihat ayam bakar dan nasi uduk berikut sambel dan lalapan yang menggugah selera.

Tak perlu menunggu lama, segera kusantap makanan itu dengan lahapnya. Tapi baru beberapa suap saja, tercium aroma bunga melati yang begitu menyengat.

Hadeeeh... Apalagi nih...

"Enak ya ayamnya?" Tanya Mayang Kemuning yang mendadak muncul sembari melongok makananku.

"Ehmm.. Iya, enak." Jawabku tanpa menoleh sambil terus mengunyah.

"Apalagi yang bawa dua perempuan cantik. Siapa namanya? Kristin sama Linda?" Tanya Mayang menyindir.

"Iya. Mereka cuma mampir sekalian pamit. Memangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa. Kamu makan lahap betul? Kok kalau makan makanan dariku kamu biasa aja?" Tanya Mayang lagi.

Glek!

Seketika makanku berhenti lalu memandang heran ke arah gadis gaib calon istriku itu. "Biasa aja gimana? Aku setiap makan selalu lahap begini kok? Itu cuma perasaan kamu aja."

"Ah! Nggak! Beda!" Jawab Mayang sambil buang muka.

"Ya Allah Mayaang.. Ini aku lagi makan lho! Nanti kalau keselek gimana?"

"Ya sudah! Nggak usah dimakan kalau takut keselek! Begitu aja kok repot!" Mayang sewot sambil melotot.

"Ok. Aku nggak jadi makan, tapi aku masih laper. Trus gimana?"

"Gampang! Aku bakal bawa makanan buat kamu. Tapi awas ya? Awas saja kalau makannya nggak lahap seperti tadi!" Sahut mayang geregetan sambil menunjuk-nunjuk.

Iya Mayaaang!

Ya Allah! Ya Rasulullaaaah!

--- SELESAI ---

Terima kasih telah menyimak kisah ini. Nantikan lanjutan kisah perjalanan hidup Yudha pada episode-episode berikutnya!
close