Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEMBAH SEWU MAYIT (Part 3)


Part 3 - Makam yang aneh

Esok harinya sesuai rencana, pak Wongso mengantar kami mengunjungi makam Ki Krowok menjelang sore.

Tadinya pak Wongso ingin mengantar kami pagi hari, tapi akhirnya dia terbujuk rayuan Kristin yang meminta pergi sore hari demi terciptanya suasana horor yang diinginkan. Tentu saja dengan iming-iming sejumlah uang.

Sepanjang langkah kami menapaki jalan desa berbatu, tak nampak geliat kehidupan lazimnya sebuah desa. Hanya ada satu-dua orang yang kami jumpai dan langsung memandang heran ke arah kami.

"Kok sepi banget ya pak? Penduduknya pada kemana?" Tanya Ferdy.

"Ya memang begini mas. Desa ini penghuninya tinggak sedikit. Itu juga kebanyakan orang tua. Yang muda-muda sudah lama pergi merantau dan cuma pulang sesekali. Termasuk Sugeng dan kedua anak laki-laki saya."

Kristin memeriksa ponselnya lalu terlihat kesal. "Di sini susah sinyal ya pak?" Tanya Gadis bermata sipit itu pada pak Wongso.

"Iya mbak. Maklum desa terpencil. Jangankan sinyal, lah wong listrik saja baru ada 8 tahun yang lalu."

Hhhh..

Kristin menghela napas lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Yang lainnya pun nampak kecewa. Aku hanya tertawa dalam hati. Kehilangan sinyal bagi mereka seperti kehilangan nyawa saja.

Pak Wongso terus membawa kami keluar desa, lalu melewati jalan yang sama dengan yang kami lalui kemarin.

Sampai akhirnya kami tiba di depan pohon beringin besar itu. Aku jelas masih ingat pohonnya. Tapi aneh, tak nampak ada jalan bercabang di situ.

"Lho? Bukannya kemarin di sini jalannya bercabang ya?" Ferdy kebingungan. Rupanya dia juga menyadari akan hal itu.

"Iya ya? Kok aneh?" Tomo menambahkan sambil matanya jelalatan mencari-cari.

Aku sempat melihat wajah Pak Wongso berubah tegang, tapi dia langsung coba menutupinya. "Masa iya mas? Barangkali salah lihat. Di sini nggak ada jalan bercabang seperti yang kalian maksud."

Kristin dan teman-temannya saling pandang. Aku tau mereka bingung. Tapi tidak denganku.

Aku paham kalau tempat dengan hawa jahat seperti ini penuh dengan tipu daya. Aku yakin ada sesuatu yang sengaja ingin menyesatkan kami agar terperangkap dan akhirnya hanya berputar-putar saja, atau malah membawa kami masuk ke alam gaib.

Setelah melewati pohon beringin besar, pak Wongso berbelok arah masuk ke dalam hutan. Kini tak ada lagi jalan setapak, yang ada hanya pohon-pohon besar serta rumput liar dan semak belukar.

Tomo langsung mengarahkan kameranya menyorot Ferdy dan Kristin yang mulai bicara sambil berjalan menggambarkan situasi bak reporter ulung, sedangkan Linda sejak tadi hanya diam dengan wajah yang lagi-lagi gelisah.

Setelah berjalan kurang lebih beberapa ratus meter, wajah Kristin dan teman-temannya seketika berubah ceria ketika menginjakkan kaki di sebuah lembah yang hijau dan luas.

"Gila! Bagus banget pemandangannya!" Pekik Tomo kegirangan lalu sorotkan kameranya demi mengabadikan panorama yang mahal itu. Tapi dia berhenti saat melihat sesuatu di kejauhan.

"Itu apa pak?" Tanya Tomo sambil menunjuk ke atas sebuah bukit kecil.

"Ya itu makamnya Ki Krowok." Jawab pak Wongso lalu melangkah menuju ke sana.

Aku hanya diam. Sudah sejak tadi aku lihat saung itu. Sekarang aku tau, rupanya hawa jahat itu bersumber dari sana. Tapi bukan itu saja. Aku juga merasakan hal yang sama di seluruh area lembah ini.

Ferdy nampak antusias. Dia mempercepat langkahnya hendak mendahului kami. Tapi pak Wongso langsung memperingatkannya.

"Jangan buru-buru mas. Biasa saja. Tetap dalam rombongan." Pinta pak Wongso.

Tapi Ferdy seperti tak perduli. Dia tetap melangkah cepat tapi akhirnya kembali melambat ketika Kristin mendelik memberi kode agar pemuda itu mau patuh.

"Kris, kita jangan lama-lama di sini ya?" Pinta Linda tiba-tiba. Sepertinya dia tak nyaman merasakan hawa yang sama seperti yang kurasakan sejak tadi.

"Ya ampun Lin! Lo kenapa sih? Baru sampe udah ribut! Tau begini mending lo tinggal di rumah pak Wongso aja tadi!" Hardik Ferdy.

"Iya Lin, lo tenang aja. Paling cuma sebentar kok. Lagian kalo ada apa-apa kan ada mas Yudha? Iya nggak mas?" Kristin kembali memberi kode mengangkat alis.

Linda langsung diam. Sementara kami terus melangkah menapaki jalan menanjak menuju puncak bukit, hingga akhirnya kami sampai di depan saung itu.

"Gila! Bakalan heboh nih! Gue yakin videonya nanti pasti banyak yang nonton!" Tomo girang bukan kepalang sambil arahkan lensa kameranya.

Sementara mataku tak lepas terus perhatikan saung itu. Sebuah bangunan sederhana tanpa dinding. Hanya ada atap rumbia yang ditopang empat tiang kayu kokoh sebagai penyangga yang tertanam di tanah.

Di tengah saung, ada kain tebal kecoklatan yang dibentangkan tak ubahnya tenda setinggi leher dengan keempat sudut kain diikat pada masing-masing tiang penyangga. Sementara di tengah-tengah kain, terbujur pocong kumal yang nampak kempes membungkus tulang-belulang.

Tomo langsung atur fokus kameranya ke arah Ferdy dan Kristin yang mulai melangkah mengelilingi saung sambil ngoceh menggambarkan situasi puncak bukit dan kondisi jasad Ki Krowok sedetail mungkin.

Gila gaes! Nyeremin gaes! Aneh gaes! Begitu ucapan yang berkali-kali keluar dari mulut mereka, sambil menunjuk-nunjuk pocong Ki Krowok yang seakan tergolek di atas permadani terbang.

Namun ketika Ferdy hendak mendekati pocong itu, pak Wongso buru-buru mencegahnya. "Jangan dekat-dekat mas, dari sini saja."

"Kenapa pak?"

"Nggak apa-apa. Sejak dulu kami memang dilarang untuk mendekat, apalagi sampai menyentuh. Kami tak tau kenapa, kami hanya nurut apa kata orang tua."

"Bener-bener aneh ya? Kok ada orang dimakamkan seperti ini? Apa pak Wongso tau sebabnya?" Tanya Kristin.

"Saya nggak tau persis mbak. Tapi dulu kakek saya bilang, Ki Krowok sengaja dimakamkan seperti ini karena jasadnya tak boleh menyentuh tanah."

Kristin manggut-manggut. Tapi Ferdy seperti menyepelekan jawaban pak Wongso lalu berseloroh konyol. "Memangnya kenapa kalau sampai menyentuh tanah? Bakal hidup lagi trus loncat-loncat gitu?"

"Iya."

Pak Wongso menjawab cepat. Mimik wajah seriusnya menandakan kalau dia tak main-main. Seketika Ferdy terdiam. Begitu pula dengan yang lain, termasuk aku.

Pak Wongso pandangi wajah kami satu-persatu. lalu dia lanjut bercerita sementara kamera Tomo kini terfokus padanya.

"Ki Krowok dipercaya punya ilmu rawarontek. Itu sebabnya jasadnya tak boleh menyentuh tanah karena diyakini bisa hidup lagi."

Kristin kembali manggut-manggut lalu menimpali. "Saya pernah dengar cerita tentang ilmu itu. Tapi selama ini saya pikir itu cuma cerita karangan orang-orang saja. Ternyata ilmu itu benar-benar ada ya pak?" Sahut Kristin.

"Kurang lebih begitu mbak. Tapi selain rawarontek, Ki Krowok katanya juga punya ilmu-ilmu lain yang tak kalah menakutkan. Bahkan konon katanya ada salah satu ilmunya yang mengharuskan dia makan isi kepala manusia."

"Hah? Makan kepala manusia? Serius pak? Sadis!" Tomo terkejut bukan kepalang. Dia sampai lupa pada kameranya yang kini fokus entah kemana.

"Iya. Orang-orang bilang, setelah Ki Krowok memenggal kepala para korbannya, mayat-mayatnya dia buang dan ditelantarkan begitu saja hingga membusuk di lembah Sewu Mayit." Sambung pak Wongso lagi.

Dahi Ferdy seketika berkerut mendengar nama itu. "Lembah Sewu Mayit? Dimana itu pak?"

Pak Wongso langsung menunjuk ke arah lembah. "Ya itu, lembah yang di sana itu. Sejak dulu kami menyebutnya lembah Sewu Mayit."

Mendengar itu, wajah Kristin dan teman-temannya seketika memucat. Cerita tentang kesadisan Ki Krowok dan keangkeran lembah Sewu Mayit sepertinya mulai goyahkan mental mereka.

Sedangkan aku langsung tertegun. Ternyata itu jawaban dari misteri tubuh-tubuh tanpa kepala yang kulihat dalam semediku tempo hari. Pantas saja aura hitamnya begitu kental. Lembah itu ternyata kuburan dari para korban keganasan ilmu hitam.

Setelah mendengar cerita pak Wongso, sikap Kristin dan teman-temannya jadi berubah. Mereka jadi lebih kalem dan hati-hati selama proses pengambilan gambar berlangsung.

Selama itu pula aku terus mengawasi sekeliling, termasuk lembah itu. Jujur saja, meski hamparan rumput nan hijau itu begitu memanjakan mata, tapi hawa jahat serta kisah seram dibaliknya membuatku jadi tak tenang.

Hingga akhirnya mataku melihat ada seorang gadis yang sedang memperhatikan kami di kejauhan. Siapa dia? Demit atau manusia?

"Maaf pak, itu siapa? Sejak tadi sepertinya dia terus memperhatikan kita." Tanya Kristin yang rupanya juga melihat gadis itu.

"Oh.. Itu Utari si anak haram. Biarkan saja. Tak perlu digubris. Dia memang tinggal di lembah ini."

"Tinggal di sini? Kok berani ya? Tempat ini kan angker? jauh dari mana-mana lagi. Hebat juga nyalinya." Sahut Tomo berdecak kagum.

"Yah, mau bagaimana lagi? Harus berani. Dulu ibunya Utari tinggal di desa waktu masih gadis. Sampai dia diusir warga karena hamil tanpa suami. Dia yang tak punya siapa-siapa akhirnya ditampung mbah Karjan, kuncen makam Ki Krowok yang tinggal di lembah ini." Jelas pak Wongso.

"Oh gitu. Jadi sekarang si Utari dan ibunya tinggal di tempat ini dengan mbah Karjan?" Tanya Ferdy coba memastikan.

Pak Wongso cepat menggeleng. "Tadinya begitu. Tapi sekarang Utari tinggal sendiri. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan mbah Karjan sudah lama wafat waktu Utari masih kecil."

"Hah? Jadi dia cuma sendirian? Di tempat seperti ini? Kok saya malah jadi kasihan ya?" Kristin kini memandang iba ke arah Utari yang masih berdiri mematung di sana.

Diriku juga ikut kasihan. Benakku lantas membayangkan bagaimana gadis itu menjalani hari-harinya. Hidup sebatang kara di tempat angker seperti ini jelas bukan kehidupan yang didambakan orang-orang.

Tapi benakku jadi bertanya-tanya. Kenapa dia tidak pindah saja? Kalau memang dia dianggap sebagai aib hingga tak bisa kembali ke desa, setidaknya dia bisa pergi ke tempat lain yang jauh lebih aman dan layak ketimbang di tempat seperti ini.

"Ayo, saya rasa sudah cukup. Hari mulai gelap. Lebih baik sekarang kita pulang." Ujar pak Wongso mengingatkan.

Kristin nampak kecewa. Begitu pula Tomo dan Ferdy. Sepertinya mereka ingin lebih lama lagi ada di tempat ini. Namun mereka tak berani protes dan hanya menurut meski dengan wajah tak rela.

Tapi baru saja kami hendak pergi, Linda yang sejak tadi diam malah bertingkah aneh. Matanya tiba-tiba melotot, mulutnya menggeram-geram.

"Linda! Kamu kenapa?" Kristin bertanya heran. Tapi bukannya menjawab, Linda malah berteriak sambil menunjuk ke arah makam Ki Krowok.

"Kembalikan kepalaku! Kembalikan kepalaku!"

Kristin spontan mundur ketakutan. Sementara yang lainnya tersentak kaget lalu ikut mundur merapat ke arahku.

Aku pun terkejut. Tak menyangka kalau apa yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi. Kelebihan yang dimiliki Linda ternyata menarik lelembut penghuni tempat ini untuk mendekat hingga akhirnya Linda kerasukan.

Namun tanpa diduga, tiba-tiba Linda mendekati saung lalu mengguncang-guncang kain penyangga hingga pocong Ki Krowok terguling jatuh ke tanah!

Ya Allah!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close