Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEMBAH SEWU MAYIT (Part 2)


Part 2 - Ki Krowok

Kulirik jam dinding, tepat pukul 10 pagi. Mendadak terdengar bunyi klakson mobil di luar sana.

"Bismillah..."

Kugendong ransel lalu membuka pintu. Terlihat seorang gadis keturunan Tionghoa turun dari mobil sambil lambaikan tangan. Lalu menyusul dua orang pemuda dan seorang gadis berwajah ayu yang langsung berdiri di dekat mobil.

Aku melangkah menghampiri mereka. Si gadis Tionghoa langsung tersenyum begitu aku sampai di dekatnya.

"Ooh.. Ini toh yang namanya mas Yudha? Nggak nyangka..." Ucapnya lalu melirik gadis yang satunya lagi sembari memberi kode mengangkat alis.

"Iya betul, saya Yudha. Memangnya kenapa?"

"Nggak, nggak apa-apa. Saya Kristin yang semalam telpon, dan ini teman-teman saya. Ini namanya Ferdy, yang ini Tomo. Nah, kalau yang cantik ini namanya Linda." Balas Kristin perkenalkan ketiga temannya.

Kami saling berjabat tangan lalu sedikit berbasa-basi. Tapi Kristin sepertinya tak ingin buang-buang waktu.

"Langsung jalan aja yuk? Kita udah kesiangan. Tempatnya kan jauh. Mas Yudha mau duduk di depan?"

"Nggak usah mbak. Saya di belakang saja."

"Ok deh. Ayo kita jalan."

Kami kompak mengiyakan. Dan mobil pun segera meluncur...

***

Beberapa menit melaju, Ferdy si pemuda atletis berpenampilan modis coba mulai pembicaraan dari balik kemudi. "Nggak nyangka ya? Tadinya gue pikir mas Yudha ini orang tua, nggak taunya seumuran kita."

Ucapan Ferdy langsung diamini Tomo, pemuda kurus berambut gondrong yang duduk di sampingnya.

"Iya, gue juga nggak nyangka. Soalnya setau gue, dukun itu kan biasanya sudah tua. Ki Ragil yang biasa ikut kita juga sudah tua. Memangnya mas Yudha ini dari umur berapa belajar ilmu kebatinan?" Tanya Tomo sedikit menoleh ke arahku.

"Maaf mas, saya bukan dukun. Cuma kebetulan sedikit ngerti masalah gaib. Saya juga nggak pernah belajar ilmu apa-apa, semuanya bawaan lahir."

"Oh gitu.." Tomo manggut-manggut. Tapi Ferdy Sepertinya belum teryakinkan mengingat penampilanku yang di luar dugaannya.

Maaf ya mas, bukan maksud saya meragukan kemampuan mas Yudha. Tapi apa mas Yudha yakin bisa jaga kita-kita? Lah wong Ki Ragil yang kawakan saja nyerah nggak berani ikut?"

Kristin spontan menyahut sengit. "Heh! Sembarangan aja kalo ngomong! Mas Yudha ini orang yang sudah bantu om Hermawan waktu dikirimi santet. Mas Yudha juga pernah sembuhkan kesurupan masal di pabrik. Iya kan mas?"

Aku cuma bisa nyengir. Lalu Kristin menyikut Linda yang sejak tadi hanya diam di sampingnya. "Lin? Kok diem aja sih? Mau gue yang tanyain?"

"Apaan sih!" Linda nampak risih. Gadis berparas ayu itu langsung buang muka dengan wajah merona merah.

"Alaah... Pake malu-malu segala. Cuek aja." Ejek Kristin lalu beralih padaku. "Mas, sudah punya pacar belum? Linda jomblo nih."

Linda langsung mendelik. Tapi Kristin malah tertawa terbahak-bahak diikuti Tomo dan Ferdy.

Tomo yang rupanya masih penasaran lalu kembali lontarkan pertanyaan. "Mas, kalau boleh tau, sudah pernah ketemu setan apa aja? Pocong? Genderuwo? Kuntilanak? Atau siluman ular barangkali?"

"Hmm.. Nggak banyak mas. Ya nggak jauh beda dari yang mas sebut tadi. Tapi kalau siluman ular saya malah belum pernah denger. Memangnya ada?"

Tomo seketika berbalik badan. "Ada mas! Wah gimana sih? Masa nggak tau? Saya sendiri sudah pernah lihat. Badannya ular, tapi kepalanya manusia. Nyeremin mas! Kata orang-orang, itu rajanya siluman ular. Saya lihat dia waktu kami ke Jogja."

"Oooh, gitu." Aku cuma manggut-manggut, tapi dalam hati jadi geli sendiri.

"Apa mas Yudha sudah punya gambaran tentang tempat yang bakal kita datangi?" Kristin coba beralih pada topik pembicaraan lain.

"Nggak banyak mbak. Tapi yang pasti, tempat ini sepertinya bukan untuk main-main. Makanya saya maklum kalau paranormal yang namanya Ki Ragil tadi melarang kalian pergi ke sana."

Ferdy spontan berkomentar. "Alah! Paling tempatnya biasa aja! Gue yakin Ki Ragil itu sengaja takut-takutin kita biar bayarannya ditambah. Lagu lama." Ujar Ferdy mencibir. Tomo pun mengamini.

Aku cuma bisa geleng kepala. Tadinya aku mau ceritakan tentang apa yang kulihat dalam tirakatku semalam. Tapi melihat sikap mereka yang sok jagoan, aku malah jadi ragu kalau mereka bakal percaya. Tapi begitulah anak kota, merasa paling unggul dan tau segalanya.

Setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, menjelang sore, akhirnya kami sampai di depan gapura batu yang nampak kusam dan kuno. Bentuknya benar-benar mirip gapura jaman kerajaan. Tapi melihat hal itu, Tomo malah teriak kegirangan.

"Wah! Bakal keren nih! Dari depannya aja udah serem begini!" Teriak Tomo sambil arahkan kameranya dari dalam mobil yang kini berjalan pelan menggilas jalan tanah yang tak rata.

Ferdy lalu menoleh ke arah Kristin. "Kris, lo langsung live aja mulai dari sini."

Kristin langsung tunjukkan ponselnya. "Live pake apaan? Mendadak nggak ada sinyal." Ucapnya sembari mengguncang-guncang ponselnya.

Linda yang sejak tadi diam tiba-tiba angkat bicara. "Kayanya bener kata Ki Ragil deh. Gue langsung merinding. Firasat gue jadi nggak enak. Apa kita batalin aja ya?" Ucapnya sambil mengusap-usap tengkuk.

"Enak aja! Kita ini udah jauh-jauh dari Jakarta! Masa belum apa-apa udah minta pulang? Lagian lo tenang aja Lin, kan ada mas Yudha? Gue juga udah siap sama cincin jimat warisan kakek gue." Sahut Tomo sambil perlihatkan cincin berhiaskan batu hitam di jari manisnya.

Ferdy sempatkan mata melirik jari Tomo. "Anjaaaay... Lo bawa juga tuh cincin?"

"Iya lah! Ini cincin nggak pernah bikin kecewa. Lo inget kan kuntilanak merah yang di Bogor? Kalau bukan karena cincin ini, gue yakin waktu itu kita celaka." Tomo lalu mengusap-usap cincinnya.

"Kris, lo yakin ini tempatnya? Dari tadi kok cuma hutan doang? Mana kampungnya?" Tanya Ferdy yang nampak bingung sambil tengak-tengok dari balik kemudi.

"Bener kok. Kata si Sugeng, kita memang bakal lewat hutan dulu, baru nanti kita ketemu kampungnya. Nanti di sana pak Wongso sudah nunggu kita." Sahut Kristin.

Ferdy mengangguk. Sementara diriku sejak tadi hanya diam. Aku bisa merasakan hawa jahat yang kian lama kian kuat. Kalau bisa kuberi nilai, mungkin kekuatannya ada di tingkat tujuh dari sepuluh.

Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah persimpangan jalan. Ferdy lalu hentikan mobil karena tak tau hendak kemana arahkan stirnya. Yang lainnya pun sama bingungnya.

Sementara aku tengah menatap tajam seorang kakek bungkuk berpakaian serba hitam yang sedang berdiri mematung di bawah sebuah pohon beringin besar.

"Kayanya ke kanan Fer." Kristin coba memberi saran, tapi Ferdy masih ragu. "Lo yakin Kris?"

Kristin tak langsung menjawab. Dia malah menoleh ke arahku seakan minta pendapat.

"Iya, ke kanan." Ucapku setelah melihat kakek bungkuk itu menunjuk arah yang sama. "Ok." Ferdy pun langsung membelokkan stir mobilnya mengikuti petunjukku.

Ketika mobil melintas persis di depan kakek itu, aku mengangguk tanda berterima kasih. Linda yang sejak tadi nampak gelisah sempat melirik ke arahku lalu ikut mengangguk.

"Lo lihat apa Lin?" Tanya Kristin heran. Tapi Linda cepat-cepat menjawab sambil berusaha bersikap biasa. "Nggak, nggak apa-apa." Ucapnya lalu melirik ke arahku.

Aku tersenyum pada Linda. Kini aku tau kenapa sejak tadi dia gelisah. Rupanya dia punya 'kelebihan' hingga mampu rasakan apa yang kurasakan. Bahkan dia bisa melihat kakek itu yang jelas-jelas bukan manusia...

***

Hari mulai gelap ketika kami sampai di mulut sebuah desa yang sepi. Sepanjang jalan, kami hanya disuguhi jajaran rumah yang renggang dan nampak lengang dalam suasana remang.

Tak lama kemudian, kami jumpai seorang lelaki setengah baya yang berdiri di depan sebuah rumah sambil lambaikan tangan.

Ferdy langsung hentikan mobil. Satu-persatu kami pun turun dari mobil sementara lelaki setengah baya itu melangkah mendekat. "Saya pak Wongso, kepala desa sini. Selamat datang di desa kami."

Kristin menjabat tangan pak Wongso lalu perkenalkan diri. "Saya Kristin pak. Temannya Sugeng."

Oh, ini yang namanya mbak Kristin? Sugeng sudah cerita. Ya sudah, mari masuk dulu."

Kami berlima mengikuti pak Wongso masuk ke dalam rumah. Tomo kembali sorotkan kameranya kesana-kemari, sementara yang lain jelalatan memperhatikan isi rumah.

"Sst.. Lin, jadul banget ya rumahnya?" Ferdy berbisik dekat telinga Linda. Tapi Linda tak berikan respon apa-apa.

"Silahkan duduk dulu. Istri saya sedang siapkan minum. Kalian mau makan?" Pak Wongso sopan menawarkan.

"Nggak usah pak, terima kasih." Sahut Kristin sambil duduk di samping Linda yang sejak tadi hanya diam. Ferdy yang ikut duduk di sampingku langsung regangkan badan, sementara Tomo masih sibuk dengan kameranya.

"Bagaimana perjalanannya?" Pak Wongso coba awali pembicaraan demi cairkan suasana.

"Lancar pak. Tapi tadi kami sempat bingung waktu ketemu persimpangan jalan di hutan sana." Sahut Kristin.

"Persimpangan?" Pak Wongso heran sampai kerutkan dahi. Wajah ramahnya seketika berubah tegang.

"Iya pak. Memang kenapa?" Kristin menjawab tak kalah heran.

"Oh, nggak, nggak apa-apa. Yang penting sekarang kalian sudah sampai." Sahut pak Wongso coba bersikap biasa.

Lalu muncul dari dapur seorang wanita paruh baya berwajah keibuan membawa nampan berisikan air minum.

"Monggo diminum dulu." Wanita itu ramah menawarkan sembari letakkan nampan di atas meja. Pak Wongso kemudian memperkenalkan wanita itu yang tak lain adalah istrinya. "Ini Sumirah istri saya."

Kami kompak mengangguk pada bu Sumirah yang kini duduk di samping pak Wongso. Wanita itu lalu bicara coba tunjukkan keramahannya.

"Kamar kalian sudah siap. Yang laki-laki nanti tidur di kamar sana, yang perempuan di kamar sebelahnya." Jelas bu Sumirah sembari menunjuk dua kamar yang berjajar.

"Iya bu, terima kasih." Sahut Kristin.

"Ya sudah. Saya tinggal ke belakang dulu ya?" Ujar bu Sumirah lalu kembali ke dapur.

"Maaf pak, dari kemarin saya cari di peta kok nggak ada ya nama desa Krowok? Kami sampai kebingungan. Kalau nggak dipandu petunjuk Sugeng, mungkin kami sudah kesasar." Tanya Kristin.

"Yo ndak bakal ada mbak, lah wong namanya sudah lama ganti. Nama desa Krowok itu nama lama."

Kristin mengangguk paham. Aku yang sejak kemarin penasaran, akhirnya menanyakan perihal asal-usul nama desa ini. "Maaf pak, kalau boleh tau, kenapa dulu dinamai desa Krowok?"

"Oh.. Jadi nama desa Krowok itu diambil dari nama Ki Krowok, pendiri desa ini. Nama aslinya Raden Suto, tapi dia dapat julukan Ki Krowok karena tampangnya yang cacat."

"Cacat? Cacat bagaimana pak?"

"Pipi kanannya bolong besar sampai giginya terlihat. Konon katanya dia jadi begitu akibat berkelahi dengan musuh. Musuhnya tewas, tapi Raden Suto terluka di wajahnya. Sejak itu, dia dapat julukan Ki Krowok. Nah, makam yang akan kalian kunjungi itu makamnya Ki Krowok."

"Oh.. Jadi gitu ceritanya. Lalu letak makamnya di mana pak?" Tanya Ferdy.

"Ada di luar desa. Besok saya antar. Tapi serius kalian mau berkunjung ke sana?"

"Iya pak. Memangnya kenapa?" Kristin nampak penasaran.

"Yo ndak apa-apa. Tapi selama ini belum pernah ada orang luar yang berani berkunjung ke sana. Kami yang orang asli sini saja takut."

"Takut kenapa pak?" Tanya Kristin lagi.

"Makamnya terkenal angker. Sering terdengar suara rintihan dan bau busuk di sekitar sana. Ditambah lagi dengan bentuk makam Ki Krowok yang aneh."

"Aneh? Aneh bagaimana pak?"

"Nanti kalian lihat saja sendiri."

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close