Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 7) - Cinta Murni Sasrobahu


Hampir saja Murni pingsan lemas karena sesuatu membekapnya.

"Murni ini aku, jangan bersuara" seru seseorang dengan nada yang familiar.

Dalam kekalutan Murni mengangguk terpaksa.

Kemudian barulah bekapan itu terbuka, nyatanya adalah sepasang tangan manusia. 

Murni segera menyedot udara sebanyak-banyaknya memenuhi rongga paru-paru.

Ia menoleh ke sosok dibelakangnya dengan hati berdebar. Ternyata di dalam gubuk sudah ada lampu minyak dengan nyala api yang kecil. Seraut wajah yang ia kenal tampak menyoroti dirinya yang tengah lemas bermandi keringat. 

"Kau tidak apa-apa Murni?" tanya pria itu dengan nada khawatir. 

"A-aku baik-baik saja Kakang Sasrobahu" ujar Murni sedikit kebingungan. Kenapa bisa orang itu ada di dalam gubuk ini. Orang yang ingin ia hindari saat ini. 

Sasrobahu kemudian mengintip ke arah jendela, ia mengangguk puas ketika semua dirasa aman. Lalu ia membantu Murni yang masih lemas duduk di sebuah meja. 

"Duduklah" sahut Sasrobahu sambil menuangkan segelas air dingin dari dalam kendi. "Minum" 

Murni mengangguk berterimakasih, sambil mengawasi keadaan sekitar, dalam pondok reot ini cuma ada dua ruangan, sebuah kamar tampak gelap dibatasi kain dari tempatnya duduk. 

Air segar membasahi kerongkongan Murni yang  sudah kering, hatinya sudah agak tenang. Gelas tembikar itu sekejap saja kosong. 

"Terimakasih Kakang aku sudah lebih baik" lirih gadis itu. 

Sasrobahu mengangguk, "ceritakan kenapa kau bisa sampai disini Murni?" Sambil tangannya memeriksa luka gores yang ada di pundak Murni. 

"A-aku tersesat, saat aku sedang berjalan di pinggir hutan mencari pertolongan" seru Murni tergagap. Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Mbah Rejan. 

"Kau tidak takut bila malah bertemu demit hutan?" tanya Sasrobahu. 

"A-aku tidak terpikir Kakang"

Lelaki berhidung mancung dan bertahi lalat di dagu itu berdecak gemas akan kenekatan Murni. 

"Hutan Tumpasan ini adalah tempat yang sangat wingit" nasihat Sasrobahu.
"Banyak sekali pintu menuju dunia lain yang tersembunyi dalam hutan. Tanpa petunjuk, Kau bisa tersesat ke alam tersebut. Semuanya Ada tujuh alam yaitu Alam Roh, Alam Dedemit, Alam Ghaib, Alam Arwah, Alam Panglimunan, Alam Malakul dan terakhir Alam Manusia yang kita tempati. Sekali tersesat, aku yakin kau tidak akan bisa kembali lagi" 

Murni menelan ludah, ia baru tahu jika ada alam lain selain alam manusia. Bahkan banyak sekali. 

"Alam Roh adalah alam halus tempat jiwa manusia berada. Saat kau tidur terkadang jiwamu akan lepas dari raga kasar, melayang-layang di alam roh. Alam Dedemit adalah alam milik kaum iblis atau demit dimana mereka menjadi penguasanya. Manusia yang salah masuk ke alam mereka bisa menjadi budak kegelapan untuk selamanya, ini adalah alam yang paling berbahaya. Alam arwah adalah tempat roh orang mati yang tergantung penasaran. Mereka yang meninggal tak wajar jiwanya tertahan melayang-layang di alam ini hingga mereka bisa lepas dari keterikatan dunia menuju dunia akhirat. Alam Malakul adalah alam tertinggi milik kaum makhluk tingkat atas seperti malaikat, peri, bidadari dan sebagainya, tidak dapat dijangkau oleh akal kita. Dan tidak dapat dimasuki oleh manusia biasa. Alam Ghaib adalah alam utama sebelum memasuki alam tak kasat mata lainnya, yang tidak dapat dijangkau oleh fisik manusia dan memerlukan ilmu kadigjayaan untuk memasukinya. Sebaliknya, Alam Panglimunan adalah alam ciptaan oleh seseorang atau iblis dengan ilmu kanuragan. Saking saktinya orang tersebut maka dia mampu menciptakan suatu dunia dimana orang bisa dikendalikan sesuka hati saat memasukinya."

Murni terbengong mendengar penuturan Sasrobahu. Ilmu kanuragan, kadigdayaan, apapula itu? 

Seolah tahu isi pikiran Murni, Sasrobahu melanjutkan ceritanya, "Ilmu kesaktian terbagi dua yaitu ilmu silat dan ilmu kanuragan. Ilmu silat bersifat olah fisik sedangkan ilmu kanuragan digabungkan dengan unsur supernatural dan kebatinan menjelma menjadi ilmu kadigjayaan. Unsur kebatinan inilah yang membuat manusia mampu menembus batasan alam kodrati, bahkan mampu menghancurkan bangsa hantu, jin dan dedemit."

"Makanya para pesilat itu mampu membunuh para demit dengan ilmu kadigdayan Kakang?" tanya Murni penasaran. 

Lelaki itu tersenyum, "Ada salah kaprah dalam kata-katamu, seseorang yang menguasai ilmu silat disebut dengan pesilat, dengan berbagai tingkatan. Jika ia sudah mencapai puncak ilmu silat biasanya ia melanjutkan mempelajari  ilmu kanuragan, pesilat itu bisa disebut dengan pendekar. Para pendekar bisa menggunakan ilmu silat dan ilmu kanuragan dalam bertarung semau hati tergantung musuh yang dihadapi. Saat keilmuan Para pendekar mencapai tahap parpurna, mereka bisa naik tingkatan dengan memutus hubungan kehidupan dunia fana, kemudian mengkhususkan diri mengolah rasa dan sukma, menyelami dunia kebatinan dengan menajamkan enam panca inderanya maka dia naik tingkatan menjadi kelas pertapa sakti. Sering disebut dengan empu, syekh, Ki, dan sebagainya. Kekuatan dan kesaktiannya sukar dicari tandingan" jelas Sasrobahu.

"Apakah ada lagi tingkatan diatas pertapa?" tanya Murni. 

Kepala desa itu tampak terkejut mendengar pertanyaan gadis cantik didepannya. Murni sangat pintar, dan berbeda dengan gadis lainnya di desa Bakor. Selalu terbakar oleh rasa ingin tahu yang besar. 

"Kau benar, ada satu tingkatan lagi. Yaitu tingkatan yang didapat setelah pertapa itu mampu mengendalikan sepenuhnya kekuatan ragawi dan sukmawi yang dianugerahkan Tuhan dalam dirinya, maka dia mampu mengendalikan raga halus dan raga kasar dalam diri, mengeluarkan kemampuan maksimal dari apa yang dianugerahkan yang Maha Kuasa. Sebagai makhluk sempurna, manusia tingkatan ini mampu menyerap energi kehidupan dari luar yaitu dari alam semesta yang tak terbatas, seperti air, angin, bintang, sinar matahari. Pertapa itu menyerap kekuatan alam sedemikian rupa untuk menambah  kesaktian dan keberlangsungan setiap jengkal wadag kasarnya. Artinya mereka bisa hidup terus dan berumur lebih panjang daripada manusia biasa. Mereka disebut kaum abadi."

"Pastinya jumlah kaum abadi itu sangat sedikit dan sulit dijumpai" keluh Murni. Tadinya ia berharap bisa bertemu dengan orang sakti yang dimaksud. 

Sasrobahu menghela napas, "Oh sudahlah Murni jangan omong melantur lagi, kau tahu malam ini kita ada tugas teramat penting, kau malah berkeliaran mengundang bahaya." 

Gadis itu menunduk dalam, sedikit mengaduh tatkala nyeri di bahunya datang lagi. Sasrobahu segera bangkit dan memeriksa luka dipundak Murni. 

"Hmm... untunglah luka gores ini tidak terlalu dalam, cakaran makhluk itupun tak mengandung racun yang mengancam nyawa. Kau tenang saja Aku akan segera membersihkan lukamu" sahutnya sambil menyiapkan sebaskom air dan robekan kain. 

Gadis itu meringis menahan sakit saat Sasrobahu mengompres luka itu dengan kain basah. 

"Mohon maaf Kakang kalau aku hampir merusak rencana yang kakang susun. Tapi Murni sungguh tidak bisa jika harus berdiam diri saja di rumah. Setelah ini aku berjanji akan bersiap untuk menjadi... Tumbal." janji Murni dengan suara bergetar. 

Lelaki berusia kepala empat itu kembali menggeleng gemas. Luka dipundak gadis itu sudah rapih terbalut kain.

"Tenanglah Murni, kau tidak akan jadi tumbal. Tidak akan pernah! Selama selembar nyawa ini masih menempel pada jasadku Tidak akan kubiarkan makhluk itu menyentuhmu" sumpah Sasrobahu seraya memutar badan Murni hingga napas mereka beradu.

Mata jernih yang bulat serta bibir mungil merah jambu membuat gadis itu begitu ayu, kulitnya yang kuning langsat tertimpa cahaya lampu minyak membuat jantung Sasrobahu naik turun. 

Semburat merah merekah dikedua pipi Murni manakala kedua mata mereka bertemu. Sasrobahu dalam pandangan gadis itu benar-benar seperti pemuda berusia duapuluhan, ketampanannya tidak luntur sedikitpun. Pantas digilai oleh seluruh wanita yang ada di desa. 

Sebagai anak perempuan yang baru mentas dari masa remaja tentu perhatian Sasrobahu membuat raganya seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya begitu aman dan nyaman. 

Gadis itu kembali merasa terketuk hatinya. Sudah ada dua lelaki yang berjanji bertaruh jiwa ingin melindungi nyawanya. Apakah ia memang seberharga itu untuk diselamatkan? Diam-diam Ia sendiri merasa tidak pantas menerima perlakuan ini. Namun kembali gejolak ingin hidup muncul dari dalam diri Murni. Ia masih muda, remaja yang masih ingin mereguk hingar bingarnya nikmat dunia. Kedua rasa itu saling muncul, timbul tenggelam menimbulkan pergolakan di dalam dada. 

"Kenapa lagi Murni kau seperti bingung?" tanya pria itu. 

"Kakang sepertinya terlalu jauh dalam bersumpah,  Murni cuma anak ingusan, keturunan petani biasa. Tidak pantas ditukar bila Kakang Sasrobahu harus mengadu jiwa." rajuk Murni. 

"Tidak, Murni kau beda dengan yang lain. Kau cantik, berani dan cerdas. Aku sudah mengamatimu dari dulu, ingatkah kau kejadian longsor di kaki bukit dua tahun lalu?" ujar Sasrobahu langsung menumpahkan isi hatinya.

Tangannya berusaha merangkul Murni. 

Murni mundur selangkah, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Dua tahun lalu ia ingat terjadi longsor besar di desa Bakor. Kebetulan tetangga rumahnya tertimpa pohon besar, saat akan memindahkan tungkul kayu, kaki Sasrobahu terluka akibat tergencet batang Mahoni. Karena rumah Murni yang paling dekat maka Sasrobahu dirawat olehnya dan kedua orang tua selama beberapa hari. Waktu itu Murni belum begitu mengenal cinta, tak dinyana Kepala Desa itu diam-diam mengamati tingkah lakunya tanpa ia sadari.

"Berkat pertolonganmu, kakiku bisa sembuh lebih cepat" puji Sasrobahu.

"Aku tidak mengira kakang mengamati Murni, saat itu aku hanya berusaha agar Kakang segera sembuh" ujar Murni.

"Semenjak saat itu Murni, aku telah menaruh hati kepadamu, semakin hari bertambah usia dan kematanganmu, wajah Murni selalu terngiang di benakku" sahut Sasrobahu terus terang.
"Jujurlah, Kau masih belum ada yang memiliki bukan?"

Jantung gadis itu seperti berontak ingin keluar dari dada. Sebagai gadis yang masih perawan, Ia belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Walaupun jawaban itu sudah ada di otaknya bahwa dia belum memiliki kekasih, mengapa lidahnya terasa kelu untuk berbicara? Mengapa begitu sulit untuk mengangkat mukanya? Mengapa wajah seperti berpendar memanas? 

Kedua insan itu saling mendekat semakin intim, kedua napas menghangatkan muka masing-masing. 

Mendadak terdengar kembali tembang kasmaran yang menyayat hati. Sebuah tembang Asmarandana yang selalu didendangkan orang kasmaran dimabuk cinta. 

Nandang asmoro ing ati
(Ketika merasakan cinta di hati)
Nadyan katon ana
(Walaupun telihat di mataku)
Kaya edan bebasane
(Seperti gila seumpamanya)
Kanggomu aku lila
(Untukmu aku tetap rela)

Murni terkejut dan menolak dada Sasrobahu, "Kakang siapakah yang bernyanyi di balik ruangan itu? Bolehkah aku melihat?" pintanya penasaran. Lagu itu dinyanyikan dengan penuh perasaan sedih seperti orang yang mengharapkan cinta hingga menjadi setengah gila.

Wajah Sasrobahu berubah tegang. Air mukanya menjadi serius. "Sebaiknya jangan Murni, ini demi kebaikanmu" saran lelaki itu.
"Kamu bisa tersihir, karena dalam syairnya mengandung kekuatan."

Namun Murni bersikeras, "tidak mengapa Kakang,  aku siap menerima segala resikonya. Aku cuma mau bertemu dengan tuan penolongku tadi" sahutnya sambil memohon. 

Akhirnya dengan berat hati Sasrobahu mengajak gadis muda itu masuk ke dalam kamar. Dan benar saja, begitu tirai tersibak Murni menjerit kecil melihat keadaan seseorang yang terbaring di dalam kamar gubuk reot itu. 

Sesosok wanita renta berambut putih terbujur kaku diatas ranjang reot. Diterangi dengan cahaya lampu minyak yang tidak sempurna, membuatnya nampak seperti tengkorak hidup. 

Seluruh tubuhnya seperti tulang yang terbalut kulit saja tanpa daging. Tangannya bergerak-gerak kecil seperti berusaha menjangkau udara kosong didepannya. 

"Kakang siapa wanita tua ini, mengapa keadaannya seperti ini?" Tanya Murni sambil menutup hidung, berusaha melawan bau apek bercampur pesing  yang menusuk.

"Dia adalah keturunan murid dari empu ArgoLawu, pendiri desa ini bernama Ni Darsini" terang Sasrobahu. Jawabnya begitu singkat seolah enggan melanjutkan.

"Kasihan sekali hidupnya" guman Murni. "Kenapa dia bisa seperti ini?" 

Nenek itu terlihat kembang kempis dalam bernapas, mungkin ajalnya sudah semakin dekat. Tinggal menunggu waktunya saja.

"Itu adalah kutukan dari Empu Argolawu, kepada para murid penerusnya. Kepada mereka diwajibkan untuk tinggal dirumah gubuk ini untuk menjaga keselamatan desa Bakor. Termasuk Darsini yang sebetulnya juga masih saudara dari nenek buyutku." terang Sasrobahu. 

Mata Murni membulat, jadi apa yang dikatakan Mbah Rejan ada benarnya. Jika ada pelindung desa Bakor. Tapi kenapa dirahasiakan? 

"Lalu kenapa Kakang keadaannya seperti ini?  Tidak ada yang menjaganya dan merawat?" 

"Pesan dari Darsini sendiri seperti itu, lokasi ini sebenarnya sangat terpencil dan berbahaya karena masuk jauh ke dalam hutan Tumpasan, rahasia ini hanya para kepala desa Bakor yang tahu secara turun-temurun. Dan diantara kepala desa hanya aku yang punya nyali menemui nenek ini." jelas pria itu dengan mata berkilat terkena lampu minyak. 

Murni berkeluh, siapa yang mau berguru tetapi hanya untuk mengabdi dan terpenjara di tempat terkutuk ini, sungguh kejam dan keterlaluan si Empu Argolawu itu. 

Gadis itu mencoba menyapa Nenek itu, tapi tatapan mata tua renta itu nampak kosong. Mulutnya berbicara yang tak jelas artinya. 

"Apakah dia termasuk kaum abadi yang kakang ceritakan tadi?" tanya gadis itu sambil berusaha merapihkan baju dan membantu letak posisi tidur sang nenek. 

Sasrobahu menggeleng, "Tidak, setahuku konon hanya murid utama Empu Argolawu yang sudah sempurna yaitu Nyi Melati dan Raden Lindu Pangaji. Sedangkan ilmu Darsini belum sampai ke tahap itu. Ia baru menjalani tahap awal atau tingkat pertama dari kesaktian kaum abadi. Karena ilmunya belum sempurna maka lambat laun ia akan menemui ajal, dan menurut perkiraanku itu tidak akan lama lagi" seru Sasrobahu. 

Tiba-tiba terdengar kembali suara tertawa dari luar, kali ini terdengar begitu melengking dan menggidikkan. Raut wajah Kepala Desa itu segera berubah membesi. 

"Celaka, kali ini yang datang bukan cecurut biasa" geram Sasrobahu. 

"Bagaimana ini Kakang?" tanya Murni dengan cemas. 

"Kau tunggulah disini, aku akan menghadapi siluman itu" 

"Tapi Kakang, siluman itu begitu kuat" larang Murni sambil memegang kain lengan Sasrobahu. 

"Tenanglah, selama bukan gurunya Nyi Gondo Mayit. Aku masih bisa mengatasi para budaknya. Kau tetap disini menjaga Darsini, jangan pernah membuka pintu sebelum aku kembali" perintah pria itu. 

Murni mengangguk sambil berkomat-kamit melantunkan doa kepada yang Maha Kuasa untuk memberi keselamatan.

Perlahan wajah dingin Sasrobahu menghilang dibalik tirai. 

***

Suasana berisik terdengar dari luar. Dugaan Sasrobahu benar adanya, kini pondok reot itu telah dikelilingi oleh berbagai makhluk gaib anak buah Nyi Gondo Mayit. Dan di sebuah pohon bayan yang besar matanya melihat sosok bungkuk berkacak pinggang dengan jubah hitam berhias bulu burung berwarna hitam. 

"Gagak Rimang" lirih Sasrobahu menyebut salah satu nama panglima Nyi Gondo Mayit. 

Gagak Rimang menyeringai, kedua mata hitamnya yang kecil nampak menyeramkan, "Bukan main, ternyata laporan dari anak buahku benar, ada manusia yang bersembunyi disini. Bagi yang berkeliaran di hutan Tumpasan sudah selayaknya menjadi makanan kami, tak terkecuali kepala desa sendiri" sahutnya sambil terkekeh. 

"Cobalah jika kau mampu" tantang Sasrobahu seraya melangkah ke pekarangan. 

Merasa disepelekan, panglima itu segera menerjang ke arah Sasrobahu dengan jerit kemarahan. 

Ilmu ringan tubuh yang sempurna membuat serangan Gagak secepat kilat. Mengarah ke lambung Sasrobahu, cakarnya yang tajam hendak mengorek isi perut kepala desa itu. 

Namun reflek Sasrobahu tidak kalah cepat, dengan menunduk ia mampu menghindar sehingga cakar Gagak hanya menerkam angin kosong. 

Dengan posisi berbaring sitanah secepat kilat ia layangkan sebuah tendangan mengarah ke ulu hati Gagak. 

Bluggh...

Gagak terdorong dua langkah kebelakang, parasnya sedikit pucat karena telah salah memperhitungkan kekuatan lawan. Kesombongannya ditukar dengan rasa kebas di dada akibat tendangan tadi. 

"Bangsat, terima ini!" seru Gagak maju lagi. 

Keduanya bergebrak dengan beberapa jurus pembuka. Awalnya Gagak Rimang mengira manusia didepannya sama sekali bukan tandingan, tetapi setelah lewat limapuluh jurus masih belum juga ia mampu menumbangkan Sasrobahu yang ulet. 

Terpaksa untuk menjaga wibawa dihadapan anak buahnya ia mulai mengeluarkan ilmu simpanannya. 

Sasrobahu segera berdiri dengan kuda-kuda rendah saat hawa pertarungan mulai terasa tajam menyayat permukaan kulitnya. Tampak badan musuh mulai mengeluarkan asap keputihan tanda serangan selanjutnya akan lebih mematikan. 

Kali ini Gagak tidak main-main lagi, ia terbang dengan kecepatan tinggi menyarangkan tiga pukulan mengandung hawa mematikan mengarah ke kepala, dada dan perut lawan secepat kilat. 

Sasrobahu tidak kalah cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menangkis dua serangan dan punggung tangan untuk serangan ketiga, namun rupanya tiga pukulan awal tadi cuma gerak tipu saja, dari tiga pukulan berubah menjadi enam serangan mengincar bahu kanan kiri Sasrobahu. 

Ia meloncat mundur, namun Gagak seperti terbang merangsek tidak mau melewatkan kesempatan. Dari enam kembangan ia tingkatkan lagi menjadi delapan belas serangan pukulan dan cakaran mengincar seluruh titik penting di badan Sasrobahu. 

"Delapan belas cakar elang merobek langit!" jerit Panglima seram. 

Sontak kepala desa itu memutar lengan membentuk lingkaran didepan dada. Tangannya menimbulkan pusaran angin yang dahsyat sehingga mementahkan semua arah pukulan Gagak Rimang. Disusul telapak kiri menderu ia sarangkan ke arah dada Gagak. 

Pendekar biasa akan oleng akibat angin ilmu putaran lingkaran tadi, namun Gagak Rimang bukan orang sembarangan. 

Walaupun ia terkejut akan ilmu bertahan dari lawan dengan sigap panglima itu membalas dengan tinju kanan bertenaga tujuh puluh persen kekuatannya. 

Dhuarrr...

Terjadi ledakan kembali akibat benturan dua kekuatan maha dahsyat. Anginnya membuat semua makhluk yang ada disekeliling menjadi takut. 

Sasrobahu terdorong sejauh tiga langkah kebelakang sedangkan Gagak terpental lalu jungkir balik dan mendarat di sebuah cabang pohon. Napasnya naik turun. 

"Jurus Purnama dibalik awan tadi bukan sembarangan, siapa gurumu?" bentak Gagak Rimang mendengus kesal. 

Sasrobahu menyeringai, "taklukan aku dulu baru kuberitahu!" 

BERSAMBUNG
close