PENGHUNI ALAM SARANJANA
JejakMisteri - Kisahnya begitu melegenda. Dari anak-anak hingga orang tua di Pulau Laut mayoritas akrab dengan kisahnya. Dituturkan dari mulut ke mulut, dari ayah ke anak, kakek ke cucu. Ditambah kesaksian warga, membuat legenda seolah menjadi fakta.
Beberapa tahun yang lalu penulis bertemu dengan beberapa warga yang mengaku pernah masuk ke alam gaib Saranjana. Saniah yang akrab disapa Kanne Ina (dalam bahasa Mandar artinya Nenek Ina), tinggal di Desa Oka-Oka, Kecamatan Pulau Laut Kepulauan.
Dari pondoknya terlihat Gunung Saranjana berdiri di bibir pantai menjulang tidak terlalu tinggi. Dikatakan gunung kurang tepat, karena bentuknya seperti bukit, namun warga biasa menyabutnya gunung. Bukit ini terlihat seperti atap rumah atau atap gerbang. Bagi yang suka berimajinasi mungkin akan membayangkan bukit layaknya pintu gerbang alam gaib. Konon pintu masuknya ada dari arah laut.
Cerita mencekam tentang adanya beberapa warga di sana yang masuk ke alam gaib dan pulang hanya saat Lebaran saja, membuat suara hempasan gelombang di bebatuan Gunung Saranjana seperti suara desahan-desahan alam sebelah. Dan hembusan angin laut seakan telah menjelma menjadi bisikan-bisikan menyerupai suara manusia, lirih dan memanggil-manggil.
Kanne Ina mengajak penulis ke pantai. Dekat sekali berjalan kaki dari pondoknya. Dia bergerak ke arah Gunung Saranjana. Hawa mistis terasa, apalagi saat itu sudah senja. Bayangan gunung yang dipenuhi belukar dan pohon kecil itu berubah menjadi kota besar, berkelebat di khayalan, membuat setiap kuduk merinding.
Tepat di usia Kanne Ina menjadi ibu muda, peristiwa itu terjadi. “Dulu saya itu jalan dari sini tiap hari ke kebun. Sunyi dulu,” ujarnya berbahasa Indonesia dengan logat Mandar, Sulawesi Barat. Waktu itu, Kanne Ina seperti biasa pergi ke kebunnya. Jalan setapak dia lalui. Menerabas semak dan ilalang. Tidak banyak isi kebun yang digarap. Mayoritas tanaman adalah ubi kayu.
Hari itu, entah kenapa katanya, tidak seperti biasanya, dia kebanyakan melamun dan seperti orang tidur. Tiba-tiba saja Kanne Ina kaget. Setelah dalam lamunan yang kesekian kali, dia sudah melihat pemandangan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Harusnya dia sampai ke kebun, tapi yang dia lihat adalah kota yang besar.
“Saya heran, kenapa bisa ada kota, padahal semuanya padang ilalang dan banyak hutannya,” kenangnya.
Dia mengatakan, jalan-jalan di kota itu mulus dan lebar. Banyak mobil dan banyak rumah besar serta gedung. Namun anehnya, orang-orang di alam sana banyak memakai logat berbahasa Banjar, padahal setahunya di tempat tinggalnya kebanyakan warga Mandar Sulawesi.
Kanne Ina pun bertanya pada satu orang yang dia jumpai.
“Waktu aku tanya, dia bilang ini kota Saranjana.” Kalimat Kanne Ina membuat bulu kuduk penulis merinding. Sembari bercerita dia sesekali menunjuk Gunung Saranjana di belakangnya yang berdiri dihempas gelombang.
Kanne Ina mengaku tidak terlalu takut. Karena sebelumnya dia sudah akrab dengan kisah Saranjana. Menurutnya makhluk alam sebelah itu tidak jahat, mereka sama seperti kita, dan mayoritas menggunakan bahasa Banjar. Mereka makan dan minum layaknya manusia, namun katanya makhluk Saranjana tidak mempunyai dua garis di bawah hidungnya. “Tapi benar kalau orang sana itu tidak ada garis dua di bawah hidungnya,” kata Kanne Ina.
Tidak lama dia di sana, namun menurut orang kampung Kanne Ina hilang sekitar seminggu lamanya. “Tidak lama saya di sana, ada yang antar pulang. Tapi anehnya kata keluarga saya, ada sekitar seminggu saya di sana,” tuturnya. Kisah Kanne Ina ini dipercaya banyak warga di sana sebagai sebuah fakta sejarah, setidaknya kisah ini dibenarkan mayoritas warga desa.
Sekarang ini, Kanne Ina mengaku sudah bersahabat dengan warga Saranjana. Dia mengaku bersyukur karena dipilih untuk melihat kota gaib itu. Kanne Ina pun mengaku sering meminta bantuan kepada warga Saranjana untuk urusan dunia seperti kapal yang kandas dan lainnya.
Sementara itu, di kalangan warga berkembang cerita banyaknya kapal pendatang yang melihat lampu meriah dari gunung.
Namun saat awak kapal mendekat, lampu itu hilang dan tinggal Gunung Saranjana membayang hitam di kegelapan.
Ada kejadian unik belum lama tadi. Kata Kanne Ina, ada kapal tongkang batubara yang kandas terbawa gelombang ke dekat pantai. Setelah gelombang tenang mereka ingin keluar. Tongkang pun ditarik dengan tugboat. Namun usaha ini gagal terus. Ada sebulan awak kapal berusaha keluar namun selalu gagal.
Lantas orang kampung meminta kapten kapal menemui Kanne Ina. “Orang kampung suruh dia datang ke saya minta tolong,” kata Kanne Ina. Dimintai tolong, Kanne mengaku segera berbisik dalam bahasa Mandar kepada temannya yang ada di Saranjana. Dia meminta warga Saranjana bantu menarik kapal.
Setelah itu, Kanne meminta kapten tarik ulang kapalnya. Tidak memakan waktu lama, kapal tongkang bisa ditarik. “Waktu itu kaptennya kembali lagi ke saya. Dia bilang mau ke Surabaya dulu, nanti saya ditelpon. Tapi sampai sekarang belum ada kabarnya,” katanya. Kejadian itu menurut orang kampung terjadi di awal tahun 2016.
Warga pesisir di Desa Oka-Oka memang seolah hidup berdampingan dalam damai bersama warga Saranjana. Beberapa saja yang pernah mengaku masuk ke kotanya, namun banyak yang mengaku sering mendengar suara musik pada malam tertentu dari Gunung Saranjana.
“Awal-awal saya ke sini memang ada dengan suara musik dari sana. Suaranya seperti musik zaman dulu itu,” kata Yuliana. Hal senada juga dikatakan suaminya, Haliadi, yang mengaku sering sekali kalau mendengar suara namun belum pernah melihat penampakannya.
Suara aneh seperti musik juga pernah didengar guru TK, Saunah. “Belum pernah juga saya kalau lihat. Tapi kalau suara pernah,” akunya. Dia menambahkan, mereka yang pernah melihat penampakan adalah mereka yang sengaja menantang atau berniat tidak baik di sana.
“Biasanya pendatang yang dikasih lihat. Kalau mereka bicara macam-macam atau niatnya ke sana tidak baik, biasanya dikasih lihat yang aneh-aneh,” kata Saunah. Lain lagi dengan penuturan Marajang, wanita berusia sekitar lima puluh tahun ini mengaku pernah mendengar suara musik dangdut dari Gunung Saranjana. “Macam-macam suara musiknya, ada juga dangdut,” tuturnya lugu.
Mayoritas warga Desa Oka-Oka bekerja sebagai nelayan. Mereka tidak takut tinggal berdekatan dengan Saranjana. Mereka percaya, warga Saranjana adalah sahabat kalau tidak diganggu. Dan mereka percaya kalau bisa bersahabat dengan manusia di alam sana maka banyak keuntungan yang didapat.