CUPU MANIKAM - GULUNGAN PRABU SANGKALA
JejakMisteri - Kisah nyata Tentang Gulungan Prabu Sangkala yang sarat dengan mistis. Sebuah Gulungan yg mirip dengan TAMBANG LIRING berdawat darah manusia.
Kematian demi kematian menimpa warga kampung Rawamuning, Rasidi dalam catatan buku hariannya mencoba untuk berpikir secara logis, namun akalnya seakan mendapat jalan buntu. Saya sendiri setelah membaca cerita ini dan menyalinnya ke media sosial. Seakan tidak percaya hal itu ternyata benar-benar ada.
Sebetulnya, saya sendiri merasa tidak enak untuk mempublikasikan catatan harian ini di media sosial. Bagaimana tidak? Kisah Catatan harian ini bukan catatan harian saya, catatan harian ini milik orang lain, lebih tepatnya milik orang yang sudah mati. Ya, ini catatan harian orang mati.
Orang mati yang menulis catatan harian ini sendiri bernama Rasidi, dia kakak kandung teman saya (Iram) yang meninggal pada tahun 2012 dia terkena racun Wisa atau lebih tepatnya terkena ilmu kiriman PULUNG yang menghendaki agar penelitian yang dilakukannya terhenti. Ini terjadi saat ia mengadakan penelitian tentang hubungan kekerabatan Suku Dayak Bakumpai dan Suku Banjar di sebuah daerah di Pegunungan Meratus. Catatan harian ini saya publikasikan karena menurut saya menarik untuk dipelajari (saya mendapatkan banyak hal baru ketika mempelajari catatan harian ini). Saya sendiri mempublikasikannya setelah mendapat izin dari keluarga Almarhum Rasidi.
CATATAN HARIAN ALMARHUM RASIDI
Hari makin mencekam, walau kita tahu dia belum menjelang malam.
Aku mulai merasa ngeri sekarang, baru 5 menit setelah penemuan mayat Edi, 3 orang warga yang coba memberitahu Pak Sakera dan Mujin (yang tidak kunjung muncul juga) tentang penemuan mayat di depan rumah mereka kembali terkejut, kali ini ada mayat lagi, Mujin yang mati kali ini, sekarang aku ada di depan mayatnya, bersama beberapa warga lain yang mulai berdatangan (walau kami semua masih tidak berani mengangkat mayatnya). Mayat Mujin kami temukan tepat di depan pintu sebelah dalam rumah, pada awalnya tadi pintu rumah terkunci, kuncinya sendiri berupa palang pintu dari kayu, posisinya mayatnya tertelungkup dengan tangan membujur ke depan, mungkin mau menggapai sesuatu, kulihat wajahnya tampak menunjukkan raut kesakitan, ada beberapa bekas muntah di sekitar lantai.
Aneh juga, batang dan hidung Pak Sakera tidak juga kelihatan, ah jangan-jangan dia juga sudah mati, sama seperti 2 orang tadi.
Aku, Doni, dan Budi mulai masuk lebih dalam ke rumah ini, memberanikan diri mencari Pak Sakera, kulihat banyak barang terlihat berantakan dan seperti di acak-acak seseorang, terutama di dalam kamar, jangan-jangan ini perampokan yang disertai penculikan, karena kulihat Pak Sakera tidak ada dimanapun, di kamar tidak ada, di dapur, juga tidak ada, sekarang aku ada di depan sumur yang dekat dengan jamban, kalau-kalau ada Pak Sakera dibunuh perampok dan dibuang mengambang, kuharap jasadnya mengambang di dalamnya, tetapi setelah kutengok ke dalam sumur, tidak ada juga.
Aku disini malah mulai mencium bau amis, kulihat sebentar, ternyata ada beberapa bercak darah bercecaran di pinggir sumur, sudah mulai menghitam tampaknya. Aku jadi curiga, untuk sekarang ada dua kemungkinan yang ada di benakku, pertama, pak Sakera, Mujin, dan Edi menjadi korban pembantaian perampok Bengal, tujuannya mungkin mau mengambil Gulungan Prabu Sangkala untuk dijual ke kolektor, dan yang kedua sekaligus yang terburuk, kutukan telah mulai menampakkan taringnya di desa ini, jangan-jangan gara-gara kami semalam 3 orang ini telah terbunuh atau malah dibunuh makhluk halus. Dalam benakku aku berharap kemungkinan pertamalah yang benar, karena jika yang benar adalah kemungkinan kedua, maka nyawaku akan berada dalam bahaya.
Langit cerah telah membohongi hari ini, begitu yang kupikir. Terkutuk. Jahanam.
Dua jam yang lalu aku masih di rumah Pak Sakera dengan kejadian penemuan dua mayatnya, sekarang aku ada di areal persawahan di dekat mayat ketiga yang kulihat hari ini, Untung telah tewas kali ini, remaja yang menemani kami ke rumah Pak Sakera kemarin ini tewas saat mencari Katak untuk dijadikan umpan pancing di sawah (kulihat kiba berisi Katak masih tergantung di punggungnya), kemungkinan besar pada malam hari (sebab Katak akan lebih jinak dan lebih mudah di tangkap pada malam hari), posisi mayatnya terlentang dengan sebagian besar bagian terkena lumpur, di sekitar mayat banyak anak padi yang baru di tanam rusak, mungkin Untung menggelinjang dulu sebelum mati, kesakitan dan sulit bernafas mungkin, aku lihat juga ada beberapa bekas muntah di bedengan pembatas petak sawah dekat mayat, mungkin muntahnya Untung.
Sore hari menjelang senja.
Langit kemerah-merahan, sesekali terdengar bunyi elang mencari mangsa, orang tua Banjar dahulu menyebut senja semacam ini dengan "Sanja Kala". Menurut legenda orang Banjar, jika "Sanja Kala" muncul maka akan ada banyak kematian dalam waktu dekat ini, orang Banjar mungkin benar tentang ini, aku merasa "Sanja Kala" hari ini adalah gerbang pembuka ke kematian yang lainnya. Dan hari kembali jadi sunyi, mungkin benar kata Ayahku bahwa kematian punya kesunyian masing-masing.
Sore ini aku teringat lagi, sekitar jam 4 tadi kami baru saja ikut penguburan jenazah Edi, Untung, dan Mujin, ada satu fakta lagi yang aku dapatkan kali ini, Ibu Sakera yang baru saja kembali dari kota Rantau siang tadi setelah mendengar kematian anaknya dan menghilangnya suaminya menemukan baju Mujin yang ada bercak darahnya di baskom cucian di dekat sumur. Gulungan Prabu Sangkala pun hilang entah kemana. Aku makin curiga ini perampokan disertai penculikan, walau aku masih belum paham bagaimana caranya perampok masuk ke rumah, karena tadi pagi saat menemukan mayat Edi dan Mujin kami juga sempat memeriksa rumah, pintu depan terkunci dengan gembok kayu, pintu belakang pun demikian, kaca jendela tidak ada yang pecah, dan sialnya tidak ada satupun jendela yang terbuka, intinya menurut pengamatan kami tadi pagi, rumah Pak Sakera terkunci seluruhnya, apa mungkin Ibu Sakera berbohong mengenai hilangnya gulungan itu, kalau begitu untuk apa?
Malam hari tanggal 14, bulan masih terang benderang, walau sudah tidak purnama.
Sekarang aku, Budi, dan Doni serta Pak Anto ada disawah, berbekal obor, lampu petromak dan secuil nyali kami dan beberapa penduduk desa menjelajah semak pematang, rawa, dan belukar di sekitar Rawamuning, tujuannya hanya satu, mencari keberadaan Pak Sakera, kami berharap setidaknya bisa menemukan mayatnya kali ini, dan jika Pak Sakera masih hidup maka tentunya kami semua akan sangat bersyukur.
Arlojiku sekarang sudah menunjuk pukul 10 lebih sedikit, pencarian masih terus dilakukan, kulihat beberapa orang Banjar dari desa tetangga juga ikut, ada yang membakar Acan (terasi), ada yang memukul-mukul ngiru (alat tradisional untuk memisahkan beras dari kerikil dan kulit padi yang mungkin tersisa saat proses penggilingan), memang dalam adat masyarakat kami hal ini lazim dilakukan jika ada masyarakat yang menghilang tanpa jejak, kebanyakan orang Banjar percaya mereka diculik "Hantu Baranak", dalam beberapa kasus orang yang diculik "Hantu Baranak" terkadang ditemukan dengan tubuh penuh dengan lendir, entah lendir apa.
Mataku mulai mengantuk dan bintang masih banyak di langit, tetapi sial belum ada tanda-tanda Pak Sakera akan ditemukan. Tadi ada beberapa orang desa yang bertanya mengapa aku selalu menulis di setiap saat, tadi aku bilang saja ini untuk penelitian, walau ada tujuan lain sebenarnya. Aku hanya mengamalkan prinsip hidupku, bagiku setiap cara belajar yang terbaik adalah dengan belajar kepada sejarah, dan sialnya, setiap saat itu adalah sejarah, untuk itulah aku terus mencatat, agar semua sejarahku tidak hilang, dan aku bisa belajar dari catatan ini pada waktu yang akan datang.
Jam 1 malam lewat 10 menit, begitulah yang kuketahui dari Arloji.
Kami menemukan mayat lagi, kali ini aku sendiri yang menemukan, warga sudah mulai berdatangan kesini. Ini mayat seorang pria, aku yakin itu dari pakaiannya, mayatnya tertelungkup di pematang sawah yang airnya baru setinggi sekitar satu jengkalku, lagi-lagi aku merasa aneh mengenai hal ini, anak-anak padi dan rumput sekitar mayat tidak tampak mengalami kerusakan berarti, berbeda dengan yang terjadi pada mayat Untung kemarin siang, tidak terlihat juga adanya tanda -tanda kekerasan. Pria tersebut ternyata adalah Maryanto. Maryanto mati kukira juga saat sedang mencari Katak untuk umpan pancing, kulihat ada plastik gula terikat berisi beberapa Katak yang masih terselip erat di genggamannya. Mengingat Maryanto juga tewas saat mencari Katak, aku jadi curiga jangan-jangan yang terjadi sekarang adalah kutukan Katak, dan bukan kutukan gulungan Prabu Sangkala seperti yang orang-orang desa bilang.
Malam terasa makin panjang, suasana masih kian mecekam, angin malam masih dingin, Pak Sakera masih belum juga ditemukan, sekitar jam 3 subuh banyak warga pulang ke rumah masing-masing, mengantuk mungkin, sama seperti yang sekarang aku rasakan. Tadi aku sempat bertanya kepada orang Desa, kenapa 3 mayat kemarin tidak dibawa ke rumah sakit untuk di otopsi dulu atau lapor polisi, orang desa dengan lugu menjawab bahwa ini tragedi kutukan mengingat pak Sakera telah mencoba membagikan rahasia Gulungan Prabu Sangkala kepada orang luar, rumah sakit dan kepolisian tidak akan membantu kata mereka. Aku langsung tertegun, ingin kupaksakan kehendakku untuk membawa mayat ke 4 ke rumah sakit, tetapi apa daya, tidak ada mobil disini, jarak dari sini ke Kota Rantau sekitar 40 Km, mana ada orang konyol yang mau jalan kaki atau naik gerobak sapi sejauh itu membawa mayat hanya untuk mengotopsinya, selain itu aku juga merasa bersalah, aku merasa kalau kejadian ini berawal dari penelitianku dan teman-teman mengenai petunjuk keberadaan Cupu Manikam yang katanya terkandung dalam gulungan Prabu Sangkala.
Pagi tanggal 15, hujan rintik pagi ini, matahari tampak kabur walau tidak pernah kabur.
Aromaku busuk.
Ada kabar baik dan kabar buruk pagi ini, kabar baiknya Pak Sakera sudah ditemukan, tersembunyi di sumur tua berair dangkal sekitar 100 meter (menurut perkiraanku) dari rumahnya. Berita buruknya saat ditemukan warga, Pak Sakera sudah menjadi mayat, dan ini jadi mayat kelima yang kami temukan di desa selama satu minggu ini. Sekarang aku, Doni, dan Budi sedang berjalan beriringan, agak sedikit menjauh dari kerumunan orang-orang yang menggotong mayat, kami tidak tahan dengan bau bangkainya.
Hal ini bisa terjadi karena saat ditemukan Pak Sakera sudah mulai membusuk, tadi pagi sekitar jam setengah tujuh seorang warga yang akan pergi menanam benih tidak sengaja lewat sumur tua tempat ditemukanya mayat Pak Sakera, awalnya dia curiga ada bau busuk menyengat dari arah sumur, dia kira mungkin itu anjing, biawak, atau gubang (sejenis sigung) yang mati di dalam sumur, tetapi saat dilihat ternyata yang ada malah Pak Sakera dengan tubuh mulai membengkak, warga itupun segera memanggil warga yang lain, termasuk kami.
Kami berlari saja saat itu, aku yang baru saja bangun pagi belum sempat mandi. Sesampainya disana sempat juga kulihat mayat pak Sakera, memang seperti yang warga bilang, mayatnya sudah membusuk di dalam sumur, kulihat di beberapa bagian tubuhnya ada beberapa bekas luka tusukan dan bacokan yang tentunya sudah mulai dihinggapi belatung, aku maklum saja dengan hal ini, Pak Sakera memang sudah 2 hari menghilang sejak kami terakhir bertemu.
Malam mulai kelam Kami masih berjaga
Jagal tidak dikenal? Tapi nanti Sebelum siang membentang Kami sudah tenggelam hilang (Chairil Anwar. 1957)
Puisi ini menggambarkan keadaanku, Doni, Budi, dan banyak warga kampung Rawamuning malam ini, masih berjaga dan berharap besok masih hidup. Seharian ini aku malas menulis, jari terasa kehilangan nafsu setelah mencium bau busuknya mayat Pak Sakera pagi tadi.
Teringat kembali aku habis Zuhur tadi, Pak Sakera dimakamkan, berdampingan dengan makam Mujin yang tanahnya masih belum kering, aku tengah duduk disini, di pelataran rumah Pak Anto, besok sepertinya aku akan pulang, begitu juga Doni dan Budi, ada dua alasan mengapa aku akan pulang besok, yang pertama karena informasi yang kami kumpulkan di tempat ini digabung dengan informasi yang telah kami kumpulkan di tempat lain seminggu sebelumnya tampaknya sudah mencukupi untuk menulis sebuah laporan mengenai Cupu Manikam, yang kedua mungkin karena ketakutan kami (khususnya aku) akan kutukan yang sedang terjadi, sudah beberapa kali aku sebagai anak kuliahan semester akhir memikirkan berbagai macam kemungkinan yang logis tentang semua yang terjadi selama 4 hari ini, tetapi sial, masih saja ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, pertanyaan tentang mengapa 5 kematian tragis bisa terjadi dalam rentan waktu yang tidak jauh?
Akhirnya kini kusimpulkan untuk sementara bahwa ini semua hanya kebetulan, memang begitu kurasa, bukankah ayah selalu bilang bahwa terkadang hidup ini adalah rentetan kebetulan yang terjadi secara kebetulan? Entahlah, aku tidak perduli.
SELESAI
CATATAN HARIAN BUKU MILIK ALMARHUM RASIDI BERAKHIR SAMPAI DISINI.
FAKTA
Berikut ini adalah beberapa fakta yang berkaitan dengan tulisan ini.
1. Rasidi telah meninggal tahun 2012 kemarin karena terkena Wisa saat mengadakan sebuah penelitian di sebuah daerah di pegunungan Meratus.
2. M. Hendra Budiman telah meninggal karena kanker pada tahun 2001.
3. Doni tidak lulus saat test CPNS dan telah berakhir sebagai seorang tukang ojek di Kayutangi, saya sering bertemu dengannya pada saat kuliah dulu. Doni biasanya mangkal di depan Rumah Sakit Ansyari Saleh Kayutangi, Banjarmasin.
4. Rawamuning sekarang sudah mulai di rusak. Perusahaan besar mulai berlomba-lomba mendirikan perkebunan sawit besar mulai dari daerah sungai Bahalang sampai dengan Rawamuning.
5. Gulungan Prabu Sangkala yang asli tidak pernah diketemukan lagi sampai sekarang. Tetapi salinan yang dibuat Tukang Gambar pada saat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata meneliti gulungan ini masih ada (walau tampaknya kurang terawat. Salinan ini sekarang tersimpan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin di daerah Dulang, Rantau.
6. Saat saya berkunjung ke Rawamuning, sebagian besar tokoh dalam catatan harian ini telah meninggal dunia, karena sudah tua, ada juga yang telah pindah ke daerah lain. Orang-orang muda yang tersisa tampaknya juga sudah mulai lupa dan tidak peduli tentang kejadian ini. Seperti biasa, sejarah yang tidak terawat pasti akan habis dimakan waktu.
7. Ini adalah gambar salinan Gulungan Prabu Sangkala. Gambarnya saya ambil di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin :
TRIVIA
Saya sadar, di dalam catatan yang ditulis Alm. Rasidi terdapat beberapa kata yang sulit di pahami. Kata-kata ini kebanyakan berasal dari bahasa Banjar, berikut ini adalah arti dari kata-kata tersebut :
1. Wisa = Sejenis "racun gaib" yang berasal dari pedalaman Kalimantan. Orang-orang di pedalaman Kalimantan biasanya menggunakan wisa untuk menjaga lahan mereka. Biasanya wisa dilepas saat mau membuka lahan di daerah hutan (orang Banjar menyebutnya "Malapas wisa"). Yang sering terkena Wisa sendiri biasanya adalah orang-orang yang baru datang ke pedalaman (seperti orang yang bekerja di belantara hutan atau di tambang emas tradisional dan di daerah-daerah yang berdekatan dengan hutan atau aliran sungai). Gejala utama terkena wisa adalah demam tinggi dan seluruh badan berwarna kuning. Dalam kondisi tertentu bisa juga ada perasaan gelisah,menggigil di waktu tertentu dan pikiran seperti kacau.
2. Jingah = Pohon perdu yang lazim tumbuh di dataran berair, di pinggir sungai, dan di bedengan sawah di daerah Kalimantan Selatan, getahnya bisa menyebabkan gatal dan munculnya bentol-bentol pada kulit (kalau sudah begini, bisanya orang Banjar akan mengikatkan sehelai kain kuning atau kain hitam ke pohon Jingah yang dianggap menyebabkan hal ini).
2. Tilap, Dikenal juga dengan nama Tiwadak Banyu, pohon ini biasanya besar, kulit batangnya berwarna putih, tilap dengan diameter sekitar 2 meter atau lebih disebut Putat, menurut mitos orang Banjar pohon ini adalah tempat tinggal makhluk halus.
3. Kariwaya = Pohon beringin.
4. Langsat = Pohon Duku.
5. Awang = Daerah jalan yang jarang ada rumahnya, biasanya di kanan kirinya terdapat sawah, atau pepohonan.
6. Unjun = Alat pancing, merupakan sebatang bambu kecil yang diluruskan dengan cara dipanaskan di bara api (dikadang), di ujungnya di ikatkan tali pancing yang dipasangi mata kail.
7. Haruan = Ikan Gabus
8. Papuyu/Pupuyu = Ikan kecil air tawar berdaging manis, cukup populer di kalangan masyarakat Banjar.
9. Kakarangga = Jenis serangga yang membuat sarang dengan cara menggumpal daun di pohon.
10. Pulasit = Kerasukan makhluk halus, sering mengakibatkan kejang dan tidak sadarkan diri, pada beberapa kasus penderita akan meronta-ronta, mata memutih atau menghitam, suara terkadang berubah.
11. Ilmu Nahwu = Cabang ilmu bahasa arab yang membahas mengenai penentuan hukum baris dari suatu kata maupun kalimat.
12. Saraf = Cabang ilmu bahasa arab yang membahas perubahan baris dan
bentuk kata pada bahasa arab.
13. Kiba = Keranjang yang terbuat dari bambu, biasa dipakai saat memancing.
14. Ngiru = Alat tradisional orang banjar, terbuat dari anyaman bamboo yang di iris setipis mungkin, biasa digunakan untuk memisahkan beras dari berbagai macam kotoran sisa proses penggilingan.
15. Acan = Terasi.
Catatan Akhir:
Semua kata dan kalimat yang ditulis Alm. Rasididi buku catatannya tidak saya edit sedikitpun (bahkan tanda bacanya juga). Saya rasa catatan itu akan lebih bagus begitu, tanpa campur tangan sedikitpun dari saya.
~~~SEKIAN~~~