Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 6) - Pedang Suci Sinar Matahari


Matahari mulai tergelincir diatas kepala. Suara uir-uir (serangga) bernyanyi  berisik memenuhi pinggiran hutan Tumpasan. 

Dibawah pohon jati yang mulai rontok daunnya,  terdapat rumah Mbah Rejan yang hampir roboh. 

"Tidak mungkin Mbah, ada manusia yang bisa tinggal didalam hutan Tumpasan, mustahil" ujar Murni keheranan. 

Mbah Rejan meringis memperlihatkan gusi yang menghitam dan ditumbuhi satu dua buah gigi kekuningan seakan menertawakan bocah bau kencur dihadapannya yang belum banyak makan asam garam kehidupan. 

"Ada Cah Ayu, rumah orang itu jauh di belakang rumah kepala desa. Memang tidak banyak yang tahu karena tempat itu berbahaya. Banyak makhluk jejadian, genduruwo, jerangkong, budak dari Kanjeng Ratu yang berkeliaran disana." jelas Mbah Rejan mewanti-wanti. Bibirnya monyong seraya asyik mengunyah bulir jagung.

"Tapi bagaimana bisa orang itu tidak dimangsa iblis penghuni hutan? Mbah tidak curiga dia adalah salah satu iblis?" tanya Murni keheranan. 

"Nah itu dia Cah Ayu. Akupun tak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa hidup selamat sampai sekarang. Saat itu aku tersesat saat mencari kayu bakar. Dari batas tanah perjanjian antara rumah kepala desa dan hutan Tumpasan aku tak sengaja terus berjalan menyusuri jalan setapak sampai ke sebuah pondokan di dalam hutan,  terdengar batuk seorang perempuan dari dalam. Lalu aku teringat cerita kakek buyutku. Bahwa desa ini dulu memiliki seorang penjaga sakti, secara turun menurun dia bertugas untuk menjaga desa ini dari serangan iblis, aku menduga yang di dalam pondok itu adalah orang sakti yang dimaksud. Sebab bila dia termasuk dari golongan iblis mungkin aku sudah ditelan bulat-bulat" sahut Mbah Rejan penuh rasa ngeri.

Murni terperanjat, "Benarkah demikian Mbah?  Aku kira desa ini bisa selamat karena adanya perjanjian ritual tumbal kembar, apakah Mbah sempat bertatap muka dengan orang sakti itu?" 

"Awalnya juga aku berpikir begitu Cah Ayu. Ritual terkutuk tumbal kembar memang suatu keharusan, tapi aku juga percaya kata kakekku, mungkin dia benar turut menjaga desa ini. Sayangnya kala itu aku mengetuk pintunya tidak dibuka, mungkin beliau masih belum berkenan atas kehadiranku sehingga aku urungkan niat untuk masuk ke dalam, takut kualat Cah Ayu. Dan sampai sekarang aku masih yakin bila sampai sekarang perempuan itu masih hidup"

"Memangnya sudah berapa lama sejak kejadian itu?"

Mbah Rejan terdiam sejenak, otaknya yang tua  berusaha mengingat. 

"Kalau tidak salah sudah lima tahun yang lalu Cah Ayu, aku tak pernah kesana lagi"

Ah, sudah lima tahun? Apakah mungkin orang itu sekarang masih hidup? Kecuali ia memiliki ilmu kesaktian, bisa jadi itu benar. Walaupun kecil kemungkinannya tapi aku harus pergi untuk meminta bantuan, pikir Murni. 

"Kok nglamun Cah Ayu?"

"Tidak Mbah, cuma mau pamit, Murni mau ketemu orang sakti itu" terang Murni dengan polos.

"Welah-dalah bahaya Nduk! Jalan kesana banyak demitnya, bisa-bisa kamu dimakan penunggu hutan. Cilaka duh gustih" sergah Mbah Rejan dengan marah. 

Namun tekad Murni sudah membatu, jika Mbah Rejan yang buta bisa kesana,  harusnya ia yang lebih muda bisa juga, apalagi nasibnya tengah diujung tanduk. Kepada siapalagi dia harus meminta bantuan? 

"Lalu apakah Mbah Rejan bisa menyelamatkanku dari ritual tumbal kembar?" tagih Murni.

Orang tua itu terdiam dan kembali murung, "aku cuma orang tua yang hampir mati Nduk... aku tak punya daya lagi..."

"Karena itu biarkan Murni mencari bantuan Mbah! meskipun kecil kemungkinannya, Murni akan tetap berusaha" pinta Murni dengan sungguh-sungguh.

Orang buta itu tergetar akan kesungguhan bocah kecil itu, entah darimana keberanian yang ia miliki. Akhirnya dengan berat ia member restu, "Baiklah Cah Ayu... Mbah cuma bisa mendoakanmu semoga kau temukan penolongmu"

Murni pun segera pamit dan bergegas pergi disertai ocehan tak jelas dari orang tua itu. 

Mbah Rejan dengan tangannya yang kering berusaha merayap menggapai pintu. Kepalanya memandang keluar. Walau matanya buta, tapi telinganya menangkap suara langkah kaki yang semakin menjauh. 

"Duh Gusti, berilah keselamatan buat bocah itu" lirihnya sambil menggeleng kecewa karena merasa tak mampu berbuat apa-apa. 

Dengan langkah kakinya yang lincah Murni bergerak menyusuri pinggiran desa. Dia memilih jalan dibalik pepohonan yang tersembunyi agar terhindar dari pandangan warga. Semak belukar dan akar gantung ia hindari dengan trengginas. 

Sesampainya Murni di rumah kepala desa yang  terletak paling ujung dari desanya, ia tidak berhenti. Karena tujuannya bukan bertemu kepala desa. Sekilas ia melihat adik Sasrobahu yang bernama Ragati tengah menyapu dedaunan kering dihalaman depan.

Sejenak ia bimbang apakah sebaiknya dia melapor ke kepala desa kakang Sasrobahu, agar diantar ke tempat orang sakti itu. Ataukah nantinya malah ia dicekal kepala desa dan dipaksa pulang ke rumah mengingat nanti malam adalah waktunya Tumbal Kembar. 

Akhirnya ia urung melapor karena dari kejauhan  melihat beberapa warga desa datang mendekat ke rumah itu seperti menanyakan sesuatu. Pasti mencari dirinya. 

Sebelum Murni memperoleh bantuan, ia sudah bertekad untuk tidak menampakkan diri terlebih dahulu di depan warga desa. Ia segera berbalik dan terus mencari jalan yang dimaksud Mbah Rejan di belakang rumah Sasrobahu

Di belakang rumah ada pohon kenari, mahoni, beringin yang berdaun lebat, tapi tidak ada jalan yang dimaksud Mbah Rejan. Murni tidak langsung patah arang, dia terus mencari diantara semak belukar dan rerumputan yang tinggi. Akhirnya dibalik rimbun pepohonan Bambu Petung dia melihat jalan kecil yang tertutup daun bambu kering. Hampir tak terlihat mata.

Susah payah Murni menyusuri jalan itu, semakin masuk menuju perbatasan hutan Tumpasan. Keadaan berubah menjadi suram dan dingin. Akar pohon yang berlumut membuatnya hampir tergelincir seperti tempo hari. Murni mengambil sebuah jamur liar yang bercahaya untuk menerangi keadaan yang remang-remang. Setelah berjalan sepeminuman teh ia melihat pucuk atap sebuah bangunan dikegelapan. Jaraknya sekitar seratus langkah lagi. Mungkin itu pondok yang dimaksud Mbah Rejan.

Mendadak angin dingin meniup tengkuk Murni, membuat langkah kakinya terhenti. napasnya menjadi uap. Sayup suara hewan dan serangga tiba-tiba senyap. Gadis itu mencium ketidakberesan tanda kemunculan makhluk penunggu hutan.

"Kiiik kiiiik kiiik"

Suara ketawa cekikikan perempuan terdengar aneh dan menggidikkan di telinga Murni. Ia segera menoleh ke atas dan benar saja.

Sesosok wanita berambut putih memakai baju tak karuan nampak nangkring diatas dahan pohon dengan posisi merangkak yang tidak wajar. Tangannya berada dibelakang kedua kakinnya. Mulutnya tersenyum lebar hingga ke pipi memperlihatkan gigi runcing, dengan mata kecil menyembul berwarna merah.

"K-kuntilanak" lirih Murni ketakutan.

Makhluk ini merupakan salah satu penunggu hutan yang terkenal kejam. Hobinya adalah suka menculik manusia yang lengah dan menyeretnya ke dalam hutan, tidak akan pernah kembali lagi.

"Cah Ayu, kebetulan malam ini aku sedang lapar" seru kuntilanak itu sambil menjilati jemarinya yang berkuku panjang kehitaman.

"Aku ingin makan jantung manusia kiiik kiiik kiik!"

Makhluk itu menyambar buas ke arah Murni dengan cakar terpentang lebar.

Gadis itu reflek merunduk sambil berusaha mencari tempat berlindung. Namun pundaknya sempat tergores dan berdarah. Dengan menahan kesakitan Murni segera berlari sekencang-kencangnya. Tujuannya satu, sesegera mungkin ke arah pondok untuk meminta pertolongan.

"Mau kemana Cah Ayu?" tanya kuntilanak dengan tak sabar. Ia melayang dan mengejar dari arah belakang.

Murni tak menoleh kebelakang karena tahu makhluk itu memiliki mata pembius. Ia bisa tertangkap bila menoleh kembali. Jatuh bangun ia berusaha berlari.

Sepuluh langkah lagi maka sampailah dia di teras pondok namun makhluk itu lebih cepat. Pundak Murni dicekal dari belakang oleh tangan sekurus tulang.

Murni menjerit, namun kuntilanak itu semakin tertawa seram. 

Gadis itu terdorong Kuntilanak sampai pipinya menempel ke pintu pondok yang terbuat dari kayu.

Tiba-tiba terdengar suara tembang asmara, dari dalam pondok. Nada itu mengalun lirih namun terdengar sangat jelas ditelinga. Menggema ke relung hati Murni membuat kuduknya kembali berdiri.

Nandang asmoro ing ati
(Ketika merasakan cinta di hati)
Nadyan katon ana
(Walaupun telihat di mataku)
Kaya edan bebasane
(Seperti gila seumpamanya)
Kanggomu aku lila
(Untukmu aku tetap rela)
Rasa tresna kang satuhu
(Rasa Cinta yang sejati)
Aku tresna aku tresna
(Aku cinta, Aku Cinta)

Sang kuntilanak langsung melepas cekalannya dan termangu kebingungan. Tangannya berusaha menutup telinga namun tembang itu tetap saja terdengar. Makhluk itu menggeliat, berteriak dan mencakar tanah seperti orang gila lalu segera melayang menjauh.

Murni melihat makhluk itu menghilang secepat kilat ke dalam hutan. Ia terduduk di depan pintu, dadanya naik turun berusaha mengatur napas.

Tiba-tiba sesuatu dari belakang menutup mulut dan melingkari pinggangnya yang ramping. Cepat menariknya kedalam kegelapan rumah pondokan.

***

Suara derap kuda mengagetkan para warga Desa Bakor. Tamu yang ditunggu-tunggu mereka ternyata sudah datang. Sepasukan tempur dari kerajaan Kalingga. Dipimpin oleh panglima maha sakti Jagadnata dan Adipati Menggala. Perisai dan tombak para prajurit nampak berkilau ditimpa cahaya mentari, sungguh mengundang decak kagum semua orang.

Sontak para orang tua dan sesepuh desa berkumpul menyambut, seorang warga segera diutus ke rumah kepala desa untuk menyampaikan berita kedatangan tamu dari kerajaan Kalingga. Mereka semua berkumpul di balai desa yang terletak di tengah perkampungan sambil beristirahat dan menunggu waktu penyerangan.

Suara logam senjata yang berdenting menarik minat para bocah mereka bermain di sekitar para prajurit yang berwajah sangar, menari dan bertepuk tangan untuk mencari perhatian. Beberapa dari mereka bahkan lari terkencing dibentak karena menganggu istirahat para prajurit.

Seorang tetua bernama Darkun nampak berbincang bersama para pembesar kerajaan Kalingga.

"Ampun tuan, sambil menunggu kepala Desa kami yang bernama Sasrobahu silahkan dinikmati jamuan kami yang tidak seberapa ini" sahutnya seraya menangsurkan beberapa jamuan rebusan umbi-umbian, asapnya masih mengepul.

Jagadnata mengangguk acuh tak acuh. Netranya yang tajam mengawasi keadaan sekitar yang tampak kumuh seperti belum pernah tersentuh kehidupan luar.

"Sudah berapa lama desa ini tidak ada pendatang dari luar?" tanya Menggala penuh keheranan.

"S-sudah seratusan tahun lebih tuan, kami terisolasi dari dunia luar. Tidak ada yang berani masuk hutan ini, mereka yang nekat akan menemui ajal mereka di dalam hutan" cerita Darkun.

"Merpati yang kau kirimkan itu?"

"Benar tuan, kepala desa kami memiliki ide cemerlang untuk menangkap sepasang merpati di hutan, kami menernakkannya hingga berjumlah ratusan, kemudian kami tempelkan surat di kakinya untuk diterbangkan satu persatu setiap hari. Dengan harapan akan menemukan orang yang bisa dimintai bantuan. Syukur kepada Gusti Pangeran kami menerima balasan dari kerajaan Kalingga" kenang Darkun dengan gembira.

Menggala mengangguk-angguk setuju.

Mata Darkun yang tua balik menatap para petinggi dengan sedikit keheranan.
"Ampun beribu ampun tuan, sebelumnya apakah tuan pembesar ti-tidak diserang makhluk penjaga hutan?"

"Tidak ada makhluk iblis hutan sama sekali. Saat kami lewat hutan sungguh sunyi." terang Menggala sambil menggeser posisi duduknya di pendopo.

"Mungkin mereka takut dengan kedatangan kami... hanya saja..."

Menggala tidak melanjutkan kalimatnya bahwa mata-mata mereka Candika dan Candini telah terluka karena diserang. Hal ini bisa menjatuhkan wibawa Kerajaan Kalingga.

Mata Darkun membulat, apakah mereka takut dengan kesaktian prajurit Kalingga? pikir Darkun mulai curiga.

"Hanya apa kanjeng Gusti?"

"Ah tidak, kau bilang tadi para warga desa juga tidak dapat keluar dari hutan?" tanya Menggala mengalihkan pembicaraan.

"Betul tuan, kami secara turun-temurun telah dipagari oleh semacam kutukan. Lihat Tuanku" seru Darkun menunjukkan lengan dalamnya yang memiliki sebuah bisul. 

"Kami semua terlahir dengan tanda ini" keluh Darkun.

"Hiih Segel Iblis cuih!" seru Menggala terbelalak sambil meludah ke samping.

Darkun segera menutup luka itu dengan kain bajunya.

Jagadnata memelintir kumisnya yang tebal.

"Hm.. cara memusnahkannya cuma satu, habisi tuntas sumbernya. Ratu Demit Gondo Mayit" geram Panglima Jagadnata dengan mata berkilat. Ia diberi waktu tiga hari untuk menumpas ratu demit tersebut oleh yang Mulia Raja. Misi ini harus dia jalankan sesegera mungkin tanpa adanya kesalahan sedikit pun.

Setelah itu ia harus berkumpul di pendopo utama istana untuk menghadiri acara yang lebih penting. Delapan puluh satu Panglima semuanya wajib hadir termasuk dirinya.

Keadaan kemudian menjadi riuh ketika Larantuka digelandang masuk ke halaman Balai Desa. Badannya diikat tali temali yang kuat begitu pula tangannya diikat. Dua orang pengawal lantas mengikatnya dibawah pohon beringin yang besar. Para warga desa Bakor mengelilinginya bak semut.

"Hati-hati jangan terlalu keras mengikat ke pohon, nanti ia sulit bernapas" pinta Candini yang mengikuti dari belakang tampak khawatir.

Pemuda ini telah menerima pukulan langsung dari Jagadnata. Ilmu Angin dan Hujan milik gurunya sudah teramat tinggi. Tubuh Larantuka pasti luka dalam dan harus mengatur napas untuk penyembuhan.

"Candini kemari!" perintah Jagadnata.

Gadis itu segera berbalik dan mendekati gurunya, ia mengambil posisi duduk yang lebih rendah setelah diperintahkan.

"Jangan terlalu dekat dengan orang itu. Kita belum tahu asal-usulnya. Terlebih lagi ia membawa senjata iblis" terang Jagadnata.

"T-tapi guru, pemuda ini benar-benar membantu kami. Ilmunya tinggi, kelak pasti akan berguna bagi kerajaan bila ia mau bergabung" terang Candini sambil mengiba.

"Aiih kau masih berusaha membantu pemuda ini, jangan-jangan kau sudah jatuh hati kena ilmu peletnya!" goda Menggala dengan gemas.

Pipi Candini merona merah lantas membuang muka.

"Eh loh benar sepertinya hahaha, bagaimana ini kakang Jagadnata? muridmu sudah jatuh hati dengan orang asing" tanya Menggala sambil terbahak dan menepuk pahanya.

"Tidak Paman, itu tidak benar. Sebagai pendekar aku hanya mau balas budi saja" bantah Candini dengan pipi memerah.

Panglima malah menatap Darkun dan bertanya "Apakah pemuda ini memiliki kaitan dengan desamu orang tua?"

Kakek Darkun terbengong menatap dari kejauhan, pemuda itu sungguh asing baginya.

"Coba periksa" perintah Menggala.

Darkun segera turun dan tergopoh  mendekati Larantuka. Ia mengamati pemuda itu dengan seksama lalu segera balik melapor.

"Err tidak tuanku, pemuda ini bukan dari desa kami, dilihat dari gelagat dan pakaiannya seperti orang dari luar" jelas Darkun.

"Kalau begitu jangan harap pemuda ini masuk Kalingga apabila asal-usulnya tidak jelas!" bentak Jagadnata.

"Sekarang kau awasi dia baik-baik. Setelah masalah ini selesai nanti akan benar-benar kuselidiki siapa dia"

Gadis berbaju kuning itu menunduk sedih, "Daulat Guru, murid akan berhati-hati"

"Kita beristirahat sebentar, nanti malam kita akan bersiap menyerang sarang dari iblis betina itu" sambung Jagadnata.

Darkun terkejut "Ampun Gusti, apakah kita tidak menunggu rembuk saran dari kepala desa  mungkin sebentar lagi akan tiba"

Seluruh hadirin mendadak senyap. Para Warga terlihat kembali murung karena teringat bahwa sesuai rencana, malam ini adalah waktunya mereka mempertaruhkan kehidupan mereka untuk mendapatkan kebebasan. Entah apakah bantuan dari Kalingga ini mampu membawa kemenangan.

Menggala mendadak tertawa lebar.

"Tenang saja Mbah, bagaimanapun taktik yang digunakan, pasukan kami akan selalu siaga. Terlebih waktu kami singkat. Diatas tangan jelas para demit itu tidak akan mampu melawan kekuatan pahlawan kerajaan Kalingga, terlebih kami membawa ini" sahut Menggala sambil mengusap kotak besar berwarna hitam.

Seluruh sesepuh tergerak mendekat untuk melihat apa isi kotak tersebut.

Menggala mengirim kode ke Jagadnata. Panglima itu mengangguk memberi ijin.

Kotak itu lalu dibuka dan isinya bercahaya menyilaukan mata orang yang ada di pendopo. Ternyata didalamnya terdapat sebilah pedang dengan ukuran luar biasa besar, dengan lebar sejengkal orang dewasa dan panjang enampuluh dim. Warangkanya terbuat dari baja pilihan bersulam kulit binatang bertahta mutiara mirah delima. Bagian gagang dan pelindungnya dari logam berwarna perak dengan ukiran simbol matahari dan sinarnya.

"Gila, gajah pun mungkin bisa terpenggal oleh pedang ini!" seru seorang warga tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Beratnya pasti puluhan kati (Kati adalah satuan berat tradisional yang sepadan dengan beban berat 6 ¼ ons) apakah ada orang yang bisa mengangkat dan menggunakannya?" tanya yang lain.

Semua berkasak kusuk penuh keheranan dan rasa takjub.

Darkun menelan ludah, "saya merasakan kehangatan luar biasa dari pedang ini, pastinya bukan pedang biasa melainkan pedang mustika."

Menggala mengangguk membenarkan. "Benar, ini adalah salah satu pusaka kerajaan Kalingga. Pedang Mustika Sinar Matahari. Pedang ini membawa kesaktian matahari dalam membasmi makhluk iblis. Sebagaimana sinar matahari mengenyahkan kegelapan malam."

Sontak para hadirin berteriak kecil. Ini pertamakalinya warga melihat benda mustika. Semangat mereka mulai timbul.

"Dalam prasasti batu Langit disebutkan sepuluh benda mustika yang terkuat didunia. Pedang ini masuk urutan ke tujuh, luar biasa bukan?" puji Candini dengan pongah.

"P-prasasti Batu Langit? hamba tidak pernah keluar dari hutan Gusti putri mohon maklum" sahut Darkun tidak mengerti.

"Prasasti Batu Langit merupakan batu meteorit yang terletak di Gunung Lawu. Batu itu berasal dari langit jatuh dan menimbulkan ledakan mahadahsyat di puncak gunung. Luarbiasa keras dan tidak mampu dihancurkan begitu saja oleh berbagai macam senjata yang dimiliki iblis maupun manusia. Sampai saat ini hanya ada sepuluh macam senjata yang mampu menebas batu itu. Semakin dalam tebasannya maka semakin tinggi peringkatnya. Pedang Sinar Matahari ini mampu menebas sedalam satu hasta batu Langit tersebut maka dia masuk peringkat ke tujuh" terang Candini panjang lebar.

"Oooh seperti itu" seru para warga berguman kembali.

Ujung Pedang itu tampak berkilat terkena pancaran sinar mentari sore. Apakah nanti akan tiba waktunya pedang ini memangsa korban, para iblis hutan Tumpasan?

BERSAMBUNG
close