Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CANGKANG (Part 2)

Dari celah pintu kamarku yang sedikit terbuka, sudut mataku seperti melihat bayangan yang sekilas melintas di luar sana..

Aku yang penasaran, segera melongok ke luar untuk memastikan apa yang baru saja aku lihat..

Dan betapa diriku jadi terdiam bagai terhipnotis…

Di sana, dekat ruang tamu, ada sosok wanita dengan tubuh bagai kaca bening yang tembus pandang, bergerak perlahan bagai mengambang di tengah temaramnya lampu ruangan, lalu menghilang...


CANGKANG Bagian 2

Hari itu hari Rabu Legi. Hari dimana kembali dilaksanakan ritual persembahan sesaji untuk Gendis.

Seperti sebelumnya, aku cuma bisa mendengar sayup-sayup suara pak Hartadi membacakan sesuatu di luar sana. Karena selama ritual itu berlangsung, aku diminta untuk diam dalam kamar demi terjaganya kesakralan ritual itu.

Tapi malam itu, aku tak kunjung bisa tidur akibat mencium aroma bakaran dupa dan kemenyan yang jauh lebih menyengat dari yang biasanya tercium.

Dalam gelisahku yang tengah berusaha untuk memejamkan mata, sayup terdengar suara seorang wanita seperti sedang melantunkan kidung.

Suaranya mengalun timbul tenggelam di tengah keheningan malam. Terasa menyayat hati, membuat bulu kudukku meremang berdiri..

“Siapa yang nembang malam-malam begini?”

Tiba-tiba dari celah pintu kamarku yang sedikit terbuka, sudut mataku seperti melihat bayangan yang sekilas melintas di luar sana..

Aku yang penasaran, segera melongok ke luar untuk memastikan apa yang baru saja aku lihat..

Dan betapa diriku jadi terdiam bagai terhipnotis…

Di sana, dekat ruang tamu, ada sosok wanita dengan tubuh bagai kaca bening yang tembus pandang, bergerak perlahan bagai mengambang di tengah temaramnya lampu ruangan, lalu menghilang...

"Ada apa Pram?

Tanya mbok Sum yang entah dari mana tiba-tiba saja sudah muncul di dekatku, membuatku seolah tersadar kembali ke dunia nyata.

"Eh, anu mbok, tadi saya lihat seperti ada bayangan aneh lewat ke arah sana." Sahutku sambil menunjuk ke arah bayangan tadi melintas.

“Bayangan apa?” balas Mbok Sum sambil melirik ke arah yang kumaksud.

Aku terdiam tak langsung menjawab, karena sebenarnya diriku juga tidak terlalu yakin dengan apa yang baru saja kulihat.

Apa ada hantu di rumah ini?

"Sudah, kamu masuk sana, sudah malam." Pinta mbok Sum yang langsung aku iyakan.

Namun belum sempat aku berbalik, mataku malah tertuju kepada butiran-butiran tanah yang nampak bertaburan di lantai bagai membentuk sebuah jalur..

"Tanah? Darimana asalnya? Aneh..." 

***

Keesokan harinya, seperti biasa, sejak pagi aku sudah bangun dan segera melakukan pekerjaanku sehari-hari.

Tapi pagi itu, terlihat Gendis yang sedang duduk-duduk di teras. Sesuatu yang tak biasa dilakukannya.

Aku yang sudah berhari-hari tak pernah bertemu dengannya, coba bersikap ramah dan langsung menyapa.

"Ndis, tumben pagi-pagi begini sudah duduk-duduk di situ?"

Tapi dia tak menjawab. Cuma sekilas melirik, lalu bangkit dan langsung masuk ke dalam rumah.

"Gendis kenapa ya mbok?" Tanyaku kepada mbok Sum ketika kami berpapasan.

"Memangnya ada apa?" Sahutnya malah balik bertanya.

“Tadi dia duduk-duduk di teras. Nggak biasanya dia begitu. Lalu waktu saya tegur, dia nggak jawab, malah langsung pergi. Kan aneh mbok..”

"Ah, mungkin dia lagi banyak pikiran. Sudah, kamu lanjut kerja saja, nggak usah mikir yang macem-macem." Balas mbok Sum.

Tadinya aku juga berpikiran begitu. Tapi sikap Gendis di hari-hari berikutnya, membuatku merasa ada sesuatu yang salah.

Dia seolah menjaga jarak denganku. Beberapa kali dia menghindar ketika ku ajak bicara. Keakraban kami yang sudah terjalin selama ini, seolah hilang begitu saja.

Sedangkan pak Hartadi nampak telah kembali seperti dulu. Tenang dan berwibawa. Tak terlihat lagi kegelisahan dan ketegangan di wajahnya.

Bahkan beberapa kali terdengar dia tertawa lepas, seolah beban berat yang menghimpitnya telah terangkat.

***

"Pram, kemari sebentar, saya mau bicara." Pinta pak Hartadi di suatu pagi ketika aku sedang menyapu halaman.

"Nggih pak, ada apa?"

"Hari ini hari Sabtu Pahing. Nanti malam, saya punya rencana mau sediakan sesaji untuk kamu."

"Sesaji untuk saya pak? memangnya ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, cuma untuk memperingati hari wetonmu. Ini memang sudah jadi tradisi keluarga kami sejak dulu, dan kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri."

"Oh begitu. Ya sudah pak, saya nurut saja."

"Ritual? Ritual apa pak?"

"Cuma ritual biasa. Nggak ada yang aneh-aneh. Cuma syukuran kecil-kecilan supaya kamu selalu diberi keselamatan, sehat lahir batin. Dan ini nanti bakal rutin diadakan setiap Sabtu Pahing. Kamu paham kan?"

"Paham pak. Terserah bapak saja."

Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Tapi aku lebih memilih diam. Seperti yang selalu diajarkan ibuku. Kadang diam menjadi pilihan terbaik untuk sesuatu yang belum kita mengerti.

Adakalanya kita cuma harus menyimak dan pelajari. Terlalu banyak bertanya terkadang malah akan menimbulkan masalah. Terlalu banyak tau justru membuat sesuatu jadi ambigu.

Dan malam itu, aku diminta hadir di tengah-tengah ruang tamu dimana sudah tersedia sesaji berupa berbagai macam jajanan pasar yang bersanding dengan kembang 7 rupa dan bakaran kemenyan.

Di sana juga telah hadir pak Hartadi yang mengenakan pakaian adat jawa, duduk bersila lalu mulai melafalkan semacam mantra-mantra.

Aku cuma terdiam khidmat sambil mendengarkan untaian kalimat-kalimat yang di ucapkannya dalam bahasa yang terdengar tua dan kuno.

Setelah itu, aku diminta untuk minum segelas cairan kental berwarna merah yang bau amisnya hampir membuatku muntah.

Sejenak aku ragu untuk meminumnya, tapi pak Hartadi yang seolah paham dengan keraguanku, coba membujukku untuk mau meminumnya.

"Nggak apa-apa, Itu ramuan khusus campuran dari rempah-rempah, telur dan sebagainya. Supaya kamu selalu sehat wal afiat." jelasnya coba meyakinkanku.

Akhirnya sambil menahan napas, segera kuminum ramuan itu dengan sekali tenggak.

Aneh, setelah meminumnya, terasa ada sesuatu yang ikut terminum. Sesuatu yang sulit kujelaskan.

Sesaat kemudian, pandanganku perlahan mulai memudar, tubuhku jadi terasa ringan bagai melayang, namun kepalaku malah terasa berat, lalu segalanya berubah gelap...

***

Aku terbangun dalam kamarku. Mataku buram, kepalaku masih terasa pusing. Namun telingaku seolah mendengar suara-suara bisikan yang datang silih berganti dari berbagai arah.

Tapi kemudian suara-suara itu terhenti ketika Gendis datang membuka pintu kamar dan langsung masuk lalu duduk di sampingku.

"Bagaimana perasaanmu Pram?"

Aku diam tak langsung menjawab sambil berusaha bangun dan duduk di atas kasur.

"Kepala saya masih pusing. Apa tadi saya pingsan?"

"Iya, tadi kamu pingsan. Tapi itu wajar. Artinya, ramuan itu bekerja dengan baik. Fungsinya memang untuk membersihkan segala macam penyakit yang ada dalam tubuhmu. Saya juga minum waktu ritual Rabu Legi tempo hari."

"Tapi kok begitu ya? Sampai bikin pingsan segala?" Tanyaku kembali.

"Iya. Memang reaksinya seperti itu. Tapi jangan khawatir, nggak apa-apa kok. Nanti kamu juga akan terbiasa. Ya sudah Pram, kamu berbaring saja. Saya pamit dulu."

Gendis lalu pergi meninggalkanku yang jadi bingung dengan sikapnya yang berubah-ubah.

Dia yang belakangan ini sempat menjauh, kini tiba-tiba kembali akrab seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Dan dia memanggilku 'Pram'...

"Pram, tolong kamu bawa ini ke kamar khusus." Pinta mbok Sum sambil menyerahkan nampan berisi semangkuk bubur untuk ibu Gayatri.

"Ke kamar khusus mbok? Saya boleh masuk ke sana?" Sahutku coba memastikan kalau aku tak salah dengar.

“Iya, nggak apa-apa. Sudah dapet ijin dari Pak Hartadi. Tapi hati-hati, jangan sampai ibu Gayatri terganggu.” Balas mbok Sum.

Walau masih dengan hati bimbang, aku segera menuruti perintah mbok Sum.

Tapi kian dekat ke sana, perasaanku malah makin tak karuan. Aku tak tau kenapa. Entah karena gugup, atau malah takut? Karena selama ini aku dilarang untuk mendekat.

Sesampainya di depan pintu kamar yang berukir itu, sepintas telingaku mendengar suara-suara berbisik dari dalam sana. Sejenak ku terdiam, coba menyimak. Tapi suara-suara itu malah menghilang.

"Permisi bu, saya bawa bubur untuk ibu." Ucapku di depan pintu yang masih tertutup rapat, meminta ijin untuk masuk.

Namun tak ada jawaban...

Akhirnya ku beranikan diri untuk membuka pintu yang ternyata tak terkunci..

Saat pintu terbuka, aroma kemenyan spontan menyeruak keluar, masuk menusuk rongga hidung, serasa tembus ke otak.

Perlahan aku masuk ke dalam, melangkah dengan hati-hati menuju meja yang ada di samping tempat tidur sambil menyapu pandangan ke seluruh ruangan.

Kamar ini terlihat berbeda dengan yang lain. Suasananya pun terasa mistis dan magis. Tapi ternyata tak terlalu banyak benda yang mengisi ruangan ini.

Hanya ada tempat tidur besar berhiaskan kelambu, dengan sebuah meja kayu jati yang berada persis di sampingnya, dan sebuah cermin dengan bingkai berukir yang tergantung di dinding.

Samar-samar nampak siluet ibu Gayatri yang terbaring di tempat tidur. Sedikit kurang jelas, karena terhalang oleh kelambu yang cuma setengahnya tersingkap.

Tapi baru saja kuletakkan nampan di atas meja, mataku terbelalak ketika akhirnya bisa melihat dengan jelas dari celah kelambu yang tersibak…

Ibu Gayatri terbaring dengan kondisi yang amat mengenaskan…

Tubuhnya kurus kering dengan kulit yang kendor. Badannya yang dulu berisi, kini bagai balon yang kempes!

Wajahnya cekung dengan lingkaran mata yang menghitam. Rambutnya yang dulu biasa tersanggul rapi, kini garing riap-riapan.

"Ya Allah, ibu Gayatri..." Mulutku spontan berucap lirih merasa iba.

Tapi ketika melihat diriku yang berdiri di dekatnya, matanya yang tadi sayu, mendadak menatapku dengan pandangan nanar..

Bibirnya yang kering pecah-pecah, perlahan terbuka berusaha untuk bicara.

Tangannya yang kini kurus dipenuhi urat-urat biru menonjol, menggapai lemah, seperti memintaku untuk lebih mendekat...

Sejenak aku ragu. Tapi batinku berkata kalau ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

Akhirnya kuberanikan diri duduk bersimpuh di samping ranjang, mendekatkan telingaku, siap mendengarkan apa yang ingin di ucapkannya..

"P-per-gi... P-per-gi..."

Dia berkata putus-putus dengan hembusan nafas yang lemah. Hingga aku tak mampu menangkap dengan jelas apa yang baru saja diucapkannya...

Pergi? Apa dia baru saja bilang pergi? Apa dia tak suka dengan kehadiranku di kamar ini?

Tapi ketika diriku masih menerka-nerka, terdengar suara Gendis yang sudah berdiri di belakangku..

"Pram, kamu sedang apa?"

Aku spontan menoleh..

"Nggak apa-apa Ndis, tadi saya diminta mbok Sum bawa bubur ke sini. Lalu tadi ibu Gayatri seperti mau bicara, tapi kurang jelas." ucapku lalu bangkit kemudian mundur selangkah.

Namun wajah ibu Gayatri malah jadi ketakutan saat Gendis mendekatinya lalu duduk di atas ranjang, persis di sampingnya.

"Ya sudah, sekarang saya mau mengganti pakaian ibu dulu. Kamu lebih baik keluar saja." Pinta Gendis sambil memandang ke arah ibu Gayatri yang terlihat makin ketakutan.

***

"Mbok, sebenarnya Ibu Gayatri itu sakit apa ya? badannya kok sampai kurus kering begitu?" Ucapku memberanikan diri bertanya sesaat setelah kembali ke dapur.

Mendengar pertanyaanku, wajah mbok Sum nampak berubah. Dia terlihat tak senang.

"Sudah Pram, kamu nggak perlu banyak tanya. Nanti kalau sampai pak Hartadi dengar, beliau bisa marah lho!" Balas mbok Sum mengingatkan.

"Maaf mbok." sahutku spontan menunduk.

"Tugas kita di sini untuk kerja, melayani keluarga ini, jadi nggak perlu banyak tanya." tambahnya lagi sedikit ketus.

Aku mengangguk mengiyakan. Sedikit jadi tak enak dapat teguran seperti itu. Tapi tetap saja, batinku masih dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menimpa ibu Gayatri?

Andai saja tadi aku tak melihat kondisi beliau, mungkin aku tak terlalu risau.

Tapi setelah tau betapa kondisinya begitu menyedihkan, rasanya tak salah kalau aku bertanya-tanya mengapa beliau dibiarkan begitu saja tanpa mendapatkan pengobatan yang layak?

Sejak hari itu, beberapa kali aku diperbolehkan kembali masuk ke kamar itu untuk berbagai macam keperluan.

Dan seperti saat sebelumnya, ibu Gayatri seperti selalu berusaha menyampaikan sesuatu dalam kondisinya yang kian payah.

Tapi setelah kesekian kalinya, ibu Gayatri sudah tak mampu lagi bergerak atau bahkan hanya untuk sekedar membuka mulut.

Dia cuma bisa diam sambil menatap diriku dengan matanya yang kian sayu.

***

Tanpa terasa, situasi itu terus berlanjut. Hingga akhirnya datang kabar duka..

Ibu Gayatri meninggal dunia...

Seisi rumah berkabung dengan kepergiannya. Aku bahkan merasakan kehilangan yang sama seperti saat ibuku meninggal dulu.

Proses pemakaman pun kembali dilaksanakan secara tertutup.

Hanya beberapa orang saja yang nampak menghadiri proses pemakaman sekaligus membantunya hingga selesai.

Jenazah ibu Gayatri dimakamkan disamping makam almarhum mas Putra yang berjajar rapi di samping makam mendiang Raden mas Joyodiningrat dan Gusti Ayu Probowati.

Sebenarnya ada satu makam lagi yang juga berada di situ. Satu makam dengan nisan tanpa nama dan terlihat jauh lebih tua dari makam yang lain.

Dulu aku sempat menanyakan perihal makam tersebut kepada mbok Sum. Dan dia cuma menjawab kalau itu adalah makam dari kerabat Raden Mas Joyodiningrat.

***

Tapi setelah 7 hari kematian ibu Gayatri, suasana rumah kembali normal seperti sedia kala.

Tak lagi nampak wajah-wajah sedih dan murung. Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di rumah ini.

Aku protes! Tapi cuma berani dalam hati. Jujur saja, aku tak suka dengan sikap mereka itu.

Ini yang meninggal ibu Gayatri!

Dia Ratu di rumah ini!

Semestinya mereka berkabung lebih lama ketimbang saat mas Putra yang 'cuma' anak angkat itu meninggal dulu.

Aku yang pernah merasakan betapa hancurnya hati ketika dulu ibuku wafat, jadi tak rela dengan situasi seperti ini.

Tapi aku yang sadar diri dengan posisiku di rumah ini, akhirnya cuma bisa menyimpan rasa kecewa itu dalam hati.

Hingga tiba hari wetonku. Hari dimana aku harus kembali mengikuti ritual yang dilakukan bersamaan dengan persembahan sesaji.

Dan hari itu pula baru aku ketahui, kalau ternyata Pak Hartadi juga memiliki hari weton yang sama. Terlalu janggal untuk dianggap sebagai sebuah kebetulan belaka.

Kini aku kembali duduk khidmat di hadapan persembahan sesaji, sambil mendengarkan pak Hartadi yang mulai merapalkan mantra-mantranya.

"Minum ini." pinta pak Hartadi yang langsung membuyarkan lamunanku.

Sejenak aku ragu, teringat kembali efek dari ramuan itu yang mampu membuatku tak sadarkan diri.

Tapi coba ku tepis semua prasangka buruk. Sebab, walaupun mampu membuatku pingsan, tak ada efek lainnya yang perlu dikhawatirkan.

Hingga saat ini, aku masih baik-baik saja. Bahkan harus kuakui, diriku malah merasa lebih bugar dari sebelumnya.

Segera ku sambut gelas berisi cairan merah amis itu dari tangannya. Lalu tanpa banyak tanya lagi, langsung ku minum sampai habis tak tersisa sambil menjaga agar diriku tak muntah.

Dan reaksi ramuan itu pun mulai bekerja...

Pandanganku mulai memudar, tubuhku terasa ringan bagai melayang, kepalaku terasa berat, lalu gelap...

Aku terbangun dalam kegelapan, di dasar lubang yang amat dalam, terasa dingin dan mencekam.

Suara-suara bisikan terdengar silih berganti. Kian lama kian cepat seolah berebut masuk ke telingaku. Batinku menjerit ketakutan.

"Ini di mana?"

Lubang sempit nan dalam ini seolah menghisap nyaliku hingga tak tersisa.

Mulutku langsung berteriak memanggil. Namun cuma ada gema yang bergaung kembali ke telinga.

Di atas sana, terlihat wajah pak Hartadi yang melongok ke dalam, tersenyum dengan penuh arti, lalu menghilang...

Mendadak, segala kegelapan berubah menjadi terang meyilaukan.

Diriku seolah melayang terhisap keluar dari dalam lubang. Mataku terpejam saat diriku terangkat naik.

"Pram.. Pram..."

Aku membuka mata saat mendengar suara orang memanggil. Terasa amat dekat.

Dengan pandangan yang masih samar-samar, pertama yang kulihat adalah wajah Gendis.

Setelah segalanya jernih, baru kusadari kalau diriku telah kembali ada dalam kamar, terbaring di tempat tidur.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Gendis yang duduk di atas ranjang dekat kepalaku.

Aku tak langsung menjawab. Masih coba menerka apa yang baru saja kualami. Segalanya bagai mimpi.

Kucoba untuk bangkit, Gendis langsung melarang.

"Nggak usah bangun dulu. Lebih baik kamu istirahat saja. Sepertinya kamu masih belum terbiasa dengan ramuan itu."

Aku cuma balas mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalaku di atas bantal.

Gendis langsung pergi meninggalkanku yang kembali terpejam dan perlahan tertidur.

***

Namun sejak hari itu. Aku dilarang untuk bekerja. Bahkan aku tak diperbolehkan untuk melakukan apa-apa.

Aku cuma diminta untuk berdiam diri di dalam kamar. Hanya boleh keluar untuk mandi atau buang air saja.

Jelas aku bingung dan langsung protes! Kenapa aku dikurung seperti ini? Apa salahku?

Tapi mbok Sum justru menyampaikan sesuatu yang langsung membuatku seolah terbang ke langit ketujuh..

“Kamu nggak salah apa-apa. Ini bukan hukuman. Malah seharusnya kamu bangga karena ini adalah tahapan akhir sebelum kamu dinobatkan sebagai anggota keluarga ini.”

“Hah? Yang bener mbok? Apa saya nggak salah dengar?”

“Nggak, kamu nggak salah dengar. Setelah kemarin kamu selesai melalui dua kali ritual, akhirnya pak Hartadi mantap untuk menerimamu. Sama seperti Gendis, dia juga telah selesai melalui semua tahapan ritualnya."

Astaga! Aku? Jadi bagian dari keluarga ini? Sulit dipercaya…

Tapi mbok Sum membuktikan ucapannya. Dia benar, ini tak terasa seperti hukuman. Karena selama dipingit, aku diperlakukan dengan sangat istimewa, layaknya seorang raja.

Berbagai macam makanan dan minuman silih berganti berdatangan ke dalam kamar.

Namun bukan mbok Sum yang mengantarkannya, tapi Gendis.

Selama berhari-hari, dengan telaten bagai seorang pelayan, gadis itu selalu menyediakan segala keperluanku hingga membuatku jadi sedikit sungkan.

Tapi dia bilang kalau dia tak keberatan. Semua itu memang sengaja dilakukannya dengan alasan sebagai ungkapan perhatiannya terhadapku yang sudah dianggapnya seperti keluarganya sendiri.

Namun malah terdengar kabar kalau pak Hartadi jatuh sakit. Tapi aku tak bisa menjenguknya. Selain karena katanya beliau tidak ingin diganggu, aku pun belum boleh keluar kamar.

Beberapa kali kutanyakan tentang keadaan pak Hartadi kepada Gendis. Dan dia bilang kalau beliau baik-baik saja. Cuma butuh istirahat.

Di beberapa malam, mbok Sum memintaku untuk mandi kembang. Aku yang tak paham apa maksudnya, kembali memberanikan diri untuk bertanya.

Dia beralasan bahwa semua itu dilakukan untuk membersihkan diriku dari segala pengaruh buruk, agar aku layak untuk menjadi bagian dari keluarga ini.

***

Segala perlakuan istimewa itu terus kuterima selama berhari-hari. Tapi aku yang kian jenuh terus berada dalam kamar, sempat meminta ijin kepada mbok Sum agar setidaknya sesekali diperbolehkan untuk keluar.

Tapi dia tetap melarang...

Namun aku yang tak terbiasa berdiam diri lama-lama, akhirnya malah jadi merasa tersiksa. Hantaran makanan dan minuman yang berlimpah, serasa tak berarti lagi.

Lalu entah di hari yang keberapa, timbul niatku untuk menyelinap keluar kamar saat malam hari. Dimana tak ada seorang pun yang bakal melihat.

Bukan untuk apa-apa, tapi hanya untuk sekedar mengganti suasana demi mengusir rasa bosan. Aku cuma mau berdiri di halaman sambil menghirup udara segar.

Dan akhirnya sesuai rencana, saat malam telah larut, setelah yakin dengan situasinya, aku siap menyelinap keluar kamar.

Tapi baru saja aku membuka pintu dan melangkahkan satu kaki keluar, terinjak sesuatu yang terasa kasar, terasa 'ngeres'...

Terlihat banyak butiran-butiran tanah bertaburan persis di depan pintu kamarku...

"Tanah ini lagi? Darimana asalnya?"

Aku penasaran, karena segalanya sama persis seperti yang pernah kutemui dulu. Tanah itu bertaburan bagai membentuk sebuah jalur. Dan kali ini aku ingin tau kemana jalur itu menuju.

Perlahan sambil mengendap-endap, kutelusuri jalur taburan tanah itu mulai dari depan pintu kamarku, terus melewati ruang tamu.

Hingga akhirnya terhenti pada sebuah kamar dengan pintu berukir..

Kamar khusus..

Di situ aku terdiam. Aku ragu. karena taburan tanah itu sepertinya terus berlanjut masuk ke dalam. Aku tak berani masuk.

Aku kecewa. Rasa penasaran ini tak terobati. Tapi situasi yang tak memungkinkan, membuatku memutuskan untuk kembali ke rencana awal, pergi keluar menghirup udara segar di halaman.

Tapi baru saja aku berbalik, aku tersentak mundur ketika melihat mbok Sum yang lagi-lagi telah berdiri di belakangku.

"Kamu mau kemana? Kenapa keluar kamar?" Tanya wanita itu dengan nada sedikit marah.

"Maaf mbok, saya cuma mau cari angin. Di kamar sumpek." Jawabku sedikit gugup.

Dia tak langsung menimpali seperti yang sering dilakukannya. Malah memandang ke arah lantai, lalu ke arahku. Seolah sedang menduga apakah aku melihat hal yang sama.

"Sekarang lebih baik kamu masuk saja, jangan sampai pak Hartadi tau, bisa-bisa dia marah lalu berubah pikiran." Perintahnya tegas.

Aku tak berani membantah. Langsung kembali menuju kamarku sambil terus memandangi taburan tanah misterius itu.

Hingga beberapa hari berikutnya, setiap malam saat aku membuka pintu dan melongok, taburan tanah itu selalu ada di sana, dan hilang ketika pagi.

Namun aku tak pernah tau apa maksudnya? Semuanya masih berupa misteri tak terjawab.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close