Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CANGKANG (Part 3 END)

Terdengar suara pintu dibuka dari luar. Lalu seseorang melangkah masuk...

Bagai tertampar, aku terkesiap saat melihat sosok itu terus melangkah lalu berhenti dan berdiri di dekat ranjang. Sosok yang amat ku kenal..

DIRIKU SENDIRI...


CANGKANG Bagian 3 (TAMAT)

Sampai akhirnya tiba hari yang ditunggu-tunggu. Hari wetonku. Hari 'penobatan'. Ritual yang terakhir.

Aku yang sebelumnya tak terlalu suka dengan segala ritual itu, kini malah jadi antusias. Karena setelah semuanya selesai, aku jadi bisa kembali kepada kehidupan normalku.

Dan bukan hanya itu. Kenyataan bahwa setelahnya aku akan resmi menjadi bagian dari keluarga ini, memberikan satu sensasi kegembiraan tersendiri.

Bayangkan saja. Aku yang tadinya hanyalah pemuda miskin yatim piatu yang putus sekolah, tiba-tiba jadi anak orang kaya! Sesuatu yang bahkan tak berani kuimpikan.

Layaknya cerita dongeng. Pramono si kuli panggul jadi juragan. Sang katak menjelma jadi pangeran. Si ulat telah berubah jadi kupu-kupu.

Tapi ternyata aku salah sangka. Semua bayangan kebahagiaan yang sudah terpampang di depan mata, pupus seketika…

***

Malam itu, kembali semua sesaji telah ditata. Dupa dan kemenyan pun telah dibakar. Tapi kali ini, ritual dilaksanakan di dalam kamar khusus.

Namun di situ, aku malah disuguhi sebuah pemandangan yang membuat hatiku miris..

Pak Hartadi nampak terbaring lemah di atas ranjang berkelambu. Wajahnya pucat, pipinya kempot. Nafasnya tersengal-sengal naik turun.

Pakaian adat jawa yang dikenakannya kini nampak kedodoran karena bobot tubuhnya yang jauh menyusut.

“Ya Allah.. Pak Hartadi kenapa?”

Aku duduk bersila dengan perasaan campur aduk. Mataku tak lepas menatap pak Hartadi yang dibantu Gendis bangkit dari tempat tidur, lalu dituntun untuk duduk bersila di hadapan sesaji.

Gendis terus merangkul dan menjaga agar tubuh lelaki itu tak rubuh.

Dan ritual pun dimulai...

Dengan suara lemah putus-putus, pak Hartadi mulai membacakan mantra-mantra. Sebentar saja, nafasnya tersengal-sengal. Sejenak berhenti, lalu lanjut lagi.

Tapi dalam ritual kali ini, ada sesuatu yang berbeda, ada sesuatu yang lain.

Selama pak Hartadi mengucapkan mantra-mantranya, mbok Sum menaburkan tanah mulai dari dalam kamar khusus terus menuju kamarku.

Aku kaget. Rupanya selama ini dia yang melakukannya. Pantas saja dia bisa tiba-tiba selalu muncul saat itu. Tapi untuk apa?

Proses ritual pun terus berlanjut. Rangkaian mantra telah usai. Tapi mulut pak Hartadi belum sepenuhnya berhenti.

Dia mulai melantunkan sebuah kidung yang terdengar familiar..

Dia melagukannya dengan suara lirih dan ritme yang pelan, hingga membuatku seolah ikut terhanyut padahal aku tak mengerti akan bahasanya.

Selepas alunan kidung selesai, pak Hartadi dengan tangan gemetar menyodorkan segelas cairan merah kepadaku.

Namun kali ini, cairan merah itu menyuguhkan aroma yang lain. Baunya tak lagi amis, berganti dengan harum wangi bunga melati.

Aku segera menyambutnya dan langsung meminumnya sampai habis. Awalnya terasa manis, namun berangsur pahit. Setelah itu, aku sudah siap dengan segala reaksinya.

Pandanganku mulai pudar, kepalaku terasa berat, tubuhku terasa ringan bagai melayang. Dan gelap...

***

Lagi-lagi aku terbangun di dasar lubang yang sempit dan gelap. Lubang yang dalam dengan ujungnya yang terlihat jauh di atas.

Suara-suara bisikan kembali terdengar. Bersahut-sahutan dari segala arah.

Lalu muncul sosok wajah melongok dari atas sana. Bukan wajah pak Hartadi, tapi wajah yang lain. Walau tak terlalu jelas, tapi aku seperti mengenalinya.

Wajah lelaki dalam lukisan..

Raden mas Joyodiningrat...

Dan segalanya yang tadi gelap, tiba-tiba berubah jadi terang menyilaukan. Tubuhku bagaikan terhisap naik ke atas.

Dan ketika terang itu hilang, aku mendapati diriku kini ada di depan pintu kamarku.

Dengan tubuh yang tembus pandang bagai kaca bening, berdiri mengambang, sejengkal di atas taburan tanah yang membentuk jalur...

Apakah ini mimpi?

Sayup terdengar alunan kidung yang seolah memanggil dan menuntunku untuk bergerak pelan mengikuti jalur taburan tanah, bagaikan kereta berjalan di atas relnya.

Sensasi yang luar biasa ketika tubuhku terus melayang halus menuju ke arah kamar khusus yang pintunya nampak tertutup rapat.

Tapi tanpa diduga-duga, tubuh beningku malah terus melayang masuk ke dalam kamar dengan menembus pintu!

Masih dalam rasa takjubku, di situ kutemui pak Hartadi yang terbaring lemah.

Matanya terpejam, tapi mulutnya terus melantunkan kidung dengan suaranya yang lirih putus-putus.

Lalu mendadak seisi kamar seperti berputar cepat!

Kian cepat bagai pusaran angin dimana aku dan pak Hartadi berada tepat di tengah-tengahnya. Sebentar saja, putaran itu langsung membuat kepalaku sakit.

Pancaran cahaya putih berpendar ikut menghiasi deru putaran. Tubuhku perlahan melayang tinggi ke atas hingga menembus langit-langit.

Lalu di tengah-tengah arus putaran yang kian cepat, tiba-tiba saja tubuhku terhisap ke bawah, jauh terus ke bawah seakan masuk ke dalam lubang gelap tak berujung.

***

Aku kembali terbangun. Bukan di dalam kamarku, bukan di dalam lubang gelap, tapi di atas tempat tidur berkelambu.

Terbaring lemah tak berdaya. Tanpa tenaga. Seluruh sendi terasa ngilu. Kepalaku sakit. Pandangan mata masih berputar.

Aku ingin bangkit. Tapi rasanya berat. Jangankan untuk bangun, bahkan untuk sekedar mengangkat kepala pun sulit. Akhirnya aku cuma bisa berbaring, menatap langit-langit kelambu.

Tapi ada rasa yang lain. Rasa yang tak bisa kujelaskan.

Hembusan nafas yang putus-putus, sudut pandang yang tak biasa, serta aroma tubuh yang asing tercium. Aku bagai tak mengenali diriku sendiri.

"Ini kenapa?"

Masih dalam rasa bingung, terdengar suara pintu dibuka dari luar. Lalu seseorang melangkah masuk...

Bagai tertampar, aku terkesiap saat melihat sosok itu terus melangkah, lalu berhenti dan berdiri persis di dekat ranjang.

Sosok yang amat ku kenal..

DIRIKU SENDIRI...

Dia tersenyum penuh makna. Aku masih terkesima. Bagaimana bisa? Aku ada dua?

Apakah ini mimpi? Apakah aku masih ada dalam pengaruh ramuan merah?

Namun segala rasa ngilu yang ku rasakan di sekujur tubuh, membuatku yakin kalau ini bukan mimpi. Aku sepenuhnya sadar.

Akhirnya dengan suara lemah terbata-bata, aku coba bertanya padanya..

"K-kamu.. S-siapa..."

Tapi dia tak menjawab. Tetap tersenyum sambil terus menatap ke arahku.

Di saat aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi, datang Gendis masuk ke dalam kamar, lalu berdiri persis di samping sosok yang menyerupai diriku itu.

Dia terlihat anggun menggunakan kebaya hitam berhiaskan benang emas, dengan rambut yang tersanggul rapi, lengkap dengan segala perhiasannya.

Namun kini wajahnya seolah memancarkan aura yang berbeda..

Lalu dia menggandeng tangan lelaki itu. Keduanya saling menatap, tersenyum puas.

Akhirnya lelaki yang menyerupai diriku itu mulai angkat bicara, dengan suara yang juga sama persis seperti suaraku. Gila!

"Terima kasih Pram. Rasanya sangat nyaman. Tak salah aku memilihmu."

Selesai berucap, lelaki itu berbalik pergi sambil menggandeng tangan Gendis yang nampak bahagia berjalan di sampingnya.

Aku ingin berteriak memanggil mereka agar kembali. Aku butuh penjelasan! Namun mulutku terlalu berat untuk terbuka.

Hanya batinku yang bisa teriak. Dengan hati yang kini diliputi rasa ketakutan dalam ketidak pastian…

"Hei! Kalian mau kemana? Ini ada apa?

Susah payah kupaksakan diriku untuk bangkit. Perlahan merambat merayap turun dari tempat tidur, sambil berpegangan gemetar pada tepian meja.

Namun mataku terbelalak ketika sekilas melihat bayangan wajahku sendiri dalam cermin yang tergantung...

Sosok lelaki berwajah kotak. Berpipi kempot dengan kumis tebal melintang di atas bibir..

PAK HARTADI ??

AKU PAK HARTADI ??

APAKAH INI NYATA ??

Seketika kakiku goyah, peganganku melemah, hingga akhirnya aku jatuh terjerembab ke lantai.

"Ealaah.. kamu mau kemana?"

Tiba-tiba muncul mbok Sum masuk ke dalam kamar lalu membantuku kembali berbaring di tempat tidur.

"Sudah, kamu tiduran saja. Aku akan menjagamu sampai hari terakhirmu."

Aku terkejut! apa maksudnya?

Lalu dia seperti tau apa yang ada dalam benakku. Kemudian dia duduk, menatapku sambil tersenyum dingin, lalu mulai menjelaskan sesuatu yang akhirnya menjadi jawaban atas semua ini...

“Raden mas Joyodiningrat dan Gusti ayu Probowati adalah pewaris Langgeng Sukmo, ilmu kesaktian yang mampu membuat jiwa mereka hidup kekal. Oleh karenanya, mereka tak punya keturunan.”

"Tubuh kasar mereka bisa mati, namun sukma mereka tetap hidup. Untuk itu, mereka butuh 'cangkang' yang baru. Tubuh orang terpilih yang memiliki hari weton yang sama."

"Tubuh Hartadi sudah usang, sudah waktunya ganti. Tadinya Raden mas joyodiningrat memilih Putra sebagai cangkang barunya, tapi anak itu malah mati karena gagal saat ritual terakhir, lalu akhirnya dia memilihmu."

"Sedangkan Gusti Ayu Probowati telah memilih Gendis sebagai cangkang penerus untuk menggantikan tubuh Gayatri."

Aku, Dewi Sumbadhra Pramudyawardhani, aku adalah Guru mereka. Aku yang mewariskan ilmu itu. Aku sayang mereka. Mereka sudah kuanggap seperti anakku sendiri, dan aku akan mendampingi mereka sampai kapan pun.”

"Usiaku jauh lebih tua dari peradaban ini. Makam tanpa nama itu adalah makam tubuhku yang terdahulu, dan sebentar lagi, aku juga akan mengganti tubuh tua ini dengan tubuh yang baru."

"Tapi maaf, aku tak bisa menolongmu. Tak ada yang bisa menolongmu. Semuanya telah ditetapkan. Ikhlaskan saja, relakan tubuhmu menjadi cangkang yang baru untuk Raden mas Joyodiningrat."

Selesai berkata-kata, wanita tua itu lalu menyodorkan segelas cairan merah yang kini berbau busuk, setengah memaksaku untuk meminumnya.

Lalu pandanganku mulai memudar, tubuhku terasa makin lemah, kepalaku terasa berat. Dan segalanya kembali gelap..

***

Hari-hari berikutnya kulalui dengan perasaan hampa tanpa harapan. Ucapan mbok Sum jadi kenyataan. Tak ada yang bisa menolongku.

Aku kembali teringat pada Gendis. Betapa dia amat menderita saat tubuhnya dirampas dan sukmanya terpasung dalam tubuh ibu Gayatri yang lemah, lalu dibunuh secara perlahan-lahan.

Dalam keadaannya yang seperti itu, dia masih berusaha memperingatkanku untuk pergi. Namun kini segalanya sudah terlambat.

Kini aku bisa merasakan apa yang dulu dia rasakan. Rasa putus asa, marah, takut dan sedih, bercampur jadi satu.

Setiap hari mbok Sum selalu datang membawa ramuan merah berbau busuk terkutuk itu, lalu memaksaku untuk meminumnya, yang disusul dengan segala reaksinya yang membuatku makin layu.

Raden mas Joyodiningrat yang nampak bahagia berada dalam tubuhku, sesekali datang menjenguk.

Dia cuma diam berdiri, seolah ingin menikmati setiap momen memandangi cangkang lamanya yang sedang menjelang kematian.

Hari ke hari, silih berganti orang berdatangan. Namun diriku sudah tak mampu lagi melihat dengan jelas melalui pandanganku yang kian buram.

Aku bagaikan mayat hidup. Hanya telinga, mulut dan hidung yang masih sedikit berfungsi. Yang lainnya mati. Putaran hari tak terasa lagi. Waktu bagiku serasa terhenti.

Aku tak tau sampai kapan ini akan berakhir. Aku sudah pasrah, siap meninggalkan semua ketidak berdayaan ini, pergi menyusul ibuku ke alam sana...

***

Tapi takdir berkata lain. Lembaran catatan hidupku belum usai ditulis. Tuhan mengulurkan tangan-Nya, membebaskanku dari semua penderitaan ini...

Hari itu, aku merasakan hawa panas yang seolah mengelilingiku. Lalu sayup-sayup terdengar suara teriakan orang-orang, serta bau hangus dari benda yang terbakar.

Dan sebentar saja, dadaku terasa sesak, dan makin sesak bersamaan dengan hawa panas yang kian menjalar.

Lalu seperti ada suara seseorang yang memanggil-manggil dari kejauhan. Kian lama kian dekat. Dan akhirnya...

BRAAKK !!

Terdengar suara pintu yang didobrak.

Kemudian disusul suara orang memekik. Suara yang telah lama tak pernah kudengar..

Suara pak Kusno..

"Ya Allah! Pak Hartadi!"

Hanya itu ucapannya yang mampu telingaku serap. Setelah itu, diriku merasa terangkat. Benar-benar terangkat, bukan khayalan pengaruh ramuan merah.

Aku merasa dibopong berpindah dari tempat tidur. Entah siapa yang membawaku, mataku terlalu buram untuk melihatnya.

Hawa panas perlahan menghilang. Kini aku seperti ada di tempat lain. Tapi suara ribut-ribut orang-orang masih terus terdengar. Bau hangus benda terbakar pun masih sangit tercium.

Setelah beberapa saat, tubuh layu ini kembali dibawa pergi ke satu tempat. Terasa jauh, entah kemana.

Tapi rasa sesak di dada membuatku makin sulit bernafas. Hingga tubuhku kian lemas, dan akhirnya pingsan.

***

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku terbangun dalam kamar sunyi. Kamar dengan aroma yang lain. Bukan aroma kemenyan dari rumah terkutuk itu.

Lalu seseorang seperti berusaha meminumkan sesuatu ke mulutku. Terasa pahit dengan baunya yang khas. Bukan lagi bau busuk ramuan merah. Tapi mirip bau obat.

Setelah itu, beberapa kali terasa masuk ke dalam mulutku, sesuatu yang lembut dan hangat yang langsung bisa ku telan tanpa harus dikunyah. Mungkin bubur? Aku tak tau.

Hingga akhirnya, ototku mulai menggeliat bertenaga. Aku mulai bisa menggerakkan jemariku. Aku mulai bisa bersuara walau sekedar erangan lirih. Dan akhirnya, pelan-pelan, aku mulai bisa kembali melihat...

Dan ketika segalanya tak lagi bias, wajah pertama yang kulihat adalah wajah pak Kusno...

Dia tersenyum lega, sambil menatapku lalu berkata pelan.. "Alhamdulillaaah.."

Apakah ini nyata?

Sejenak kuperhatikan sekelilingku. Ruangan besar putih. Lampu-lampu yang terang, ada tiang besi penyangga dengan selang bening yang tersambung ke lenganku.

S-sa-ya.. D-di mana?" tanyaku dengan suara putus-putus kepada pak Kusno yang berdiri di dekatku.

"Bapak ada di rumah sakit. Sudah 3 hari ini bapak dirawat. Tapi bapak jangan terlalu banyak bicara dulu. Nanti saja kalau sudah mendingan." Jawabnya.

Mendengar dia memanggilku 'bapak', seketika kulirik tubuhku, tubuh yang kurus kering dengan urat-urat tangan yang menonjol..

"S-sa-ya.. bukan.. bb-bapak.." Jawabku terbata-bata.

Tapi pak Kusno cuma tersenyum. Mungkin dia pikir aku ngelantur karena masih dalam kondisi yang labil. Belum sempat aku kembali bertanya, dia telah pamit pergi.

***

Keesokan harinya. Aku merasa jauh lebih baik. Pak Kusno kembali datang dengan membawa makanan dan buah-buahan.

"Bagaimana saya bisa ada di sini? apa yang terjadi?" Tanyaku lagi yang kini mulai lancar berbicara walau pelan.

"Rumah bapak terbakar. Alhamdulillah bapak bisa kami selamatkan dan langsung kami bawa ke sini." Jawabnya.

"Astaga? Terbakar??" Balasku terkejut.

"Iya pak. Terbakar sampai habis. Saya tak tau apa penyebabnya. Ketika kami datang, api sudah membesar." Jelas pak Kusno.

"Lalu bagaimana dengan Joyodiningrat dan Probowati? Apa mereka juga selamat?" Tanyaku makin penasaran.

Maaf pak? Mereka siapa?" Tanya pak Kusno terheran-heran.

Ah, aku lupa. Tentu saja pak Kusno tak mengerti. Akhirnya terpaksa ku ralat pertanyaan itu..

"Maksud saya, bagaimana dengan penghuni rumah yang lain? Apakah mereka juga selamat?"

Pak Kusno tak langsung menjawab. Dia terlihat ragu. Tapi akhirnya sambil menggeleng, dia menjawab lirih..

"Maaf pak. Mereka tak selamat. Jasad mbak Gendis dan Pramono kami temukan di reruntuhan rumah. Namun Jasad mbok Sum hingga saat ini belum bisa kami temukan." ucapnya pelan.

"Ya Allah..." cuma itu kalimat yang keluar dari mulutku saking terkejutnya.

"Sudah pak, Bapak nggak usah mikir yang berat-berat dulu. Bapak jangan khawatir, jasad mbak Gendis dan Pramono sudah kami urus, jenazah mereka sudah kami makamkan secara layak." Jelas Pak Kusno lagi.

Mendengar hal itu, aku tak tau apakah harus sedih atau gembira?

Di satu sisi, aku senang bisa keluar dari tempat jahanam itu walau dengan cara yang tak terduga.

Tapi di sisi lain, aku merasa sedih. Karena tubuh Gendis dan juga tubuhku kini telah mati dan terkubur.

Tapi aku jadi bertanya-tanya. Apakah sukma Raden mas Joyodiningrat dan Gusti ayu Probowati juga ikut mati? Semoga saja.

Aku berharap mereka mati dan mendapat hukuman yang setimpal di alam sana karena telah lancang coba bertindak layaknya Tuhan dengan mempermainkan tubuh dan jiwa manusia.

***

Pak Kusno dan beberapa orang yang kukenal, silih berganti berdatangan. Dan mereka terus memanggilku 'Bapak'.

Setelah berhari-hari, aku yang kian membaik akhirnya diperbolehkan pulang.

Walau 'tubuh pak Hartadi' ini masih kurus kering, namun kondisinya sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

Pak Kusno yang tadinya mau membawaku pulang ke rumahnya, akhirnya setuju ketika aku bersikeras minta dibawa pulang ke 'rumah ku', rumah Pramono...

Aku bahagia akhirnya bisa kembali pulang. Walau kini aku terjebak dalam tubuh tua pak Hartadi, namun setidaknya jiwaku tak terancam.

Hampir setiap hari pak Kusno datang sambil membawakan makanan dan juga obat-obatan. Bahkan beberapa kali dia sengaja menginap.

Tapi aku masih canggung setiap kali dia memanggilku 'Bapak.'

Tadinya aku berniat untuk menceritakan semuanya kepada pak Kusno. Tapi akhirnya aku urungkan.

Sebab akan sangat sulit untuk membuatnya mengerti dan percaya. Bisa-bisa aku malah dianggap gila.

Akhirnya ku putuskan untuk mengubur semua kisah mengerikan itu dalam-dalam, dan mencoba ikhlas melanjutkan hidupku terkurung dalam tubuh orang lain.

***

Kini, aku hanyalah orang tua berkumis tebal memutih yang berjalan menggunakan tongkat. Karena ternyata salah satu kaki ini tak bisa kembali berfungsi dengan normal.

Namun aku tetap bersyukur karena Tuhan masih melindungi jiwaku.

Walaupun kini segalanya terasa jauh berbeda, setidaknya aku masih diijinkan untuk tetap hidup.

Aku juga bersyukur karena kini aku sudah bisa kembali ke toko beras seperti dulu.

Tapi bukan lagi sebagai Pram si kuli panggul, melainkan sebagai pak Hartadi, sang 'majikan'. Karena yang semua orang tau pak Hartadi adalah pemiliknya.

Aku coba beradaptasi dan mencoba mengelola toko ini dibantu pak Kusno. Dan dari hasilnya, aku bisa mencukupi kebutuhanku sehari-hari.

Pak Kusno sangat senang begitu aku bilang kalau dia kini sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri.

Bagaimana tidak? Siapa yang tak senang dianggap keluarga oleh majikannya?

Dia juga sempat bertanya bagaimana dengan nasib rumah pak Hartadi yang masih berupa puing-puing?

Dia menawarkan diri untuk membersihkannya karena menurutnya di tanah itu masih ada makam keluargaku alias makam keluarga pak Hartadi.

Jasad Gendis juga dimakamkan di sana. Sedangkan jasadku dimakamkan di pemakaman umum, persis di samping makam bapak dan ibu.

Aku tak mau ambil pusing. Aku persilahkan dia untuk membereskan reruntuhan rumah itu dengan dibantu beberapa orang.

Tapi aku tak punya niat untuk membangun kembali rumah itu. Untuk apa? Karena kini aku telah nyaman berada di rumahku sendiri.

Namun tetap saja, masih ada pertanyaan-pertanyaan yang masih menghantui pikiranku.

Apakah jiwa Joyodiningrat dan Probowati ikut mati?

Dan jasad mbok Sum juga tak pernah ditemukan. Apakah dia selamat? Semoga tidak. Semoga saja mereka semua ikut terbakar, musnah bersama ilmu mengerikannya...

 -SELESAI-

Terima kasih telah menyimak cerita ini, semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya.

Maafkan bila ada kata-kata yang kurang berkenan.

Nantikan kisah-kisah selanjutnya, silahkan follow akun ini untuk bisa terus update cerita-cerita yang pastinya seru & menegangkan.

Wassalam.
close