Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA GENDERUWO (Part 4 END) - Sarang Genderuwo

Demi memenuhi semua hasratnya, Paklek dan Bulek bahkan tega melacurkan Bunga anaknya sendiri pada sosok Genderuwo peliharaan mereka..

Dan saat Bunga sudah mati, kini giliranku..


Malam yang tenang serasa begitu mencekam setelah kematian Bunga dan Mbok Yatmi. Aku menatap dari sisi jendela sepasang kuburan yang didalamnya terdapat jasad anak perempuan yang mati karena pertukaran yang dilakukan orang tuanya.

Setelah serangkaian kejadian kemarin, Paklekpun meninggalkan rumah untuk sebuah urusan. Aku menebak, kemana Paklek pergi pasti ada hubunganya dengan perjanjian ini.

Aku menghabiskan malam ini di teras sembari berpikir, bagaimana caraku untuk keluar dari situasi ini.

Sepertinya aku tidak bisa pergi begitu saja, dan Bayu? apa aku akan membiarkanya bernasib sama seperti Bunga?
Di tengah kebingunganku tiba-tiba aku tersadar ada seseorang yang menatapku dari kejauhan.

Seorang nenek berbaju kebaya lusuh dan kain jarik memandangku di salah satu sudut jalan. Aku tahu nenek itu…

Ia adalah nenek yang kulihat saat menyaksikan bagaimana kematian Pak Kasto di tangan makhluk bernama Genderuwo di Pohon belakang rumahnya.

Nenek itu tidak bicara apapun, namun tatapan matanya seolah memberi isyarat agar aku menemuinya.

Aku menoleh sebentar ke dalam rumah dan mendapati Bulek sedang sibuk menemani Bayu. Merasa keadaan cukup aman, akupun membuka pagar dengan hati-hati dan menemui nenek itu.

“Tutno aku…” (Ikuti aku) ucap nenek itu singkat. Akupun mengikuti perintahnya sembari beberapa kali menoleh ke rumah dengan perasaan cemas.

Namun ternyata, Nenek itu hanya membawaku sebuah kebun yang cukup tersembunyi dari pandangan warga yang jaraknya tidak jauh dari rumah.

Kowe dudu wergo deso iki, mungkin kowe isih iso slamet,” (Kamu bukan warga desa ini, mungkin kamu masih bisa selamat)

Nenek itu berbicara sembari mengambil posisi duduk yang nyaman di salah satu batu besar yang berada di kebun itu.

“Selamat gimana mbah? Memangnya ini tentang apa?” Tanyaku.

“Perang santet akan terjadi, setelah kejadian kemarin akan banyak orang yang menyerang keluarga Kartosuwito dan Paklekmu juga akan membalas itu semua,” jelas nenek itu.

“Kinan nggak ngerti, Mbah. Sebenarnya ada apa dengan Paklek sampai terjadi hal seperti ini?” Tanyaku.

Nenek itu menghela nafas ia menatap mataku seolah ingin menceritakan sesuatu.

“Makanya Mbah ajak kamu ke sini, biar Mbah ceritakan semua. Setelahnya kamu putuskan sendiri apa yang akan kamu lakukan,” jelas nenek itu.

Nenek itu memberikan sebuah sobekan koran tua dengan kalimat yang membuatku mengernyitkan dahiku.

‘Lelakoe di Kaki Gunung, Seboeah Ikhtiar Meroebah Takdir Hidoep’

“Cokro Kartosuwito.. Paklekmu itu dulu memiliki nasib yang mengenaskan,” ucap nenek itu.

Menurut nenek itu, dulu Paklek tinggal ke sini tanpa tahu apa-apa tentang latar dari desa Jumon ini.

Ia tidak mengetahui tentang keluarga-keluarga besar yang menguasai desa.

Ia bekerja di peternakan milik keluarga Saswito sebagai buruh dan tinggal di tempat yang mereka sediakan.

Selama bekerja merintis hidup, Paklek jatuh cinta dengan seorang pedagang jamu bernama Ratini hingga merekapun menjalin sebuah hubungan. Namun Ratini yang juga dikagumi banyak pria ternyata juga disenangi oleh Gito, anak dari Saswito bos dari Paklek.

“Wis to, Cokro.. culke wae Ratini. Timbang kowe urusan karo Gito,” (Sudahlah cokro.. lepasin saja Ratini. Daripada kamu urusan sama Gito) Teman Paklek sempat memperingatkan Paklek.

“Ora bakal! Ratini ki tresnone mbek aku. Ra urusan karo Gito!” (Nggak akan! Ratini itu cintanya sama aku. Nggak urusan sama Gito!) Balas Paklek yakin.

Mengetahui ada hubungan antara Ratini dan Paklek, akhirnya Gito mengumpulkan orang-orangnya dan berniat jahat pada Paklek.

Paklek diperlakukan dengan semena-mena mulai dari yang biasa seperti dipekerjakan hingga malam, tidak kebagian jatah makan, hingga dipukuli oleh teman-teman kerjanya atas perintah Gito.

Paklek masih mencoba bertahan hingga ia bisa mendapat pekerjaan lain.

Namun hal itu sulit karena juragan-juragan lain mengetahui niat Gito dan tidak mau mencari masalah dengan keluarga Saswito.
Paklek masih masih berdiri tegar di hadapan Gito dan bertahan karena yakin Ratini masih setia dan lebih memilih Paklek.

Sampai suatu ketika, sesuatu terjadi…
Ratini mengajak Paklek untuk bertemu di rumahnya. Paklek yang sudah berdandan dengan klimis bersemangat untuk menemui Ratini. Tapi saat sampai di rumahnya, ia melihat ada yang aneh. Pintu rumah Ratini terbuka dan ada suara dari dalam rumah.

Paklek mendekat ke rumah dan mendapati suara itu berasal dari dalam kamar.

“Mmmh… Jangan Mas Gito, sebentar lagi Mas Cokro datang,” terdengar suara Ratini dari dalam kamar.

“Biar dia tahu, kalau kamu itu punyaku!” Suara Gito juga terdengar dari dalam kamar itu.

“Ratini!” Paklek tercengang saat mengetahui apa yang terjadi di kamar. Iapun menggedor kamar itu.

“Mas, Mmhh.. itu.. cokro..” Eluh Ratini.

“Jangan berhenti, dia bukan siapa-siapa..”

“Aahh.. Mas..”

Paklek geram, ia menggedor pintu itu semakin keras dan mencoba mendobraknya. Pasangan di dalam kamar itu tidak peduli dan terus menikmati perbuatanya.
Saat Paklek bersiap menendang sekuat tenaga, tiba-tiba muncul beberapa orang karyawan Gito dari kamar yang lain.

Mereka memegangi Gito dan mulai menghajarnya.
Bukkk!!!
“Jangan ganggu Bos Gito, dia sedang bersenang-senang,” ucap mereka.
Satu persatu pukulan mulai menghantam tubuh Paklek.
“Ratini!! Apa maksudnya ini??!” Teriak Paklek geram.

Namun yang terjadi pukulan yang mendarat di tubuhnya semakin banyak hingga ia terkulai tak berdaya.

Krieeett!!!

Pintu kamar terbuka, Gito muncul dari dalam kamar sembari merapikan sarung yang ia kenakan.

Di belakangnya ada Ratini yang hampir tak mengenakan busana dan hanya menutup dirinya dengan kain jarik saja.
“Gito! Brengsek kau!!” Teriak Paklek. Namun bersamaan dengan itu juga sebuah pukulan kembali mendarat ke tubuh Paklek.

“Bodohnya kau, perempuan senikmat ini belum pernah kau sentuh?” ucap Gito memandang Paklek dengan rendah.

“Ratini?! Apa maksudnya ini?” Teriak Paklek meminta penjelasan dari kekasihnya itu.

Gito menjulurkan tanganya pada Ratini dan memerintahkanya mendekat.

Ratini menurut dan dalam beberapa saat perempuan yang tubuhnya hanya terbalut kain itu sudah ada di rangkulan Gito.

“Katakan saja sekarang, nggak usah takut,” perintah Gito.

Paklek menatap bingung dengan pemandangan di depanya itu.

Bagaimana Ratini bisa menurut seperti itu pada Gito.
“Gito ini calon suamiku, kita nggak punya hubungan apa-apa lagi,” ucap Ratini dengan dinginya.
“Ratini? Nggak mungkin! Tadi pagi kamu masih baik-baik saja??”
Ratini menoleh kepada Gito seolah meminta ia yang menjawab.

“Ini Cuma permainan, Cokro! Aku yang meminta Ratini tetap baik-baik sama kamu demi saat seperti ini, biar kamu tahu diri!” Cemooh Gito.

“Nggak! Ayo Ratini! Kita pergi dari sini… kita tinggal di desa lain, kita bisa tinggal di rumah kakak perempuanku” Ajak Paklek yang memaksa dirinya untuk menarik tangan Ratini.
“Minggir!!”
Bukanya mengikuti Paklek, Ratini malah mendorong Paklek menjauh dari dirinya.

“Kamu tuh sadar diri! Kalau bukan gara-gara mas Gito yang nyuruh pura-pura ngeladenin kamu, aku sudah jijik!” Teriak Ratini.
Ucapan itu bagaikan petir yang menyambar.

Paklek tak mampu berkata apa-apa lagi, ia tidak percaya bahwa hubunganya dengan Ratini ternyata hanya permainan busuk dari Gito dan Ratini. Merekapun mengusir Paklek dan meneruskan permainan mereka dengan suara sekeras mungkin seolah sengaja agar Paklek mendengarnya dari luar.

Paklek yang terpurukpun merasa dendam, ia mencari cara untuk membalas perbuatan mereka berdua. Iapun pergi meninggalkan desa dan pergi entah kemana.
Selang beberapa tahun, Paklek kembali ke desa dengan membawa istri, pembantu dan anak pembantunya.

Ia menempati tanah yang ditinggali hingga saat ini. Namun saat itu, Paklek sudah berubah drastis. Paklek bukan lagi pemuda bodoh dan miskin. Kini ia memiliki harta yang membuatnya dipandang oleh warga desa.

Walau begitu, Gito dan Ratini yang sudah menikah dan memiliki anak tidak peduli. Menurut mereka, kekayaan Paklek belum sebanding dengan kekayaan keluarga saswito.
Tetapi, ada maksud dibalik kembalinya Paklek.

Hanya berselang beberapa minggu setelah kembalinya Paklek, Anak Ratini dan Gito yang baru genap umur satu tahun mendadak mendapat penyakit aneh. Bagian tubuhnya membusuk secara perlahan. Anak itu terus menangis dengan sedikit demi sedikit kulitnya terus mengelupas.

Jelas saja Gito memberikan perawatan terbaik di rumah sakit, namun bagaimanapun perawatan mereka, anak Gito dan Ratini malah semakin parah. Gitopun memutuskan merawatnya di rumah dan memanggil dokter-dokter terbaik dari kota.

Ia juga mencoba pengobatan-pengobatan lain dan menyadari bahwa penyakit anaknya menderita penyakit kiriman seseorang. Namun walaupun mengetahui itu semua, usaha mereka tetap sia-sia. Saat anak Gito dan Ratini sudah di penghujung hayatnya,

Paklek muncul dihadapan mereka berdua dan memberi senyum yang puas. Paklek tertawa seolah mengakui bahwa sakit yang diderita anak itu adalah perbuatanya.

“Jangan anak saya, Mas… dia nggak ngerti apa-apa,” Ratini mencoba memohon, namun Gito menariknya tak sudi melihat istrinya memohon pada Paklek.

“Haha… tenang saja Ratini, ini hanya permulaan. Semua yang kalian lakukan akan terbalaskan dengan berlipat,” ucap Paklek.

Malam itu juga Anak Sartini dan Gito meninggal dengan keadaan yang mengenaskan.

Bau busuk tercium sangat luar biasa dari jasad yang sekecil itu hingga banyak warga yang mundur untuk mengantar penguburanya.
Gito tidak tinggal diam, ia memberi tahu guru spiritual keluarganya untuk membentengi keluarganya.

Tapi ia tidak sadar bahwa ilmu yang mereka miliki tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Paklek miliki.
Setelah anaknya, kini giliran Ratini..
Suatu malam Gito masuk ke kamar Ratini dan meminta Ratini untuk melayani dirinya di ranjang.

Sebagai seorang istri, Ratini mengiyakan permintaan suaminya itu. Baru saja mereka selesai berhubungan badan, tiba-tiba ada mobil yang masuk ke rumah.
Ratini mengeceknya dan ternyata Gito baru saja pulang dari peternakan.

Ia menoleh kembali dan mendapati bahwa yang bersetubuh denganya bukanlah Gito, melainkan sesosok Genderuwo bertubuh hitam dengan tubuh dengan bau busuk yang mengerikan.
Ratini semakin cemas, setiap Gito mengajak berhubungan Ia selalu ketakutan.

Terlebih semua itu berujung pada kehamilan Ratini. Ratinipun sadar, bahwa anak di kandunganya bukanlah anak dari Gito suaminya.
Kehamilanya adalah siksaan, berkali-kali ia mencoba membunuh janinya namun Gito selalu menghalanginya.

Ratini takut memberi tahu kenyataan tentang janin itu hingga ia menjadi linglung.
Pernah dengan sengaja Paklek berpapasan dengan Gito di jalan. ia dengan sengaja menghadangnya dan menunjukkan maksudnya.

“Mengapa repot-repot mengurus Ratini? Toh, Jabang bayi yang ada di rahimnya bukan anakmu?” Paklek mulai melancarkan rencananya.
“Apa maksudmu? Jelas itu anakku?!” Bantah Gito.
Paklek tertawa puas mendengar ucapan itu. ia hanya menggeleng dan melewati Gito.

Walau menjawab seperti itu, Gito mulai menaruh curiga pada istrinya. Tepat saat ia pulang, ia melihat jendela kamar istrinya terbuka dengan lampu kamar yang menyala.
Ada suara yang terdengar jelas di telinga Gito.

“Ah…. Ah….. jangan mas, hati-hati perutku!” Desah Ratini.

Gito geram dan segera mengecek ke arah jendela itu. di depan matanya sendiri, ia melihat Ratini sedang digagahi sosok yang mirip dengan dirinya. Namun saat makhluk itu sadar bahwa ia ditatap oleh Gito, sosok itupun berubah menjadi makhluk hitam bermata merah.

“Se—setan!!” Gito terjatuh. Ia hanya bisa terduduk lemas mengetahui istrinya telah digagahi oleh setan itu. Hal itu juga membuat Ia mulai ragu bahwa anak yang ada di janin Ratini bukanlah anaknya.

Seketika Gito merasa jijik dengan Ratini. Perlakuan suaminya itu membuat Ratini semakin tertekan. Ia tidak makan berhari-hari hingga tubuhnya kurus kering. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran hasil menyakiti dirinya sendiri.

Hinga akhirnya Gito menemukan istrinya mati di kamar dengan posisi badan yang menggantung. Ratini mati dengan perut yang robek seolah ada makhluk yang memaksa keluar dari perutnya. Gito menyesal seketika. Ia sadar bahwa istrinya hanya korban pembalasan dari Paklek.

Istri yang harusnya ia lindungi malah ia perlakukan dengan kejam. Namun ia semakin cemas, ia yakin setelah ini adalah giliran dia yang menjadi target Paklek.
Ia menceritakan hal itu pada ayahnya dan ayahnyapun geram.

Saswito, ayah Gito mengeluarkan sebuah pusaka keluarga dan menggunakanya untuk membalas Paklek.
“Cokro sudah keterlaluan..” Umpat Saswito.
Pusaka itulah yang selama ini menjadi rumah dari peliharaan mereka.

Peliharaan yang memberi mereka kekayaan dan melindungi sang ayah dari musuhnya.
Malam itu hujan turun tanpa henti di Desa Jumon. Tidak ada satupun warga yang keluar dari rumah namun mereka terus mendengar suara petir yang menggelegar dan suara auman hewan buas yang aneh.

Perang santet terjadi diantara Paklek dan Keluarga Saswito. Menurut beberapa warga yang bisa merasakan hal ghaib, mereka melihat pertarungan tak kasat mata di malam itu. Sebenarnya daripada disebut dengan pertarungan, malam itu lebih pantas disebut dengan pembantaian.

Gito, ayahnya dan seluruh keturunan keluarga Saswito mati dengan mengenaskan. Tubuh mereka terkoyak hingga berlumuran darah. Tak hanya manusia, seluruh ternak yang mereka milikipun mati.

Sementara seluruh warga panik dengan apa yang terjadi, Paklek malah tertawa puas mendapati dendamnya telah terbalaskan. Iapun jadi memiliki kuasa di desa ini. Orang-orang yang tahu bahwa Paklek adalah dalang dari kejadian itupun tidak berani macam-macam dengan Paklek.

Tapi Paklek membayar semua itu dengan mahal. Ia harus mengorbankan anaknya ketika umurnya sudah genap sepuluh tahun.

“Canting ya, Mbah?” Tanyaku.

“Iya Nduk, kowe wis weruh?” (Iya nak, kamu sudah tahu?)

“Sebelum meninggal, Bunga pernah cerita tentang ini,”

Paklek terus mendapatkan kekayaan dari makhluk itu. Menurut nenek itu, Paklek menjalani lelaku di salah satu gunung untuk mencari kesaktian. Iapun sampai di sebuah desa terpencil dan berguru dengan sosok dukun. Untuk membalaskan dendamnya, Paklek harus menikah dan memiliki anak.

Setiap anak itu harus dipersembahkan pada sosok yang mereka pelihara kapan saja makhluk itu meminta. Sebagai gantinya, Paklek akan mendapatkan kekayaan dan perlindungan dari makhluk itu.

“Jadi Bunga dan Bayu memang dilahirkan untuk jadi mangsa Genderuwo itu?” Tanyaku geram.

“Iya nduk, mereka lahir bersama makhluk yang akan memangsa mereka,” balas nenek itu.
Benar.. aku ingat makhluk-makhluk yang menghuni setiap kamar. tapi tidak hanya di kamar mereka, kamarku juga ada. Apakah mungkin aku juga sudah masuk daftar yang akan ditumbalkan oleh mereka?

Sejenak air mataku menetes tiba-tiba..
Aku tersadar, rupanya mereka mengadopsiku bukan karena khawatir kepadaku. Tapi mereka membutuhkanku hanya untuk mati.

“Mungkin kamu masih bisa selamat, sebentar lagi hal buruk akan terjadi.

Paklekmu akan membutuhkan kekuatan besar lagi, dan pasti akan ada lagi yang ditumbalkan. Pergilah sebelum itu terjadi,” ucap nenek itu.

Aku tidak bisa menjawab ucapan nenek itu. lagipula masih ada hal yang membuatku penasaran.

“Bagaimana Paklek bisa bertemu dengan Bulek? Mengapa Bulek bersedia melahirkan anak-anak yang akan dijadikan tumbal?” Tanyaku.
Nenek itu menggeleng membayangkan jawaban atas pertanyaanku.

“Dia wanita gila, ia dibesarkan oleh dukun-dukun di desa yang didatangi Paklekmu. Saat sedang sadar ia adalah seorang ibu, namun dibalik alam sadarnya ia adalah perempuan biadab yang dititipi misi untuk mencarikan tumbal makhluk-makhluk itu,” Jelas nenek itu.

Aku menelan ludah mendengar jawaban itu.
Apa aku bisa mempercayai ucapan nenek ini?
Bentuk perhatian Bulek, senyumnya yang ramah, dan rasa khawatirnya padaku tertanam jelas di pikiranku. Bisa saja aku percaya bahwa nenek ini mengada-ada.

Tapi aku juga tidak bisa menampik apa yang terjadi sebelum ini…
“Urusanku sudah selesai.. aku tidak akan membantumu lebih dari ini,” jelas nenek itu.
Benar juga, dalam hati aku penasaran mengapa Nenek memberi tahu semua hal ini padaku?

“Maaf Mbah, kenapa Mbah membeberkan semua ini kepada saya? Saya kan juga anak angkat Paklek yang artinya musuh dari Pak Kasto anak nenek juga?” Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku.
Nenek itu berdiri dan mendekat ke arahku.

“Kalung ini, saya kenal dekat dengan pemilik kalung ini. Bila ia memberikanya kepadamu, berarti ia sudah menganggapmu sebagai anaknya.” Ucap nenek itu.

“Saya tidak mau dia sedih karena orang yang ia sayang mati sia-sia,” lanjut nenek itu sembari menyentuh kalung permberian Mbah Dar yang tersembunyi di balik kausku.

“Mbah kenal Mbah Dar?” Tanyaku yang tidak menyangka bahwa nenek itu mengenali Mbah Dar.

“Kenal, sangat kenal…”

Setelah ucapan itu, nenek itu berdiri dan pergi meninggalkanku. Aku menatapnya dari kejauhan sebelum akhirnya kembali ke rumah dengan berhati-hati.
...

Aku memasuki pintu rumah, namun lampu ruang tengah sudah mati dan berganti lampu remang. Aku menelan ludah merasa takut bila Bulek tahu aku pergi meninggalkan rumah.

Mataku menyisir remangnya cahaya di ruang tengah, namun tidak ada siapapun di sana.

Aku menduga Bulek sudah menidurkan Bayu dan mengira aku sudah tertidur.

Akupun melangkah perlahan untuk segera masuk ke kamar.

Tetapi… aku terhenti tepat saat aku membuka pintu kamar.

“Bu—Bulek?”

Suaraku tertahan saat mendapati Bulek tengah berada di kamar. Ia duduk di kasurku dengan tatapan yang kosong, namun saat menyadari keberadaanku ia menoleh perlahan.
Seketika sorot matanya tajam, wajahnya seolah menunjukkan kekesalan kepadaku.

Iapun berdiri dan berjalan melewatiku tanpa sepatah katapun.
Saat aku hendak masuk kedalam kamar tiba-tiba langkah Bulek terhenti.
“Besok kamu dan Bayu tidak usah sekolah dulu,” ucap Bulek.
“Ke—kenapa Bulek? Besok kan…”
“Diam! Nurut saja!”

Saat itu aku tidak bisa berkata-kata. Keberadaan Bulek benar-benar membuatku takut. Apa mungkin Bulek tahu tentang perbincanganku dengan nenek tadi.
Dari dalam kamar aku mendengar suara mobil yang masuk ke dalam garasi rumah.

Suara langkah yang terburu-buru terdengar disusul ketokan pintu yang begitu keras.
Bulek bergegas membukakan pintu dan suara benda yang dijatuhkan terdengar dengan keras.
Bugh!!
“Bapak? Ini apa?” terdengar suara Bulek dari luar.

Aku yang penasaranpun sedikit membuka daun pintuku dan mengintip apa yang sedang terjadi di luar.

“Ini pertukaran terakhir kita! Kita habisi semua orang yang macam-macam dengan kita malam ini juga. Besok kita akan pergi dan menikmati semua ini!” ucap Paklek yang datang dengan baju kotor penuh dengan tanah.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang Paklek lakukan sebelumnya. Namun aku terpaku pada satu buah tas besar yang dibuka oleh Bulek.

Bulek memandangnya dengan terkesima saat mengetahui tas itu dipenuhi dengan uang pecahan besar.
“Setelah bertahun-tahun akhirnya saat ini tiba,” ucap Bulek.

“Yah, jangan sampai gagal.. mereka sudah siap?” tanya Paklek sembari melemparkan wajahnya ke kamar Bayu dan kamarku.

Aku sedikit bersembunyi agar mereka tidak mengetahui bahwa aku tengah mengintip mereka.
“Mereka di kamar, tapi Kinan sepertinya sudah curiga sejak lama,” jawab Bulek.

“Persetan! pastikan saja mereka tidak keluar dari rumah malam ini. Dan kamu jangan berani-berani melindungi Bayu!” peringat Paklek.

“Tenang saja pak, Nyawa Bayu nggak sebanding sama kehidupan yang kita dapat setelah ini,” Balas Bulek dengan jawaban yang sama sekali tidak kusangka.

Dia benar-benar bukan Bulek yang ku kenal selama ini.
Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Paklek terjatuh. Ia terbatuk dan darah bermuncratan dari mulutnya.

“Arrrghhh.. sial! Sepat siapkan ubo rampe-nya!” Perintah Paklek.

Bulekpun berlari dengan buru-buru ke kamarnya. Paklek berlari ke dapur mengambil kain hitam dan menggelarnya di tengah ruangan.
“Pak! Ayam cemaninya masih di belakang!” Teriak Bulek dari atas.

Paklekpun berlari keluar untuk mengambil ayam cemani yang aku sendiri tidak tahu ayam itu disembunyikan dimana.
Saat mengetahui tidak ada seorangpun di ruangan tengah, aku berjalan perlahan untuk menyelinap ke kamar Bayu.

Tanpa mengetuk, aku membuka pintu dan mendapati Bayu yang tengah tertidur pulas.

“Bay…” Aku memanggil sembari berbisik.

“Bay! Bangun!”

Dengan menggoyangkan tubuhnya beberapa kali Bayupun terbangun dan mengucek matanya.

“Mbak Kinan? Ini masih malem kan?” Tanyanya bingung.

Aku segera memberi isyarat dengan meletakkan jariku di depan bibirku untuk menyuruhnya diam.

“Ssssttt… jangan keras-keras. Kita dalam bahaya,” ucapku.

Bayu bingung dengan apa yang kumaksud. Aku menyuruhnya duduk untuk mengumpulkan kesadaranya dan memintanya mendengarkanku.

“Kita mau ditumbalin, Bayu! Nasib kita bakal seperti Bunga,” ucapku pada Bayu.

“Tumbal? Sama siapa?”

“Bapak sama ibumu,” balasku.

Bayu menatapku tak percaya ia hanya menggeleng dan mencoba kembali tidur.

“Mbak Kinan ngawur!” balasnya singkat.

Aku menahanya dan memaksanya menatap mataku untuk memastikan ia mendengarkan dan memahami maksudku.
Akupun menceritakan kejadian yang dialami bunga dimana Bunga sakit karena pengaruh ghaib.

Selama itu ia dipaksa berhubungan dengan Genderuwo peliharaan Paklek hingga akhirnya saat serangan terakhir, Bunga terpaksa ditumbalkan sebagai bayaran makhluk yang melindungi nyawa Paklek dan Bulek.

Aku menjelaskan begitu panjang, namun Bayu tetaplah Bayu..

ia hanya seorang anak kecil yang tidak mengerti hal ini dan tetap merasa lebih nyaman di dekat ibunya.

“Bayu mau sama ibu..” balas Bayu dengan wajah bingung. Akupun menarik dirinya dan menahanya untuk keluar dari kamar.

“Kalau nggak percaya kamu lihat di depan.. hati-hati!”

Aku membukakan sedikit pintu kamar Bayu dan menunjukkan apa yang terjadi di ruang tengah. Paklek terlihat sedang duduk di selembar kain hitam besar dengan sesaji berada di hadapanya.

Suara ayam terdengar sesaat sebelum akhirnya ia menyembelihnya dan mengalirkan darahnya ke kumpulan kembang dan berbagai sesaji yang disusun di hadapanya.

Prang!!!
Terdengar suara kaca yang pecah dari ruang tengah.

Aku menoleh ke arah jendela dan mendapati pemandangan yang mengejutkan.
Serangan itu datang lagi…
Sesuai dugaanku, listrik rumah berkedut dengan aneh sebelum akhirnya membawa kami kedalam kegelapan.

Dari kaca jendela Bayu mulai terlihat sesuatu melayang-layang mengitari rumah ini.
“Mbak.. Bayu Takut…” Bayu menggenggam erat bajuku.

“Kita harus pergi!” ucapku.

Akupun mengintip ke arah luar kamar. dan pemandangan di sana tidak kalah mengerikan.

Kali ini diatas punuk Paklek berdiri sesosok Genderuwo yang tengah menginjak Paklek hingga tertunduk dan memuntahkan darah.

“Hoekkkk…”

“Pak? Bapak..” Paklek memberi isyarat pada Bulek untuk tidak mengganggunya.

“Tidak apa.. inilah ritualnya,” ucap Paklek.

Makhluk itu semakin besar dengan mantra yang berulangkali diucapkan oleh Paklek.

“Habisi! Habisi seluruh keluarga Saswito, Sasto, dan semua orang yang berniat mencelakakakan kami!” Teriak Paklek.

Sosok Genderuwo yang kian membesar itu jongkok merunduk sampai kebawah hingga wajahnya bertemu muka dengan wajah Paklek.

“Apa bayaranmu??” tanya sosok itu dengan suara yang menyeramkan.

“Ada dua kamar di sana! Kau bisa pilih siapapun!” teriak Paklek yang semakin kesulitan menahan beban makhluk itu id punuknya.

Saat itu aku gemetar, Bayu yang tadi tidak percayapun mulai paham dengan apa yang terjadi.

“Lewat jendela! Cepat sebelum makhluk yang menjaga di kamarmu datang!” Perintahku.

“Datang?” Bayu bingung.

“Iya, makhluk yang selalu memakan sesajen dari Bulek,”

“Dia nggak pernah kemana-mana Mbak.. Dia selalu ada di sini,” ucap Bayu.

Seketika tubuhku panas dingin. Berarti bila makhluk itu selalu ada di tempat ini, artinya ia juga mendengarkan perbincangan kami.
Saat itu juga asap hitam muncul menghadang jendela kamar Bayu.

Lambat laun bau busuk tercium bersama kemunculan makhluk hitam dengan mata merah yang mendekati kami dari arah asap itu.

“Mbak, makhluk itu.. dia nggak pernah seseram dan semarah itu,” ucap Bayu.

Dalam sekejap, tangan makhluk itu sudah menggapai kaki Bayu.

Ia ingin menarik Bayu dariku, namun aku memeluk Bayu dengan erat. Bayu menendang-nendang sekuat tenaga dan aku menarik tubuhnya hingga kami keluar dari kamar.
Kami terjatuh tepat di depan kamar Bayu dan saat itu juga Paklek dan Bulek menyadari keberadaan kami.

Wajah Paklek dan Bulek terlihat geram. Namun dalam waktu singkat Bulek merubah raut wajahnya menjadi begitu ramah.
“Bayu, belum tidur? Sini sama ibu..” ucap Bulek.
Tatapan Bayu yang ketakutan seketika berubah. Ia ingin menghampiri ibunya namun ia ragu.

Iapun menoleh kearahku dan aku menggeleng sembari berusaha menariknya.

“Jangan.. Jangan Bayu!” ucapku.
Bulek kesal..

“Kinan, apa maksud kamu?” Tanya Bulek.

“Kinan sama Bayu nggak mau jadi tumbal Paklek dan Bulek! Kami sudah tahu semuanya?!” Teriakku mengutarakan semuanya.

Mendengar ucapanku, Paklek seketika berdiri dari tempatnya.

“Kurang ajar!! Kami yang melahirkan Bayu dan menerima hak atas kamu! Kami berhak menjadikan kalian apapun!” Ucap Paklek.
Wajah Paklek saat itu benar-benar seperti setan yang tidak punya hati.

Terlebih dibelakangnya saat ini tengah berdiri bayangan makhluk hitam yang tingginya hampir menyentuh atap lantai atas.

Dengan isyarat dari Paklek tiba-tiba makhluk di kamar Bayu dan makhluk dari kamarku muncul mengepung kami.

Genderuwo besar yang berada di belakang Paklekpun mendekat menjulurkan tanganya bersiap mencengkeram kami.
Aku ketakutan setengah mati, namun sebelum makhluk itu menyentuh kami, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing.
“Pergi yang jauh dulu ya, nduk…”
...

Aneh.. benar-benar aneh.
Saat itu tiba-tiba aku dan Bayu berada di jalan di luar rumah yang berkabut.
Tidak ada satu orangpun yang terlihat, namun aku melihat dari jendela rumah keberadaan Genderuwo yang tadi bersiap menangkap kami.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun aku menganggap ini adalah kesempatan kami untuk melarikan diri.

“Bayu, ayo lari!” perintahku.

Bayu mengikutiku berlari dengan langkah kecilnya. Aku mencoba melihat ke semua rumah di desa, namun listrik di seluruh desa mati dan tidak ada seorangpun yang terlihat.

Suasana langit seperti menjelang subuh. sebuah perasaan yang membuatku benar-benar tidak nyaman.

“Mbak Kinan, i—itu…”
Bayu menunjuk ke arah salah satu pohon.

Aku menoleh ke arah pohon itu dan sesuatu bertengger di atasnya. Tidak hanya dipohon itu. Aku memperhatikan bahwa ternyata beberapa rumah di desa ini memiliki pohon besar dan di pohon-pohon itu berdiam sosok makhluk yang membuatku hampir terjatuh lemas.

“Genderuwo mbak.. itu yang kayak di rumah kita,” ucap Bayu dengan suara yang gemetar.

Makhluk-makhluk itupun menyadari keberadaan kami. Mereka meninggalkan pohonya masing-masing dan menatap kami dengan tatapan seolah siap menerkam kami.

Aku mengingat salah satu dari makhluk itu. ia adalah sosok yang mengintip melalui jendela saat rumah Paklek tengah diserang. Apa ini artinya makhluk-makhluk ini dipelihara oleh warga desa? Aku menarik Bayu untuk segera berlari, namun Bayu terlalu takut hingga kakinya gemetar.

Ia hanya menangis dan terus menangis melihat kejadian ini.

“Bayu, naik!” Perintahku memintanya naik ke punggungku.

Sekuat tenaga aku membawa Bayu menjauh dari makhluk-makhluk itu, namun makhluk itu terus melangkah mendekat mengejar kami.

Aku panik hingga beberapa kali terjatuh. Namun aku tidak sudi mati dengan cara seperti ini.
Sayangnya, di ujung jalan sudah berdiri sosok hitam besar dengan wajah yang buas menanti kami.
Tubuhku lemas, aku tidak terpikirkan bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.

Makhluk itupun mendekat dan mengerubungiku dan Bayu yang terus menangis.
“Hhrrrrrr….Ghhrr….”
Suara geraman itu benar-benar mimpi buruk. Aku menutup mata pasrah dengan apa yang akan terjadi pada kami.

“Mbak, itu siapa?”

Aneh.. Ketakutanku tidak terjadi.

Tidak terjadi apapun padaku dan Bayu. Akupun membuka mata dan melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Bayu.

Ada seorang nenek berdiri di hadapan kami.

“Mbah? Mbah Dar?” Aku heran melihat sosok Mbah Dar di hadapanku.

Ia memelototi makhluk-makhluk yang mengelilingi kami. anehnya tidak ada satupun dari mereka yang berani berbuat macam-macam dengan Mbah Dar.

“Bocah iki kabeh putu-putuku, sopo sing wani nyentuh bocah-bocah iki kudu urusan karo Nyai Ratu..”

(Anak ini semua cucu-cucuku, siapa yang berani menyentuh anak-anak ini haru berurusan dengan nyai ratu) Ucap Mbah Dar yang aku sendiri tidak mengetahui maksud perkataanya.

Aku menyadari bandul kalung di dadaku terasa hangat. Apa maksud ini semua?

“Kowe rapopo nduk?” (Kamu nggak papa nak?) Tanya Mbah Dar.

“Ng—nggak papa Mbah, Mbah kok bisa ada di sini?” tanyaku bingung.

Mbah Dar mendekat dan mengangkat bandul kalung di dadaku.

“Selama kamu mengenakan kalung ini, Mbah akan selalu menjaga kamu. Jaga baik-baik ya,” ucap Mbah Dar yang segera mundur dan menjauh dari kami.

“Mbah? Mbah mau kemana?”

“Mbah nggak bisa lama-lama, ada teman mbah yang akan menjelaskan ke kalian,”

Mbah berpaling dan menjauh dari kami. aku ingin mengejarnya namun ada seseorang yang memanggilku dari belakang.

“Kinan..”

Aku menoleh dan mendapati nenek yang berbincang denganku sebelumnya sudah berada di belakangku.

“Mbah?”

“Sudah, biarkan dia pergi.. biar aku yang menuntun kalian,” ucap nenek itu.

Akupun menoleh sebentar ke arah Mbah Dar. Ia juga menoleh sekilas ke arah nenek itu.

“Aku titip putu-putuku yo , Pih” (Aku titip cucu-cucuku ya, Pih)

Setelahnya Mbah Dar berjalan semakin jauh dan menghilang dari hadapan kami.
“Kalian boleh manggil saya Eyang Napih,” ucap sosok yang ternyata memang terlihat sangat dekat dengan Mbah Dar.

“I—iya eyang,” balasku singkat.

Akupun penasaran dengan keadaan desa saat ini. mengapa aku tidak bisa melihat seorangpun yang ada di desa ini?

“Warga desa pada kemana eyang? Kenapa desa ini begitu sepi?”

Eyang Napih mengajakku mengikutinya hingga berhenti kembali tak jauh dari rumah Paklek.

“Saya akan tunjukkan semuanya, tapi apapun yang terjadi kalian harus tenang…”

Eyang Napih menyapukan tanganya pada kabut yang sedari tadi mengganggu penglihatan kami. perlahan semua yang terlihat di sekitar berubah seketika.

Jalan yang sebelumnya kami lihat tidak ada seorangpun kini berubah. Di beberapa sudut sekitar rumah Paklek terlihat beberapa wajah-wajah yang kami kenal sedang melakukan sesuatu yang tidak pernah kulihat.

Ada yang melempar-lemparkan tanah ke pekarangan rumah Paklek, ada yang membakar kemenyan di beberapa sudut rumah. Ada yang menyembelih ayam cemani serupa dengan yang Paklek lakukan.
Ada lebih dari lima orang yang melakukan ritual-ritual di rumah Paklek.

Bersama orang-orang itu juga muncul makhluk-makhluk mengerikan. Ada seorang suami istri yang tubuhnya menjadi bersisik, namun bersamaan dengan itu ada makhluk perempuan buruk rupa bertangan dan kaki panjang dengan sisik memenuhi tubuhnya.

Ia menunggu dengan tenang seolah menanti aba-aba untuk diperintahkan.
Begitu juga dengan orang-orang lain yang melakukan ritual di tempat itu. makhluk berwujud ular, bola api, hingga Genderuwo serupa dengan milik Paklek sudah bersiap bersama mereka.

“Kali ini keluarga Kartosuwito tidak akan selamat,” ucap Eyang Napih.

Bayu terlihat ketakutan. Ia menangis saat mengetahui apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya. Eyang Napih yang melihat hal itu menyadari sesuatu…

“Sepertinya eyang harus memperlihatkan ini..” ucapnya.

Ia memberi tanda ke dahiku dan bayu dengan jempolnya dan membawa kami masuk ke dalam rumah. Tidak melalui pintu, namun menembus dinding begitu saja.

Apa ini? apakah aku sudah mati?

Tanpa sempat mendapatkan jawaban, Eyang Napih membawaku terus berjalan ke ruang tengah di depan kamarku dan Bayu.

“Mereka belum bisa ditumbalkan??” Teriak Paklek dengan wajah kesal, tubuhnya sudah berlumuran darah.

“Nggak bisa pak!! Aku nggak bisa mendekat.. mereka juga!” Balas Bulek dengan wajah cemas.
Bude tidak bisa melangkah lebih jauh, padahal tidak ada apapun di hadapanya yang menghalangi. Ada segerombolan Genderuwo sedang mengerubungi sesuatu.

Dan mereka semua tidak sadar dengan keberadaan kami bertiga.

“Mbak, itu kita?” Tanya Bayu.

“Iya.. itu tubuh kita,” jawabku yang melihat tubuh kami saling berpelukan.
Genderuwo itu mendekati tubuhku dengan wajah bernafsu.

Ia ingin segera melampiaskan birahinya pada tubuhku seperti apa yang ia lakukan pada Bunga. Di sisi lain, ada Genderuwo lain yang beringas yang seolah siap menerkam Bayu. Namun mereka selalu gagal. Ada sesuatu yang melindungi tubuhku.

Aku menduga itu adalah kekuatan dari kalung yang diberikan Mbah Dar kepadaku.

“Maafkan Eyang.. Eyang terpaksa menunjukkan pemandangan mengerikan ini agar kalian paham.

Jika tidak, mungkin saat Bayu besar nanti ia akan memupuk dendam dan memilih jalan yang salah seperti orang tuanya…” ucap Eyang Napih.

Bayu menangis dan terus menangis, tapi dari wajahnya aku yakin kalau ia mengerti maksud Eyang Napih.

Kami hanya bisa menyaksikan malam mencekam itu. Paklek dan Bulek terus memerintahkan makhluk suruhanya untuk melawan makhluk yang dikirim pelaku santet dari luar rumah.

Paklek sudah kewalahan, tapi aku yakin keadaan akan berbalik apabila Paklek dan Bulek berhasil menumbalkan aku dan Bayu.
Pada akhirnya makhluk-makhluk yang terus mencoba memangsaku dan Bayupun kesal. Ia marah karena tidak mendapatkan tumbal yang dijanjikan oleh Paklek.

Makhluk itupun berbalik meninggalkan tubuhku dan Bayu dan menghampiri Bulek.
“Ja—jangan!! Akan kucarikan tumbal lain!”
Bulek terlihat ketakutan, namun amarah makhluk-makhluk itu sudah tidak terbendung.

Dengan segera aku memeluk Bayu menghalanginya untuk melihat kejadian mengerikan di depan kami. Bayupun menutup matanya dengan tubuhku dan menutup kedua telinga dengan tanganya. Yah memang harus seperti itu..

Akan menjadi trauma besar untuknya bila ia melihat ibunya digilir oleh Genderuwo Genderuwo yang penuh dengan nafsu birahi itu.

“Pak.. tolong pak!!” Tangis Bulek.

“Buk!! Ibuk…” Paklek ingin menolong tapi ia sendiri ketakutan dengan apa yang terjadi.

“Hen—hentikan!!! Kukembalikan semua pemberian kalian!” Teriak Paklek.
Namun sebuah tangan melayang ke wajah Paklek.
Itu adalah tangan Bulek yang telah terpisah dari tubuhnya. Sementara itu, Bulek terus berteriak kesakitan saat tubuhnya dikoyak oleh setan-setan itu.

Paklek gemetar… kini giliran dirinya. Ia ketakutan saat menyadari dirinya akan bernasib sama dengan tubuh Bulek yang sudah tak berbentuk.

Ia mencoba mundur untuk berlari, namun di belakangnya sudah berdiri Genderuwo raksasa yang selama ini menjadi andalanya.

“Perjanjian sudah dilanggar, kau tahu akibatnya,” ucap makhluk itu.

“Ja—jangan!! Ampun! Aku berikan apapun!!”

“Apapun? Kau sudah tidak punya apa-apa! Bahkan setelah matipun nyawa kalian berdua sudah menjadi hak kami..” balas makhluk itu.

Makhluk itu mencengkeram kepala Paklek dan mengangkatnya hingga mengambang. Makhluk-makhluk yang sebelumnya menyerang Bulek kini mengerubuti Paklek.
“Aarrrgghh!! Ampun! Hentikan!!” Paklek berteriak sejadi-jadinya.

Ia merasakan sakit dari tubuh bawahnya. namun teriakanya semakin menjadi jadi saat melihat salah satu Genderuwo itu memamerkan kaki Paklek yang sudah berada di antara taring-taringnya.
“Ja—jangan!!”
Mereka tidak perduli dengan teriakan Paklek.

Makhluk itu menikmati setiap bagian tubuhnya hingga darah merahnya membanjiri lantai dan membasahi sesajen yang ia buat sendiri.
Saat puas menghabisi Paklek, Genderuwo raksasa itu menarik kepala Paklek dan memisahkanya dari tubuhnya. Ia melemparkan kepala Paklek keluar rumah.

Prangg!!!!
Kaca jendela pecah dengan kepala Paklek yang mendarat di halaman rumah.
Suasana hening sesaat, namun tak lama setelahnya terdengar suara sedikit ramai dari luar rumah.

“Mati! Akhirnya si bangsat itu mati!!!”

“Rasakan itu bangsat!!”

“Kali ini tumbalku tidak sia-sia…!”
Berbagai ucapan senang terdengar dari luar rumah. Aku dan Bayu hanya bisa menangis meringkuk di hadapan tubuh kami sampai cahaya matahari pagi mulai memasuki jendela rumah dengan perlahan.

“Tugas eyang sudah selesai, kalian sudah bisa hidup tenang. Jangan lupa sesekali mengunjungi Mbah Dar untuk mengucapkan terima kasih kalian,”

***

Lampu putih yang terang menyilaukan mataku dengan suara langkah kaki orang yang sibuk terdengar tak jauh dari tempatku terbaring.

Aku dan Bayu tersadar di ruang perawatan di rumah sakit kota.

Banyak orang yang menanyai kami, namun kami benar-benar bingung menceritakan tentang apa yang kami alami.
Isu mengenai serangan santet sudah menyebar, namun pihak kepolisian tidak mungkin membuat laporan dengan keterangan itu.

Ada seseorang yang bertanggung jawab terhadap kami di rumah sakit. Aku baru mengetahui beberapa saat setelahnya bahwa orang itu adalah Mas Puguh.

“Kalian jangan pernah kembali lagi ke Desa Jumon ya,” ucap Mas Puguh sembari membawakan kami beberapa jajanan pasar.

“Terus kami tinggal dimana? Barang-barang kami?” tanyaku.

“Nanti Mas Puguh coba urus, sementara mungkin kalian bisa tinggal di panti asuhan.

Tidak sampai empat tahun lagi Kinan lulus SMA, nanti Mas Puguh bantu carikan kerja dan kalian bisa hidup mandiri setelah itu,” ucap Mas Puguh. Mas Puguh menceritakan bahwa ia takut apabila masih ada warga desa yang dendam dengan Paklek dan mengincar nyawa Bayu.

Oleh karena itu menurutnya membiarkan kami tinggal di panti asuhan adalah solusi terbaik untuk kami.
Aku berpindah ke ranjang Bayu dan memeluknya.
“Sabar sedikit ya Bayu, nunggu Mbak Kinan lulus habis itu kita tinggal di desa mbak Kinan,” ucapku.

“Yang penting Bayu sama Mbak Kinan terus,” balas Bayu yang masih berusaha menahan tangisnya.

“Mas Puguh janji, setiap minggu bakal jenguk kalian di panti asuhan,” ucap Mas Puguh.

“Makasi Mas Puguh..” balasku.

Selang beberapa hari kami diijinkan keluar dari rumah sakit. Sebelum pergi ke panti asuhan, aku meminta ijin pada Mas Puguh untuk mampir ke desaku terlebih dahulu. Setidaknya aku ingin berterima kasih pada Mbah Dar.

Sayangnya, sesampainya di desa, aku mendapat kabar yang mengejutkan. Mbah Dar sudah meninggal…

Tanggal kematianya hanya berselang satu hari sebelum ia menolongku dari setan-setan itu.

“Ini Mbah Dar, Eyang yang nolongin kita dulu. Sahabatnya Eyang Nipah..”

Aku menceritakan pada Bayu tentang sosok Mbah Dar di makamnya yang masih baru tak jauh dari makam ibu.
Masih ada sisa-sisa bunga di makamnya menandakan bahwa warga desa sangat peduli dengan Mbah Dar.

Akupun menunjukkan pada Bayu keberadaan rumah ibu yang akan kami tinggali nanti saat aku sudah bisa bekerja. Ia tidak keberatan dan bersemangat untuk belajar lebih giat agar kelak bisa membangun rumah ini dengan lebih layak.

Aku terhenti di hadapan rumah tua lain yang sudah tidak berpenghuni. Dulu ada seorang nenek di rumah itu. Seorang nenek yang tak pernah lupa kusapa setiap melewatinya.

Aku juga tak pernah lupa saat-saat setiap mengantar rantang masakan ibu dan menemaninya makan berdua di rumahnya yang sederhana itu. Tanpa sadar kakiku melangkah kedalam dan mendapati tidak banyak yang berubah dari rumah ini.

Semua masih sama seperti saat terakhir aku menjenguk Mbah Dar.
Lemari Mbah Dar terbuka perlahan seperti tertiup angin dari luar, ada sebuah kotak kayu yang terlihat di sana. Entah mengapa aku merasa harus melihat benda itu.

“Tunggu di sini ya Bay..”

Bayu mengangguk menurut.

Akupun membuka kotak itu dan mendapati beberapa sobekan koran tua yang mirip dengan yang ditunjukkan oleh Eyang Nipah dulu. Di lembaran-lembaran lainya ada lukisan yang dilipat bergambar sosok perempuan cantik dengan pakaian kerajaan.

“Nyai Ratu…”

Aku mengira sosok itu adalah sosok yang dikatakan oleh Mbah Dar saat mengancam Genderuwo-Genderuwo itu. Aku melihat ia mengenakan kalung yang sama dengan yang kugunakan.

Apa ini artinya Mbah Dar juga berguru atau memiliki ilmu?

Namun aku kembali lagi melihat sekeliling rumah Mbah Dar. Tidak ada kekayaan melimpah seperti Paklek, tidak ada kekuatan besar dan kekuasaan seperti Paklek.

Apakah Mbah Dar mempelajari ilmu putih? ataukah Mbah Dar sebenarnya juga sama saja seperti Paklek?

Atau Mbah Dar adalah sosok yang sudah bertobat dari hal semacam ini?
Entahlah, sekarang tidak ada lagi yang bisa menjawab hal itu. Kalung ini hanya akan kusimpan sebagai peninggalan dari Mbah Dar dan tidak lebih.

Akupun keluar meninggalkan bangunan tua itu sembari memandang meja makan tua tempat kami biasa mengobrol sembari menghabiskan masakan ibu. Mataku berkaca-kaca, tak kusangka aku akan merindukan Mbah Dar sedalam ini.
Saat ini hanya Bayu dan Mas Puguh yang menjadi orang terdekatku.

Mungkin bila aku bisa menemukan keberadaan Eyang Nipah, aku juga bisa berbicara banyak denganya.
Aku menggandeng tangan Bayu dan meninggalkan rumah Mbah Dar untuk kesekian kalinya.

“Mbah, Kinan pamit ya…” ucapku sembari terus melangkah.

“Urip sing seneng yo nduk..” (Hidup bahagia ya nak..)

Samar-samar aku mendengar suara Mbah Dar dari belakangku seolah ia sedang mengantar kepergianku meninggalkan rumahnya seperti dulu.

Akupun menoleh, namun tentu saja tidak ada siapapun di sana. Aku hanya bisa menahan air mataku dan tersenyum bersyukur bisa mengenalnya.

-TAMAT-

Terima kasih sudah membaca cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close