Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 9 END) - Malam Pertaruhan

Kalimat-kalimat suci menggema di tengah desa. Tabir kebenaran pun tersingkap. Teror panjang perlahan mulai hilang dan tergerus oleh waktu.


Dua hari setelah itu, siang hari saat suasana desa sedang lengang sebuah mobil bak terbuka dengan pengeras suara melintas keliling desa.

“Woro-woro... Bagi semua warga desa, hadirilah, pengajian desa yang akan digelar pada hari kamis, pukul 19.00 malam, di rumah Petinggi” suara itu terus menggema di setiap sudut desa seiring dengan mobil yang terus menggilas jalanan desa.

Warga Desa Glagah satu persatu muncul dan berkerumun, mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat mobil itu keliling di tengah siang bolong.

Warga yang berkerumun saling menatap dan bertanya- tanya. Mereka pun bertanya-tanya penasaran.

Melihat warga yang ramai keluar rumah, toa pengeras suara pada mobil yang semula melintas pelan menjadi berhenti “Selamat siang bapak-bapak dan ibu-ibu, hari Kamis jam 19.00 malam,akan diadakan pengajian di rumah Bapak Petinggi. Diharapkan bapak-bapak dan ibu-ibu semuanya datang”

“Pengajian? pengajian opo, Pak?” (pengajian apa, Pak?) teriak salah satu warga yang penasaran.

“Datang saja, Pak. Untuk keamanan desa” tukas orang dengan pengeras suara di dalam mobil.

“Keamanan?”

Warga desa yang mendengarnya pun bingung. Mobil sudah kembali melaju manakala mereka hendak bertanya lebih jelas lagi.

Sejak dulu, budaya mengumumkan sebuah pengumuman atau acara dengan metode keliling desa menggunakan pengeras suara sudah ada dan bahkan masih diterapkan hingga sekarang di desa-desa.

***

Hari yang direncanakan tiba. Pagi-pagi buta selepas orang-orang menunaikan shalat subuh, warga berduyun- duyun menuju rumah Petinggi desa. Karena selain acaran akan digelar disana, disana juga digunakan warga untuk mempersiapkan segala hal yang akan digunakan untuk malam nanti.

Budaya gotong royong memang telah menjadi budaya warga desa. Terlebih, jika desa atau ada salah satu warganya memiliki acara yang bersifat mengumpulkan banyak orang.

“Pak Petinggi, sakjane pengajian dalam rangka opo to?” (sebenarnya, pengajian dalam rangka apa?) tanya seorang warga yang baru saja datang.

“Kanggo keamanan desa, Bu” (untuk keamanan desa, Bu) terang Petinggi.

“Kemanan nopo toh, Pak? Kan mboten pernah enten kejahatan” (keamanan apa, Pak? Kan tidak pernah ada kejahatan) tanyanya dengan menatap heran Petinggi.

“Gak masalah kejahatan. Tapi....” (Tidak masalah kejahatan. Tapi...)

“Tapi nopo, Pak?” (tapi apa, Pak?) sela ibu-ibu yang lain yang turut menyimak percakapan mereka berdua.

“Tapi, kanggo Pocong Guntoro, ben deweke tenang neng alame, lan deso dadi aman seko gangguan-gangguan semacam kui meneh"

(Tapi, buat Pocong Guntoro, agar dia tenang di alamnya, dan desa bisa kembali aman dan dijauhkan dari gangguan-gangguan semacam itu lagi) jelas Petinggi dengan lugas. Warga yang mendengar penjelasan Petinggi pun tak ayal membuat mereka terkejut dan saling menatap satu sama lain.

“Wes ono warga sing hampir ciloko karena ulahe. Dewe ora iso meneng terus lan nunggu Pocong Guntoro kuwi ilang dewe seko desa Glagah. Awake dewe kudu tirakatan. Awake dewe kudu ngirim donga ing Kuoso bareng-bareng engko bengi. Ben deso Glagah kembali aman”

(sudah ada warga yang hampir celaka karena ulahnya. Kita tidak bisa terus-terusan diam dan menunggu Pocong Guntoro itu hilang dengan sendirinya dari desa Glagah. Kita kudu tirakat 'berusaha'. Kita harus berdoa bersama-sama nanti malam kepada Yang Maha Kuasa) tambah Petinggi.

“Berarti, engko bengi ono Pocong Guntoro bakal mrene” (berarti, nanti malam ada Pocong Guntoro akan kesini) bisik seorang warga dari kejauhan. Tapi, suara itu dapat di dengar oleh Petinggi.

“Ora usah wedi, Bu” (tidak usah takut, Bu) gertak Petinggi.

“Ibu-ibu, rewang neng kene, nggeh? Sing bapak-bapak engko nyiapke tempat” (ibu-ibu, rewang disini, ya? Nanti bapak- bapak menyiapkan tempatnya)

Hari itu, suasana desa ramai dan sibuk. Para warga lalu lalang menyiapkan acaranya nanti malam. Disisi lain, tak perlu waktu lama, berita mengenai pengajian malam nanti yang ada kaitannya dengan Pocong Guntoro dengan cepat menyebar luas dari mulut ke mulut ke seluruh penjuru desa.

Hal itu lantas membuat desa semakin ramai, bahkan, ada warga dari luar desa yang sengaja datang membantu hanya karena penasaran.

***

Di tengah keramaian orang-orang di rumahnya, Petinggi memanggil beberapa orang untuk diajak rembukan tentang acara pengajian malam nanti.

Diantaranya, ada tokoh masyarakat desa, beberapa ketua RW dan orang-orang kepercayaan Petinggi, seperti Joko dan Suntono, serta Pak Dulah sebagai tokoh penting dalam masalah ini.

“Piye rencanane engko mbengi, Pak Dulah?” (Bagaimana rencana nanti malam, Pak Dulah?) tanya Petinggi.

“Jalankan sesuai rencana, Pak. Pengajiane digelar neng kene karo kuburane Guntoro” (Jalankan sesuai rencana, Pak. Pengajiannya akan digelar disini dan kuburannya Guntoro)

“Kuburan Guntoro?” sentak beberapa orang disana yang belum mengetahui rencana ini.

“Tenang, Pak. Insya Allah aman” ucap Pak Dulah.

Setelah diberi sedikit penjelasan, mereka pun mengerti dan bersedia membagi orang-orang disini menjadi dua kalangan. Kalangan pengajian di depan rumah Petinggi, dan kalangan pengajian di kuburan Guntoro.

Pak Dulah, Joko, Anwar ditambah dua orang lagi akan ikut di kuburan Guntoro, sementara Petinggi dan orang-orang sisanya akan tetap di desa, mengawasi pengajian yang digelar di desa.

“Pak, perlu wong piro kanggo neng kuburane Guntoro?” (perlu berapa orang untuk yang di kuburan Guntoro?) tanya Petinggi.

“Kiro-kiro sepuluh meneh, Pak. Bu Ngatinah dijak sisan” (Kira-kira sepuluh lagi, Pak. Bu Ngatinah diajak sekalian)

Setelah perkataan Pak Dulah itu, Petinggi memanggil beberapa orang untuk ditugasi mencari orang yang akan pergi dengan Pak Dulah petang nanti.

***

Suara adzan maghrib terdengar dari pengeras suara masjid, orang-orang yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaannya masing-masing pun satu-persatu pulang, ganti pakaian dan mempersiapkan diri untuk acara pengajian yang tidak lama lagi akan dimulai.

Dari balik rumahnya yang sepi, Ngatinah diam sambil menatap kaca di depan wajahnya.

“Opo sing bakal terjadi bengi iki?” (apa yang akan terjadi mala mini?)

“Le, ibu selalu ndongake kanggo keselametanmu dunia akhirat. Sing tenang yo, Le” (nak, ibu selalu berdoa untuk keselamatanmu dunia dan akhirat. Yang tenang ya, Nak)

Suasana hati Ngatinah semakin tidak tenang seiring dengan waktu pengajian untuk anaknya semakin dekat. Dia tidak siap, jika harus menyaksikan atau menerima sesuatu hal buruk yang menyangkut anaknya nanti.

Tanpa ia sadari, derai air mata keluar dari kedua matanya. Tangisnya terpecah, Ngatinah tak kuasa menahan air matanya, mengingat setiap tragedi yang terjadi setelah anaknya Guntoro meninggal dunia.

“Dugggg.... Duggg.... Dug....” Suara ketukan pintu memecah suasana Ngatinah yang sedang memikirkan anaknya. Dengan cepat, ia mengusap matanya yang penuh dengan air mata.

“Sopo?” (siapa?) ucap Ngatinah sambil berjalan keluar.

Setelah membuka pintu, ternyata, yang berada di balik pintu rumahnya adalah Suraji adiknya. Ngatinah kaget dengan kedatangannya.

“Aku krungu, arep ono pengajian kanggo Guntoro, Mbak. Dadine aku mrene” (aku dengar aka nada pengajian untuk Guntoro, Mbak. Jadi, aku kesini) ujar Suraji. Namun, Suraji termangu manakala melihat mata Ngatinah sembab.

“Ono opo sampean, Mbak? Kok ketok sedih” (ada apa, Mbak? Kok terlihat sedih) tanya Suraji penasaran melihat Ngatinah sedikit murung dengan mata sembab.

“Wis, wis. Mlebu omah sek. Aku tak siap-siap, terus mangkat” (Sudah, sudah. Masuklah dulu. Aku mau siap-siap, lalu berangkat) Suruh Ngatinah. Ngatinah mengelak dari pertanyaan Suraji lalu kemudian masuk kamar.

“Bu Ngatinah... Ayo, mangkat” ( bu Ngatinah.. ayo berangkat) teriak ibu-ibu yang menghampiri Ngatinah di rumahnya.

Tak berselang lama, Ngatinah dan Suraji berangkat dari rumah. Di jalan, ia papasan dengan warga lain yang sama-sama akan ke rumah Petinggi.

Sesampainya, ternyata sudah banyak warga yang datang. Kebanyakan diantara mereka datang dengan membawa keluarga dan anak-anaknya, karena takut terjadi apa-apa jika ditinggal sendirian.

“Sing ditunggu wis teko” (yang ditunggu sudah datang) tukas Pak Dulah.

“Bu Ngatinah, njenengan melu ngaji sing ng kuburane Guntoro, nggeh? Karo aku lan liyane” (Bu Ngatinah, ibu ikut ngaji yang di kuburan Guntoro, ya? Dengan saya dan yang lainnya) ucap Pak Dulah.

Ngatinah mengangguk, sementara mulutnya bungkam.

“Sampean melu sisan wae, Mas” (kamu ikut sekalian saja, Mas) ajak pak Dulah kepada Suraji.

***

Waktu terus berlalu, dan suasana sudah semakin ramai. Petinggi memberi perintah agar pengajian malam ini segera dimulai. Rombongan Pak Dulah mulai berangkat dengan mobil pick up yang sudah disediakan.

Supir mulai memacu kemudinya. Dalam perjalanan, Ngatinah masih tetap dengan wajah murungnya. Walau demikian, matanya tajam memperhatikan jalanan. Sejauh mata memandang, Ngatinah hanya mendengar deru mesin mobil pick up yang sangat kencang.

Hanya ada pohon, persawahan dengan pemandangan gelap di mana-mana. Entah mengapa, suasana hatinya malam ini tidak seperti biasanya. Tidak tenang.

Mobil mulai melambat, pertanda sebentar lagi akan sampai. Mobil berhenti beberapa ratus meter sebelum pemakaman, karena ukuran jalan selanjutnya hanya cukup dilalui mototr saja. Satu-persatu orang turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

Suasana mencekam mulai menyeruak ke orang-orang yang baru saja sampai di tempat dimana Guntoro disemayamkan. Keheningan kuburan, memang selalu berhasil membuat siapa saja merinding manakala berada di dalamnya.

Pak Dulah mengajak semuanya untuk bersama-sama duduk mengelilingi kuburan Guntoro.

***

Ada kengerian di kuburan ini, ada keheningan yang menyimpan misteri disini, dan rasa takut disetiap orang yang datang kesini. Setiap warga yang berada di kuburan Guntoro tidak bisa menutupi wajah paniknya. Di situasi begini, waktu terasa lama sekali berputar.

Suasana masih aman saat pengajian akan dimulai.

“Pak, liline dinyalake” (lilinnya dinyalakan) suruh Pak Dulah.

Setelah dirasa cukup terang, Pak Dulah memulai pengajiannya.

“Sampun?” (sudah?) tanya Pak Dulah kepada semua orang disana.

Semuanya mengangguk. Tandanya semuanya siap.

“Apapun sing terjadi. Ojo ngaleh” (apapun yang terjadi, jangan pergi) ucap pak Dulah.

Pak Dulah pun memulainya. Pengajian yang dilakukan adalah seperti pengajian untuk orang meninggal pada umumnya, yakni membaca Surat Yasin dan bacaan tahlil. Sampai Surat Yasin selesai dibaca, suasana masih tenang, bedanya, hawa terasa sangat panas.

Akibatnya, semua orang terlihat sibuk mendinginkan dirinya sendiri. Jika diberi pilihan, mungkin mereka ingin lekas pergi dari sini, tapi hal itu tidak mungkin terjadi. Mereka sudah diberi amanah oleh Petinggi dan tidak ada jawaban lain selain menerima dan menjalankannya.

“Semua ini demi desa” begitulah kata-kata Petinggi yang selalu mereka ingat.

Malam semakin larut, suara untaian-untaian kalimat suci masih terus dibacakan di kuburan Guntoro. Namun, beberapa saat selanjutnya, keanehan mulai terjadi. Suasana yang semula panas, seketika berubah tanpa aba-aba.

Angin berhembus sangat kencang, sampai mematikan lilin-lilin di sekitaran kuburan Guntoro. Merasa curiga, Pak Dulah mulai memperhatikan sekitar dengan senter yang ia bawa, sambil terus merapalkan doa-doa bersama warga yang lain.

Rasa panik mulai merasuk, mereka pun saling pandang dan merasa jika akan terjadi sesuatu sebentar lagi. Menyadari ketakutan warga datang, Pak Dulah sedikit menenangkannya.

“Sing tenang! Ora usah wedi, iki mung angin” (Yang tenang! Tidak perlu takut, ini hanya angin) ucap Pak Dulah.

Pak Dulah berhenti membaca doanya. Ia menyuruh warga yang lain melanjutkan tanpanya. Ia ingin keliling sebentar, memastikan jika semuanya akan aman.

“Mas Suntono, konconi aku” (Mas Suntono, temani saya) pinta Pak Dulah.

Pak Dulah kemudian menjauh, lalu menelusuri area makam sambil ditemani Suntono. Sementara yang lain, masih tetap di posisi yang sama.

“Perasaanku ora enak, Mas. Ono opo yo?” (Perasaanku tidak enak Mas. Ada apa ya?) ujar Pak Dulah.

Mendengar hal itu, Suntono bingung. “Mboten enak pripun, Pak?” (gak enak gimana, Pak?) tanya Suntono.

Pak Dulah menghela nafas dalam. “Rewangi aku ngecek keadaan, Mas” (bantu saya ngecek keadaan, Mas) suruh Pak Dulah.

Cukup lama lama Pak Dulah dan Suntono menelusuri disetiap sudut area pemakaman dan tidak menemukan hal yang mencurigakan. Bahkan, hingga seluruh bacaan selesai dibacakan, Pak Dulah dan semuanya tidak menjumpai apa-apa, ia pun bernafas lega.

“Ayo Pak. Ndang mantuk” (Ayo Pak. Buruan pulang)” ucap para warga yang sudah ingin cepat kembali ke desa.

Walau tidak menjumpai pocong Guntoro, namun, berada di kuburan yang arwahnya masih gentayangan, sudah membuat mereka bergidik ketakutan.

Malam itu, setelah rombongan Pak Dulah kembali ke desa, ternyata yang melakukan pengajian di rumah Petinggi juga tidak menemukan hal yang mencurigakan atau menyeramkan.

“Opo wes aman, Pak?” tanya Petinggi setelah Pak Dulah beserta rombongannya sampai.

“Pantau wae mengarepe. Nek ono kejadian meneh, awak dewe gelar pengajian meneh. Nek perlu rutin. Ben deso iki bener-bener aman” (Dipantau saja kedepannya bagaimana. Kalau ada kejadian lagi, kita gelar pengajian lagi. Kalau perlu rutin. Agar desa ini benar-benar aman) tutur Pak Dulah.

“Tapi kulo mboten siap nek ting kuburane Guntoro maleh, Pak” (Tapi saya tidak siap jika di kuburannya Guntoro lagi, Pak) sela salah seorang yang ikut bersama rombongan Pak Dulah tadi.

“Pak, opo sing neng kuburane Guntoro ora iso dipindah sore-sore wae?” (Pak, apa yang di kuburannya Guntoro tidak bisa diganti sore saja?) pinta Petinggi. Karena menurutnya hal itu terlalu beresiko dan khawatir jika terjadi apa-apa menimpa warganya disana.

Pak Dulah terdiam lama, seakan tengah berpikir.

“Hmmm... Iyo wes. Ora masalah” (Iya sudah. Tidak masalah)

“Banjur kapan pengajian selanjute, Pak?” (lalu kapan pengajian selanjutnya, Pak?) tanya Petinggi.

Setelah melewati sedikit musyawarah dengan beberapa orang dan mengajak Ngatinah, semuanya sepakat jika akan rutin digelar setiap satu minggu sekali dalam kurun waktu satu bulan.

Para warga yang masih disana kaget mendengar pengumuman dari Petinggi terkait pengajian yang akan terus digelar.

“Ojo terlanjur seneng sek bapak-bapak, ibu-ibu” (jangan terlanjur senang dulu bapak-bapak, ibu-ibu) seru Petinggi.

Malam itu, untuk sementara, warga desa merasa aman.

***

Seakan benar, berhari-hari setelah pengajian yang pertama tidak ada warga yang mengaku mendapat gangguan dari pocong Guntoro.

Pengajian kembali digelar untuk kedua kalinya, para warga pun perlahan mulai merasa aman karena teror pocong Guntoro tidak lagi muncul di tengah-tengah mereka. Satu-persatu warga pun mulai berani beraktivitas malam lagi dan membiasakan diri seperti sedia kala lagi.

Bahkan, hingga pengajian yang ketiga, keadaan desa masih aman dari gangguan pocong Guntoro. Mengetahui hal itu, banyak warga desa semakin yakin jika teror pocong Guntoro sudah berakhir.

Warga desa menyambut senang atas hilangnya teror dari pocong Guntoro, terlebih lagi Ngatinah, perasaannya tidak lagi terusik dengan perkataan orang-orang yang terus menggunjing almarhum anaknya.Warga desa menilai jika usaha mereka melakukan pengajian tiga minggu ini berhasil

***

Sudah lewat jam 12 malam, mata Ngatinah masih terbuka lebar di atas tempat tidurnya. Hanya ada lampu pijar kuning yang menyala seperti biasa, setiap malam selalu begitu. Walau suasana desa perlahan tenang, tapi jauh di dalam perasaannya, ia belum sepenuhnya merasa tenang.

Beberapa hari terakhir pikirannya gelisah. Kepikiran dengan anaknya, Guntoro. Ngatinah ingin semuanya cepat hilang dan berlalu, agar ia bisa hidup dengan tenang sepenuhnya.

Malam itu entah mengapa terasa panas tidak seperti biasanya. Keringat Ngatinah bercucuran deras, sesekali ia mengusapnya dengan tangan.

“Bagaimana keadaan anakku disana?” pertanyaan itu selalu menghantui pikiran Ngatinah akhir-akhir ini.

Ngatinah termenung dengan pandangan melayang ke langit-langit kamarnya. Berkali-kali Ngatinah mengubah posisi tidurnya, dengan harapan agar kantuk dengan cepat melibas kesadarannya.

Akhirnya, setelah sekian lama memejamkan mata, kesadaran Ngatinah berangsur menghilang berganti dengan lelapnya malam.

Beberapa saat kemudian, Ngatinah bermimpi. Mimpi yang membuatnya tidak tenang, bahkan akan sakit hatinya ketika ingat mimpinya kala itu.

“Bu, Ibu....”

“Tolong aku, Bu”

Sebuah suara tiba-tiba muncul. Suaranya lirih, merintih meminta tolong kepadanya. Suara itu terdengar sangat jauh. Tapi jelas di telinga Ngatinah.

“Bu...”

Berkali-kali Ngatinah mendengarnya. Sementara, yang ada di depan matanya hanyalah kegelapan yang tidak terlihat apa-apa.

Ngatinah berusaha mencari dari mana arah suara itu berasal.

Hingga, di satu waktu, suara itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya.

“Bu.. Tolong aku!”

Ngatinah terkejut karena suara itu terdengar lebih keras, dan menjadi sangat familiar di telinganya. Setelah mendengarnya lebih jelas, dengan cepat Ngatinah mengenalinya.

“Guntoro, iki suarane Guntoro!” (Guntoro, ini suaranya Guntoro) ucap Ngatinah.

“Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku?” Ngatinah mulai panik, ia berjaan kesana-kemari berharap menemukan anakknya yang sedang meminta tolong kepadanya.

“Guntoro! Guntoro!” panggil Ngatinah. Ia terus mencari dimana anaknya berada. Walau matanya terbuka, tapi berjalan disana seperti berjalan di dalam gua yang gelap.

Ngatinah terus berjalan dengan tangannya yang meraba- raba seperti orang buta. Hingga, setitik cahaya kecil menyorotnya dari kejauhan. Melihat itu, Ngatinah segera berlari ke arahnya sambil meneriaki nama anaknya.

“Guntoro...Guntoro...”

Namun, langkah Ngatinah semakin lambat manakala ia semakin dekat dengan cahaya itu.

“Gu-Gu-Guntoro....” Panggil Ngatinah saat melihat anaknya kini berada di hadapannya.

Tapi, yang Ngatinah lihat bukanlah Guntoro dengan keadaan yang ia harapkan. Guntoro bersimpuh dengan pakaiannya yang sangat lusuh, serta lehernya terikat oleh tali yang besar. Sementara, di sebelahnya berdiri sesosok pocong yang berukuran 3 kali dari ukuran tinggi manusia dewasa.

Wajahnya gosong dengan daging-daging rusak yang masih bersisa menempel di wajahnya. Sampai-sampai, Ngatinah perlu mendangakkan kepalanya untuk melihat ujung kepala dari pocong yang jangkung itu.

Di dekatnya, Guntoro terus menangis dan merintih. Terlihat sekali ia sangat tersiksa disana. Sementara, Ngatinah semakin lemas melihat keadaan anaknya.

Ngatinah berusaha mendekati Guntoro, walau dengan rasa takut, ia ingin membebaskan anaknya walaupun ia sendiri tidak tau apa penyebab anaknya diperlakukan seperti itu.

Rasa cinta dan sayangnya kepada anaknya seakan mengaburkan rasa takutnya yang harus berhadapan dengan pocong membelenggu Guntoro.

Namun, nahas, upayanya berakhir sia-sia. Di depan pocong itu, seperti berdiri sebuah tembok tak kasat mata, yang menyebabkan Ngatinah tidak dapat menembusnya.

“Guntoro....” Ucap Ngatinah sambil menangisi keadaan anaknya.

Ngatinah merasa sangat tidak berguna sebagai seorang ibu kala itu. Berkali-kali ia gagal saat hendak melepaskan anaknya dari pocong jangkung itu.

Ngatinah berdzikir, lalu memohon kekuatan kepada Penciptanya untuk beberapa saat.

Tidak lama kemudian, Ngatinah kembali melakukan hal yang sama. Namun, kali ini tubuh Ngatinah terpental jauh saat menghantam tembok tak kasat mata di depannya. Ia terlempar jauh, hingga membuatnya pingsan.
...

“Bu, Bu Ngatinah... Njenengan sampun sadar” (Ibu sudah sadar) ucap orang-orang di dekatnya.

Ngatinah kaget melihat banyak orang berada di dekatnya. “Aku kenopo?” (aku kenapa?) tanya Ngatinah dengan wajah bingung.

“Alhamdulillah siuman” syukur ibu-ibu saat melihat Ngatinah sudah membuka mata.

“Ora usah akeh tekon disek, jarke Bu Ngatinah tenang sek” (Tidak usah banyak tanya dulu, biarkan Bu Ngatinah tenang dulu)

Seru Bu Lastri, tetangga belakang rumah Ngatinah yang mendengar Ngatinah teriak histeris memanggil nama anaknya. Bu Lastri menyuguhkan segelas air putih yang segera disambut oleh Ngatinah dan diminumnya sampai habis.

“Bu Lastri, kulo kenopo?” ( bu Lastri, aku kenapa?) tanya Ngatinah dengan kondisi yang sudah agak tenang.

“Nek njenengan wis tenang, kula jelaske, Bu” (kalau Bu Ngatinah sudah tenang, nanti saya jelaskan) tutur Bu Lastri.

“Wau ba’da subuh, kula mireng njenengan jerit-jerit nyeluk-nyeluk jenenge Guntoro, Bu. Omahe njenengan mboten kuncian, pas kulo cek, njenengan wis semaput”

(Tadi sehabis subuh, saya dengar ibu teriak-teriak histeris memanggil-manggil Guntoro, Bu. Rumahmu tidak terkunci, pas saya cek, Bu Ngatinah sudah pingsan) ucap Bu Lastri kepada Ngatinah.

Mendengar penjelasan Bu Lastri, Ngatinah seperti tidak percaya.

Tidak lama kemudian, Ngatinah tiba-tiba menangis, ia teringat dengan mimpi buruknya. Hal itu membuat Bu Lastri dan yang lainnya kebingungan.

“Bu, Bu Ngatinah...” panggil Bu Lastri.

“Kula ngimpi, Guntoro ditaleni gulune” (Saya mimpi, Guntoro diikat lehernya)

“Sopo sing naleni, Bu?” (siapa yang mengikat, Bu?) Tanya Bu Lastri.

“Kulo gak weruh. Awake gedi, tur duwur banget. Guntoro wedi” (Saya tidak tau. Badannya besar dan sangat tinggi. Guntoro ketakutan) ujar Ngatinah dengan suara sesenggukan.

Wajah Bu Lastri mulai tegang, pun dengan wajah ibu-ibu yang lainnya.

“Pocong! Pocong duwur banget! Pocong iku sing naleni gulune Guntoro” (Pocong! Pocong tinggi sekali! Pocong itu yang mengikat leher Guntoro) ucap Ngatinah.

“Kayake Bu Ngatinah ngimpi buruk” (Sepertinya Bu Ngatinah mimpi buruk) sahut Bu Lastri yang berada di belakang u Lastri.

Ngatinah menggeleng, menepis perkataan Bu Lastri.

“Mboten, Bu. Iku ketok nyata. Kula kudu bebaske anakku” (Tidak, Bu. Itu terlihat nyata. Saya harus membebaskan anakku) ucap Ngatinah dengan air mata yang terus keluar dari kedua matanya.

Sementara, semuanya diam mendengar perkataan Ngatinah. Bu Lastri tiba-tiba beranjak dari duduknya, lalu keluar rumah.

“Meh neng endi, Bu?” (mau kemana, Bu?) tanya Bu Lastri.

“Omahe Petinggi” (Rumah Petinggi) jawabnya
Untuk sementara, dengan laporan kepada Petinggi adalah jalan yang tepat.

***

Cukup lama Bu Lastri menunggu Petinggi di kantor desa pada pagi yang sudah menjelang siang waktu itu.

“Petinggi nembe perjalanan ing deso seberang. Tunggu” (Petinggi sedang perjalanan ke desa sebelah. Tunggu) terang perangkat desa yang ada di kantor.

Setelah cukup lama, Petinggi datang.

“Oh, Bu Lastri” sapa Petinggi.

“Pak, Bu Ngatinah”

“Bu Ngatinah kenopo?” (Bu Ngatinah kenapa?) tanya Petinggi.

“Aneh, Pak” jawab Bu Lastri dengan nada pelan karena takut jika didengar oleh lainnya.

“Mengko aku rono, Bu. Sampean tungguni Bu Ngatinah sek, yo” (Nanti aku kesana, Bu. Kamu temani Bu Ngatinah dulu, ya) ujar Petinggi.

Bu Lastri mengiyakan. Lalu melangkah kembali ke rumah Ngatinah. Saat sampai, mendadak Bu Lastri menghentikan langkah lalu terdiam saat melihat Ngatinah kembali tidak sadarkan diri.

***

Ngatinah kembali melihat Guntoro masih dengan tali yang mengikat lehernya dan tidak terlihat dimana ujung tali yang satunya.

Pocong jangkung yang dilihatnya sebelumnya pun kini tidak lagi berada di sebelah Guntoro. Mengetahui itu, Ngatinah buru-buru mendekati Guntoro dengan maksud ingin melepaskannya

Tembok yang tak bisa ia lihat kembali menghalanginya. Berkali-kali Ngatinah berusaha, berkali-kali pula ia gagal. Guntoro seperti terkurung di dalam sebuah tempat yang tak seorang pun bisa mengeluarkannya.

Ngatinah melihat Guntoro berusaha berbicara. Ngatinah menatapnya nanar, sambil membantunya agar bisa bicara dengan tenang.

“Guntoro, Guntoro....” Ucap Ngatinah. Ia menangis di depan anaknya. Hatinya teriris melihat kondisi anaknya.

Guntoro masih berusaha berbicara, walau berat dan susah, Guntoro masih memaksa mulutnya agar terbuka. Walau Ngatinah sudah memberi isyarat jika tidak perlu berbicara, tapi Guntoro masih memaksa keinginannya.

Hingga akhirnya, Guntoro mampu mengeluarkan suaranya walau pelan.

“A...aku mati dikorbankan”

“Aku gak salah Bu. Ampuni aku Bu...” Ucap Guntoro dengan susah payah.

Sesaat setelah mengatakan itu, tali yang mengikat leher Guntoro tiba-tiba mengencang dan menarik Guntoro menjauhi ibunya. Guntoro hanya pasrah menerima tubuhnya yang dibawa menjauh. Sementara Ngatinah menangis histeris melihatnya.

Melihat itu, Ngatinah berusaha mengejarnya, namun usahanya masih berakhir sia-sia. Tubuhnya terlempar, kepalanya menghantam benda yang tak bisa ia lihat karena gelap.

Hingga saat Guntoro tidak lagi dapat ditangkap oleh matanya, Ngatinah terus menangis.

***

Satu jam setelah Bu Lastri kembali, Petinggi datang menyusul. Petinggi tidak datang sendirian, ia ditemani Pak Dulah dan dua ajudan setianya. Suntono dan Joko.

“Alhamdulillah, njenengan teko, Pak” seru ibu-ibu di sana.

“Piye keadaane, Bu?” tanya Petinggi.

“Nggeh niki Pak” (ya seperti ini pak) jawab Bu Lastri.

Saat itu Ngatinah masih memanggil-manggil nama anaknya walau matanya masih tertutup rapat.

“Guntoro! Bebaske Guntoro!” (bebaskan Guntoro!) teriak Ngatinah.

Petinggi dan Pak Dulah diam saja sambil memperhatkan.

“Engko sadar dewe” (nanti sadar sendiri) ujar Pak Dulah.
Walau demikian, Ngatinah masih terus memanggil-manggil nama Guntoro sambil sesekali berontak. Ibu-ibu di dekatnya pun dengan sigap menahan badannya.

Beberapa menit kemudian, Ngatinah siuman, setelah badannya terhentak. Keringatnya mengalir deras, nafasnya pun ngos-ngosan. Seakan sudah mengerti tugasnya, Bu Lastri langsung memberinya air putih dan langsung diminumnya sampai habis.

“Njenengan ngimpi opo, Bu?” (Kamu mimpi apa, Bu?) tanya Petinggi.

“Guntoro ditaleni, Pak. Mesakke anakku. Guntoro wedi” (Guntoro diikat, Pak. Kasihan anakku. Dia takut) ucap Ngatinah sambil menangis sesenggukan.

Pak Dulah mendekat ke Ngatinah, lalu melontarkan sebuah pertanyaan. “Sopo sing naleni?” (siapa yang mengikatnya?)

“Aku ora weruh, Pak. Sing tak delok mung pocong sing duwur banget. Mesakke Guntoro wedi” (Aku tidak tau, Pak. Yang aku lihat hantalah pocong yang sangat tinggi. Kasihan Guntoro ketakutan)

“Terus, selain ditaleni, dikapakke meneh?” (lalu, selain diikat, apa lagi?)

“Diseret”

“Njenengan weruhe neng endi?” (kamu melihatnya dimana?)

“Gak weruh, Pak. Panggonane peteng ndedet. Aku ora ndelok opo-opo” (Gak tau, Pak. Tempatnya gelap gulita. Aku tidak melihat apa-apa) terang Ngatinah.

Pak Dulah kemudian menoleh ke Petinggi dengan raut muka menyimpan makna.

“Ditumbalke Pak” (Ditumbalkan pak) seru seorang ibu-ibu di belakang Pak Dulah. Dia adalah Bu Nur.

“Ojo ngawur, Bu” (jangan ngawur, Bu) ucap Petinggi.

“Biasane nek ngoten niku karna dadi korban tumbal, Pak” (Biasanya kalau begitu itu karena jadi korban tumbal, Pak)

“Guntoro durung tenang, arwahe iseh ditahan karo iblis sing gawe awake mati” (Guntoro belum tenang, arwahnya masih ditahan sama iblis yang membuatnya mati) tambahnya.

Ngatinah yang mendengarnya pun semakin ketakutan dan khawatir dengan kondisi anaknya sekarang.

“Ya Allah, anakku....” Ngatinah semakin histeris ketakutan.

“Wes, Bu. Ora usah ngomong sek! Mesakke Bu Ngatinah. Bu Ngatinah ben tenang sek” (Sudah, Bu. Tidak usah bicara dulu! Kasihan Bu Ngatinah. Biarkan dia tenang dulu) ujar Bu Lastri.

Ucapan Bu Nur membuat semua orang yang mendengarnya penasaran. Apa benar Guntoro meninggal akibat ditumbalkan seseorang?

***

“Bu Ngatinah” Panggil Petinggi saat Ngatinah baru saja sampai di rumah Petinggi.
Malam itu, adalah malam terakhir pengajian yang digelar untuk mendoakan almarhum Guntoro dan hanya akan dipusatkan di pelataran rumah Petinggi.

Dengan pengajian terakhir ini, harapannya segala hal yang berkaitan dengan teror pocong hitam Guntoro berakhir dan desa Glagah kembali aman bagi seluruh warganya.

Diantara persiapan pengajian malam itu yang hampir selesai, tiba-tiba ada warga berlarian tunggang langgang menuju rumah Petinggi.

“Pocong?”

“Nggeh, Pak”

“Wes-wes, lungguh sek. Kae diombe” (Sudah-sudah, duduk dulu. Itu diminum) suruh Petinggi.

Petinggi lalu menyuruhnya diam dan tidak memberitahukannya kepada warga yang lain. Karena akan membuat warga yang lain takut dan menimbulkan kegaduhan yang baru.

***

Pengajiannya pun dimulai. Semua warga dengan seksama membaca kalimat-kalimat suci. Mereka melakukan ini semua dengan harapan agar teror ini cepat hilang dari tengah-tengah mereka.

Tapi, anehnya, berbeda dengan pengajian-pengajian sebelumnya yang berjalan tenang. Tiba-tiba malam itu angin kencang datang di tengah-tengah pengajian. Menerbangkan segalanya yang ada disana.

“Pak Petinggi... Pripun niki?” (gimana ini?) tanya para warga yang saling sahut.

“Tetep teruske!” (Tetap lanjutkan!) ucap Pak Dulah dengan suara lantang.

Malam ini adalah malam pertaruhan terakhir bagi warga desa. Sekalipun hujan, pengajian ini harus tetap diselesaikan.

Di tengah keriuhan orang-orang, sekelebat kain hitam berisi tiba-tiba terbang di atas rumah Petinggi.

“Po-pocong.... Pocong” teriak salah satu warga yang menyadari kehadirannya.

Menyadari hal itu, para warga berhamburan, beberapa diantara mereka bahkan lari dan kembali ke rumah karena saking ketakutannya. Beberapa yang lainnya masih bertahan dan terus membaca setiap bait doa-doanya, termasuk Petinggi, Pak Dulah dan Ngatinah. Mereka masih khusyuk membacanya.

“Semua ini demi desa” ucap Petinggi dari dalam hati.

“Tetep moco, Insya Allah Gusti Allah bareng karo awake dewe kabeh. Ojo didelok!” (tetap baca, Insya Allah Gusti Allah bersama dengan kita semua. Jangan dilihat!) seru Pak Dulah.

Warga yang masih bertahan pun mendengar arahannya.

Menyaksikan pocong, dan angin yang terus tertiup membuat orang-orang disana terjebak disituasi yang mencekam.

Singkat cerita, pengajian selesai. Anehnya, angin mulai mereda bebarengan dengan doa selesai dibacakan. Banyak warga langsung pamit pulang ke rumah. Ada juga yang masih bertahan karena takut jika jalan sendirian.

“Opo iki wes cukup, Pak?” (apa ini sudah cukup, Pak?) tanya Petinggi kepada Pak Dulah.

“Semoga” jawab Pak Dulah singkat.

“Sampun, Pak. Kula ora enak nek melibatkan warga terus- terusan. Bar iki, ben aku sing tirakatan tiap dino ben anakku tenang. Kula maturnuwun kaleh Pak Petinggi, Pak Dulah”

(Sudah, Pak. Saya tidak enak jika melibatkan warga terus-terusan. Setelah ini, biar saya yang tirakatan setiap hari agar anakku tenang. Saya terima kasih banyak dengan Pak Petinggi dan Pak Dulah) ucap Ngatinah dengan suaranya yang lesu.

Waktu terus berlalu. Perlahan, warga mulai beraktivitas normal lagi. Gangguan pocong Guntoro belum sepenuhnya hilang. Kendati demikian, gangguan-gangguan itu datang hanya berupa menampakkan diri di beberapa titik desa saja.

Hal itu membuat warga desa jengah dan mulai terbiasa hidup berdampingan dengan gangguan pocong Guntoro yang masih mengintai mereka.

Seiring berjalannya waktu hingga bertahun-tahun setelahnya, teror pocong Guntoro mulai meredup dan hilang dengan sendirinya.

Bahkan sampai sekarang, teror itu tidak lagi ada. Yang tersisa hanyalah ceritanya yang melegenda bagi kalangan orang tua yang tinggal di desa Glagah dan sekitarnya.

-TAMAT-


Bertahun-tahun lamanya setelah cerita kelam Guntoro. Ngatinah sudah berubah menjadi perempuan tua yang berdirinya tidak lagi tegak. Adiknya pun kini sudah jarang sekali menjenguknya.

“Guntoro. Maafkan ibu. Ibu tidak bisa mendidikmu dengan baik, sampai kamu berakhir begini” sebuah kalimat yang selalu ia sisipkan disetiap doanya.

Desa Glagah pun kini mengalami banyak perubahan. Warganya bertambah, dan, bahkan kini mulai membangun sebuah wisata desa untuk menarik kedatangan orang.
close