Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERANG PAJANG MATARAM BAGIAN 1


Hari itu hari kedua Tumenggung Mayang berada di Mataram. Pagi itu dia mengunjungi kediaman Ki Juru Mertani. Penasehat nomor satu dari Mataram itu menemui Tumenggung Mayang di ruangan pendopo. Orang tua itu duduk di atas kursi kecil. Sebuah meja berukuran sedang ada di hadapannya. Di meja itu tersaji berbagai macam makanan jajan pasar dan satu sisir pisang raja. Sebuah teko dari kuningan berisi minuman berada di tepi meja.

"Ayo, monggo Mayang dicicipi dulu kopi nya?"

"Terimakasih paman Juru"

Tumenggung Mayang segera menyeruput kopi yang ada di dalam gelasnya. Wajahnya kini sudah terlihat sedikit segar dibandingkan dengan selepas pelariannya dari Semarang menuju ke Mataram.

"Bagaimana keadaan mu Mayang?"

"Syukur alhamdulillah saya baik-baik saja Paman. Capek selama perjalanan ke Mataram telah sirna. Seharian penuh saya sudah ngaso, beristirahat. Apalagi telah bertemu dengan istri. Sejak saya diseret-seret ke alun alun Pajang tempo hari"

"Syukurlah kalau begitu"

Ki Juru Mertani mengelus jenggotnya yang telah berwarna putih. Sesekali menghisap pipa gading yang terselip di jari jemari tangannya. Asap putih membumbung lalu berpendar terbawa angin.

"Saya masih heran dengan Kanda Senopati Paman Juru. Saya dengar dari telik sandi bahwa Pajang sudah mulai mengirimkan pasukan ke Mataram"

Raut wajah Tumenggung Mayang terbersit kekhawatiran. Jika Mataram kelah digebuk Pajang sudah tentu nasibnya juga akan berakhir dengan mengenaskan. Juru Mertani tersenyum penuh arti.

"Itulah kelebihan angger Senopati. Dan ketenangan seperti itu memang sepantasnya dimiliki oleh raja oleh seorang Sinuwun"

Ki Juru Mertani meletakkan pipa gadingnya ke atas meja. Lalu tangannya meraih cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Tidak lama kemudian cairan yang ada di dalam cangkir telah tandas. Hanya tertinggal ampas yang mengendap di dasar cangkir.

"Saya yakin Kanjeng Sultan tidak main-main dengan ancamannya Paman. Karena sebenarnya sudah berkali-kali Pajang ingin menghancurkan Mataram tetapi alasannya masih belum cukup kuat?"

"Jadi sekarang ini menurut mu Pajang sudah punya alasan kuat untuk menggebuk Mataram?"

Ki Juru Mertani bertanya keheranan.

Tumenggung Mayang mengangguk dengan mantap. Tatap matanya tajam tatkala berbicara soal ini. Di dalam hatinya masih terbersit dendam atas kematian Raden Pabelan anak kandungnya yang tewas di ujung keris Sengkelat Sultan Pajang.

"Saya curiga Paman. Saya diarak, di kerangkeng dibawa ke Semarang dengan kawalan ratusan prajurit untuk memancing reaksi Mataram"

Ki Juru Mertani mengangguk-angguk tanda setuju. Karena hal itu masuk akal juga.

"Aku setuju dengan mu Mayang. Memang Kanjeng Sultan Pajang itu sangat pintar. Bahkan, kelewat cerdas sejak muda. Sejak masih bernama Mas Karebet atau Joko Tingkir. Itu mengapa sultan Demak pada saat itu yaitu Sultan Trenggono sangat tertarik dan mengangkatnya menjadi menantu"

***

Suara derap kaki kuda terdengar mendekati kediaman Ki Juru Mertani. Sesosok lelaki gagah duduk di atas punggung kuda berwarna hitam legam. Lelaki itu berwajah bersih, dengan cambang dan kumis rapi yang menambah kewibawaannya. Ikat kepala dan pakaiannya berkibar tertiup angin. Sebuah keris terselip di pinggangnya. Begitu tahu siapa yang datang Genju tukang kebun Ki Juru Mertani buru–buru menyongsong penunggang kuda itu. Lelaki itu menarik tali kekang kuda tatkala telah berada di depan pendopo. Lalu lelaki itu melompat dari punggung kuda. Buru-buru Genju menambatkan kuda itu di bawah pohon kepel. Lelaki itu tidak lain adalah orang nomor satu di Mataram Panembahan Senopati.

Dia berjalan tegap ke arah Ki Juru dan Tumenggung Mayang.

"Saya perkirakan lima hari lagi pasukan Pajang akan sampai di wilayah timur utara Mataram. Lusa pasukan Mataram harus segera dipersiapkan dan diberangkatkan ke alas Trucuk untuk mencegat mereka"

Masih dengan berdiri Panembahan Senopati meraih cangkir yang kosong di meja kemudian menuangkan dengan air yang berada di teko perak. Gelas berisi minuman itu masih juga belum di minum. Hanya dibawa dengan tangan kanannya.

"Apakah angger sudah siap lahir batin?"

Juru Mertani mencoba menekankan lagi pada Panembahan Senopati maksud hatinya untuk perang melawan Pajang.

"Saya selalu siap paman"

"Yang saya tunggu adalah tindakan Pajang menyerang Mataram. Sehingga bukan Mataram yang salah. Kalau sampai darah tertumpah"

Panembahan Senopati lalu meneguk minuman dari cangkir yang sedari tadi hanya dibawanya. Sorot matanya tajam sebuah gairah seorang calon pemimpin besar terpampang jelas di parasnya.

Tumenggung Maynag tiba-tiba ikut urun rembug.

"Maaf Kanda Senopati, terus terang saya belum melihat kanda menyiapkan prajurit untuk menyongsong prajurit malam yang sebentar lagi memasuki wilayah Mataram. Sementara prajurit Pajang itu sudah terkenal terlatih dan kuat"

Panembahan Senopati menyeringai. Tatapannya tajam menatap lurus ke depan.

"Yang saya terapkan adalah melatih olah agar tidak mudah bingung, tidak mudah putus asa dan tepat dalam mengambil keputusan. Karena dalam peperangan yang diperlukan adalah kesiapan prajuritnya secara mental dan secara batin"

"Tidak ada gunanya kedigdayaan, kesaktian jika prajuritnya mudah bingung dan mudah panik"

"Paman juru mulai nanti malam saya akan pati geni selama tiga hari untuk bertemu dengan Nyimas Ratu Kidul"

Memang setelah peristiwa tapa brata Panembahan Senopati di Parangkusumo Laut Selatan dan bertemu dengan Ratu Penguasa Laut Selatan. Raja Mataram ini telah menikah secara gaib sebagai imbal jasa. Maka, penguasa Laut Selatan itu akan menjaga bumi Mataram dari bermacam serangan bencana dan musuh.

"Oh ya, maaf Kanda Senopati apakah persediaan makanan untuk prajurit Mataram sudah cukup?"

Ditatapnya Tumenggung Mayang yang juga adik iparnya itu. Panembahan Senopati lalu berkata

"Makanan akan mudah ditemui di sepanjang jalan yang di lalui manusia. Karena rakyat Mataram akan dengan sukarela menediakan bahan makanan untuk para prajurit yang dnegan gagah berani membela negeri nya"

Ki Juru Mertani kemudian menukas.

"Saya akan mempersiapkan para narapati untuk berkumpul dan menyusun kekuatan Prajurit Mataram untuk persiapan penyambutan tentara Pajang di alas Trucuk"

Lima hari segera berlalu dengan cepat tidak ada yang dapat menghalangi berlalunya waktu. Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di alas Trucuk. Sepuluh ribu prajurit Pajang mendirikan tenda-tenda pertahanan di candi Prambanan. Panji-panji, umbul-umbul serta rontek tanda Kerajaan Panjang terpasang ribuan berkibar-kibar tertiup angin. Di barisan depan terlihat Sultan Hadiwijaya duduk di atas punggung seekor gajah tunggangan perangnya. Sedangkan di kana kiri terlihat Arya Pangiri, Arya Pamalat, Pangeran Benowo dan beberapa tumenggung.

Panembahan Senopati hanya mengerahkan seribu prajurit Mataram untuk membendung serangan Pajang di pagi itu. Senopati –senopati Mataram bertarung dengan gigih. Sekartaji, Pranajaya, Tumenggung Mayang berlomba-lomba menghabisi puluhan prajurit Pajang yang mencoba menyerangnya. Yang paling seru adalah pertempuran di sisi barat alas Trucuk. Amukan Rana Wulung dengan keris Kelabang Sewu memang bukan main hebatnya. Puluhan prajurit Pajang menemui ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang senopati Pajang yang berilmu tinggi mandi darah dan mati di tangan Rana Wulung!

Mengetahui pasukannya terdesak Arya Pangiri Adipati Demak yang memimpin perang segera memerintahkan prajuritnya menyiapkan jet bang (meriam kuno jaman Portugis yang direbut oleh Pati Unus)

"Siapkan jetbang! Hancurkan orang-orang Mataram. Kita hancur leburkan orang-orang Selo ini. Serbu!!!!!"

Suara dentuman jet bang beberapa kali terdengar. Peluru-peluru panas berterbangan diangkasa lalu menukik turun mencari sasaran. Prajurit Mataram mencelat. Lima orang langsung mati dengan dada menghitam gosong. Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat keris, pegang atau pun tombak terdengar mengiidikkan, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan. Agaknya serangan prajurit Pajang mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih.

Panembahan Senopati dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan Mataram. Putra Ki Ageng Pemanahan ini menunggangi seekor kuda coklat dan di tangannya tergenggam sebuah tombak dengan landean (gagang kayu panjang) sepanjang satu meter. Tombak ini bernama Tombak kyai Pleret merupakan salah satu senjata sakti di Mataram. Tombak kyai Pleret juga dipergunakan oleh Suta Wijaya (nama kecil Panembahan Senopati) untuk melawan kesaktian Adipati Jipang yaitu Arya Penangsang. Dibilih tombak sepanjang satu jengakl lebih itu terlihat sudah memerah basah oleh darah.

Pada saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat prajurit Mataram mulai terdesak mundur. Maka, dari atas punggung kudanya Panembahan Senopati berteriak lantang. Suara yang keras laksana guntur mengatasi segala kecamukan di tangah medan perang.

"Ayo prajurit Mataram..Mundur...Mundur...kembali ke pertahanan"

"Mundur... Mundur....."

Serta merta prajurit Mataram serentak mundur mendengar perintah dari panglima tertinggi yaitu Panembahan Senopati. Sekartaji, Pranajaya dan tumenggung Mayang segera membedal kudanya menuju garis pertahanan.

Nasib sial ternyata menimpa Rana Wulung. Kepungan prajurit Pajang sungguh ketat. Ditambah lagi berkali-kali tubuhnya dihujani dengan ratusan anak panah. Keadaannya benar-benar terjepit. Lima tombak menusuk ke arah badannya. Rana Wulung melenting tinggi lima tombang ke udara. Keris Kelabang Sewu dikiblatkan beberapa kali. Selarik sinar biru kemerahan melabrak semua yang ada di depannya. Pekik kematian terdengar disana sini. Pada saat tubuhnya belum menjejak tanah lima puluh anak panah berdesing seperti berlomba mencari sasaran di tubuhnya. Keris Kelabang Sewu kembali dikiblatkan puluhan anak panah luruh patah ke tanah. Ada satu anak panah yang lolos dan melesat ke arah Rana Wulung. Lelaki ini tidak siap dan tidak melihat!

Jlebbb...

Anak panah itu menancap dibahu kirinya. Sambil menahan sakit, dia menggembor mengamuk membabi-buta ratusan prajurit rebah di tanah menghadap yang kuasa. Prajurit Pajang yang melihat hal itu kecut nyalinya. Kepungan terhadap Rana Wulung diperlonggar. Mengetahui ada kesempatan untuk mundur. Rana Wulung dengan cepat bersalto ke udara kemudian melompat ke atas kuda yang tidak bertuan. Karena tuan nya sudah mati minggat ke akherat. Dibedalnya kuda itu ke arah garis pertahanan pasukan Mataram.

BERSAMBUNG
close