Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 76)


Sejak tadi pagi hujan turun tidak henti. Pucuk-pucuk daun basah kuyup dan meneteskan air. Tidak terdengar suara satwa seperti biasanya kecuali suara deru hujan yang menimpa atap seng pondok Nenek Kam yang hitam berkarat. Asap dari dapur meliuk-liuk di ruangan, terhalang hujan hendak ke luar dari jendela dan cela dinding bambu. Aku duduk di samping perapian sekadar menghangatkan diri. Memekarkan telapak tangan, ‘bediang’ mengusir rasa dingin.

Jam tangan sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Artinya sudah jelang petang. Dua cangkir kopi hitam masih mengepul karena memang baru di sedu. Aromanya mengalahkan aroma asap kayu yang pekat.

Sesekali aku membalik pisang dan ubi kayu yang dipanggang di atas bara. Dengan menggunakan buluh kapal yang dibuat seperti penjepit. Sesekali ujungnya kupukul-pukulkan, kadang kucelup di air untuk mematikan ujung penjepit yang terbakar. Sambil menunggu pisang dan ubi bakar mateng, kubuang arang dan sampah yang bercampur dengan abu kayu. Nenek Kam menunjuk sapu lidi dan air agar aku menyiram tanah dapur terlebih dahulu, lalu menepuknya agar padat. Aku paham maksudnya. Kulakukan sesuai intruksi Nek Kam.

“Untung punya cucu gadis, paham merawat dapur perapian. Kalau tidak, bakal diomeli oleh mertuamu kelak”Ujar Nenek Kam sambil menumbuk sirih sambari melonjorkan kaki ke arah pintu. Aku tersenyum mendengarkan. Pesan sederhana.

“Nek, zaman sekarang, banyak yang sudah mengganti bahan bakar kayu dengan gas. Walau tinggal di kebun, namun menggunakan gas untuk memasak. Sebab tidak mudah mencari minyak tanah dan kayu bakar. Berbeda dengan zaman dulu” Ujarku mengangkat pisang dan ubi bakar lalu meletakannya di keranjang kecil dari buluh buatan Nenek Kam.

“Meski pakai gas, tetap saja harus tahu bagaimana. memasak pakai kayu, Cung. Iya kalau mampu membeli kompor dan gas, kalau tidak? Pasti kembali ke kayu bakar lagi” Ujar Nenek Kam sambil meniup-niup pisang bakar.

Sebenarnya, apa yang disampaikan nenek Kam benar adanya. Zaman dulu, jika perempuan sudah sanggup berumahtangga maka ia harus mampu mengurus rumah. Tidak heran jika umur belasan anak gadis umumnya sudah paham merawat rumah, memasak, menyulam, menjahit, dan lain sebagainya. Akan sangat malu jika punya anak gadis tidak paham apa-apa. Terampil, cekatan atau tidak, biasanya akan menjadi tolok ukur untuk menjadikan seseorang menjadi menantu. Begitu juga kaum lelaki. Jika masih muda sudah berani menggarap kebun sendiri, maka masuk dalam kriteria menantu idaman. Hal seperti ini ternyata tersimpan rapi di pikiran Nenek Kam. Beliau tidak mau tahu jika manusia sudah lama sampai ke bulan.

Suara kopi diseruput Nenek Kam, terdengar sangat nikmat. Hawa dingin memang membuat kopi, pisang, dan ubi bakar cepat sekali terasa dingin. Wajar saja dalam waktu singkat secangkir kopi tandas tinggal ampas.

“Masih ada kopi, Dek?” Tanya Nenek Kam.

“Kurang ya, Nek?” Ujarku sembari menyusun kembali kayu bakar agar api menyalah dan memanaskan secangkir air untuk menyedu kopi kembali.

“Nek, tidak lama lagi aku akan pulang ke Bengkulu. Nenek ikut ya” Ujarku penuh harap sambil menambahkan gula seujung sendok. Nenek Kam menatapku sejenak. Nampak sekali wajah beliau tidak setuju jika aku cepat-cepat pulang ke Bengkulu. Lama beliau tercenung. Aku bingung mencari materi untuk mengalihkan pembicaraan.

“Nenek sudah tidak tahan lama-lama di dalam kendaraan, Cung. Bengkulu itu jauh dari sini. Cukuplah batin Nenek saja ke sana melihatmu, mengawasimu, menemanimu” Ujarnya setelah sejenak saling diam.

“Maksudku, Nek, aku ingin fisik Nenek bersamaku ke sana. Bukan hanya batin saja. Aku ingin mengajak Nenek melihat laut, menatap matahari terbenam, menikmati angin pantai, debur ombak, dan lain-lain” Ujarku sambil mengecilkan api di tungku.

“Kau kira aku tidak bisa menikmati itu semua? Jangankan laut, melihat matahari terbenam, merasakan angin laut, debur ombak, bahkan ke dasar lautnya pun Nenek sudah” Ujarnya sambil mengunyah pisang bakar. Aku kaget menatapnya. Benarkah demikian? Aku percaya sebenarnya. Tidak ada hal yang tidak mungkin di alam ini. Apalagi untuk ukuran Nenek Kam.

“Tapi aku kan tidak melihat, Nek. Maksudku kita berdua menikmatinya berdua” Ulangku lagi. Nenek Kam hanya menjawab dengan tawa kecil. Mata cipit dan gigi ompongnya justru memancarkan jika Nenekku satu ini cantik.

“Nenek Relingin…Nenek Relingin” Ujarku gemas.

Obrolan tentang ajakan ke Bengkulu terhenti ketika tiba-tiba aku mendengar suara Puyang Pekik Nyaring menyapaku. Aku segera duduk fokus mendengarnya.

Aku diminta malam ini untuk solat hajat lalu beliau memintaku mengamalkan beberapa zikir yang harus kubaca dalam hitungan tertentu, dan harus selesai sebelum fajar. Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakannya dengan dada agak gemetar. Apakah aku sanggup menyelesaikan amalan tersebut hingga menjelang fajar. Sementara mulainya usai salat Isya? Bagaimana jika menjelang fajar belum selesai? Pertanyaan itu membuat jantungku makin berdebar. Kutatap Nenek Kam dalam-dalam. Aku butuh dorongan semangat dari beliau.

“Ah, kecil. Masak segitu saja tidak selesai?” Nenek Kam menggodaku.

“Apa nenek pernah diminta mengamalkan sesuatu seperti aku?” Tanyaku lagi. Nenek Kam menggeleng.

“Tentu berbeda, Cung. Proses dan jurusan kita beda-beda” Ujarnya datar. Aku ingin tertawa mendengar jurusan. Maksud Nenek Kam dengan jurusan itu berkaitan dengan kemampuan khusus seseorang. Ada ahli tulang, ahli syaraf, ahli urut, dan lain-lain.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ada dorongan emosi yang menggetar-getar. Rasa takut gagal lebih dominan menguasai diriku. Apalagi mendengar kata Nenek Kam ‘masalah itu kecil’. Aku berusaha menyembunyikan perasaan risauku.

Sebentar lagi magrib, lalu isya. Setelah Isya itulah aku harus memulai mengamalkan perintah Puyang Pekik Nyaring. Dalam hati aku berdoa, semoga rasa kantuk tidak menderaku malam ini. Kalau aku tertidur, alamat amalan itu tidak akan selesai menjelang fajar.

“Apa guna mantra pembukaan langit, pembuka bumimu, Selasih. Bukankah itu dapat membantumu agar kau tidak mengantuk?” Suara Kakek Njajau. Masya Allah, benar sekali. Apa gunanya aku punya mantra itu jika tidak kumanfaatkan? Mantra yang hanya sesekali kulakukan agar bisa bertahan lama jika bertarung. Bukan untuk melawan hawa kantuk. Ternyata bisa juga dimanfaatkan untuk itu.

“Terimakasih kakek” Ujarku sambil tersenyum tersendiri. Muncul satu semangat dalam batin jika aku mampu melakukannya.

Entah rahasia apa di balik amalan ini, aku tidak tahu. Aku memaklumi mengapa Puyang Pekik Nyaring tidak memberitahuku apa tujuan amalan ini. Beliau khawatir jika muncul niat dalam batinku mengamalkan sesuatu karena mengharapkan sesuatu.

“Jangan pernah berharap sesuatu terhadap amalan yang pernah kita lakukan, Cung. Tapi munculkanlah rasa ikhlas pada lahir batin kita. Jika engkau mengharapkan sesuatu pada Sang Khalik, maka berdoalah, memohonlah. Bukan meminta imbang atas amalanmu” Suatu kali Puyang Pekik Nyaring pernah mengingatkanku. Sejak itu aku memang berusaha untuk hati-hati melakukan sesuatu agar tidak ada riak untuk dapatkan imbalan. Tapi berusaha melakukan sesuatu karena ikhlas. Dua sisi yang jika digaris sungguh sangat tipis. Hanya orang-orang yang memiliki keteguhan batin saja yang bisa menembus dan membacanya dengan jelas. Demikian kata kakek Andun waktu itu.

Usai sholat magrib aku dan Nenek Kam melanjutkan makan malam. Makanan yang diantar Nenek gunung dari Uluan kali ini terasa hambar. Aku sedikit memaksa agar perutku berisi. Bagaimana pun perintah Puyang Pekik Nyaring malam ini ikut berpengaruh pada jiwaku.

“Habiskan makanmu, jangan sampai mubazir masakan ini. Kita hanya berdua” Ujar nek Kam melihatku tidak terlalu bernafsu.

“Assalamualaikum. Biar aku saja yang menghabisakan makanannya, Nek. Dedek puasa sajalah malam ini” Tiba-tiba Macan Kumbang muncul dari balik pintu dapur. Macan Kumbang langsung melepas mantelnya, lalu duduk bersila di samping Nenek Kam, ikut makan.

Melihat kehadiran Macan Kumbang, muncul semangatku. Adik Nenek Kam satu ini meski kerap jahil, tapi menyenangkan. Aku merasakan energi positif jika dekat dengannya. Aku bisa terbuka dan bisa banyak bertanya padanya. Al hasil, makanan malam tidak ada sisa. Benar saja, Macan Kumbang bertindak jadi ‘petugas kebersihan’. Nasi dan lauk tidak ada sisa. Macan Kumbanglah yang menghabiskannya.

“Eeeuuh” Macan Kumbang sendawa sembari mengelus perut. Macan Kumbang kekenyangan hingga tak mampu lagi melipat perut.

“Alhamdulilah..akhirnya ketemu nasi juga hari ini, setelah dari pagi perutku belum terisi nasi” Kata Macam Kumbang sambil bersandar di bawah jendela.

“Ngapain saja kamu sampai tidak makan” Jawab Nenek Kam.

“Biasalah, membantu persiapan untuk ‘nuei rasan'” Ujar Macan Kumbang. Aku memandangnya sembari bertanya dalam hati. Apa maksudnya ‘nuei rasan?’ Rasan siapa? Bukankah Macan Kumbang sudah hendak bertunangan dengan Putri Bulan? Artinya mereka tinggal menunggu waktu untuk menikah.

“Mikir….mikir tuuu…anak kecil kalau tidak paham nuei rasan sekolah dulu” Macan Kumbang menatapku sambil sedikit melotot.

“Sekolah di mana?” Tanyaku ketus.

“Tuu ke bukit ijang” Mulutnya manyun menunjuk ke atau Bukit Selepah. Mendengar perdebatan kami Nenek Kam diam saja. Pikirnya sudah biasa mendengar debat kuda antara aku dengan Macan Kumbang. Kalau tidak ada debat, pondok Nenek Kam balak sepi.

Hiaaat…hat hat!

Aku menotok Macan Kumbang dengan cepat. Karena kekenyangan Macan Kumbang tidak bisa bergerak cepat. Beliau tidak menyangka aku akan menotoknya. Macan Kumbang tidak bisa bangkit dari duduknya. Badannya kaku seperti patung. Melihat tubuhnya tegang, aku tertawa terpingkal-pingkal.

“Ayo bangun pemuda ganteng. Calon pengantin yang baik hati.” Ujarku berdiri di hadapannya. Mata Macan Kumbang melotot menatapku. Mulutnya pun kukunci agar tidak bisa berbicara. Kulihat urat di kening dan lehernya menegang. Macan Kumbang berusaha melepaskan diri. Namun selalu gagal.

Aku sengaja melompatinya kadang melintas persis di hadapannya seolah-olah paling sibuk dan pura-pura tidak tahu. Macan Kumbang nampak pasrah. Dia tidak melakukan apa-apa lagi selain diam.

“Sudah, jangan ‘jutut bange’, Dek. Kasihan Macan Kumbang. Lepaskannlah” Ujar Nenek Kam mengingatkan aku.

“Yeiii mentang-mentang adiknya, dibela. Nenek sayang dengan bujang lapuk ini, Nek?” Tanyaku sengaja memandang Macan Kumbang.

“Sayanglah. Dia adik bungsu Nenek yang laki-laki. Baik, setia, penyayang” Ujar Nenek Kam memujinya.

Aku segera mendekati Macan Kumbang. Kudekatkan wajahku pada wajahnya. Aku pura-pura mengawasinya dari jarak dekat sambil memegang dagunya.

“Nek, lihat! Daun hidung Macan Kumbang ngembang-ngembang Nenek Puji. Hati-hati Nek, sekali lagi Nenek puji baik, setia, penyayang, bisa meledak hidungnya.” Godaku lagi. Wajah Macan Kumbang kembali merah. Di antara cahaya lampu cubok yang bergoyang-goyang kulihat rahangnya bergerak-gerak sehingga bulu-bulu lebat di sekitar pipi dan lagunya ikut bergerak-gerak.

Melihat Macan Kumbang tidak berdaya aku makin terpingkal-pingkal. Kali ini kudekati telinganya.

“Ayoooh…mana ajian ‘peghetas’ yang diwariskan Puyang dari Uluan. Mengapa tidak digunakan?” Bisikku lekat ke telinganya. Padahal aku lebih dulu membaca ajian penangkalnya sehingga Macan Kumbang tidak bisa mengamalkannya. Aku kembali terpingkal-pingkal menertawakannya. Sesekali jenggotnya kuelus lalu kutarik. Kumisnya juga kutarik pelan-pelan.

“Aduh, kasihan calon pengantin tak berdaya. Bagaimana kalau dilihat Putri Bulan, calonnya tak berdaya gara-gara kekenyangan” Ujarku makin jadi.

Setelah puas menggoda Macan Kumbang, akhirnya sampai juga waktu isya. Aku segera wudu, lalu menunaikan salat isya, kulanjutkan dengan salat hajat. Sebelum solat kubisikkan ke telinga Nenek Kam, agar membebaskan Macan Kumbang ketika aku sudah salat hajat dan mulai mengamalkan zikir yang dianjurkan Puyang Pekik Nyaring. Nenek Kam mengangguk setuju.

Aku memilih sudut pondok nenek Kam yang agak gelap tidak terjangkau cahaya lampu. Sajadah yang kubentang ke arah kiblat, kujadikan berlapis dua agar terasa sedikit empuk. Tak lama ketika aku baru saja hendak fokus, kudengar Macan Kumbang sudah dilepaskan Nenek Kam.

“Mana tikus sawah itu, Nek?” Suara Macan Kumbang bernada tinggi.

“Ssstttttt…jangan ganggu dulu. Dia sedang dapat tugas dari Puyang Pekik Nyaring untuk mengamalkan beberapa hal, dan harus selesai menjelang fajar” Suara Nenek Kam sedikit berbisik.

“Iih…ingin ‘kutekek’ kepalanya anak nakal itu” Macan Kumbang balas berbisik. Dalam hati aku bersyukur dapat terhindar dari balas dendam Macan Kumbang. Paling juga besok pagi, pertengkaran akan kami lanjutkan.

Sisa hujan masih terdengar menimpa daun kopi dan atap pondok Nenek Kam. Hanya suara kodok yang terdengar lantang. Tidak terdengar suara kelelawar berteriak ke sana ke mari memetik buah, atau jangkrik seperti orkestra membelah malam seperti biasa. Bumi dan seisinya seakan ikut terlelap menikmati malam yang dingin dan basah.

Semakin malam, suasana terasa hening. Suara renyai semakin jelas. Suasana terasa sangat berbeda. Namun justru seperti ini membuatku merasa nyaman. Aku tidak mendengar suara Macan Kumbang atau Nenek Kam lagi. Entahlah, apakah mereka pergi, atau sudah tidur aku tidak tahu. Hujan badai bukan halangan untuk dua makhluk itu pergi. Sepertinya siang malam hujan atau pun panas sama saja.

Tasbih digenggamanku terasa hangat. Perjalanan amalan yang kulakukan baru seperempatnya. Semakin malam, aku merasa semakin meluncur. Aku tidak memperhatikan kiri kanan atau pun yang lain. Tapi aku hanyut dengan tugas yang diberikan Puyang Pekik Nyaring.

Dari kejauhan ayam jantan berkokok sekali. Jantungku seperti hendak copot karena waktu sudah pukul satu dini hari. Artinya tinggal beberapa jam lagi, maka akan masuk fajar. Aku terus meluncur seperti kendaraan tanpa rem. Lama-lama kurasakan cahaya putih mulai membalut tubuhku yang sedikit bergetar. Dadaku seperti dihentak-hentak. Kadang kepalaku terasa mendongak sendiri. Padahal dari awal aku menunduk. Pelan-pelan tubuhku terasa terangkat. Semakin kencang semakin tinggi. Cahaya putih seperti asap yang menggulung tubuhku kadang berubah menjadi kuning, jingga, biru lalu keungu-unguan.

Aku terus mefokuskan diri merapal ayat berulang-ulang. Mataku terpejam. Namun aku merasakan seakan berada pada satu ruang sendiri. Persis seperti di dalam goa ketika itu. Bedanya, di sini aku masih terdengar suara renyai dan air jatuh dari atap ke tanah. Ruangan yang gelap, namun aku merasa terang melihatnya.

Telapak tanganku mulai berpeluh. Aku merasakan energi hangat pelan-pelan masuk ke dalam aliran tubuhku. Dadaku masih berdegup kencang ingin segera menggenapkan hitungan amalanku. Mata batinku makin terang ketika hitungan amalan tinggal beberapa puluh lagi. Aku masih tetap berusaha fokus untuk menyelesaikan dengan sempurna. Gigitan semut di bibirku kubiarkan saja. Kumatikan rasa agar tidak terasa sakit. Bisa jadi semut menggigit ini sengaja dihadirkan untuk membuyarkan amalanku.

Semakin dekat berakhir amalan yang hendak aku lakukan, semakin banyak pula godaan. Jika tadi bibirku yang digigit semut, sekarang giliran telingaku yang digigit. Bahkan semut itu sengaja masuk ke liang telinga mengorek-ngorek sehingga terasa gemerusuk berisik sekali. Jika tidak dilawan dengan menutup panca indera, alamat aku akan merasakan bumi berguncang dan langit runtuh. Gendang telinga terasa dipukul-pukul dan dicabik-cabik. Sekali lagi aku tidak mau amalanku buyar karena gangguan hewan kecil ini. Aku terus merapal.

Alhamdulilah, jiwaku yang tegang terasa rileks ketika masuk pada hitungan terakhir. Aku merasakan energiku habis akibat mengerahkan kekuatan batin untuk selalu fokus. Sebelum bangkit dan salat sunat dua rakaat, kuulurkan kaki yang lama terlipat. Rasa kibas muncul sesaat. Tak lama aku segera bangkit, berdiri dan melaksanakan salat sunat. Ketika membaca surah terakhir, tidak tahan aku menitikkan air mata. Entahlah, ada perasaan haru ketika pelan-pelan kuhayati ayat demi ayat. Selanjutnya aku duduk timpuh, seperti biasa melanjutkan zikir hingga pagi.

“Bangun…bangun Putri Selasih. Sudah waktunya bangun. Kita lanjutkan pertarungan kita” Macan Kumbang menarik-narik telingaku.

“Masih ngantuk” Ujarku sedikit malas sambil tetap terpejam.

“Heiii..sudah siang. Lihat matahari sudah muncul, pemalas!” Kali ini Macan Kumbang menarik selimutku. Sepertinya Macan Kumbang sengaja, mencari-cari agar aku marah. Aku kembali menarik selimut. Terjadilah tarik-tarikan. Rupanya beliau masih dendam gara-gara tubuhnya kukunci tadi malam. Aku tidak sadar jika aku tertidur di atas sajadah. Mukena saja masih kupakai. Entah siapa yang menyelimuti dan membantali aku. Kalau tidak Macan Kumbang, pasti Nenek Kam.

Rasanya aku baru saja terlelap. Mengapa kata Macan Kumbang matahari sudah muncul? Mataku masih terasa sangat berat. Aku membalikan badan untuk melanjutkan tidurku. Macan Kumbang berusaha menarik tubuhku agar menghadapi padanya. Rupanya beliau memang tidak suka aku tidur.

“Nek, Macan Kumbang ni mengganggu saja” Rengekku sambil memukul tangan Macan Kumbang.

“Teriak saja sesukamu. Sampai ke luang Ayek Gambegh pun tidak apa-apa” Kata Macan Kumbang. Aku mulai mangkel. Nenek Kam tidak tahu pergi ke mana. Pantas Macan Kumbang membangunkan aku. Sirik rupanya melihat orang tidur.

“Ayooo bangun anak kecil!” Kali ini Macan Kumbang menarik selimutku untuk kedua kali. Aku terus diam. Pelan-pelan kubuat tubuhku seperti dipaku. Jangankan di angkat, dibalik saja tidak bisa. Aku seperti besi lengket, lalu melanjutkan tidur kembali.

Jangan sebut Macan Kumbang jika menyerah begitu saja. Dia tahu kalau aku melakukan ajian pasak bumi. Akhirnya Macan Kumbang serius mengeluarkan ajiannya untuk melawan ajianku. Beliau berusaha melepaskan aku agar tidak kaku dan berat lagi. Ternyata beberapa kali Macan Kumbang terpental. Dicobanya lagi, lalu terpental lagi. Melihat Macan Kumbang beberapa kali terpental, akhirnya muncul juga rasa kasihanku. Rasa kantukku menjadi lenyap. Apalagi melihat nafasnya engos-engosan seperti habis berlari kencang. Bahkan sampai terbatuk-batuk.

Diam-diam aku lepaskan ajian pasak bumiku. Aku bangun melihat Macan Kumbang bersandar di dinding pelupuh hinggga agak melenggkung menahan berat badannya. Baru saja aku bangkit hendak menyambut tubuhnya, tiba-tiba Macan Kumbang menyerangku.

Hap…hap..hap!!

Aku ditotoknya seketika. Macan Kumbang tertawa puas melihat tubuhku kaku. Aku pura-pura berusaha melepaskan diri dan tidak bisa agar Macan Kumbang senang.

Ingin rasanya aku tertawa melihat Macan Kumbang joged-joged di depanku. Nampaknya puas sekali dia.

“Lepaskan aku Bujang Lapuk!” Ujarku pura-pura marah. Macan Kumbang makin menjadi lompat-lompat sambil tertawa.

“Gantiaaaan. Kemarin sore siapa yang menarik-narik kumisku. Sekarang rasakan, bagaimana rasanya dibelenggu. Rasakan anak nakal!”Lanjutnya sambil melet-melet.

“Jangan sombong, aku belum kalah. Aku masih bisa bicara wew” Lawanku.

“Biarin…biarin…sampai Nenek Kam pulang, kamu tetap akan seperti itu. Sekarang sudah siang, matahari sudah naik. Waktunya solat duhah. Aku mau wudu ke pancuran, selamat tinggal anak kecil” Macan Kumbang melangkah gembira.

Melihat Macan Kumbang berlalu, secepat kilat aku melepaskan diri lalu mendahuluinya ke pancuran. Sampai di sana aku tidak melihat Macan Kumbang. Ke pancuran mana dia? Aku celingak-celinguk mencarinya. Akhirnya aku memilih bersembunyi terlebih dahulu. Aku memilih bersembunyi di balik semak. Rencanaku, ketika Macan Kumbang turun ke pancuran, akan aku kagetkan. Aku memulai pengintaian. Agak lama, belum ada tanda Macan Kumbang datang. Aku menoleh kiri kanan ketika mencium aroma nenek gunung. Tapi sudah mengendap-ngendap tidak ada tanda-tanda nenek gunung ada di sekitar sini. Tapi aromanya terasa sangat dekat. Kembali aku mengendus-ngendus. Benar! Tidak salah. Ini aroma nenek gunung. Aku menjadi heran, mengapa baunya ada tapi makhluknya tidak muncul. Akhirnya aku diam sejenak mencari sumber aroma itu. Tapi ternyata ada kekuatan lain yang menghalangi aku menelusuri aroma nenek gunung itu. Beberapa kali penelusuranku terasa ada yang menepisnya. Aku makin penasaran.

“Hoi pengecut! Tampakkan dirimu. Kamu takut ya, makanya bersembunyi. Beraninya membokong dari belakang” Ujarku beberapa kali sambil terus waspada meningkatkan panca indera. Pikiranku langsung mengarah pada Macan Kumbang. Hanya makhluk satu itu yang suka menggodaku.

Menyadari jika aku dipermainkan, aku berniat pulang. Aku segera kembali ke pondok Nenek Kam lagi. Sampai di sana, kulihat Macan Kumbang tengah solat duhah. Dalam hati aku berpikir, kapan dia wudu? Akhirnya aku duduk di belakangnya. Memerhatikannya dan menunggunya selesai menunaikan ibadahnya. Ternyata, Macan Kumbang sengaja membaca ayat panjang-panjang. Mungkin satu jus surat yang dibacanya tiap rakaat. Entah sudah keberapa kali dia melakukan tahyat akhir, tapi belum selesai juga. Sementara aku sudah merasa pegal menungguinya dari belakang. Menyadari jika aku dipermainkan, akhirnya aku pergi ke dapur membuka tudung saji, mengambil wajik yang terasa dingin dan menyantapnya.

***

Baru saja aku meletakkan pantat di lantai hendak menyantap wajik kembali, tiba-tiba aku merasakan angin semilir. Tidak jelas dari mana asalnya. Nampaknya akan ada yang datang. Aku buru-buru minum dan menelannya. Lalu duduk bersila dan konsentrasi menyambut kehadiran tamu yang pasti sebentar lagi datang.


“Assalamualaikum Putri Selasih. Aku Kauman, sengaja menemuimu untuk menyampaikan pesan Puyang Pekik Nyaring dan menyerahkan ini padamu. Selanjutnya kamu ditunggu malam ini di Ulu. Pakailah ini untuk nanti malam. Akan ada pertemuan agung bersama puyang-puyang Besemah” Ujar Kauman mengenalkan diri dan menyebutkan tugasnya.

Aku menerima seperti selempang yang terbuat dari kulit kayu, tapi lembut dan elastis seperti kain. Ada motif rebung dan daun paku di sekelilingnya. Selempang yang hanya lebar kurang lebih lima belas centi meter dan panjang satu setengah meter ini nampak terasa berat. Padahal sangat tipis menurutku. Ada energi di dalamnya.

“Terimakasih Paman, In sya Allah aku akan datang” Ujarku sambil menerima selempang itu. Sejenak aku kembali mengamatinya. Aku takjub melihat selempang berwarna kulit ini. Lama aku menatapnya.

“Selempang ini sudah di bawa Puyang Pekik Nyaring ke tanah suci tujuh kali, dan dicuci dengan air zam-zam pun tujuh kali” Ujar Paman Kauman seakan tahu pikiranku. Aku tercengang dibuatnya. Sekali lagi aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Tak lama, beliau izin kembali ke Uluan. Seketika beliau lenyap dari hadapanku meninggalkan aroma wangi bunga.

Sepeninggal Paman Kauman, aku menatap selempang di tanganku berkali-kali. Kuamati setiap garis sisi pinggirnya. Aku bingung, ini dijahit apa diukir tidak bisa dibedakan. Dalam hati kagum dengan nilai seninya. Aroma harum selempang yang kupegang kuhirup dalam-dalam. Aku merasa ini benda sangat sakral karena sudah dibawa tujuh kali ke tanah suci, dan tujuh kali disiram air zam-zam oleh Puysng Pekik Nyaring. Pasti ada semacam hajat yang dilakukan Puyang Pekik Nyaring sehingga melakukan hal seperti itu.

Dalam hati aku bahagia sekali karena Puyang Pekik Nyaring berkenan memberikannya padaku. Sejak dulu aku memang tidak pernah meminta sesuatu, atau mengadu, merengek dan lain sebagainya pada beliau, mau pun pada kakek Adun, kakek Njajau dan lainnya. Bahkan saat terdesak dan nyaris mati pun aku tidak ingin membebani mereka. Padahal sudah sepantasnya aku bermanfaat pada mereka.

Selempang kubentang, dan kuangkat tinggi-tinggi. Selempang multifungsi bisa jadi syal dan sejati juga. Aku membatin. Sebelum aku mengalungkannya ke leher, aku mencoba mendalaminya. Mengapa kain yang terbuat dari kulit kayu tipis ini bisa terasa berat dan sangat padat. Kudeteksi energinya, memang terasa sekali. Telapak tanganku terasa disengat listrik. Aku mencoba mengimbangi energinya. Ketika kukombinasikan selempang ini dengan energiku justru membentuk gelombang energi baru terlihat menari-nari di udara. Tubuhku terasa sangat ringan. Secepat kilat aku mengendalikan diri. Pahamlah aku fungsi selempang ini. Ternyata bukan saja sebagai aksesoris, tapi berfungsi sebagai senjata yang maha dasyat yang dapat kugunakan kapan saja.

“Bukan hanya senjata, anak kecil. Tapi selempang ini semacam simbol jika apa yang kau miliki sudah sempurna.” Tiba-tiba Macan Kumbang berdiri di belakangku. Nadanya biasa meski memanggilku anak kecil. Selempang masih kubentang memajang.

Aku menatap Macan Kumbang penuh tanya. Apakah beliau masih dendam dan ingin mengajak duel aku? Ketika kulihat tidak ada gejala ‘iseng’nya lagi. Aku mendekati Macan Kumbang dan minta maaf atas perlakuanku tadi malam. Macan Kumbang tertawa meraih kepalaku, memeluk, dan mengusap-ngusap rambutku hingga kusut.

“Kalau bukan kau monyet kecil, sudah kulempar dan kuhanyutkan kau ke Endikat.. ” Ujar Macan Kumbang lagi. Kami pun tertawa berderai.

“Damai…damai. Aku mengaku kalah” Ujarku lagi. Melihat raut Macan Kumbang tersenyum gembira tanpa beban, legahlah batinku.

Adik Nenek Kam satu ini terlihat semakin matang. Memang sudah sangat pantas jika dia berumah tangga. Makanya sering kuejek ‘bujang lapuk’ karena menurutku sudah cukup umur untuknya mengakhiri masa lajangnya. Kata-kata itu semacam motivasi untuknya agar segera mengakhiri masa lajangnya. Sebab tidak sekali dua kali aku mendengar Nenek Kam mengingatkannya agar segera ‘bebunting’. Artinya segeralah beristri.

Tiba-tiba aku rindu Putri Bulan calon istrinya. Sekilas muncul perasaan sedih, jika Macan Kumbang dan Putri Bulan menikah. Tentu Macan Kumbang tidak akan bisa sebebas sekarang. Aku tidak bisa bermanja-manja seperti selama ini. Lalu nenek Kam bagaimana? Padahal sejak dulu Macan Kumbanglah yang selalu mendampingi kemana saja beliau pergi.

“Ndak usah dipikir, tikus kecil. Biarlah waktu berjalan apa adanya seperti air yang mengalir. Kita jalani saja skenario Allah” Macan Kumbang kali ini memanggilku tikus kecil. Tapi kubiarkan saja. Biarlah asalkan dia senang. Mau mengajaknya berantem kurang tepat momentnya.

Matahari terang benderang. Cahayanya jatuh di sela-sela daun kopi. Makin siang biasanya panas matahari makin terik. Udara lembab daun karena hujan seharian kemarin dan tadi malam sedikit menyengat. Nenek Kam belum pulang juga. Aku tidak mengetahui beliau ke mana.

“Kumbang, kita lihat buah sali yok. Siapa tahu ada yang masak” Ujarku rindu seperti dulu. Apakah ratu keghengge, semut besar berwarna merah itu masih tinggal di pohon itu? Sudah lama sekali aku tidak berkomunikasi denga satwa di dusun ini.

“Mana ada sali. Ini kan bukan musim panen kopi” Ujar Macan Kumbang. Aku jadi teringat ketika ke luang Ayek Gambegh melihat nenek gunung panen ghukam. Bagaimana dengan ghukam di kebun kakek Haji Yasir? Aku membatin.

“Ke kebun Kakek yok” Ajakku.

“Katanya ngantuk, mau tidur, kok malah ngajak jalan” Ujar Macan Kumbang.

“Ah, tanggung. Hilang semua kantukku gara-gara kejahilan bujang lapuk.” Ujarku sembari berdiri. Mendengar aku masih menyebut bujang lapuk, Macan Kumbang melotot. Aku menertawaknnya. Aku tahu beliau pura-pura marah.

Aku dan Macan Kumbang berjalan ke hilir kebun Nenek Kam terlebih dahulu sambil bercerita tentang Puyang Pekik Nyaring yang menyuruhku pulang ke Uluan malam nanti. Jika ada kaitannya dengan amalan yang kulakukan, bukankah beliau telah mengirimkan selempang sebagai simbol “selesai” kutunaikan. Menurut Macam Kumbang pasti ada hal yang sangat penting mengapa aku disuruh pulang ke Uluan. Kami masih terus berjalan pelan, tanpa terasa kami sudah sampai di sisi pamah (rawa-rawa) di sudut kebun Nenek Kam yang ditumbuhi genjer. Yang lebih menarik, aku melihat di sini terhampar berbagai kehidupan makhluk asral. Mereka makhluk-makhluk asral air yang berdiam di pamah dengan nyaman. Kulihat tidak terlalu berefeks pada bangsa manusia yang berkebun di sekelilingnya. Menurut Macan Kumbang, pamah ini zaman dulu adalah tebat (kolam) para Puyang. Tempat Puyang memelihara ikan. Tapi sekarang, semakin banyak orang, tebat ini semakin tidak terurus. Dulu tebat akan dipelihara sama-sama dan dinikmati sama-sama pula hasilnya.Sekarang sudah jauh berubah, masyarakat lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Banyak tebat puyang terbengkalai, bahkan sekarang dikuasai oleh satu orang dan merasa mil pribadi.

Macan Kumbang berhenti sejenak di semakin-semak. Keremunting yang berbuah lebat dan masak menarik perhatiannya. Beberapa buah dipetik dan langsung dimakannya. Melihat buah keremunting yang sudah merekah aku pun ikut memetik dan memakanannya. Buah perdu yang tumbuh di semak belukar ini terasa manis. Tangan dan mulutku berubah menjadi ungu. Aku jadi ingat masa kecilku, setiap hari akan memetik keremunting dan langsung memakannya di samping pohon. Lalu pulang, dengan gigi dan bibir berwarna ungu. Kali ini aku bersama Macan Kumbang. Rasanya aku kembali ke masa kecil. Berjalan menembus semak belukar ditemani Mang Arsun tanpa ada rasa takut sama sekali. Memetik daun pakis yang tumbuh di hutan kecil pinggir sawah, mencari belut, ikan kecil, anak ketam di siring-siring aliran sawah.

Matahari mulai terasa menyengat. Aku mencoba menutupi wajahku yang perih ditampar sinar matahari dengan daun agak lebar. Macan Kumbang sesekali menepis daun pelindungku.

“Matahari itu baik untuk bangsa manusia, Dek. Lain dengan bangsa nenek gunung, menyilaukan” Ujar Macan Kumbang.

“Tapi terasa perih dikulit, Tuan. Sementara suhu di sini masih dingin” Ujarku sambil mengunyah buah keremunting yang merekah hasil petikan Macan Kumbang.

Cukup lama kami berada di semak belukar samping pamah ini. Macan Kumbang senyum-senyum menatapku. Pasti dia hendak menertawakan karena mulut dan gigiku.

“Iiihhh” Aku nyengir selebar-lebarnya ke hadapannya. Macan Kumbang tertawa terpingkal-pingkal. Dia tidak sadar kalau wajahnya pun terlihat aneh karena gigi dan bibirnya berubah ungu kehitaman.

“Dek, kamu terlihat tiga puluh tahun lebih tua dengan gigi dan bibir hitam seperti ini. Ini tongkat” Macan Kumbang meraih ranting yang tergeletak lalu menyerahkannya padaku. Kuambil, lalu aku berjalan membungkuk sambil sengaja kubuat pengkor dan gemetar.

“Mari Cu, kita pulang. Nenek melata kepanasan. Mataalinya menyengat tekali” Suaraku kubuat bergetar dan cedal Macan Kumbang terpingkal-pingkal. Bahkan berguling-guling di semak ketika melihat aku terus berjalan dan berbicara seperti nenek tua. Aku tidak peduli melihat Macan Kumbang. Aku terus berjalan sembari pura-pura ngomel sepanjang jalan. Itung-itung berlatih akting. Sudah lama tidak berteater. Aku sudah rindu panggung.

“Apa-apaan Dek? Kamu kenapa? Tiba-tiba Nenek Kam ada di hadapanku entah muncul dari mana.

“Habis memetik buah dedughuk (keremunting), Nek. Nenek dali mana pagi-pagi sudah menghilang? Tidak tahu kalau cucu Nenek mencali sejak pagi?” Aku masih bergaya nenek-nenek. Nenek Kam malah ikut tertawa melihatku.

“Kenapa teltawa Nek, apa ada yang lucu? Jangan ikut-ikutan bujang lapuk itu” Tongkat kuarahkan pada Macan Kumbang. Melihat aku tetap berakting dan berjalan meninggalkan mereka berdua, Nenek Kam dan Macam Kumbang tertawa makin jadi. Bahkan Nenek Kam mengusap matanya dengan ujung tengkuluk karena berair mata.

“Aeeeh haiii..kenambeee” Ujar Nenek Kam sedikit keras dengan sapaan kenambe sebagai ungkapan rasa sayang yang sangat.

“Mengapa gigi dan bibirmu hitam, Dek?” Tanya Nenek Kam masih tertawa. Aku senyum-senyum dalam hati. Aku tahu Nenek Kam geli melihat tingkahdan bibirku.

“Aku habis makan silih, Nek. Cuma silih yang saya makan, silih belasal dari alam gaib” Ujarku menahan diri untuk tidak tertawa. Tawa Macan Kumbang dan Nenek Kam kembali meledak. Andai saja ada orang yang melihat, pasti mereka mengatakan aku dan Nenek Kam sudah gila. Karena Macan Kumbang tidak nampak oleh kasat mata. Keduanya masih terkekek-kekek sambil berpegangan di pohon kopi

Aku berjalan menuju pulang. Kadang sengaja aku buat seperti he dak jatuh. Nenek Kam dan Macan Kumbang nampaknya sudah berjalan di belakangku. Sepanjang jalan aku masih terus bergaya seperti nenek tua dengan tongkat di tangan.

“Nek, belok kiri, jangan nabrak-nabrak ya” Teriak Macan Kumbang dari belakang.

Aku berhenti sejenak lalu menoleh.

“Tidak usah kau ajalkan aku, Cung. Nenek masih hafal jalan pulang” Sahutku yang disabut kembali derai tawa keduanya. Biarlah mereka puas tertawa. Kapan lagi berakting lucu untuk mereka. Selama ini aku selalu serius. Bahkan sangat serius. Kadang otak dan perasaanku serasa dijejal beban yang sangat berat. Kalau sudah seperti ini aku rindu rekreasi.

Sejak pulang liburan aku merasa tidak sebanding antara sibuk di alam gaib dengan hidup di alam nyata. Makanya waktu sangat berharga bagiku. Apalagi jika ada kesempatan bersama kekek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Bercerita, mendengar nasehatnya sambil minum kopi dan menghisap rokok nipah. Duduk di garang atau di dalam dekat jendela. Atau keliling kebun memperhatikan kembang dan buah kopi satu-satu. Kadang membantu mereka sekadar mencabut rumput, menarik kayu singgah (benalu) yang tumbuh di batang kopi, memancing di pauk Betelongh dan lain sebagainya. Atau membawa air kopi satu termos lalu kami nikmati di bawah pohon kopi sambil bercengkrama. Kakek akan membakar ranting membuat api kecil sekadar pengusir nyamuk. Asap akan mengepul kecil menari di antara dahan kopi. Suasana yang damai seperti itu paling kusuka.

Akhirnya kami sampai juga di pondok Nenek Kam. Ranting yang kugunakan sebagai tongkat kuletakkan di pinggir tangga.

“Tolong jaga tongkat nenek ya, jangan sampai hilang. Kalau hilang, maka kau halus cali gantinya” Aku masih bertahan dengan aktingku. Lalu naik tangga dan masuk seperti biasa. Di dalam pondok Nenek terasa dingin seketika. Aku melepaskan sepatu sembari memeriksa kakiku dari gigitan pacat.

Kening dan leherku terasa basah. Ternyata muncul juga anak peluh. Aku menyekahnya dengan handuk kecil yang sengaja kusimpan di dalam kantong jaket. Aku berniat hendak minum ketika kudengar ada yang naik tangga dapur. Aku segera membuka pintu. Ternyata ada Ibung Sanah mengantarkan makanan pesanan Nenek Kam untuk makan siang. Ibung Sanah salah satu kerabat Nenek Kam dari Uluan golongan nenek gunung atau manusia harimau. Aku menyambutnya dengan suka cita. Kuintip bawaannya. Sepertinya paisan jamur gerigit. Aroma khasnya mengundang selera. Masakan kesukaan Nenek Kam. Aku ingat petai cina di samping pondok sedang berbuah lebat. Baru saja berniat hendak mengambilnya untuk lalap makan nanti, tenyata Macan Kumbang sudah lebih dulu mengambilnya. Beliau membawa beberapa tampuk besar ke pondok. Aku menelan ludah. Rasa ingin segera mencicipi masakan dari Uluan. Paisan jamur yang dibungkus dengan daun keladi, dengan lalap petai cina. Menu Besemah yang klop. Apalagi kalau ada pighek goreng atau ikan seluang. Anganku menghayal membayangkan masakan kampung yang mengundang selera itu.

“Dek, nanti sebelum mandi kamu remas daun ini, pakai untuk bilas terakhirmu. Nanti malam kita ke Uluan” Ujar Nenek Kam.

“Jadi tunda dulu untuk pulang ke pondok kakek Haji Yasir” Ujar Nenek Kam lagi sambil menyerahkan dedaunan yang mirip daun kerinyu. Baunya khas sekali. Tapi lama-kelamaan aku pusing menciumnya. Ada beberapa macam dedaunan yang diikat Nenek Kam jadi satu.

“Kapan mandinya, Nek? Sekarang apa nanti?” Tanyaku.

“Sore nanti saja” Lanjut Nenek Kam. Aku terbayang dinginnya air pancuran. Siang terik saja airnya terasa dingin. Apalagi sore hari. Aku meletakkan daun yang diberikan Nenek Kam ke dalam ember.

Kruuuukk…kruuukk!

Perutku berbunyi krayak-kruyuk.

“Nek, makan yuk” Ujarku. Perutku terasa melilit minta makan. Pikiranku selalu ke paisan jamur. Untung Nenek Kam mengangguk. Biasanya beliau menyuruhkan makan lebih dulu. Aku segera menghidangkan makanan yang diantar Ibung Sanah tadi. Aku makan semangat sekali. Paisan jamur gerigit ludes kami santap bertiga. Ditambah pula lalap petai cina. Makan semakin terasa sempurna.

Usai makan, aku segera turun pondok. Matahari pas di atas kepala. Artinya waktu sudah tengah hari. Sebentar lagi waktu salat zohor. Untuk mengisi waktu aku turun pondok. Macan Kumbang asyik berbincang-bincang dengan Nenek Kam. Dari garang aku mendengar jelang tengah malam aku sudah harus ada di Uluan. Setengah terdengar dan tidak, kata Nenek Kam akan banyak sesepuh yang berkumpul di sana.

“Ada ritual apa Nek, apa ada kaitannya dengan Selasih?” Tanya Macan Kumbang.

“Iya, justru pulang ke Uluan itu karena ada kaitan dengan Selasih. Makanya sebelum ke sana Selasih harus mandi dengan ramuan sepulus urat. Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku tidak paham apa ramuan sepulus urat. Pasti dedaunan yang diberikan tadi. Sayang aku banyak tidak paham nama rumput-rumputan. Tapi selain daun yang mirip dengan kerinyu, aku melihat rumput pecut kuda dan selusur urat. Ada juga daun jeruk purut, lalu daun-daun kecil keriting pada waktu aku kecil sering kugigit-gigit karena rasanya sangat asam.

“Dek, mau kemana?” Suara Macan Kumbang.

“Nyari angin, sambil metik labu siam” Ujarku berjalan ke samping pondok Nenek Kam. Aku mendongak mencari buah labu siam.

Baru saja hendak memetik buah labu siam yang terlihat sudah pantas untuk dipetik, berwarna hijau tua, tiba-tiba aku dikagetkan dengan benda bergerak-gerak warnanya persis seperti warna labu siam. Kuamati, ternyata kepala ular berwarna hijau. Instingku langsung berkata jika ular ini bukan ular biasa. Aku melihat bintik putih di kepalanya, mirip sebuah mahkota.

“Assalamualaikum Putri Selasih” Sapanya. Aku langsung menjawabnya.

“Siapa engkau sebenarnya? Mengapa siang-siang ada di sini?” Tanyaku.

“Rumahku jauh di jalan menuju luang Ayek Gambegh. Aku kemari hanya menumpang berteduh karena cuaca sangat panas, Selasih. Sekaligus ingin melihatmu dari dekat” Ujarnya lagi. Aku semakin heran. Apa yang membuatnya tertarik sehingga nekad datang ke mari dan ingin melihat aku?

“Ada apa denganku? Eh maaf aku harus panggil apa?” Pertanyaanku terputus. Kudengar si ular berdehem kecil. Lalu mengenalkan diri. Namanya Radus. Selanjutnya beliau bercerita, dia melihat apa yang aku lakukan ketika menolong warga dusun luang Ayek Gambegh. Bahkan katanya, dia juga menyaksikan bagaiman aku bertarung melawan dukun dan godhamnya.

“Mengapa kamu mengikuti aku?” Tanyaku lagi.

“Aku hanya kagum padamu. Kagum kebersihan batinmu, kagum juga dengan kepribadianmu. Jarang sekali aku menemukan bangsa manusia sepertimu. Kebanyakan yang kutemukan adalah manusia sombong dan tamak. Dukun-dukun yang memakai topeng seakan orang baik dan alim. Ketika diajak kebaikan tidak lepas untuk minta dipuji. Ketika ada yang meminta tolong untuk mencelakai seseorang, maka dia pun melakukannya dengan dalih ‘menolong’. Tentu saja dengan imbalan. Mencari nafkah dengan cara tidak benar” Ujarnya lagi.

“Tapi aku bukan dukun, Radus. Aku hanya membantu ketika ada saudaraku dari golongan makhluk halus sebabgsamu yang teraniaya” Sambungku. Radus tertawa ringan.

“Aku tahu siapa kamu, Putri Selasih. Aku juga tidak me yebutmu dukun. Kamu adalah cucu Puyang Pekik Nyaring, penguasa kerajaan Merapi gunung Dempu. Kamu juga kesayangan Nenek Kam” Ujarnya lagi. Aku memaklumi jika makhluk ini tahu segalanya. Itulah salah satu kelebihan makhluk halus, di antaranya dia bisa membaca pikiran kita, bisa membaca masa lalu dan masa yang akan datang seseorang, bisa membaca peristiwa dan lain sebagainya. Banyak juga dukun yang dianggap memiliki kepandaian seperti itu, padahal dia dibantu oleh bangsa jin sebagai ghodam pendampingnya yang membantu aktivitas perdukunannya. Namun ada juga semacam karoma yang dimiliki oleh manusia-manusia tertentu karena ketaatan dan kedekatannya pada Sang Maha pencipta. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di bumi ini. Termasuk juga kepandaian sebagai warisan turunan yang dibantu oleh jin-jin nasab dan lain sebagainya.

“Bagaimana setelah bertemu denganku, Radus? Lain kali jangan mengintai lagi. Sebab salah-salah kena serangan gelap nanti. Kukira maling” Kataku sambil tersenyum. Radus mengangguk sambil ikut tersenyum. Lelaki seusia Macan Kumbang ini mengeliat di antara daun labu siam yang masih muda.

“Izinkan aku lain kali main ke mari, Putri Selasih. Senang bisa mengenalmu. Sekarang, aku izin untuk pulang. Assalamualaikum” Radus turun dari pohon labu berjalan cepat dan menghilang sebelum aku selesai menjawab salamnya. Aku heran, mengapa aku tidak mengetahui kehadirannya dari awal? Akhirnya aku memetik beberapa buah labu siam akan kurebus untuk makan malam nanti.

Aku baru saja berniat naik tangga ketika angin berhembus pelan dari arah Barat. Ada apa lagi ini? Aku membatin. Sebab gejala seperti ini pasti akan ada yang datang. Aku mengurungkan naik. Labu siam yang baru kupetik kuletakkan di dalam bakul yang tergantung di bawah garang.

Ketika angin semakin kencang, aku berdiri fokus di pangkal tangga. Tak lama kulihat dua sosok turun dari punggung dua nenek gunung. Dua lelaki gagah. Setelah kutatap, satu sosok tak asing lagi, yaitu Gundak. Aku mengembangkan senyum sambil menatap lelaki gagah di sampingnya yang berjalan sambil tersenyum lebar. Aku mengira-ngira siapa dia. Rambutnya dibiarkannya tergerai ikal sampai ke bawah bahu. Tidak seperti gundak, rambut disanggulnya tinggi.

“Gundak! Tumben ke mari siang-siang!” Ujarku mengulurkan tangan.

“Iya, demi ini” Ujarnya menunjuk lelaki di sebelahnya yang terus tersenyum.

“Kamu sudah tidak kenal dia, Selasih?” Tanya Gundak. Aku menatap lekat-lekat kawannya. Mirip Gali. Tapi aku ragu. Apakah benar dia Gali? Andai benar, mengapa jauh berbeda dengan Gali dulu. Lelaki ini berbadan tegap, tinggi, rahangnya menonjol, tatapannya tajam, rambutnya panjang. Jika berdiri sama-sama, paling aku hanya sebatas ketiaknya.

“Sungguh kamu tidak kenal kawanku ini, Selasih?” Gundak kembali bertanya.

“Gali ya” Tanyaku ragu. Orang yang kusebut Gali tertawa. Setelah mendengar tawanya barulah aku sadar jika di hadapanku benar Gali. Aku segera meraih tangannya dan menyalaminya kencang sekali. Dia pun demikian. Tawanya pecah sebagai ekspresi kegembiraan pertemuan itu. Sementara Gundak langsung naik mencari Nenek Kam.

Setelah puas tertawa, bahkan saling tepuk, akhirnya aku mengajak Gali naik pondok.

“Sudah berapa lama kita tidak berjumpa, Selasih. Sudah lama sekali” Ujar Gali sambil menaiki anak tangga.

“Jika di alamku, kita tidak bertemu sekitar lima atau enam tahun, Gali. Tapi kalau di alammu, mungkin empat atau lima puluh tahun” Lanjutku asal-asalan karena malas menghitung rentang waktu alam ghaib dengan alam nyata yang memang sangat berbeda. Gali membenarkan. Sungguh rasa bermimpi aku bisa kembali berjumpa dengan Gali. Nenek Kam menyambut kedatangan Gali sambil bertanya kabar Bak, Umak, dan seorang sahabat Nenek Kam di dusunnya. Sejenak Gali dan Nenek Kam terlibat obrolan tentang orang-orang di kampungnya. Sementara Macan Kumbang dengan Gundak, asyik membicarakan persiapan pertunangan dan pernikahan.

“Itu dua calon pengantin serius sekali. Bagaimana denganmu Gali, apakah sudah berumahtangga apa belum?” Tanyaku setelah melihat Gundak dan Macan Kumbang berbincang sangat serius.

“Belum ada yang mau. Rencana mau minta carikan jodoh sama Nenek Kam” Ujarnya bercanda. Nenek Kam tertawa mendengarnya.

“Mau yang muda apa yang tua, Gali?” Nenek Kam balik bertanya.

“Yang mana saja, Nek. Yang penting cocok” Canda Gali lagi.

“Nah kalau begitu sama saya saja, sudah tua dan cocok” Nenek Kam balik bercanda. Pondok Nenek Kam seperti hendak roboh ketika kami tertawa serentak. Aku terpingkal-pingkal dibuatnya. Baru kali ini aku mendengar Nenek Kam bercanda rada genit

“Masya Allah, Nek” Ujarku tak mampu melanjutkan kata-kata saking gelinya.

“Lah iyalah, kalau mau dengan yang tua jangan tanggung-tanggung. Apalagi yang dicari? Nenek kan sendiri” Tambah Nenek Kam lagi.

“Oh! Tidak! Jangan lanjutkan lagi, Nek. Sakit perutku. Meski Nenek bercanda, tapi kedengarannya menggelikan, Nek!” Ujarku jujur. Tenyata Gali pun menyambut candaan Nenek Kam.

“Tepat sekali, Nek. Tidak masalah. Asalkan jangan terlalu besar dan banyak pintak’an (mahar). Sedekah sepetang jadilah” Tawa kami pun kembali berderai sulit untuk dihentikan. Aku dan Gundak sampai memegang perut dan rahang karena pegel. Entah setan mana yang merasuki Nenek Kam dan Gali siang ini. Ah, pertemuan yang menyenangkan.

Setelah puas tertawa, akhirnya kami bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Dari Gali kuketahui jika kerajaan ratu ular buaya di dasar danau telah berdiri kembali. Namun mereka tidak mau lagi mengganggu bangsa manusia seperti kelakuan enam pengawalnya dulu.

“Nampaknya mereka mulai sadar ketika kerajaan mereka kau obrak-abrik. Mungkin mereka trauma, dan takut jika kembali bertemu denganmu” Ujar Gali. Aku tertawa. Padahal belum tentu aku akan menghancurkan mereka ke dua kali jika mereka tidak melakukan kesalahan merugikan orang lain atau mengganggu diriku.

Usai solat asar, Gundak dan Gali mohon diri untuk pulang. Ternyata Gali belum akan pulang ke Ranau. Dia akan menginap beberapa malam di tempat Gundak. Mendengar itu, aku berjanji akan ke sana malam besok bersama Macan Kumbang. Sebenarnya dia mengajakku malam ini, tapi ketika kusampaikan jika aku akan pulang ke Uluan, Gundak dan Gali memahami. Akhirnya keduanya kembali pulang menunggang dua nenek gunung yang gagah.

Usai Gundak dan Gali pergi, aku segera mandi dengan ramuan yang diberikan Nenek Kam. Air pancuran yang menggigit membuat darahku seperti beku seketika. Terakhir aku mandi air ramuan yang sudah kutampung dengan ember terlebih dahulu. Aroma wangi membalur tubuhku. Dalam hati aku memuji kehebatan nenek moyangku. Rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar kita ternyata banyak yang memiliki khasiat. Buktinya campuran dedaunan rumput yang kuremas ini menghasilkan bauan khas yang tidak ada jualnya di tokoh parfum. Aromanya segar sekali.

Matahari kian condong. Banyanganku terlihat makin panjang pertanda matahari akan tergelincir. Macan Kumbang berulang kali dibangunkan Nenek Kam, tapi tetap saja ngorok. Bergerak pun enggan. Melihat tidak ada niat untuk bangun, tanganku yang masih basah kuusapkan ke wajahnya. Matanya melek sebentar lalu tidur lagi.

“Halah Nek, percuma bangunkan Kumbang. Biarkan sajalah tidak usah dibangunkan. Kita tinggalkan saja dia sendiri si sini” Ujarku. Nenek Kam Tidak menjawab, tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Akhirnya aku ke dapur merebus labu yang kupetik tadi siang.

Aku merasakan sedikit hangat ketika api di tungku sudah mulai menyala. Dalam waktu singkat panci berisi labu siam sudah mendidih. Aku sengaja duduk bediang menghangatkan punggung membelakangi tunggku api. Hal yang kerap dilakukan oleh orang-orang di dusunku. Bediang di perapian demi menghngatkan tubuh.

Di sela dinding pelupuh dapur yang sudah renggang, sekilas aku melihat kepakan keluang (kalong besar) menuju hulu seperti biasanya. Pertanda hari sudah petang. Burung taktarau sudah berkicau sejak tadi. Pelan-pelan bumi akan mengatup, gelap. Di timur, gajah ngesai bulu masih perpejar rapat. Aku menikmati senja membaca waktu dari sela-sela pelupuh. Pandangan yang mampu membawa anganku jauh merantau ke mana-mana. Muncul rinduku pada sekolah, teman-teman mainku, teman-teman pecinta alam, rindu pantai, dan ombak.

Aku memutar badan setelah punggungku terasa panas. Kukembang-kembangkan telapak tangan. Sesekali kaki kiri dan kanan kudekatkan dengan nyala api. Dalam waktu singkat, aku merasa. darahku mencair. Suara ngorok Macan Kumbang makin santer. Persis seperti sapi disembelih. Pikiranku masih melayang jauh. Kali ini aku ingat pengalaman-pengalaman gaibku bersama Eyang Kuda. Nyaris pantai Bengkulu sudah kami ubek-ubek berdua. Aku menjadi risau kala ingat sebentar lagi bakal menyelesaikan sekolah. Aku belum tahu akan melanjutkan ke mana. Sementara dorongan hati ingin sekali bisa melanjutkan kuliah. Dalam batin ingin sekali pergi merantau. Jauh dari Bengkulu, jauh pula dari Seberang Endikat. Tapi kala melihat Bapak dan Ibu masih terus banting tulang mencari nafkah, muncul pula perasaan kasihan. Keinginanku ciut.

Aku teringat perkataan kakek Njajau suatu ketika. Beliau mengingatkan aku dengan mengatakan seperti lelaki saja, jiwaku selalu ingin pergi merantau. Lalu kakek Andun pun pernah juga berkata, tahi lalat di telapak kaki kanan Putri Selasih merupakan petanda jika dia akan pergi dan jauh dari tanah Besemah. Kalau teringat ini, aku tersenyum sendiri. Ada kebahagian tersembunyi karena dari nada-nada itu pada dasarnya kedua kakekku sebenarnya tidak menghendaki aku jauh. Bukan karena khawatir, namun kebersamaan seperti saat ini tentu tidak akan sekerap sebelumnya.

“Taktaraw…taktaraw” Suara burung taktaraw makin lama makin kencang. Burung kecil yang tak tahu seperti apa bentuknya itu sepertinya terbang ke sana kemari. Seperti biasa burung kecil itu mengingatkan alam semesta jika magrib sudah tiba. Aku segera bangkit untuk menunaikan kewajibanku. Sementara Nenek Kam sejak menjelang magrib sudah berzikir khusuk di atas sajadah.

Sapu kusentuh-sentuhkan ke kaki Macan Kumbang. Tidak juga terbangun. Kupukul-pukulkan belum juga terbangun. Akhirnya kupukul dengan menambahkan sedikit tenaga.

“Uuuah!” Macan Kumbang terperanjat. Matanya langsung terbuka lebar dan duduk. Sekilas matanya nanar menoleh ke sana-kemari. Ekspresinya lucu sekali. Kesadarannya belum pulih seratus persen. Matanya masih kedap-kedip. Aku memerintahkannya untuk solat dengan memberi aba-aba. Macan Kumbang masih duduk seperti orang sangat lelah.

“Magrib atau apa sudah isya si?” Ujarnya mengisi wajah.

“Magrib,Kumbang. Dibangunkan dari tadi tidak terbangun-bangun juga.” Ujar Nenek Kam sambil melipat sajadah. Mendengar itu Macan Kumbang segera bangkit. Nampaknya dia pergi ke pancuran. Mungkin sekalian mandi.

Aku masih duduk di sajadah melanjutkan wirid yang belum tuntas. Di luar sudah gelap. Udara dingin dan kabut sudah mulai turun. Alam sejenak hening. Hanya sesekali suara jangkrik mengerik pendek. Di kejauhan burung limuk’an sekali mendengkur. Burung cantik berwarna abu dengan leher bergaris biru campur kuning di itu pun menjadi pertanda waktu. Dia akan mendengkur setiap pukul setengah tujuh malam, dan pukul lima pagi. Bertepatan dengan waktu magrib dan subuh di Seberang Endikat ini. Ketika aku bangkit melipat sajadah, Macan Kumbang sudah berada di sampingku. Mencium aromanya, nampaknya beliau sudah mandi. Selanjutnya aku duduk mendekati nenek Kam yang tengah menyusun lembar daun sirih. Aku ikut-ikutan membersihkan dan menyusunnya di kotak sirih Nenek Kam sembari bercerita menunggu Macan Kumbang usai solat lalu berencana makan malam.

***

Aku masih khusuk berzikir sesuai perintah Puyang Pekik Nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Satu jam lagi, aku akan dijemput, lalu bersama Macan Kumbang dan Nenek Kam akan berangkat ke Uluan. Sejenak aku terpikir, busana apa yang harus aku kenakan malam ini? Apakah aku harus pakai busana yang diperoleh dari masjid di perut bukit usai tirakat tempo hari? Ingin bertanya dengan Macan Kumbang dan Nenek Kam mereka juga sedang khusuk ibadah. Namun yang jelas, selempang yang diantarkan Paman Kauman pagi tadi, sudah bertengger di leherku. Aku merasakan tubuhku semakin ringan. Bahkan sangat ringan.

Tepat pukul sepuluh, aku merasakan ada hawa yang akan datang. Aku memperkirakan yang datang adalah utusan dari Uluan. Macan Kumbang dan Nenek Kam sudah siap-siap. Mereka berdua memakai pakai kebesaran masing-masing. Macan Kumbang dengan mantel gelapnya, sedangkan Nenek Kam dengan mantel lorengnya. Keduanya sudah berubah menjadi nenek gunung yang gagah.

“Assalamualaikum, Nek Kam” Suara dari bawah pondok. Kami menjawab serentak. Macan Kumbang segera membuka pintu. Di antara cahaya lampu cubok yang remang-remang, aku melihat bayangan seorang lelaki besar tinggi seperti pendekar. Setelah dekat, tahulah aku. Beliau adalah salah satu pengawal di kerajaan kecil Puyang Pekik Nyaring.

“Aku disuruh menjemput kalian, Nek. Putri Selasih bersamaku. Ini bajumu, Selasih” Ujar Paman penjaga sembari memberikan pakaian yang dibungkus dengan kain sutra bermotif pelangi. Aku mengucapkan terimakasih, sambil membuka bungkusannya. Ternyata pakaianku sejak dulu. Setahuku baju ini ada dengan nenek Ceriwis yang kupakai ketika aku masih kecil dulu untuk melawan tiga dukun dari Banten. Aku sedikit ragu, apakah pakaian ini masih muat pada tubuhku? Aku bukan anak kecil lagi, tapi sudah remaja. Sebentar lagi akan kuliah.

“Pakailah, Selasih. Baju ini memang milikmu. Baju ini tindakan kebesaran atau kekecilan. Karena milikmu, maka selamanya jadi milikmu. Hanya saja selama ini masih disimpan di Uluan, sekarang baru boleh kau simpan sendiri” Lanjut Paman pengawal lembut. Aku segera mengenakannya. Masya Allah! Benar! Baju ini tetap muat di tubuhku. Aku telah berubah menjadi sosok seperti pendekar perempuan dibungkus baju loreng berwarna putih lengkap dengan ikat kepala dan aksesoris lainnya, gelang dari akar, ikat kepala seperti kulit kayu. Dulu aku sangat bangga mengenakannya. Pakaian ini sangat cocok dengan karakter. Ringkas dan simpel.

Setelah semuanya beres kami ke luar pondok. Aku mengiring di belakang paman penjaga. Menyusul Macam Kumbang dan Nenek Kam. Kabut dari bukit sudah mulai turun. Aku langsung naik ke punggung Paman pengawal, mendekap pundaknya. Tak lama aku seperti diajak melayang menembus kabut dan hutan. Nenek Kam dan Macan Kumbang di belakang kami, berbarengan.

Sebenarnya aku kurang suka diperlakukan seperti ini. Aku ingin pergi dan pulang sendiri tanpa harus diatur itu ini. Apalagi harus dikawal segala. Aku kurang suka suasana formal dan berlebihan. Apalagi jika berhadapn denganku, ada yang kikuk dan segan, bahkan m3ncium tangan. Justru aku dibuatnya kikuk. Aku selalu ingat pesan Kakek Andun bahwa jangan bangga ketika kita dipuji dan dimuliakan. Siapa tahu pujian dan sikap memuliakan itu adalah ujian. Pujian dan kehormatan dapat membuat kita terlena, lupa diri, pongah. Ketika berjalan jangan lupa dengan rumput di bumi. Selanjutnya, jika kita bisa melakukan segala sesuatu sendiri, maka jangan pernah meminta apalagi menyusahkan orang lain. Ketika ada orang yang terpuruk, maka janganlah sesekali kamu hina, jika tidak bisa menolong maka doakanlah. Kemudian, bantulah seseorang yang butuh bantuanmu dengan ikhlas, sesuatu kemampuanmu. Dan jangan pernah meminta balasan atau imbalan. Yakinlah, jika kau mampu menjaga dan mengendalikan diri, niscaya seisi alam semesta akan mendoakanmu. Demikian suatu kali kakek Andun menasehati aku. Aku selalu ingat itu. Demikian juga nasihat Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Untuk itulah ketika dijemput membuatku tidak nyaman. Aku takut perlakuan istimewa ini terselip rasa bangga di hati.

Akhirnya untuk hari ini, aku pasrah saja. Aku mencoba mengikuti aturan dari Uluan. Aku akan patuh sesuai perintah Puyang Pekik Nyaring. Apalagi katanya malam ini adalah malam khusus untukku. Sudah terlalu sering aku diistimewahkan.

Dalam waktu tak berapa lama, kami telah sampai di kerajaan kecil Puyang Pekik Nyaring. Aku kaget melihat banyak orang. Pintu istana terbuka lebar. Lampu terang benderang. Para sesepuh duduk berderet menyambut kedatangan kami. Dari kejauhan aku mendengar irama hadroh. Aku yakin di antara yang hadroh pasti ada adik gaibku, A Fung. Kebersamaan kami terhambat karena padatnya kegiatan yang dia lakukan. Kajian, amalan, mengaji, dan lain-lain. A Fung sudah seperti tokoh agama. Namun dia tetap anak-anak yang menggemaskan.

Kami langsung menuju ruangan tengah tempat para tamu berkumpul. Ketika kami duduk terpisah antara perempuan dan laki-laki, aku belum melihat Puyang Pekik Nyaring. Tempat duduknya masih kosong. Demikian juga bagian mirip balkon menghadap ke ruang tengah. Aku hanya melihat tempat duduk dengan bantal kecil untuk alas. Beberapa makanan kecil terhidangan di tiap hadapan bantal.

Aku mengamati beberapa bantal tempat duduk berjejer persis di hadapanku. Setelah kuhitung ada tujuh. Tempat duduk siapa saja aku membatin. Sementara di atas tempat duduk Puyang Pekik Nyaring bersama sesepuh dan kerabat masih kosong. Ingin bertanya dengan Nenek Kam, segan. Karena Nenek Lam masih asyik bercerita dengan kawannya salah satu tamu bangsa manusia.

Aku beralih memperhatikan suasana. Seorang perempuan menghampiriku.

“Putri Selasih, kamu duduk di sana, tempat khusus untukmu” Ujarnya menunjuk tempat kosong paling ujung barisan Puyang Pekik Nyaring.

“Siapa yang menyediakan tempat khusus untukku, Bibi? Mengapa harus tempat khusus?” Tanyaku penasaran. Bagaimana pun aku segan meninggalkan Nenek Kam di sini meski beliau banyak temannya.

“Acara malam ini untukmu Selasih. Jadi kamu harus duduk di sana. Patuhlah” Ujar Nenek Kam.

Mendengar perintah Nenek Kam akhirnya aku bangkit dam pindah duduk di tempat yang ditentukan.

“Disebut apa acara malam ini, Bi? Aku akan diapakan?”Ujarku penasaran.

“Semacam pengukuhan untukmu, Putri Selasih. Selanjutnya kau akan mendapatkan amanah yang harus kau sanggupi mirip perjanjian dan abah para Puyang” Ujar Bibi yang mengantarkan aku ke tempat duduk yang disediakan.

Aku mengamati sekelililng ruangan. Para nenek gunung asyik ngobrol sesama mereka. Di antara nenek gunung yang hadir aku melihat ada bangsa manusia. Mereka pasti para undangan yang sengaja datang seperti Nenek Kam. Tak lama aku melihat satu rombongan panjang masuk dan menunduk-nunduk melintas di tengah-tengah ruangan memberi hormat. Rombongan yang baru masuk ini ada perempuan ada juga yang laki-laki. Bedanya tidak ada anak-anak, kecuali rombongan hadroh, marawis, yang duduk di pojok ruangan. Aku melihat ada A Fung dan teman sebayanya bersyalawat sambil mengoyang-goyangkan tubuh.

Aku memegang ujung selempang yang kuubah menjadi syal dan kulilitkan di leher. Aku kikuk ketika menjadi perhatian banyak mata. Sementara untuk mengalihkan perasaan kikukku tidak ada. Akhirnya aku menunduk, mengubah posisi duduk, aku mengisi waktu dengan zikir.

Entah berapa lama. Aku merasa diriku masih hanyut dengan zikir dan tidak terasa jika aku ada di lingkungan yang ramai. Tidak lama hadroh berhenti sejenak ketika semua mata tertuju ke dalam. Aku ikut menoleh. Ternyata Puyang Pekik Nyaring dan rombongan ke luar dari dalam. Aroma wangi semerbak mengisi semua ruangan. Puyang Pekik Nyaring tersenyum sambil melambaikan tagan menyapa semua tamu. Lengan bajunya yang longgar sedikit terangkat memperlihatkan tangan Puyang yang mulus putih. Rupanya mereka baru pulang dari masjid tidak jauh dari tempat tinggal ini. Posisinya ada di arah barat. Puyang Pekik Nyaring memamg senang solat di masjid yang terbuat dari kayu itu daripada solat di dalam istananya sendiri.

Aku segera berdiri menyambut Puyang Pekik Nyaring. Beliau langsung menghampiriku terlebih dahulu. Seperti biasa aku akan mencium tangannya dalam-dalam dan dengan lembut beliau mengelus-elus kepala dan setengah memelukku. Demikian juga Puyang Ulu Bukit Selepah. Ada kakek Andun, dan Kakek Njajau. Beberapa orang tak kukenal mengiring di belakangnya. Semuanya memakai baju putih.

Aku tertegun ketika ada satu perempuan di antaranya. Perempuan itu meski sudah sangat sepuh namun masih terlihat gagah. Wajahnya nampak berseri, bekulit putih kemerah-merahan. Kepalanya berbalut kain panjang sehingga membentuk bulat seperti lilitan sorban, lalu ditutup selendang putih berbahan jatuh, bermotif kembang yang sangat sepadan. Cantik dan mewah.

Sementara satu kelompok lagi aku melihat ada Kakek Ghabok, Nenek Ceriwis, dan beberapa sosok yang sering kulihat dari dusun sebelah kawah, kerajaan gunung Dempu. Aku membatin kemana Paman Raksasa?

“Aku ada di sini, Putri Selasih. Di dekat pintu masuk sebelah Selatan. Menunggu tamu datang. Alhamdulilah, kau beruntung mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari puyang-puyang, Selasih. Paman ikut bahagia” Suara Paman Raksasa dibawa angin, berhembus semilir.

Ketika kami sudah duduk, beberapa anak bujang ‘ngubeng’ mengantarkan makanan kecil dan minuman di hadapan para tamu. Aku hanya melihat dua macam kue yang di bungkus daun pisang kuali. Entah kue apa. Sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Aku kagum juga dengan kampung ghaib nenek gunung Dempu ini. Mereka memiliki budaya yang tinggi. Termasuk juga menu khas Besemah justru kutemukan banyak di sini.

Dari balik tirai ruang samping, aku melihat banyak anak bujang yang bergegas membuat hidangan makan. Ini acara luar biasa? Aku membatin. Nampaknya Puyang mengundang tamu-tamu penting. Suara orang berbicara seperti lebah berdengung. Tak lama, Puyang Pekik Nyaring berbicara dengan bahasa Uluan. Bahasa nenek gunung. Aku segera membaca mantra agar aku paham maknanya. Rupanya beliau menyampaikan ucapan terimakasih dan tujuan berkumpul malam ini.

Usai sambutan Puyang dan doa, para tamu segera menuju ruang sebelah untuk santap malam. Para tamu berduyun-duyun ke ruang sebelah. Sebagian lagi aku lihat ada yang menuju sudut ruangan satu lagi. Bisa dipastikan, di sana disajikan minyak wangi, kembang, kopi pahit, teh pahit, kemenyan dan lain-lain. Sengaja disajikan untuk para tamu dari golongan lain. Sementara para Puyang, disediakan hidangan tidak jauh dari tempat kami duduk. Pun tidak semua tamu khusus Puyang yang ikut makan di hidangan yang sudah disediakan. Sebagian pergi ke sudut menikmati menu berbeda.

Aku ikut bergabung dengan para perempuan. Satu hidangan dengan dengan nenek Kam dan Nenek Ceriwis. Aku mengambil sepotong malmbi, sambal nanas, dan nasi samin. Aromanya menguap wangi.

Beberapa saat selesai santap malam, aku kembali diarahkan oleh seorang Paman menuju ruang tengah. Aku mengiring beliau dari belakang. Tak lama beliau minta duduk di tengah-tengah. Ada semacam ambal bulat, lalu si atas ambal ada dua nampan yang terbuat dari suasa. Aku tidak tahu apa isinya. Nampan itu ditutup kain beludru berwarna merah lalu berhias manik-manik seperti busana pengantin Palembang. Di sampingnya ada seperti vas bunga yang biasa disebut peridon. Itu pun ditutup. Jadi aku memang tidak tahu isinya.

Aku duduk diam, bingung apa yang hendak dilakukan. Akhirnya aku melempar pandang ke seluruh ruangan. Di ruang yang tak seberapa besar ini, terasa dingin dan sejuk. Puyang Pekik Nyaring belum nampak ke mari. Demikian juga nenek kakekku yang lain. Aku hanya melihat kesibukan beberapa orang menyiapkan sesuatu yang juga tidak aku ketahui.

Aku melempar pandang ke arah pintu ketika mendengar suara orang ngobrol sambil bercanda. Benar dugaanku, Puyang Pekik Nyaring dan rombongan masuk sambil ngobrol sana sini.

“Waaiii rupanya cucungku sudah duluan kemari” Puyang Pekik Nyaring mengembangkan senyum. Para pengiringnya disilakannya duduk di tempat yang sudah disediakan. Enam orang duduk persis di hadapanku. Di antaranya kakek Njajau, kakek Andun, lalu satu sosok yang belum kuketahui namanya, serta nenek cantik yang berkerudung putih. Tinggal satu bantal yang kosong, entah tempat duduk siapa. Sementara yang baru masuk memilih duduk bersandar mengelilingi ruangan. Rupanya Puyang Pekik Nyaring ikut duduk tidak jauh di hadapanku. Beliau duduk persis di sebelah Puyang Ulu Bukit Selepah.

Setelah puyang Pekik Nyaring duduk suasana hening.

“Putri Selasa, Cucungku. Malam ini malam penutup dari segala rangkaian yang pernah Puyang-puyang dan Kekek berikan padamu. Kau sudah cukup dewasa. Akan lebih banyak hal yang kau hadapi. Maka akan banyak pula amanah yang harus kau laksanakan dengan penuh tanggujawab. Malam ini Puyang-puyangmu akan menyempurnakan apa yang sudah kau peroleh sesuai petunjuk Puyang selama ini, Cung”. Puyang Pekik Nyaring menatapku lembut.

“Kemampuan yang telah puyang dan kakek serta leluhur wariskan, bukan tanpa alasan. Kami percaya padamu, Cung. Gunakan kemampuanmu untuk membantu sesama dengan ikhlas. Jangan pernah melakukan sesuatu atas dorongan nafsu untuk menampakkan kemampuan, sehingga akan muncul rasa sombong di batinmu. Tetaplah pakai ilmu padi. Hati-hati bertindak dan berucap. Kau harus membantu ‘adeng beradeng’ yang di Uluan, menjaga kelestarian para nenek gunung dengan caramu sepanjang. bukit barisan ini. Mereka adalah saudaramu, Putri Selasih. Jangan kau beda-bedakan meski dari suku yang berbeda” Lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi. Aku mendengarkan semua nasehat dan pesan beliau, dan menyimpannya dalam-dalam. Berkali-kali aku mengangguk.

“Apakah kau merasa keberatan dengan apa yang Puyang sampaikan Cung?” Tanya Puyang Pekik Nyaring. Aku segera menggeleng.

“Sungguh tidak ada yang membuatku keberatan, Puyang. Terimakasih sudah mengingatkan. Selanjutnya, mohon tegur aku jika sewaktu-waktu aku ada salah, dan lalai dalam melangkah, Puyang. Aku selalu mengharapkan bimbingan, dimana pun, dan kapan pun” Ujarku sungguh-sungguh. Meski kerap kali aku mendapatkan nasehat tidak saja dari Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, tapi ada juga Kekek Andun, Kakek Njajau dan seluruh sesepuh yang kerap membuatku bahagia dan selalu rindu mendengarkan nasehat mereka. Bagiku, mereka adalah lentera yang senantiasa berbagi cahaya sehingga gelap pekat pun dapat ditembusnya. Nasehat mereka ibarat embun, sejuk menyentuh daun.

Usai menasehati, selanjutnya Puyang Pekik Nyaring menyampaikan tujuan mengapa mereka berjajar di hadapanku. Aku tetap diminta duduk di tempat. Sejak awal aku memang belum tahu sepenuhnya apa pertemuan malam ini dan mengapa aku duduk di sini.

“Putri Selasih, dua Puyang yang duduk di ujung itu, Resi Parwataka dan Resi Saadah. Mereka petapa dari negeri seberang, sudah Puyang anggap saudara sendiri. Mereka sengaja datang ke mari berkeinginan menjadi gurumu, Selasih. Malam ini, mereka hendak mewarisikan anjian andalan mereka padamu. Ilmu mereka, beliau percayakan padamu. Satu kehormatan bagi saya, Resi Saadah dan Resi Parwaraka berkenan memilih cucungku, mewarisi keilmuan yang mereka miliki. Aku tahu, hingga saat ini, kedua ilmu yang dimiliki saudaraku ini belum ada tandingannya” Ujar Puyang Pekik Nyaring.

Mendengar itu aku terkejut. Aku buru-buru menundukkan kepala pada keduanya. Sungguh suatu hal tidak pernah kuduga jika ada petapa sakti seperti mereka hendak mewariskan ilmunya padaku. Apalagi kata Puyang Pekik Nyaring belum ada yang menandingi ilmu pamungkas mereka.

“Sebelumnya, saya haturkan Terimakasih Puyang Saadah dan Puyang Parwataka” Ujarku tak berani menatap keduanya.

“Eiit! Panggil aku Puyang Timur saja. Hanya orang-orang tertentu saja tahu Parwataka” Ujar beliau setengah berbisik.

“Aku juga! panggil Aku Eyang Putih, cukup sahabat-sahabat dekatku saja yang tahu Saadah” Ujar Nenek petapa. Suaranya manja dan lembut.

“Mengapa kau ikut-ikutan Resi Putih?” Protes Resi Parwataka atau Puyang Timur.

“Tidak ikut-ikutan, Eyang. Tapi nama kecilku memang Putih. Bukan nyamar sepertimu” Lanjut Nenek yang menyebut dirinya Eyang Putih. Yang lain tersenyum melihat perdebatan kecil orang tua ini.

“Kalau begitu, izinkan aku memanggil dengan sebutan Eyang dan Puyang Guru saja” Ujarku pelan. Ternyata pernyataanku memancing tawa semuanya.

Selanjutnya aku disuruh duduk lurus dengan mereka berdua. Setelah lurus kembali keduanya berdebat.

“Aku duluan ya” Ujar Puyang Timur.

“Eiiit, aku dulu. Perempuan harus di depan baru diikuti laki-laki. Eyang Putih protes. Keduanya kembali berebut minta lebih dulu.

“Agar adil, kita minta calon murid para Reai saja yang menentukan” Kata kakek Andun setengah tertawa dibenarkan kakek Njajau. Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah hanya bisa tersenyum melihat rekannya seperti anak kecil.

“Memang semakin tua, akan semakin bertingkah seperti anak-anak. Jadi wajar jika berantem. Ini contoh nyata” Lanjut Puyang Pekik Nyaring yang disambut tawa semuanya.

“Maaf Puyang Timur, izinkan aku memilih Eyang Putih lebih dulu” Ujarku takut sekali mereka tersinggung.

“Baik, pilihanmu bijak sekali, muridku” Ujar Puyang Timur. Dadaku langsung bergetar ketika beliau menyebutku muridnya. Selama ini, belum pernah aku mendapatkan orang tua yang membimbing dengan sebutan guru dan murid. Padahal di hadapanku ini pada dasarnya adalah guru-guruku. Merekalah yang telah membentuk dan memngasuhku hingga kini. Tapi mereka lebih senang disebut Kakek dan Nenekku.

“Terimakasih Puyang”Jawabku berusaha mengendalikan diri. “Putri Selasih, muridku. Kuwariskan kemampuan andalanku ini padamu. Gunakanlah untuk membantu siapa pun yang teraniaya. Jangan pernah kau gunakan untuk menyakiti orang. Tapi gunakan untuk mengobati orang. Sekali saja kau melakukan kesalahan, maka ajian ini akan meninggalkanmu. Sebab ajian ini tidak mau bersama orang yang berhati kotor, apalagi munafik. Eyang percaya padamu, Selasih” Lanjut Eyang Putih lagi. Suaranya yang lembut sangat menentramkan.

Tak lama aku disuruh beliu bertasbih sembari pasrah. Aku melakukan apa yang beliau perintahkan. Dalam waktu singkat aku merasakan ada energi mendorong jasadku namun herannya ada yang menahan belakangku. Energi hangat mengalir cepat lewat ubun-ubunku. Aku merasakan energi itu seperti air segera menyatu dengan darahku. Selanjutnya lidahku terasa ada yang menggerakkan tanpa mampu kuhalangi. Lalu merapal doa dan mantra yang belum pernah kupelajari sebelumnya. Aku begitu fasih mengucapkan mantra-mantra itu. Sementara jantung dan hatiku terus bertasbih. Semakin lama aku merasakan energi yang masuk dalam darahku terasa makin mengental. Tak lama tubuhku tersentak.

“Sinkronkan sendiri ke dalam tubuhmu. Ikuti rasa hangatnya, Muridku” Ujar Eyang Putih. Selanjutnya dua telapak tangan kami beradu. Saat beradu puyang dan kakekku serentak berzikir.

Lagi-lagi aku merasakan ada energi yang masuk ke dalam tubuhku. Kali ini energi itu seperti membalut seluruh tubuh. Aku melihat sosokku seperti kepompong dibalut lapisan tipis yang transparan. Ternyata zikir yang dilantunkan pelan-pelan membuat lapisan itu semakin tebal.

Setelah selesai aku merasakan ada pelapis dalam tubuhku. Lapisan ini semacam tameng kekuatan paling luar, yang kuyakini sebagai perisai ketika bertarung. Namun energi sebelumnya bisa kugunakan untuk mengobatan. Dua bentuk ajian yang sepadan. Meski keduanya belum kugunakan, namun aku merasakan energinya luar biasa. Aku sangat memakluminya, karena ajian ini beliau peroleh selama bertapa bertahun-tahun. Sungguh aku tidak menyangka jika beliau mewariskannya padaku. Pelan-pelan zikir berhenti, pertanda Eyang Putih selesai mentransfer ilmunya.

Aku membuka mata pelan-pelan. Tubuhku berpeluh. Kulihat Eyang Putih juga berpeluh. Aku melihat serupa asap masih ke luar dari tubuh beliau. Aku tidak paham, mengapa bisa demikian. Apakah efeks energi beliau, aku tidak tahu. Wajah yang sebelumnya bening putih sekarang berubah mejadi lebih kemerahan.

Aku mengubah posisi duduk, dengan tetap bersila. Kali ini giliran Puyang Timur. Beliau tersenyum menatapku.

“Sekarang giliran Puyang Timur, muridku. Bersiap-siaplah. Puyang berharap, manfaatkan apa yang kau dan akan kau miliki sesuai dengan kebutuhan. Harapan Puyang tidak jauh berbeda dengan Puyangmu yang lain, berharap kau tidak bertindak di luar batas. Saat kau memanfaatkan ajian ini ke jalan yang salah, jalan yang tidak diridhoi sang Maha, maka dia akan berbalik padamu. Mengapa Puyang percaya mewariskannya padamu? Karena Puyang yakin kau mampu. Puyang percaya karena kau sudah digembleng oleh Puyang dan Kakekku sebelumnya. Pesan Puyang, Kau harus pandai mengendalikan emosimu, tetaplah menjadi pribadi yang bersembunyi di balik kecemerlangan cahaya yang melingkari tubuhmu. Muridku, hidup kita akan bahagia kala apa yang kita miliki bisa bermanfaat pada orang lain. Namun kita tetap harus bijak mengukur kemampuan kita. Hiduplah sesuai kemampuan, bukan berdasarkan keinginan” Ujar Puyang Timur. Intinya aku harus Pandai bersyukur, memanfaatkan kemampuan sesuai kapasitas, dan jangan pernah dikendalikan oleh nafsu.

Aku mendengarkan apa yang disampaikan Puyang Timur dengan seksama.

“Terimakasih Puyang guru, aku akan ingat selalu pesan Puyang guru” Ujarku penuh kagum. Puyang Timur tersenyum puas. Beliau nampaknya senang sekali ketika kusebut Puyang guru. Padahal aku hanya sekadar mengimbangi beliau karena menyebut aku “murid” beliau.

Seperti ajian yang sudah diberikan oleh Puyang, kakek, dan Eyang Putih, ajian yang diberikan pun memiliki nama. Puyang Timur menyebutkan akan memberikan ajian bernama tari lembayung dan pegat tetak. Apa kelebihan aja-aja ini aku belum tahu. Apakah kekuatannya pada pukulan untuk kupakai bertarung atau pengobatan.

“Puluhan tahun ilmu ini Puyang kaji, dan puluhan tahun pula aku mencari orang yang tepat untuk kuwariskan. Meski aku memiliki beberapa murid, dan mereka menunggu untuk minta ilmu ini padaku, aku tidak memberikannya. Karena mereka belum menjadi orang yang tepat. Ajian ini hanya bisa turun pada orang-orang yang berhati bersih, dan pandai menyembunyikan kemampuannya. Sebab, sedikit saja dibawa untuk kesombongan, maka kau akan merasakan sakit karena dia akan memberontak” Ujar Puyang Timur kembali. Aku menerimanya dengan anggukan siap melaksanakan sesuai petuah beliau.

“Aku tahu, kau pasti bisa, muridku” Kata Puyang Timur membuatku serasa melambung dan paling disayang.

Tidak lama Puyang Timur mengangkat tangan lalu memutarnya. Aku kembali fokus, pasrah. Tak lama muncul cahaya berwarna pelangi semua seperti tombak runcing ke atas. Lama kelamaan mengembang seperti payung. Lambat laun cahaya seperti pelangi itu menyusup ke tubuhku melalui pori-pori. Aku menggigil seketika. Rasa dingin luar biasa. Aku tetap bertahan pasrah ketika tubuhku makin kencang bergetar. Lambat laun aku mendengar zikir “Huu Allah…Huu Allah..Huu Allah”. Aku menyinkronkan zikir ke seluruh jiwa raga. Jantung dan hatiku seakan bergetar. Cahaya seperti pelangi itu masih terus menyusup ke tubuhku. Mungkin inilah yang beliau katakan ajian tari lembayung. Tinggal ajian pegat tetak lagi.

Tiba-tiba dari ujung jari Puyang muncul lagi cahaya berwarna ungu lalu seperti angin puyuh berputar dari langit. Makin lama semakin kencang. Tidak lama cahaya seperti pusaran angin itu mengecil hingga membentuk sebuah bola. Pelan-pelan cahaya berbentuk bolah tersebut disusupkan Puyang Timur melalui kepalaku. Seketika aku merasakan kepalaku sebesar bukit. Terasa mengembang seperti adonan roti. Lalu kembali mengecil.

Aku masih berzikir mengikuti dengungnya yang kian menggaung. Suara ‘Allah. Allah” seperti bisikan yang sangat dekat dengan urat leher. Kali ini Puyang Timur melompat lalu berputar. Selanjutnya aku merasakan beliau ada di atas kepalaku lalu berputar sesuai arah jam. Aku merasakan ada gelombang seperti deru air menghantam-hantam dadaku. Beberapa kali aku merasa terdorong. Aku tetap pasrah dan terus berusaha bertahan dari awal sampai akhir. Jika tadi aku menggigil kedinginan, ketika menerima pegat tetak aku seperti dihantam godam berulang-ulang. Peluh mulai menganak sungai. Aku merasakan tubuhku terasa panas sangat. Untung tidak lama. Kalau lama seluruh tubuhku terasa meledak.

Setelah semuanya selesai, kulihat Puyang Timur berdiri dengan tangan bersedekap. Nampaknya beliau tengah mengumpulkna energinya. Suara zikir pan-pelan makin mengecil hingga tidak terdengar sama sekali.

Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering. Aku juga berusaha mengembalikan energiku yang ikut terkuras. Ada perasaan baru yang kurasakan. Apalagi ketika ketujuh tangan Puyang, Kekek, dan Eyang mengembang ke arahku. Aku melihat seperti jaring laba-laba, pelan-pelan membalut tubuhku.

“Allah…Allah…Allah..” Puyang Pekik Nyaring memimpin yang lainnya. Asma Allah yang diucapkan bebarengan tersebut membuat suasana menjadi terang benderang. Kekuatan Asma itu seakan sengaja dihimpun jadi satu lalu berpusat pada tubuhku.

Angin terasa kencang menerpa tubuhku dan tujuh guruku. Aku mendengar petir menyambar-nyambar diikuti suara guruh. Aku sedikit kaget mendengarnya. Ada kekhawatiran sesaat. Hatiku kembali damai ketika suara petir dan gemuruh di luar istana berhenti. Rupanya petir itu semacam peringatan jika semuanya berjalan lancar. Terakhir, nampan di hadapanku dibuka. Rupanya isinya adalah makanan dan minuman yang harus kucicipi.

Semua rangkaian acara sudah selesai dilaksanakan. Tujuh kekuatan yang digabung menjadi satu membuat tubuhku makin enteng. Aku sujud berterimakahi pada puyang, dan kakekku. Kulihat Nenek Kam tersenyum lebar. Nampak sekali wajah beliau puas dan bangga. Mata kecilnya bersinar-sinar menatapku. Beliau juga guruku. Banyak hal yang ajarkan sejak aku kecil. Demikian juga Macan Kumbang, Nenek Ceriwis, dan masih banyak lagi.

“Bersyukur Cung, dirimu didampingi dan dibimbing oleh orang-orang luar biasa. Setelah digabungkan kekuatan itu seperti kekuatan tujuh gunung, tujuh laut, dan tujuh lapis tanah. Tanggungjawabmu akan makin bertambah, Cung. Manfaatkan sebaik mungkin” Lanjut Nenek Kam.

Pelan-pelan Kakek Njajau melantunkan salawat dikuti oleh tamu lainnya. Aku merinding ketika salawat pelan-pelan menyatukan irama dan suara yang hadir. Bahkan ingin menangis saking harunya. Suasana di ruangan ini semakin lama terasa lain. Ada nuansa mistis yang sulit untuk kulukiskan. Aku terhanyut dibuatnya.

Bersambung…
close