Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 77)


Aku bersama para Puyang guru dan nenek kakekku berjalan pelan menuruni tebing ujung Dempu. Kata Puyang, kami akan ke Talang Pisang, ziarah ke kampung nenek gunung atau manusia harimau yang ada di lembah. Konon Nenek Makek dan Nenek Pagar Jaya, sering pulang ke Talang Pisang semasa hidupnya. Keduanya adalah nenekku, manusia damai, yang sangat dekat dengan kehidupan nenek gunung atau manusia harimau. Setahuku kedua-duanya memiliki tujuh saudara bangsa nenek gunung yang bersama mereka setiap saat. Hampir sama dengan Nenek Kam, memiliki tujuh saudara juga. Macan Kumbang adalah adik bungsunya.

Aku mendengar nama dusun Talang Pisang ini dari dulu. Tapi belum pernah ke sana. Sebab aku tidak punya alasan untuk berkunjung ke sana. Pernah mau mencoba ke sana, tapi tidak jadi. Takut kehadiranku tidak sopan. Konon di sana kampung yang paling sering dikunjungi oleh manusia damai. Talang Pisang semacam kampung pertemuan sebelum mereka naik ke perkampungan di gunung Dempu. Kira-kira kalau dalam kehidupan nyata kerajaan, Gunung Dempu adalah pemerintah pusatnya, Sedangkan Talang Pisang tingkat kabupatennya.

Di alam nyata, Tangsi Dua adalah dusun para pekerja PTP X kebun teh Gunung Dempu Pagaralam. Yang bermukim di sini umumnya pekerja yang berasal dari pulau Jawa dari zaman sebelum merdeka. Mereka secara turun temurun mendiami rumah-rumah milik PTP dan bekerja sebagai pemetik teh, sebagian lagi di pabrik.

Udara terasa lembab. Suasana yang sangat nyaman bagi bangsa nenek gunung. Aku berdiri paling belakang Puyang dan Nenekku. Eyang Putih ada di hadapanku. Pakaian putihnya melambai-lambai mengeluarkan aroma bunga. Wangi sekali. Langkahnya sangat ringan. Bahkan mirip seperti kapas. Sejak kenal beliau aku sudah merasakan jika beliau perempuan hebat. Dari aromanya memang sulit untuk ditentukan, apakah beliau bangsa manusia atau bangsa gaib. Eyang Sahida memang agak berbeda dengan yang lainnya.

Nenek Kam menunggang pada Macan Kumbang. Yang lain kulihat berjalan sendiri-sendiri. Termasuk juga aku bersama Puyang Guru, Kakek Njajau dan Kakek Andun. Kami lebih memilih mengendarai angin. Bisa bercengkrama sambil berjalan. Aku lebih banyak jadi pendengar. Mendengarkan diskusi dan pandangan mereka sembari membaca karakter dua guru baruku ini. Ternyata mereka memang makhluk langka di muka bumi ini. Banyak hal aneh di dalam pandangan kasat mata, tapi di alam tak kasat mat mereka adalah pribadi soleh dan soleha, dusegani banyak orang.

Mungkin seribu satu di alam ini yang mengalami hal sepertiku. Aku tidak perlu mencari guru hebat seperti mereka, namun mereka datang dengan ikhlas meminta jadi guruku. Sesekali aku mengamati beliau, pakaiannya, wajahnya, penampilannya, suara dan nada bicaranya. Aku juga belum tahu apakah kedua Resi ini ada hubungan khusus apa tidak. Hubungan kekerabatan, atau sepertinya misalnya. Aku masih terus mendalami semuanya.

Jika di alam nyata, jalan yang kami susuri adalah jalan setapak, semak belukar dan lereng-lereng kebun teh. Tapi di alam tak kasat mata, dari puncak gunung Dempu ke lembah, kami melalui jalan yang mulus dan luas, dihiasi rumah-rumah baghi dan pepohonan sepanjang jalan. Layaknya jalan lintas di alam nyata. Lampu berwarna kuning menghiasai sepanjang jalan. Rumah-rumah baghi dengan bubungan tinggi seperti tanduk kerbau nampak kokoh dengan tiang-tiangnya yang bulat dan besar. Konon kata Kakek Andun, membangun rumah-rumah itu banyak juga dibantu oleh bangsa manusia. Yaitu bangsa manusia-manusia pilihan atau satu yang bisa hidup di dua alam yang berbeda. Yaitu alam nyata dan alam gaib.

Di lembah, kota Pagaralam seperti cahaya bintang. Cahaya-cahaya itu berasal dari lampu-lampu rumah penduduk dan jalan kota. Aku jadi ingat, beberapa tahun lalu ketika berada di puncak Dempu menikmati Pagaralam malam hari seperti melihat tumpukan bintang menaburi bumi. Indah sekali. Dari puncak Dempu pula Pagaralam seperti kuali cekung dikelilingi bukit serupa pagar, lalu di bagian Barat, berdiri gunung Dempu berjajar dengan bukit Barisan. Keadaan alam yang asri dipagari bukit ini pulalah yang menjadikan nama kota kecil ini Pagaralam. Kota yang menyimpan sejarah tentang berkembangnya peradaban kerajaan Sriwijaya. Kota yang terkenal dengan masyarakatnya yang keras dan kejam. Kota yang dekat dengan kehidupan nenek gunung atau manusia harimau.

Ketika sampai pintu gerbang Talang Pisang, banyak sekali nenek gunung yang menyambut kehadiran kami. Umumnya mereka adalah kaum tua. Ada yang berpenampilan seperti haji, ada yang berpakaian biasa layaknya orang kampung, ada yang berpakaian seperti pendekar. Pakaian mencirikan identitas mereka. Termasuk juga keilmuannya bisa dilihat dari pakaian resmi yang mereka kenakan saat seperti ini.

Tabuhan rebana menyambut kehadiran kami mengingatkan aku pada alam nyata. Seperti inilah yang dilakukan oleh bangsaku di desa-desa untuk mememeriahkan suasana pesta atau kegiatan lainnya. Biasanya yang rebana remaja putri dan putra, atau kaum ibu. Di sini aku melihat kaum lelaki separuh baya.

Aku, Puyang Pekik Nyaring bersama rombongan langsung menuju masjid tidak jauh dari pintu gerbang dusun. Salat dua rokaat, selesai berdoa langsung menuju salah satu rumah baghi di seberang masjid.

Ternyata dusun Talang Pisang ini lumayan luas. Penduduk dusunnya sangat ramai. Kata Nenek Kam, dusun teramai di pinggang gunung Dempu ini dusun Talang Pisang. Banyak sekali jalan menuju ke seluruh penjuru menghubungkan dusun-dusun kecil di sekitar perut Dempu dan bukit Barisan tanah Besemah.

Kami duduk bersila di dalam ruangan rumah baghi. Perempuan laki-laki, kecil besar nampak sangat antusias berkerumun di sekitar rumah. Mereka sangat hormat pada Puyang Pekik Nyaring. Kehadiran beliau memang selalu ditunggu-tunggu.

“Talang Pisang, adalah dusun ke dua setelah puncak Dempu, Cung. Dusun ini ibarat roda, dia adalah sumbu perputaran dusun-dusun lainnya. Makanya dusun ini ramai. Mengapa Puyang membawamu ke mari? Karena di sinilah cikal bakal puyang Dempu ‘dengberadeng’ berkumpul sebelum diamanahi untuk memimpin wilayah-wilayah tertentu di sekitar Dempu ini. Salah satunya adalah Kerajaan Pekik Nyaring di Merapi. Sementara pusat kerajaan ada di puncak Dempu. Siapa pun, jika sudah mengkhatamkan keilmuannya, maka wajib berziarah ke mari. Ke rumah baghi ini.” Puyang Pekik Nyaring berbicara pajang lebar. Aku mengangguk-angguk memahami. Aku lebih memaknainya bahwa kita jangan melupakan leluhur dan asal mula kita sebagai bentuk abdi dan penghargaan pada sumber mula kita ada.

Aku merasakan kehadiran sesepuh di dusun ini. Baik yang terlihat nyata maupun tidak. Meski namanya dusun, tapi melihat penduduk sangat ramai layaknya kota. Konon, penduduk dusun tidak melulu asli dusun ini. Ada juga yang datang meski leluhur mereka berasal dari sini. Mereka adalah bangsa nenek gunung yang mendiami sekitaran gunung Dempu.

“Selamat datang di dusun tua, dusun nenek moyang leluhur nenek gunung di Dempu ini, Cucungku Putri Selasih. Selamat datang Resi yang sudah jauh menyeberang laut ke mari. Kenalkan, saya Panglima Liman, dan ini adik kembar saya Atar dan Atir. Kami bertugas menunggu dusun Talang Pisang ini” Ujar Puyang Panglima Liman. Aku baru sadar, pernah suatu kali aku bertarung entah melawan siapa, beliau menolongku, sesudah itu beliau lenyap entah ke mana. Sayang aku tidak terlalu perhatian waktu itu. Sehingga tidak berniat menyusuri beliau. Aku sungguh tidak menyangka jika beliau adalah leluhur tua di Talang Pisang ini.

“Puyang Panglima, terimakasih atas bantuan Puyang ketika aku bertarung melawan jabalan di Bengkulu. Aku lupa kejadian di mana. Tapi aku masih ingat Puyang. Maafkan jika aku tidak mengenal Puyang waktu itu” Ujarku sembari menatapnya. Beliau tersenyum lebar membuat matanya nampak lebih kecil.

Usai mengenalkan tokoh-tokoh dan berdoa di dusun Talang Pisang, akhirnya kami kembali pulang ke puncak. Waktu nampaknya sudah dini hari. Aku bahagia sekali dikenalkan dengan sesepuh di dusun Talang Pisang. Termasuk bersua dengan dulur-dulur dari bangsa manusia. Mereka sangat antusias berkenalan denganku. Pertama mungkin karena aku masih muda, bahkan termuda di antara bangsa manusia damai di Besemah ini, ke dua mereka tidak menyangka jika aku adalah cucu Puyang Pekik Nyaring, penguasa Merapi gunung Dempu.

Berjalan bersama para sepuh membuatku banyak belajar pada tindak-tanduk mereka. Mereka adalah orang-orang suci yang tidak melewati waktu sedetikpun untuk ibadah. Terdengar detak jantung mereka selalu bertasbih, zikir, bersyalawat sili berganti.

Setelah sampai kembali di kediaman Puyang Pekik Nyaring, Eyang Putih meminta izin membawaku ke pertapaan beliau di lereng gunung Dieng dengan alasan untuk dikenalkan pada murid-muridnya di sana. Sementara Puyang Resi Purwaraka juga menyatakan keinginannya membawaku ke pertapaannya di sisi Barat gunung Selamet. Kali kedua guruku dari seberang ini berdebat masalah siapa yang lebih dulu harus kukunjungi.

“Berapa lama kau akan bawa Putri Selisih, Resi Sahidah. Nanti kamu malah keenakan, kelamaan membawa cucuku. Ingat dia tidak seutuhnya ada di alam kita. Tugasnya di alam nyata juga ada” Ujar Pekik Nyaring mengingatkan.

“Sebentar saja, Puyang. Agar muridku ini tahu ke mana dia harus mencari gurunya. Sekalian aku hendak kenalkan dengan saudara-saudara seperguruannya. Dia harus tahu siapa aku dan bagaimana kehidupanku. Usai dari tempatku akan kuantar Putri Selasih ke tempat Resi Purwataka” Ujar Eyang Putih melirik pada Puyang.

“Tidak usah diantar, biar kalau sudah selesai Putri Selasih akan kujemput saja di lereng Dieng” Ujar Puyang Purwataka menahan sedikit kecewa lantaran kalah terus menguasai aku. Aku tersenyum melihat perdebatan kedua guruku ini. Melihat permintaan mereka, aku memandang pada Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, Kakek Njajau, Kakek Andun, Nenek ceriwis, Nenek Kam, dan Macan Kumbang. Aku menunggu persetujuan mereka.

“Mohon maaf sedulurku, izinkan aku mendampingi perjalanan, Selasih. Kebetulan aku ada waktu” Ujar Kakek Andun. Mendengar itu bukan main gembiranya. Baru kali ini aku dikawal oleh beliau-beliau ini. Artinya kami akan berjalan bersama! Suatu hal yang langka.

“Kalau begitu, izinkan pula saya ikut ke seberang. Sudah lama sekali saya tidak menginjak pulau Jawa” Lanjut Eyang Kuda tiba-tiba. Aku memandang beliau. Benar juga, Eyang Kuda berasal dari Jawa Tengah. Jangan-jangan sejak perang dulu beliau belum pernah pulang ke Jawa saking setianya pada Pangeran Sentot Ali Basyah. Kulihat matanya berbinar-binar. Akhirnya semua sepakat ke tempat pertapaan Eyang Putih terlebih dahulu, baru ke pertapaan Resi Purwataka.

Aku menatap nenek Kam dan yang lainnya. Apakah akan ikut bersama seperti kakek Andun dan Eyang Kuda? Ternyata mereka hanya menatapku dengan tatapan sukacita. Nenek Kam senyumnya lebih mekar. Nampaknya beliau bangga dan senang sekali. Terlihat dari sinar matanya yang kecil berseri-seri. Beliau mengangguk mengizinkan.

“Di alam nyata, urusanmu serahkan dengan Nenek Kam. Pergilah, Cung. Ambillah pelajaran setiap perjalanan” Nenek Kam memegang tanganku. Aku langsung memeluknya.

“Nenek Sulijah sudah menjadi dirimu, sekarang dia sedang berada di pondok Kakek Haji Yasir. Jadi kau tidak usah risau, Cung. Laksanakan saja permintaan para Resi ini. Ini pengalaman pertamamu ke pulau seberang, mengunjungi negeri seribu ilmu. Negeri yang menyimpan seribu peradaban” Kata Nenek Kam kembali. Aku mengangguk mengiyakan. Nenek Kam yang sudah sepuh saja semangat meski beliau tidak pergi, apalagi aku yang baru hendak mengembangkan sayap belajar pada waktu. Akhirnya aku mengangguk dan mohon restunya.

“Nek, nenek Sulijah jangan disuruh tidur bersama kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani ya” Bisikku ke telinga Nenek Kam. Mendengar pesanku nyaris Nenek Kam terbatuk. Nenek Kam cekikikan lucu sendiri. Pasti beliau teringat ketika Nenek Sulijah menjadi Dedek kecil yang masih suka digendong kakek Haji Majani, lalu tidur bersama Keduanya. Aku ikut cekikikan melihat Nenek Kam tertawa geli, bukan soal membayangkan Nenek Sulijah tidur di antara Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Tapi melihat Nenek Kam menahan tawa sambil memegang perut dan tidak ingin yang lain tahu justru membuat nenekku satu ini semakin lucu.

Di lereng gunung Dieng, Nyi Ratih tengah duduk bersila di dalam musolah kecil bersama tujuh saudara seperguruannya. Sejak kemarin mereka masih khusuk melakukan tirakat. Aktivitas rutin yang harus mereka laksanakan setiap Selasa paing dan Rabu kliwon. Mereka puasa dan mengamalkan hal tertentu. Nyi Ratih diberi kepercayaan Eyang guru untuk membimbing saudara seperguruannya. Musolah yang berdiri di lereng gunung Dieng ini nampak sepi jika dilihat dari alam nyata. Di alam gaib, ada sosok Nyi Ratih dan saudara seperguruannya.

Musolah kecil di tebing lereng yang kerap dipakai Eyang Putih berzikir ini, sesekali disinggahi para pengelana untuk solat dan sekadar istirahat. Namun di alam gaib, musolah kecil ini selalu ramai berisi murid Resi Sahida atau Eyang Putih. Halaman musolah yang datar dan luas kerap dijadikan tempat mereka latihan.

Penduduk sekitar Dieng tidak ada yang tidak kenal Eyang Putih. Perempuan ringkih, renta, hidup sendiri di lereng gunung, merawat musolah kecil yang menghadap ke jurang. Herannya, entah dari mana, banyak yang datang dari jauh hanya ingin menemui beliau. Apa keperluan mereka tidak ada yang tahu. Darimana mereka kenal perempuan renta itu, tidak juga ada yang tahu. Dalam kehidupan sehari-hari orang melihat beliau kalau tidak duduk timpuh di dalam musolahnya sendiri, akan terlihat beliau memunguti sampah sepanjang lereng dengan tangannya. Perempuan tua itu tidak punya ladang atau kebun untuk digarap layaknya petani pada umumnya. “Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya duduk melamun di musolahnya” Demikian kata salah satu penduduk yang mengenal beliau. Menurut mereka sesekali penduduk ada yang mengantar makanan atau hasil ladang. Perempuan itu mereka anggap sedikit tidak waras. Kadang-kadang ada kerabatnya datang sekadar hendak membantu beliau mandi. Beliau adalah Eyang Sahida, seorang manusia hidup di lereng Dieng yang kerap dipanggil Eyang Putih.

Suatu kali ada sepasang suami istri masih muda sengaja datang dari Sulawesi mencari Eyang Sahida. Nampak sekali mereka orang kaya. Itu terlihat dari penampilan dan kendaraan yang mereka pakai. Mereka sengaja datang dari jauh hanya ingin bertemu dengan Eyang Sahida. Keduanya bercerita, belum lama pulang dari tanah suci. Ketika terjadi musibah di terowongan Mina, sepasang suami istri muda itu nyaris mati karena tidak bisa bergerak dan mulai sesak. Mereka melihat banyak manusia terinjak-terinjak. Entah dari mana datangnya, ada perempuan tua memeluk mereka berdua lalu seperti menyeret mereka berdua menyingkir. Semula gelombang manusia berjejal, ditambah suara gemuruh, ada yang menjerit, menangis, dan sebagainya, namun tiba-tiba mereka seperti berjalan di jalan yang luas. Tiba-tiba mereka sudah ke luar dari kerumunan manusia yang terjepit, masih dalam pelukan perempuan tua itu. Ketika mereka mengucapkan terimakasih dan ingin tahu siapa beliau, Perempuan itu menyebut namanya Eyang Sahida dari gunung Dieng. Kedua suami istri itu sengaja datang hendak mengucapkan terimakasih.

Mendengar cerita pasangan suami istri itu, masyarakat bingung. Kapan pula Eyang Sahida pergi haji? Orang dalam kehidupan sehari-hari beliau seperti orang tidak waras? Meski sudah dijelaskan demikian tetap saja orang itu tidak percaya. Mereka tetap ngotot hendak bersua dengan Eyang Sahida.

Dalam kesehariannya, tak satu pun penghuni lereng melihat beliau pergi ke lembah membeli keperluan sehari-hari. Atau sekadar jalan-jalan ke kampung-kampung kecil sepanjang lereng. Tapi herannya, ada juga penduduk yang mengatakan pernah melihat beliau di pasar. Kadang duduk-duduk di pinggir jalan seperti pengemis, atau sedang berjalan seperti pemulung. Meski beberapa orang yang bercerita tentang hal itu, namun tak sedikit masyarakat meragukannya. Pasalnya untuk turun gunung, jalan satu-satunya yang harus dilalui Eyang Putih adalah jalan di tengah kampung. Sementara mereka tidak pernah melihat beliau lewat. Pendek cerita, Eyang Putih adalah perempuan ringkih, tidak pernah bergaul, dan sedikit misterius.

***

“Kita akan kedatangan tamu dari seberang, adik-adik. Salah satu tamu kita adalah adik seperguruan kita yang sengaja Eyang guru ajak ke mari untuk dikenalkan pada kita. Konon adik seperguruan kita tersebut dari bangsa manusia. Untuk itu, kita hentikan sejenak aktivitas kita, kita fokus pada kepulangan Eyang Guru dan adik seperguruan kita” Ujar Nyi Ratih pada saudara-saudara seperguruannya. Semua menyambut patuh dan bergerak cepat membentang tikar di halaman musolah. Nampaknya, di sanalah kelak pertemuan mereka. Tak lama, Nyi Ratih dan lainnya sudah duduk berbaris menunggu kedatangan Sang guru.

Aku, bersama Eyang Putih, Puyang Purwataka, kakek Andun dan Eyang Kuda sudah siap-siap berangkat ke gunung Dieng. Puyang Pekik Nyaring, Puyang Bukit Selepah dan sesepuh lainnya melepas kami dengan senyum penuh keakraban. Entah mengapa dadaku bergetar. Mungkin karena untuk pertamakali aku pergi melancong bersama orang-orang yang banyak membantuku. Eyang Putih nampak sangat bahagia. Entah apa yang membuatnya gembira aku tidak tahu.

Tanganku digenggam Eyang Putih. Eyang Kuda, Puyang Purwataka, dan Kakek Andun berdiri di hadapan kami. Saat digenggam, aku merasakan energi mengalir pelan ke tubuhku. Aku segera pasrah. Meski Eyang Putih tidak memberitahuku apa yang beliau lakukan, namun aku paham, beliau tengah menyalurkan satu kekuatan lagi. Aku mencoba untuk pasrah. Syalawat Nur idzati beliau baca berulang-ulang. Ada rasa damai seperti air sejuk mengalir langsung ke dadaku. Jiwaku ikut melantunkan syalawat tanpa harus kuatur sedemikian rupa. Aku merasakan energi syalawat yang dibaca Eyang Putih begitu dasyat.

“Kau bisa tingkatkan sendiri energi di dalam batinmu, muridku. Selagi engkau menjaga kebersihan batin dan ikhlasmu. serahkan semuanya pada Sang Pemberi Hidup” Eyang Putih berbicara padaku via batin.

Kuakui guruku satu ini luar biasa. Padahal aku baru beberapa saat menjadi muridnya. Namun ibarat kendi, beliau isi aku sepenuhnya sehingga terasa tidak ada ruang kosong lagi. Beliau dan Puyang Purwatakalah guruku dari bangsa manusia. Selebihnya manusia harimau, dan Eyang Kuda.

Angin mendesing sangat kencang. Kami seperti berada di tubuh kilat ketika kiri kanan kulihat hanya berupa seberkas bayangan putih semua. Batinku mengatakan kami melalui bukit, hutan, gunung, dan lautan. Ketika nampak cahaya kerlap-kerlip di bumi kuyakinkan kami tengah melintas di perkotaan. Meski hanya dalam hitungan detik, namun rangkaian perjalanan itu bisa kurasakan dan kunikmati seperti berjam-jam lamanya.

“Eyang, kalau cahaya yang mencuat lurus itu cahaya dari mana?” Ujarku ketika kami melintas ada cahaya terpancar lurus seperti lampu sorot ke langit. Namun meski terang dan lurus, sedikitpun cahaya itu tidak membuat silau.

“Itu cahaya dari kaum kita, manusia yang tegah solat tahajud, dan wirid yang mereka baca. Mereka ahli ibadah” Ujar Eyang Putih. Aku merinding dibuatnya. Pengalaman baru yang kuperoleh. Sebelumnya aku kerap melihat gelombang cahaya mengitari tubuh-tubuh yang tengah berzikir. Aku makin kagum, dan tak bisa kulukiskan dengan kata. Ingin rasanya menangis saking harunya. Sebenarnya banyak sekali tanda-tanda yang alam semesta berikan pada manusia. Tinggal bagaimana kita membacanya.

Angin berhembus tidak sekencang tadi. Sekarang aku bisa menikmati beberapa cahaya yang mencuat dari laut. Dalam batin aku mengatakan apakah cahaya yang mencuat dari laut ini juga cahaya ahli ibadah?

“Itu cahaya dari kerajaan-kerajaan jin di dasar laut, muridku. Mereka sama dengan kita. Ada yang ahli ibadah, ada juga yang kafir” Eyang Putih menjelaskan. Aku jadi ingat beberapa kali aku bertempur dengan makhluk laut. Tapi baru sebatas bertempur. Baru kali ini aku melintas di atas laut sehingga bisa melihat istana-istana para jin yang hidup di laut. “Allahu Akbar” batinku bergetar.

Tanganku masih digenggam Eyang Putih. Telapak tangannya yang halus dan licin masih menyalurkan rasa hangat.

“Sebentar lagi kita akan sampai, muridku” Bisik Eyang Putih ketika tubuh kami meliuk menyisir hutan kecil dan bebatuan. Halimun seperti kapas berada di bawah kaki kami. Seperti coretan cat putih, awan serupa lukisan memoles langit Jawa yang bersih.

“Eyang Kuda, kita sudah di atas tanah Jawa Tengah. Kampung halaman Eyang” Ujarku. Eyang Kuda menoleh padaku. Matanya berkaca-kaca. Aku sulit untuk menerka batinnya. Mungkin juga perasaan mengharu biru setelah sekian lama beliau tidak pulang-pulang ke mari karena kepatuhannya pada Pangeran Sentot Ali Basya. Ingin sekali aku memeluknya untuk sekadar memberikan kekuatan dan memahmi perasaannya. Aku jadi ikut terharu melihat orang tua ini hendak menangis.

“Setelah sampai ke tempat pertapaan Eyang Putih, aku mohon izin sejenak untuk menziarahi kampung halamanku” Ujar Eyang Kuda. Suasana hening. Tangan Kakek Andun mengelus-ngelus pundak Eyang Kuda.

“Kampung sudah berubah, tidak seperti dulu lagi, Eyang. Banyak sekali perubahannnya. Apalagi semakin banyak manusia. Beberapa perkampungan bahkan kerajaan terpaksa pindah” Ujar Puyang Purwataka. Suasana jadi hening. Semua serentak memikirkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dihindarkan. Apalagi sudah hitungan ratusan tahun di alam manusia, maka entah berapa ribu tahun di alam gaib. Wajar saja jika Eyang Kuda berkaca-kaca.

“Alhamdulilah, ternyata Allah masih mengizinkan Eyang menginjakan kaki kembali ke tanah kelahiran Eyang” Ujarku dengan nada yang kubuat gembira. Aku berusaha mencairkan suasana.

“Suatu saat, kita kembali lagi ke mari Eyang. Khusus untuk jalan-jalan ke kampung leluhur Eyang” Ujarku memberi semangat. Eyang Kuda menatapku dengan senyum.

“Allah punya rencana, Nduk. Jika tidak mengenalmu, mungkin Eyang tidak tergerak untuk kembali melihat kampung halaman Eyang” Suara Eyang Kuda mulai berubah. Ada perasaan haru dan gembira mengaduk perasaannya. Lalaki sepuh yang setia ini memang sangat takut menodai kesetiaannya pada Sang Pangeran yang sangat dihormatinya. Rasa cinta dan sayangnya pada Pangeran Sentot Ali Basya dibuktikannya hingga kini.

Pelan-pelan kami makin rendah dan mulai menjajakkan kaki ke tanah berpasir. Angin berhembus pelan seakan menyambut kehadiran kami. Kami mengikuti langkah pelan Eyang Putih yang anggun. Gaun putihnya berkibar-kibar ditiup angin. Dari belakang saja, Eyang Putih nampak kasrismatik. Apalagi jika dilihat dari depan. Aku melihat semua makhluk di sekitar Dieng menuduk, memberi hormat pada beliau. Desir pasir yang bertasbih dengan nada gembira seakan menyatakan kegembiraannya karena ada Eyang Putih. Melihat keajaiban di hadapanku, aku terasa tidak percaya jika aku masih hidup di alam nyata.

Kami mulai memasuki pintu gerbang ke kediaman Eyang Putih. Masya Allah, aku berdecak kagum ketika masuk ke pintu gerbang kediaman beliau. Ternyata perkampungan bukan tempat tinggal biasa, namun di alam gaib kediaman Eyang Putih semacam padepokan yang asri. Musolah di alam nyata yang terletak di bibir jurang itu adalah masjid di alam tak kasat mata yang memiliki pelataran yang luas dan indah. Selanjutnya di sisi baratnya ada rumah-rumah berdiri sama luas dan tinggi mirip deretan villa yang ditata sedemikian rupa. Asri sekali. Rumah-rumah itu didiami murid-murid Eyang Putih dari alam tak kasat mata. Meski yang berguru dengan beliau ada juga dari golongan manusia mereka hadir dengan cara meragasukma. Jadi aktivitas mereka tidak terlihat dalam kehidupan nyata.

Di bagian timur ada ruang-ruang khusus untuk para tamu. Di hadapannya membentang ruangan panjang nampaknya tempat pertemuan. Di sinilah murid-murid Eyang Putih tengah menunggu kehadiran Sang guru.

“Assalamualikum…” Kami nyaris serentak mengucapkan salam ketika menginjakan kaki di pintu kediaman Eyang Putih. Semua muridnya berdiri dengan wajah sedikit merunduk. Semuanya perempuan, berpakaian sama tertutup semua dari atas hingga ke ujung kaki. Mereka sujud mencium tangan Eyang Putih berkali-kali selanjutnya mencium dan memeluk beliau.

“Nawang, ajak Adikmu ke ruang pakaian. Ambilkan salah satu atau suruh dia memilih pakaian sesuai kesukaan” Eyang Putih memanggil salah satu muridnya bernama Nawang. Nawang segera mengangguk dan menyambar tanganku.

“Mari adik, Kakak antarkan” Ujar Nawang. Aku mengikuti langkahnya. Nawang yang minta dipanggil kakak ini nampaknya tidak terlalu jauh usianya denganku. Aku iseng mengikuti langkahnya untuk mendalami kemampuannya. Sempurna, aku yakin Eyang Putih sangat selektif dalam memilih muridnya.

“Siapa namamu adik?” Tanya Kakak Nawang. Bahasanya sangat lembut.

“Namaku Putri Selasih kakak. Aku dari Gunung Dempu di Sumatera Selatan” Jawabku ikut-ikutan lembut. Padahal aslinya suaraku kencang, apa adanya, dan tidak merunduk-runduk seperti Kakak Nawang atau seperti keluarga jawa pada umumnya.

“Oo..jauh ya dari sini. Semoga kamu betah tinggal di sini” Ujarnya sembari menunjuk busana muslim yang dilipat rapi. Aku membatin, tinggal di sini? Aku tidak sempat menjelaskan akan tinggal di sini atau tidak. Aku langsung memandang lipatan busana yang berwarna lembut semua. Hijau, biru muda, putih, abu-abu, kuning gading, ungu muda, merah marun, biru dongker. Mataku langsung tertuju pada warna biru dongker. Kakak Nawang langsung mengambil dan menyuruhku ganti pakaian segera.

Aku berdiri di hadapan Kak Nawang setelah mengenakan pakaian yang diberikannya. Aku sangat suka. Baju muslim, ber-rok kembang dengan celana panjang sebagai dalamannya. Kerudung yang kukenakan pun sangat simpel, kain mirip selendang, cukup diikat ke belakang, lalu ada satu selendang lagi kututupkan pada kepala yang berbahan jatuh.

“Alhamdulilah, kau nampak lebih cantik adik Putri Selasih. Warna yang sangat sepadan dengan kulitmu” Mata Nawang berbinar. Aku jadi tersipu mendapat pujiannya. Akhirnya kami segera kembali ke ruang tengah tempat semua orang berkumpul.

Semua mata tertuju padaku. Senyum Eyang Putih mekar. Tangannya segera berputar, lalu dari genggamannya ketika dibuka ada aksesoris berupa gelang, liontin yang diikat tali mirip akar, dan cincin permata. Semuanya permata berwarna biru dongker sepadan dengan busanaku. Eyang Putih nampaknya sangat paham dengan kesukaanku. Aku sangat bahagia menerimanya. Nawang membantuku memakainya. Aku berjalan menuju para murid Eyang Putih untuk bersalaman sebelum berkenalan lebih dalam.

Aku baru sampai urutan ke tiga bersalaman, saling tatap dan menyebut nama masing-masing sembari berpelukkan ketika tiba-tiba perempuan yang berdiri paling ujung berlari mendekat lalu sedikit berteriak kaget.

“Kanjeng Ratu. Kanjeng Ratu. Masya Allah, hamba tidak menyangka akan bertemu dengan Kanjeng di sini. Hamba Nyi Ratih, Kanjeng. Terimalah sembah sujud hamba” Semua tercengang melihat sosok yang sujud sembari terisak di hadapanku. Aku bingung dan kaget melihat tingkahnya.

“Eyang Guru, beliau Kanjeng Ratu yang kuceritakan pada Eyang Guru dulu. Beliau Ratu kerajaan hamba, Guru. Terimakasih Guru telah menemukan beliau” Ujar Nyi Ratih sujud pada Eyang Putih. Melihat ini aku makin bingung. Dalam hati aku bertanya siapakah kakak seperguruanku ini? Pertama aku mendengar dipanggil Kanjeng Ratu oleh dua peri dari Banyuwangi beberapa tahun lalu. Apa hubungannya dengan murid Eyang Putih satu ini? Muncul rasa curiga dan kekhawatiranku jika aku diculik kembali. Sekilas aku cemas. Aku meningkatkan kewaspadaan. Terbersit dalam batin jika keadaan ini sengaja untuk menjebakku, maka akan kuporakporandakan semuanya.

“Kita adalah pelakon di muka bumi ini. Yang membuat skenario adalah Sang Khalik. Tak ada yang tidak mungkin ketika Dia berkehendak. Jika hari ini kalian dipertemukan, karena takdir kalian harus bertemu di tempat ini, melalui jalan yang berliku-liku. Siapa yang memperkirakan jika Putri Selasih akan jadi muridku, siapa pula yang akan memperkirakan jika Nyi Ratih akan jadi muridku. Dan siapa yang memperkirakan jika kalian dipertemukan di tepi jurang dataran gunung Dieng ini” Eyang Ratih berkata seakan menepis kecurigaanku.

“Angkat kepalamu, Kak. Tatap aku dalam-dalam. Mungkin kakak salah lihat” Ujarku masih setengah bingung melihat tingkahnya. Hanya Eyang Putih dan Kakek Andun yang tidak memperlihatkan keheranannya. Beliau biasa-biasa saja. Sepertinya mereka tahu apa yang sebenarnya.

“Ampunkan hamba Kanjeng Ratu, hamba tidak berani lancang memandang Kanjeng Ratu” Dia masih menunduk menahan isak Telapak tangannya mengatup dan diangkatnya tinggi hingga kening layaknya seseorang yang menyembah. Aku bingung mau bicara apa menghadapi hal seperti ini.

“Mungkin Kakak salah lihat. Aku makhluk biasa, harimau putih dari gunung Dempu” Ujarku meyakinkan.

“Hamba tidak salah, Kanjeng. Kanjeng Ratu kami bernama Putri Selasih dari tanah Besemah. Hamba Nyi Ratih, Kanjeng. Berapa waktu lalu hamba bersama Nyi Rara mati-matian berjuang hendak membawa Kanjeng untuk kembali mendirikan kerajaan kita yang telah hancur. Tapi kami gagal. Kali ini, hamba mohon, Kanjeng Ratu berkenan membangun kerajaan kita kembali, mengumpulkan rakyat di timur laut Banyuwangi yang telah bercerai-berai, Kanjeng” Ujar Nyi Ratih. Nadanya penuh harap.

Aku menatap tubuh Nyi Ratih yang masih berguncang karena terisak. Aku jadi ingat ketika beliau merebut sukmaku. Aku jadi ingat bagaimana beliau dengan gigih bersama Nyi Rara pengawal kerajaan Banyuwangi yang setia, datang ke Sumatera untuk menculikku hingga aku celaka dan kakiku patah. Sukmaku mereka ambil paksa dengan harapan bisa kembali menegakkan kerajaannya yang hancur. Untung semua kerajaan nenek gunung sepanjang Bukit Barisan bersatu. Mereka membantu kerajaan Pekik Nyaring merebut kembali dan mempertahankan aku agar tidak dibawa pergi oleh dua peri dan pasukannya. Jadi Nyi Ratih adalah salah satu peri yang masih hidup dan setia dari kerajaan Banyuwangi yang terletak di timur laut itu? Tapi mengapa dia berubah? Aku membatin dalam jiwa sedikit terguncang.

Aku mengusap tanganku yang tiba-tiba merinding. Alangkah kecilnya dunia ini. Aku tidak pernah menduga akan bertemu dengan peri Banyuwangi. Ingatanku terang kembali. Tapi sungguh Nyi Ratih yang kulihat beberapa tahun lalu tidak sama dengan Nyi Ratih sekarang. Dulu Nyi Ratih yang membopongku memakai kemben, pakaian khas Jawa. Beliau perempuan sihir yang berilmu tinggi. Bagaimana beliau bisa menjadi murid Eyang Ratih lalu berpakaian tertutup seperti ini?

“Bangkitlah Nyi. Benar, aku Putri Selasih. Perempuan yang pernah kalian perembutkan. Perlakukan aku biasa-biasa saja. Jangan sujud seperti ini. Aku adik seperguruanmu, aku murid Eyang Guru juga”. Ujarku setelah mengendalikan diri. Bagaimana pun aku kaget dengan situasi seperti ini. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Apalagi ada makhluk yang sujud begitu dalam membuatku semakin salah tingkah karena aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku semakin bingung bagaimana jika Nyi Ratih memintaku ke Banyuwangi untuk membangun kerajaan yang beliau maksud, sementara aku tidak punya kemampuan seperti yang beliau perkirakan. Aku tetap merasa diriku orang biasa, bagaimana mungkin akan menjadi seorang Ratu? Ratu di alam gaib, mendirikan kembali sebuah kerajaan yang telah hancur? Aku seperti hidup di alam dongeng. Mimpi buruknya ini? Jiwaku bergetar.

Aku masih berdiri. Tubuhku rasa kaku.

“Eyang…” Aku menatap Eyang Ratih minta beliau menjelaskan.

“Silakan duduk saudara-saudara dan murid-muridku” Eyang Putih sepertinya paham membaca situasi. Akhirnya, Eyang Putih menjelaskan siapa Nyi Ratih dan bagaimana dia bisa menjadi murid Eyang Putih.

“Nyi Ratih punya amanah untuk mendirikan kembali kerajaan di timur laut Banyuwangi yang telah hancur. Beliau sudah cukup lama berdiam di Dieng bersamaku. Dan kau Putri Selasih, kau ditakdirkan memimpin kerajaan itu, karena dalam dirimu menitis darah Nini Ratu. Beliau meninggalkan kehidupan ramai, lebih memilih menjadi betapa di tempat yang beliau sembunyikan saat ini. Sekali lagi bukan suatu hal tidak mungkin jika takdir memang harus demikian” Ujar Eyang Putih. Aku semakin bingung harus menjawab apa.

“Aku tahu kau bingung, muridku. Karena kau sama denganku. Kita bangsa manusia, apakah mungkin memimpin kerajaan gaib itu. Mungkin saja, muridku. Anggaplah ini ibadahmu menegakkan kembali rumah yang sudah porakporanda. Tugasmu memang cukup berat, kau harus menghimpun kembali rakyat kerajaan yang sudah memencar kemana-mana. Himpunlah mereka kembali, muridku. Ajarkan pada mereka kebaikan-kebaikan. Berdakwahlah dengan caramu. Rengkulah kembali rakyat timur laut Banyuwangi. Mereka sudah banyak makin tersesat dan menyesatkan. Memperdaya golongan manusia ke jalan salah, dan sebagian lagi menjadi budak para dukun santet yang bertebaran di pulau Jawa ini. Perlu kau pahami, Muridku. Tak sedikit para dukun itu dibungkus pakaian santri dan Kiayi. Kau pasti akan kaget melihat bertebaran padepokan-padepokan bahkan ada pndok pesantren, yang mengabaikan tujuan pondok semula, tapi lebih memperdalam berbagai keilmuan batin dibandingkan kajian agama. Tak sedikit padepokan-padepokan itu pamer keilmuan sebagai orang yang sakti mengadakan pengobatan bukan ikhlas hendak menolong.

Penampilan mereka yang bersorban dan bergamis, lalu menempelkan Kiayi atau Gus di depan namanya itu hanya kedok menolong untuk mendapatkan keuntungan pribadi, mencari uang dengan dalih pengobatan, tapi melaksanakan guna-guna juga. Tidak menutup kemungkinan mereka yang menyatakan diri berjuang di jalan Allah, justru akan menjadi lawanmu karena sebagian rakyat kerajaanmu mereka jadikan budak” Ujar Eyang Putih. Aku tercengang mendengarnya. Jantungku jadi bergetar hebat. Sudah terbayang olehku betapa beratnya tantangan ke depan. Aku masih terjerat kebingungan. Andai aku benar kembali membangun kerajaan itu, apa aku sanggup? Aku menarik nafas panjang dan dalam.

“Eyang, izinkan aku bertanya. Apa alasannya Nini Ratu menitis padaku. Bukankah tidak setitik darah Banyuwangi mengalir di darahku?” Ujarku masih tidak percaya.

“Sulit memang untuk dijelaskan, muridku. Kelak kau akan paham sendiri. Berapa ribu tahun yang lalu, pernahkah terpikir oleh kita, ketika bumi masih sepi, Nusantara ini pun sebagian besar belantara, lalu bertebaran kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar di pulau-pulau kecil mau pun besar. Lalu datang pengujung dari luar baik melalui darat maupun transportasi air, ikut menyebar pula ke tanah kita, ke Jawa, Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, hingga Papua. Tidak menutup kemungkinan, para pendatang itu menyatu dengan penduduk pribumi, ada yang menyebarkan agama, ada yang semata-mata berdagang dan lain sebagainya. Jika dalam darahmu menitis juga darah Banyuwangi, meski tidak bisa diperhitungkan kembali kau keturunan ke berapa. Bukan pula suatu hal mustahil, Muridku. Bahkan aku mencium moyangmu juga berasal dari kerajaan Majapahit” Pernyataan Eyang Putih membuatku semakin pusing. Pikiranku seperti melintir-lintir ke sana kemari.

“Eyang, bukankah leluhurku berdarah Sang Hyang Dapunta Jaya Naga?” Ujarku penasaran menyebut baginda Raja kerajaan Sriwijaya.

“Percampuran darah dari berbagai kerajaan dan keturunan, bukan suatu hal yang mustahil, muridku” Lanjut Eyang Putih kembali.

Puyang Purwataka, kakek Andun, dan Eyang Kuda mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Eyang Putih. Nyi Ratih tidak terisak lagi. Namun beliau masih menunduk penuh hormat. Sungguh aku salut pada adab yang ditunjukkannya. Dia menunjukkan jika dia sangat menghormati Eyang Putih sebagai gurunya, dan menghormati aku sebagai ratu kerajaannya. Meski secara logika sulit sekali bagiku untuk menghubungkan diriku dengan kerajaan laut timur Banyuwangi. Namun kucoba untuk memahami dan memaklumi semuanya. Ingin rasanya saat ini aku mengadu dengan Puyang Pekik Nyaring. Agar beliau pun menjelaskan apa hubungannya aku dengan Nini Ratu. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Aku masih menahan diri.

Aku menatap Nyi Ratih berkali-kali. Peri cantik ini semakin cantik berbalut busana seperti itu. Aku menoleh pada Eyang Putih.

“Apa yang harus kulakukan Eyang Guru?” Ujarku ragu. Dalam benakku belum terpikir berbagai macam hal. Apalagi mejadi seorang ratu. Bagiku jauh panggang daripada api. Aku bukan tipe perempuan karismatik yang memiliki jiwa memimpin. Aku bukan perempuan sempurna yang lebut layaknya perempuan-perempuan jawa. Aku masih jauh dikatakan beradap karena dari kecil bukan hidup di lingkungan keraton, bukan pula keluarga bangsawan, keturunan ‘pengertian’. Kakek dan Bapakku pernah menjadi ‘riye’ yang diberi kuasa memimpin beberapa desa di Seberang Endikat.

Aku hanya diajarkan bagaimana menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, baik bersikap maupun bertutur. Aku tidak biasa sungkem lama-lama, lalu berkata-kata, duduk seperti sinden, berjalan mundur, tidak berani membelakangi orang yang kita hormati, bahkan selalu membungkuk-bungkuk, berbicara lemah-lembut. Meski mencoba bertutur halus, namun nada bicaraku tetap saja menggelegar seperti bukit runtuh.

“Kau tidak usah ragu, muridku. Kami akan membantumu” Eyang Putih seakan paham perasaanku. Aku menarik nafas lega. Nyi Ratih mengucapkan terimakasih sembari sujud berulang kali.

Usai mengenalkan aku pada murid-muridnya dari golongan makhluk asral, selanjutnya Eyang Putih hendak mengajak kami ke tepi telaga, berkeliling di puncak Dieng menjumpai sahabat-sahabatnya yang tersebar. Konon di dekat telaga ada putri telaga yang tengah bertapa. Eyang hendak mengenalkan kami padanya. Belum sempat kami berdiri, tiba-tiba ada yang datang.

“Assalamualaikum Eyang Sahida” Suara lembut dari pintu gerbang. Kami serentak menoleh dan menjawab salam. Seorang lelaki muda berperawakan kurus berambut panjang lurus berdiri di tengah pintu gerbang. Tangannya dikatupkannya ke dada pertanda memberi hormat. Bahasa tubuhnya menunjukkan jika beliau sangat mengedepankan adabnya. Aku segera mengetahui jika beliau dari golongan manusia yang tengah meragasukma ke Dieng guna menemui Eyang Sahida. Yang hadir di hadapan kami bukan jasadnya. Dari ekspresinya beliau orang soleh. Memakai gamis, lalu kopiah dibalut dengan sorban, berjanggut tipis, matanya cekung dan ekspresinya menunjukan jika pemuda ini ahli ibadah.

“Maafkan kelacangan kulo Eyang, ternyata Eyang banyak tamu” Tutur katanya lembut.

“Mari Gus, ke mari, masuk. Panjenengan bisa kenalan dengan saudara-saudara dan muridku dari Sumatera” Eyang Putih melambaikan tangannya. Tidak lama orang yang di sapa Gus mendekat dan berdiri di hadapan kami. Beliau langsung menyalami Eyang Kuda, Kakek Andun, dan Puyang Purwataka. Sementara dengan yang perempuan beliau hanya mendekapkan tangan ke dada sembari menundukkan kepala. Dalam hati aku memujinya. Sopan sekali makhluk satu ini. Wajahnya bening dan teduh. Tidak ada nuansa sangar sedikit pun. Sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang kutemui di tanah kelahiranku. Rata-rata berahang keras, berwajah tegas, dan bermata tajam, liar seperti mata elang.

Dari caranya hadir di sini menemui Eyang Putih, membuat aku yakin jika orang yang disapa Gus ini bukan orang sembarangan. Tidak mungkin jika orang biasa beliau bisa meragasukma dan menemui Eyang dalam wujud tak kasat mata. Ternyata beliau kerap menemui Eyang Putih untuk mendengarkan nasehat dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan. Beliau juga sering minta izin pada Eyang untuk melakukan tirakat di kediaman Eyang Putih. Selain beliau ada beberapa kiayi yang kerap berkunjung ke mari untuk saling mengisi, kata Eyang Putih. Meski kehadiran para Kiayi itu pun bukan dalam wujud jasadnya. Aku tak bisa menyembunyika perasaan salutku pada mereka.

“Umumnya mereka para ahli ibadah, yang sepenuhnya mendekatkan diri pada Sang Maha pencipta. Menjauhkan diri dari berbagai akfivitas duniawi. Mereka lebih memilihi hidup menyepi. Makanya mereka sering berkunjung ke mari” Lanjut Eyang Putih. Aku makin kagum dengan beliau. Ternyata benar dugaanku, beliau sangat dikenal oleh kalangan orang-orang soleh. Beliau adalah salah satu makhluk Allah yang memiliki kemampuan tidak biasa.

“Putri Selasih muridku, dan sedulur-sedulurku. Beliau ini Gus Azhar. Ayah beliau pimpinan salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Beliau kerap ke mari. Hampir setiap bulan beliau berkunjung. Kebetulan malam ini bersua dengan tamu-tamuku” Ujar Eyang Putih sambil tersenyum. Gus Azhar mengatupkan telapak tangannya kembali ke dada sembari sedikit membungkuk. Sikap santrinya sangat kental. Selalu merunduk. Sejak awal aku belum melihat tubuhnya berdiri tegap.

“Assalamualaikum semuanya, maafkan saya sang fakir, mohon maaf jika kehadiran saya mengganggu sesepuh guru, dan saudara-saudaraku semua. Nama Saya Muhammad Azhar. Saya sering kemari untuk meminta bimbingan Eyang Sahida” Ujar Gus Azhar sopan. Melihat penampilan dan cara bicaranya yang santun, membuatku minder setengah mati. Aku jadi malu karena sikap dan prilakuku mungkin terlihat sedikit primitif dibandingkan Gus Azhar dan lainnya. Rupanya Eyang Kuda dan Kakek Andun memperhatikan aku. Aku jadi makin malu.

“Kek, aku salah tingkah dengan sikap-sikap mereka yang sangat santun. Aku takut salah, sikapku terlihat kasar dan tidak beradab” Ujarku berbisik. Kakek Andun langsung merangkul bahuku.

“Untuk itulah kita diberi akal, Cung. Kita ambil dan kita tiru yang baik. Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain pula ikannya. Budaya di pulau Jawa tatakrama memang sudah terbentuk sejak nenek moyang mereka. Berbeda dengan kita. Bukan tidak diajarkan tatakrama, namun budaya kita sedikit jauh berbeda. Yakinlah, mereka bisa memaklumi jika dirimu tidak bisa merunduk-runduk seperti mereka” Ujar Kakek Andun membesarkan hatiku. Aku mengangguk mengiyakan.

Batinku terasa sedikit lelah. Mengatur diri sedemikian rupa agar terlihat lebih santun dan lembut, ternyata cukup melelahkan juga. Semoga sikap dan tutur kataku tidak dianggap kurang ajar, atau tidak dianggap tak punya etika. Akhirnya aku memilih banyak diam, memerhatikan, meski harus menahan ‘pegel’ lahir batin.

Acara perkenalan memang berubah menjadi acara mengharu biru. Situasi formal membuat suasana menjadi kaku. Nyi Ratih yang semula kulihat paling lincah di antara adik-adik seperguruannya, ketika mengetahui aku, dia malah bersikap sangat hati-hati.

“Kak, bagaimana kalau kita biasa-biasa saja? Aku tetap adik seperguruanmu. Maka panggil saja aku Putri Selasih. Karena aku tidak pantas untuk menjadi ratu” Ujarku. Nyi Ratih buru-buru mengangkat tangan kembali.

“Maafkan hamba, Kanjeng Ratu. Hamba tidak berani. Yang mengangkat Kanjeng sebagai ratu bukan kehendak hamba, tapi ini amanah dari Nini Ratu, Kanjeng. Saya hanya menjalankan amanah. Kanjeng Ratu adalah junjungan hamba. Maafkan jika hamba lancang, Kanjeng” Nyi Ratih kembali menunduk membuat aku semakin kikuk. Tiba-tiba aku merasa diriku sangat bodoh. Aku masih bingung menentukan sikap. Aku masih berusaha meyakinkan diri jika aku hidup di alam nyata. Bukan di negeri dongeng.

Ketika hendak diajak Eyang Putih ke telaga, Gus Azhar lebih memilih pulang. Mungkin beliau merasa tidak enak bergabung dengan tamu Eyang Putih yang lebih dulu datang. Eyang Putih mengizinkan beliau pulang. Gus Azhar lenyap seketika usai mengucapkan salam.

Akhirnya kami mengikuti langkah Eyang Putih menuju jalan di belakang musolahnya. Aku berjalan di antara Eyang Putih dan Eyang Kuda. Sementara kakek Andun berjalan sejajar dengan Eyang Putih. Murid-murid Eyang Putih, termasuk Nyi Ratih berjalan di belakang kami. Kami seperti barisan ular yang panjang.

Sepanjang jalan kami merasakan aroma wangi seperti berada di taman bunga. Aku melempar pandang ke kiri dan ke kanan. Meski tak sepenuhnya bisa dinikmati karena masih kaget dengan sebutan “Kanjeng Ratu”, aku tetap berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat resah. Kuakui alam Dieng pemandangannya sungguh indah. Kota Wonosobo terlihat kecil dan kerlap-kerlip dari ketinggian Dieng. Demikian juga Banjarnegara dan kota-kota kecil lainnya nampak sudah menyatu.

Kami ikut berhenti mendadak ketika Eyang Putih berhenti lalu berinteraksi dengan para leluhur yang bersemayam di dataran tinggi Dieng. Beberapa sosok gaib menghampiri kami. Mereka memberi hormat dengan senyum yang ramah. Kami pun ikut mendekap tangan ke dada sebagai penghormatan karena sudah disambut dengan baik. Eyang Putih menyampaikan niatnya mengajak para tamu dan muridnya, khususnya mengajak aku untuk mengenal dataran tinggi para dewa ini dengan dekat. Sungguh luar biasa hubungan Eyang Putih dengan semua penguasa Dieng ini. Semua terlihat hormat dan akrab. Mereka dengan tangan terbuka menyilakan Eyang Putih dan rombongan mengelilingi dataran tinggi Dieng dan seluk beluknya.

Baru beberapa waktu, tiba-tiba di hadapan kami berdiri semacam padepokan atau istana kerajaan tidsk bisa aku bedakan. Namun di wilayah ini kami menemui banyak sekali makhluk yang berambut gimbal. Aku membatin. Apakah mereka inilah yang disebut anak bajang yang diyakini oleh masyarakat sebagai titisan Kiayi Kala Tete yang terkenal sakti itu? Rata-rata mereka bertubuh kekar meski tidak terlalu tinggi. Oh! Aku terpukau. Benar! Setelah sejenak membatin, mereka adalah titisan Kiayi sakti itu. Aku bersyukur sekali bisa bertatapan langsung dengan mereka.

Suatu kali, sebelumnya aku pernah bermimpi bersua dengan orang-orang berambut gimbal, dan itu persis yang kutemui sekarang. Rasa takjub membuatku lupa pada status baruku sebagai seorang ratu. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku. Muncul keinginan untuk bisa bersua dengan Kiayi sakti itu.

“Kau harus puasa dan melakukan tirakat di sekitaran gua Jaran dan gua Pengilon, Selasih. Sebelumnya kau harus mandi di mata air Bimaluka, jika hendak bersua dengan beliau. Beliau adalah orang suci. Maka kita harus bersih dan suci lahir batin dulu.Tidak mudah untuk bisa berjumpa dengannya. Kampung ini, adalah kampung tempat tinggal titisan beliau. Mereka hidup sejak berdiri kerajaan Mataram Kuno. Kiayi sakti itu terkenal kebaikan dan kelembutan hatinya. Beliau pengayom rakyat sehingga sangat dicintai masyarakat kecil. Keteladanan beliau tetap mejadi teladan bagi masyarakat hingga sekarang.” Demikian kata Eyang Putih seakan paham keinginanku. Aku mengangung-angguk kagum.

Sejak awal menginjakkan kaki di dataran ini, aku sangat merasakan jika di dataran tinggi ini aroma mistisnya sangat kental. Sekilas kurasakan tempat-tempat keramat tersebar hingga ke kawah dan telaga. Sangat wajar jika dataran tinggi Dieng ini disebut tempat bersemayamnya para dewa. Aku merasakan banyak sekali tempat-tempat ritual yang masih dipertahankan oleh masyarakat hingga kini sebagai penghormatan pada leluhur mereka.

Halimun semakin rendah. Aku merasakan seperti berada di kayangan. Pantas saja Dieng sering disebut negeri kayangan. Bukan saja karena diyakini sebagai tempat keramat bersemayamnya para Dewa, namun keindahan alamnya memang membuat Dieng seperti negeri di atas angin.

“Di hadapan kita ini telaga Warna namanya. Pada waktu-waktu tertentu airnya akan memancarkan empat warna. Pada dasarnya, empat warna telaga itu adalah nasehat untuk makhluk hidup di muka bumi ini, Muridku. Nasehat apa? Sebagai hamba kita harus bisa menahan hawa nafsu. Pertama hawa nafsu berupa amarah, kedua, nafsu supiyah, nafsu lauwwamah, dan terakhir nafsu muthmainnah. Jika keempat nafsu itu bisa kita kendalikan, maka disebut manunggal” Lanjut Eyang Putih. Aku bersama rombongan mendengarkan dengan saksama. Terasa sekali betapa dalamnya kajian yang disampaikan Eyang Putih. Meski hanya berupa hal sederhana pada warna telaga. Dalam batin makin yakinlah aku pada jiwa dan kedekatan beliau pada Sang Khalik. Beliau benar-benar manusia pilihan. Aku merasa sangat beruntung menjadi muridnya. Aku mendapatkan ilmu baru dari beliau.

Meski sebelumnya aku telah dibekali cara mendekatkan diri pada sang Khalik, tapi baru kali ini aku tahu tentang berbagai nafsu yang manusia miliki. Dalam hati aku mengeja sembari mengingat-ingat kata nafsu amarah, supiyah, lawwamah, dan muthmainah. Aku belum paham sepenuhnya makna keempat nafsu itu. Biarlah akan kujadikan PR untuk kutanyakan masa mendatang pada Eyang Putih.

Selanjutnya Eyang Putih mengajak kami agak mendaki. Kami memasuki sebuah pertapaan yang sejuk. Sungguh sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Tempat pertapaan ini menghadapi ke telaga Warna. Melihat suasananya, sangat mendukung sekali untuk seseorang melakukan tapa di sini. Angin berhembus pelan, udaranya sejuk, suasana hening, pemandangan indah. Meski banyak makhluk asral yang berseleweran, namun suasana tetap nyaman. Mereka tidak saling ganggu satu sama lain.

“Ini namanya pertapaan Mandala Sari, Muridku. Suatu saat kau harus melakukan tapa di sini” Eyang Putih menatapku sambil tersenyum. Tatapan matanya sangat dalam menggambarkan mengharapkan yang dalam pula. Belum selesai aku menjawab tiba-tiba hadir seorang putri cantik bergaun kuning dan selendang panjangnya sampai menyapu ke tanah.

“Salam hom suwastiastu. Selamat datang di telaga warna, dan pertapaan Mandala Sari, saudara-saudara” Suaranya lembut, manjah, dan ramah. Rupanya beliaulah Putri Telaga yang dimaksud Eyang Putih. Sejenak beliau berbincang penuh keakraban.

“Kami pun ingin melakukan tapa di sini Resi Sahida. Boleh ya Putri? Bukankah begitu sedulurku Eyang Kuda, dan Kakek Andun?” Tiba-tiba Puyang Purwataka nyeletuk di tengah angin yang berhembus pelan. Eyang Putih tersenyum manis.

“Tentu saja, silakan Eyang. Siapapun yang berniat baik, berhati bersih, tidak dilarang untuk melakukan tapa di Mandala Sari ini. Lihatlah itu. Mereka adalah betapa-betapa suci yang tidak memiliki nafsu duniawi lagi. Jiwa mereka telah menyatu dan mengabdikan diri hanya pada Sang Maha saja” Eyang menunjuk beberapa sosok yang nyaris tak terlihat wujudnya. Aku melihat sosok cahaya lembut yang tidak menyilaulan pada tubuh-tubuh mereka. Aku jadi iri melihat mereka. Bagaimana tidak, setiap hari aku masih bercokol dengan aktivitas duniawi, masih banyak keinginan, masih banyak tersimpan amarah. Sementara mereka, dengan ikhlas menyepikan diri, meninggalkan semua aktivitas duniawi. Mereka hidup hanya untuk mengabdikan diri pada Sang Maha Pencipta saja. Pantas saja Eyang Putih menyamar dalam kesehariannya. Karena beliau pun ingin total pendekatan diri pada Pencipta.

Kali ini Eyang Putih membawa kami ke gua Jaran, selanjutnya ke telaga Pengilon. Terakhir ke gua Semar. Ternyata perjalanan belum selesai. Eyang Putih membawa kami ke telaga Silindang. Beliau tak henti-henti menjelaskan kelebihan setiap tempat yang kami singgahi. Semua tempat punya makna dan pesan tersirat.

Mataku tak mampu berkedip ketika melihat dihadapaku lahan pertanian di tepi danau yang berundak-undak. ladang kentang itu justru membuat wilayah Dieng menjadi sangat indah. Belum lagi pohon pisang seakan berteriak menyatakan dirinya tumbuh subur di tanah para dewa.

Aku nyaris tidak bisa bernafas kala melihat ratusan candi menyebar di dataran yang luas. Tempat ritual dan makam leluhur Mataram kuno tersebut nampak ramai. Berbagai macam aktivitas kerajaan terlihat nyata. Aku berdecak kagum pada budaya mereka. Para ponggawa, pengawal keraton betubuh kekar dan gagah, berdiri di sudut-sudut gerbang. Tubuh mereka dililit peding-peding emas pengganti pakaian, berselempang di dada mereka. Lengan mereka yang berotot, dibalut pula gelang yang berukiran halus sedemikian rupa. Belum lagi mahkota yang bertengger di kepala. Aku serasa berada di alam ratusan tahun ke belakang. Tombak bermata emas, lalu pedang, golok, semuanya berukir emas menggambarkan betapa tingginya peradaban kerajaan ini. Eyang Putih kembali menjelaskan siapa dan apa tugas mereka.

Usai berkeliling ke beberapa telaga, kawah, dan goa, candi, bahkan sampai pula ke savana, akhirnya kami kembali ke kediaman Eyang Putih. Ada senyum puas terpancar di wajahnya. Beliau sangat mengagungkan para tamu sehingga dengan ikhlas mengajak kami keliling di dataran tinggi Dieng. Sementara aku, mencatat dalam benakku tepat-tempat di dataran tinggi Dieng ini yang wajib kukunjungi masa datang. Apalagi ketika Eyang menyebut ada batu ratapan angin, membuat kakiku gatal hendak merasakan demi memandang dua telaga yang bersebelahan, telaga Pengilon dan telaga Warna, lalu melihat ativitas kehidupan gaibnya di sana.

“Hamba melihat Kanjeng Ratu bahagia sekali setelah diajak keliling di dataran tinggi Dieng ini. Suatu saat akan hamba antar Kanjeng Ratu mengunjungi tempat-tempat baik yang sudah kita singgahi, maupun yang belum, Kanjeng” Nyi Ratih mendekat sembari memberi hormat. Jantungku kembali berdegup kencang menyadari siapa diriku di matanya. Yaa Allah…

Bersambung…
close