Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 78)


Aku dan Nyi Ratih berdiri di atas batu menatap ke darat dan bibir cadas yang menguntai ke laut. Debur ombak tidak terlalu kencang. Angin juga berhembus pelan. Di bagian barat, pantai berpasir landai berombak kecil. Desir pasir ketika dijilat ombak, nyaris tidak terdengar. Jika siang hari, pantai ini sangat indah. Aku melihat banyak jejak dan aroma tubuh manusia di sini. Aku kagum dibuatnya. Negeri ini memang sangat indah. Alam telah menyajikan berbagai keindahan bukan hanya untuk dinikmati, tapi dipelihara dan di syukuri.

Beberapa menit yang lalu aku dan Nyi Ratih ke Laut Timur Banyuwangi ini untuk memastikan dan melihat area kerajaan yang sudah runtuh. Di alam gaib, aku melihat kepingan-kepingan kayu melintang pukang ke sana ke mari. Sebagian besar sudah tertutup pasir. Di alam nyata aku melihat timbunan sampah.

Area kerajaan dipagar gaib. Menurut Nyi Ratih yang memagar wilayah kerajaan ini adalah Nini Ratu. Oleh sebab itu tidak ada makhluk yang berani mengusik apalagi menempati area kerajaan. Semua dibiarkan apa adanya. Jika sudah terbentuk seperti onggokan bukit pasir, karena memang lama sekali tak diusik.

Menyadari hal itu, aku segera berpikir. Kuabaikan segala macam tetek-bengek yang berkaitan dengan sebutan sebagai ratu. Aku hanya berniat untuk mengembalikan kerajaan yang sudah runtuh, menarik dan mengumpulkan kembali rakyatnya yang sudah menebar ke mana-mana. Tiba-tiba otakku berjejal langkah-langkah yang harus kulakukan lebih dulu. Aku harus bekerja secepatnya.

Nyi Ratih merunduk sambil berdiri. Gaun panjangnya tertiup angin. Perempuan anggun ini nampak semakin cantik ketika menghadap ke laut. Kuakui, dia makhluk yang sempurna. Pembawaannya sangat santun dan soleha. Ternyata hidayah tidak hanya milik manusia saja, namun juga pada makhluk asral jika Allah menghendaki. Contohnya Nyi Ratih, beliau memperlihatkan kesungguhan dan kesetiaannya. Bahkan demi kerajaan dan cinta pada Ratunya, dia rela melakukan apa saja.

Aku menatap punggungnya sedikit berguncang. Aku tahu, perasaannya masih hancur melihat istana yang tinggal puing. Dia menangis. Tak satu pun rakyatnya yang terlihat di sekitar area. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi ini benar-benar lengang seperti kota mati. Nampaknya Nyi Ratih mengenang masa kejayaan kerajaan. Beliau memang saksi hidup kerajaan ini, dan banyak tahu tentang seluk-beluk pemerintahannya. Termasuk juga mengapa kerajaan kecil ini bisa hancur hingga tinggal puing. Bahkan demi menunjukkan kesetiaannya, Nyi Ratih rela bertapa kembali, berguru pada Resi Sahida di Dieng dengan penuh kesabaran demi bisa mebawaku kembali.

Kerajaan ini memang butuh figur, butuh sosok yang bisa dijadikan panutan sesuai dengan amanah pimpinan mereka. Ketika kekuatan ratu mereka kendur, mereka kehilangan ruh untuk tetap setia. Hanya beberapa ponggawa saja yang masih hidup dan bertahan setia menunggu waktu kerajaan mati ini hidup kembali. Mereka tersebar entah mana.

Di alam nyata, sisi pantai laut timur ini ramai dihuni oleh bangsa manusia. Beberapa rumah kayu teratap serdang berdiri rapi di sepanjang pantai. Meski tidak di bibir pantai persis, namun pantai ini nampak ramai siang malam. Banyak muda-mudi menghabiskan waktu menghirup angin laut malam hari. Pemandamgan alamnya yang indah, desir ombak kecil memang menjanjikan suasana romantis. Jadi sangat wajar jika tempat ini dijadikan salah satu pilihan wisata. Apalagi selain pantai ada cadas yang menonjol di laut dangkal, semakin membuat pemandangan pantai seperti surga. Namun siapa sangka, di balik keindahannya tersimpan duka. Istana yang tinggal puingnya saja.

Tiba-tiba aku melihat air laut sedikit bergejolak. Semula angin berhembus semilir tiba-tiba jadi kencang. Kuamati sekali lagi. Ini menandakan laut tengah gerah. Aku mencari tahu penyebabnya. Rupanya ada di antara golongan manusia tengah berzinah. Instingku langsung ingin mencari tahu. Tak lama dua makhluk yang berlainan jenis itu kutemukan di salah satu rumah. Ada rumah kayu beratap daun serdang dengan cahaya sedikit remang dan musik hingar-bingar tidak jauh dari area kerajaan. Di dalamnya banyak perempuan dan laki-lali tengah bercumbu di tengah musik yang memekakkan. Melihat kondisi itu, aku jijik bukan main. Ingin rasanya aku muntah melihat pesta seks di depan mata. Sementara beberapa makhluk asral ikut gembira menunggangi tiap tubuh manusia yang ada tanpa mereka sadari. Tanpa berpikir panjang, dipan sepasang manusia yang sedang mesum itu kubalik hingga keduanya tertimpa kasur dan kayu. Lalu kukerahkan kekuatan angin untuk merobohkan pondokan mesum itu. Dalam waktu singkat musik yang hingar-bingar terhenti, berubah menjadi jeritan-jeritan ketakutan dan kesakitan. Beberapa makhluk asral yang ikut berpesta-pora bersama budak-budak setan itu sebagian tertawa lepas, senang melihat tempat itu berantakan. Sebagian lagi ada yang marah padaku karena merasa terusik. Aku tidak berpikir panjang lagi, bisa jadi makhluk-makhluk asral yang liar itu adalah rakyat kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Mereka kutangkapi semua, lalu kukurung. Rumah pinggir pantai itu rata dengan tanah.

“Kanjeng Ratu, mengapa tidak diserahkan padaku saja? Mengapa kanjeng ratu yang turun tangan? Jangan mengotori tangan Kanjeng” Nyi Ratih merasa bersalah karena belum sempat melakukan apa-apa. Aku tersenyum sendiri.

“Tidak usah merasa bersalah Nyi, aku sudah biasa melakukan sesuatu sendiri. Ada saatnya aku butuh bantuan Nyi Ratih, mau pun yang lainnya” Ujarku sedikit lembut. Nyi Ratih mengangguk hormat. Aku tahu perempuan di hadapanku ini memiliki kemampuan yang luar biasa. Eyang Putih telah menempahnya menjadi sosok berilmu tinggi. Banyak hal yang telah diubah Eyang Putih padanya. Namun di hadapanku, beliau selalu menahan diri, tidak memperlihatkan kemampuanya.

Aku mengajak Nyi Ratih mengelilingi area istana. Beberapa kali aku bertanya pada Nyi Ratih perihal bagaimana sejarah kerajaan ini bisa hancur. Mengapa Nini Ratu meninggalkannya. Cerita Nyi Ratih kuhubungkan dengan mata batinku. Batinku melihat dulu kerajaan ini ketika masa jayanya, rakyatnya banyak. Namun mereka dari golongan makhluk asral yang senantiasa mengeluarkan aura negatif. Meski di bawah pemerintahan kerajaan, banyak di antara mereka liar dan nakal di luar. Ditambah lagi tidak sedikit padepokan-padepokan yang mengajarkan ilmu-ilmu hitam, lalu meminta bantuan makhluk asral dari tepi laut ini. Benar apa yang disampaikan Eyang Guru, banyak bangsa manusia yang berkedok santri dan Kyai tapi mempraktikkan ilmu perdukunan. Sorban dan gamis hanya alat mengelabui agar orang percaya padanya. Tak sedikit memakai gelar “Gus”. Aku melihat praktik-praktik menyesatkan itu tumbuh subur.

Aku juga melihat dasar akidah sebagian masyarakat semestinya sudah sangat mumpuni. Karena masih banyak pondok dan Kyai yang lurus. Namun praktik-praktik yang mencampuradukan aktivitas animisme memang masih ada yang melakoni. Mereka lebih percaya pada roh, pada jin, pada kekuatan-kekuatan mistis. Percaya pada kekuatan benda-benda. Tanpa mereka sadari, mereka menyembah raja-raja jin yang tersebar di sepanjang pantai dengan memberikan sesajen dan lain sebagainya. Wajar banyak di antara mereka suka memancing keributan dan melakukan segala macam perbuatan maksiat. Karena mereka menjadi budak dan memperbudak bangsa jin. Praktik-praktik sebagian besar jin rakyat Timur Laut Banyuwangi ini tidak diketahui Nini Ratu. Inilah salah satu kehancuran kerajaan. Rakyatnya banyak yang berkhianat meninggalkan kerjaan, hidup enak dengan manusia.

Aku duduk sejenak. Angin membawa aroma bunga dan kemenyan menjadi satu dengan aroma laut. Aroma-aroma itu berasal dari sesajen yang dilakukan oleh para dukun ilmu hitam. Mereka menjadikan wilayah timur ini sebagai tempat berinteraksi dengan makhluk-makhluk asral tersebut. Ada aura Dewi Lanjar yang berdiam di laut utara pulau Jawa. Mereka mengadakan perjanjian pesugihan. Ada Nyi Blorong dari laut bagian selatan. Ada juga aroma Nyi Ratu Kidul. Sungguh bermacam-macam. Kekuatan magisnya pun terasa dasyat sekali.

Aku menakar-nakar berbagai macam kekuatan di sini. Jika mereka kulabrak serentak, maka pasti akan terjadi perang besar-besaran. Mereka pasti makhluk-makhluk yang tidak hanya sakti, namun juga licik. Aku harus melakukan perekrutan rakyat kerajaan dengan halus dan pelan-pelan terlebih dahulu.

Sementara aku biarkan aktivitas makhluk asral yang aktif berinteraksi dengan bangsa manusia di sini. Meski aku tahu tidak sedikit di antara bangsa jin wilayah ini mengetahui dan tidak suka keberadaanku. Namun aku belum melakukan tindakan apa-apa. Aku sudah waspada sejak awal. Biarlah mereka bebas terlebih dahulu. Aku belum punya alasan untuk menarik mereka kecuali rumah mesum tadi.

Nyi Ratih duduk diam, nampaknya beliau menunggu perintahku. Padahal aku bukan tipe seperti yang dia harapkan. Aku juga bingung harus memerintahkan apa padanya. Berkali-kali beliau hendak bicara namun tidak jadi. Termasuk memandangku diam-diam. Aku biarkan situasi itu. Bagaimana pun aku belum membutuhkan tenaga orang lain. Termasuk juga diskusi rencana membangun istana. Aku harus tahu dulu siapa Nini Ratu.

Aku memegang tangan Nyi Ratih, beliau patuh saja. Kulitnya yang lembut dan halus sangat terasa. “Mari kita masuk, Nyi” Ujarku masih menggenggam tangannya.

“Bagaimana kita masuk, Kanjeng. Tempat ini dipagar Nini Ratu. Aku akan berinteraksi dengan beliau terlebih dahulu” Ujar Nyi Ratih. Aku melarangnya. Aku segera membaca doa. Dalam sekejap aku dan Nyi Ratih sudah berada di tengah-tengah runtuhan istana.

“Masya Allah…Kanjeng Ratu hebat sekali. Tanpa merusak pagar gaib, kita bisa berada di sini. Selama ini, hamba yakin banyak makhluk sebangsaku dan bangsa manusia hendak masuk ke mari namun tidak bisa.” Suara Nyi Ratih takjub. Aku tersenyum mendengar pujiannya yang berlebihan. Meski sudah kuingatkan berkali-kali agar jangan menyebut dirinya ‘hamba’ namun masih saja Nyi Ratih menyebutkan dirinya ‘hamba’. Akhirnya kubiarkan saja. Asal dia senang.

“Nyi, bantu aku dengan zikir sebanyak-banyaknya. Aku akan berinteraksi dengan Nini Ratu” Ujarku setengah berbisik. Ini kulakukan sembari melatih diri agar aku tidak berbicara kencang seperti biasanya.

Aku merasakan hembusan angin lembut namun terasa dingin. Sebelum fokus berinteraksi dengan Nini Ratu aku mencoba menelusuri seluk beluk istana. Istana ini dulu tidak terlalu besar. Namun desainnya unik dan cantik. Beberapa patung dengan wajah seram dulu berdiri di depan pintu gerbang kiri dan kanan. Lalu ada taman dan semacam kolam bermata air jernih di samping pure, tempat mereka melakukan ibadah. Selebihnya aku melihat benda-benda yang terbuat dari suasa, mungkin juga ada sebagian dari emas masih berserakan di tengah runtuhan istana.

Nyi Ratih langsung melakukan perintahku. Beliau berzikir sangat khusuk. Eyang Guru telah berhasil menempah jiwanya menjadi seorang sosok yang soleha. Cahaya emas menari -nari terpancar dari tubuhnya. Aku mengangguk-angguk kagum. Salah satu kebesaran Allah yang diperlihatkan padaku.

Aku kembali duduk timpuh. Aku juga mengawali semuanya dengan doa, syalawat, dan zikir. Aku mulai mencari keberadaan Nini Ratu. Bagaimana sosoknya, di mana beliau tinggal kususuri dengan hati-hati. Semula aku hanya ingin berinteraksi batin saja. Tapi rasanya tidak pantas untuk sua perdana ini aku tidak menampakkan diri. Aku juga ingin beliau memberikan petunjuk padaku sebagai pengemban amanah secara langsung. Apakah benar aku titisannya? Aku perlu tahu. Akhirnya aku mencoba menemui beliau di tempat tapanya.

Aku benar-benar takjub ketika menyisir karang di bibir pantai. Pemandangannya luar biasa indah. Air laut yang gemerlap ketika tertimpa cahaya, lampu-lampu kecil dari kejauhan, membuat alam pantai ini seperri untain mutiara. Selanjutnya aku turun dan naik di batu-batu cadas. Ombak di laut menghembas kencang. Suara gemuruh dan buih yang melambung seperti segerombolan anak dara menari. Pekikkan camar yang sesekali menukik ke laut mengisi keindahan alam. Apakah di antara cadas yang menghadap ke laut lepas inikah tempat Nini Ratu bertapa? Aku membatin.

Aku masih mencoba mencari keberadaan beliau. Akhirnya aku sampai pada gua kecil di sisi karang menghadap ke laut. Instingku mengatakan inilah tempat tapa beliau. Walet putih sesekali memekik terbang lalu kembali ke sarang. Ketika sampai di gua, aku hanya melihat setumpuk pakaian tergeletak di samping tempat duduk. Bau harum kamboja menguap seisi gua yang berukuran kecil. Aku tidak menemukan sosok siapa pun di sini. Akhirnya aku memilih duduk lalu sekilas memberi hormat untuk permisi meski aku tahu di sini tidak ada makhluk lain selain batu dan deru angin. Aku mencoba berinteraksi dengan Nini Ratu.

Baru saja aku hendak berinteraksi, sekilas batinku terkesiap. Aku harus panggil apa dengan Nini Ratu? Apakah aku memanggilnya Nini atau Ratu saja? Atau ada panggilan lain. Aku menyesali mengapa aku tidak bertanya lebih dulu dengan Nyi Ratih?. Tiba-tiba aku merasakan angin kencang berhembus dari belakang. Ombak semakin buncah menghempas karang. Bahkan buihnya memancar hingga membasahi dalam gua. Aku segera sedikit menyingkir. Tak lama di antara ombak yang tinggi muncul seokor naga yang luar biasa besarnya. Ekornya mengibas-ngibas membuat ombak makin tinggi. Sorot matanya yang tajam, dan kumisnya yang selalu bergoyang membuat penampilannya menakutkan.

“Salam Om Swastyastu. Selamat datang di goa petilasan, wahai titisan Nini Ratu. Terimalah sembah hamba. Apakah kanjeng Ratu hendak bertemu paduka Nini Ratu? Tempat ini petilasan Kanjeng Nini. Beliau bertapa di gunung, sudah ratusan tahun lamanya. Aku akan antarkan Kanjeng ke sana” Ujar naga besar itu.

“Maaf, siapakah Eyang Naga?” Tanyaku.

“Hamba Naga, pengawal Nini Ratu, Kanjeng. Hamba bertapa di dasar laut, bawah gua ini. Bertahan-tahun lamanya hamba berdoa pada Sang Widhi agar Kanjeng Ratu datang ke mari, karena hamba juga ingin bertemu dengan kanjeng. Ternyata Hyang Widhi mengabulkan doa hamba” Ujar Eyang Naga. Suaranya yang berat dan cahaya matanya yang panas seperti lampu menyala-nyala. Hawa anyir menguap dari mulut dan tubuhnya sedikit membuat kepalaku pusing. Akhirnya kututup pancainderaku agar bisa nyaman berbicara pada beliau.

“Baiklah Eyang” Jawabku cepat. Aku naik segera ke punggung Eyang Naga sesuai perintahnya tanpa rasa curiga sedikit pun. Tak lama ekornya bergoyang, lalu kakinya bergerak. Dalam sekejap aku seperti diajak terbang.

Aku agak heran ketika tubuh besar Eyang Naga berbelok. Semula kukira beliau akan membawaku ke gunung Ijen. Rupanya di gunung Ijen hanya duplikat Nini Ratu sesekali melakukan tapa. Entah apa maksudnya, hanya beliau yang tahu. Kenyataannya beliau berada di salah satu gua gunung Rante. Gunung yang berseberangan dengan gunung Ijen. Aku menatap ke bawah, terhampar bukit batu yang terjal, hutan kecil, dan savana. Bukit, tanah berudak, dan dataran terlihat seperti lukisan dari atas. Tak lama Sang Naga menampakkan kakinya di bebatuan.

“Kita sudah di depan gua Rante, Kanjeng Ratu. Silakan masuk. Nini Ratu sudah tahu kehadiran kita” Lanjutnya. Tanpa berpikir panjang aku bergerak turun. Pemandangan sekitar gua jelas sedikit berbeda dengan alam di kampungku. Meski sama-sama berhutan tropis. Di kampungku karena curah hujan lebih tinggi membuat hutannya lebih lembab. Sedangkan di sini, hutannya lebih cendrung seperti semak belukar. Tidak ada belantaranya. Udara dan angin yang dingin membuat pucuk-pucuk edelwais berwarna putih mengangguk-angguk.

Sejenak kutatap mulut gua yang terletak di antara batu cadas. Bekas lumut kering membuat batu-batu seperti berkarat berwarna kuning kecoklatan. Namun mulut gua terlihat kecil karena tertutup semak ilalang dan pakis ghesam yang tumbuh liar. Siapa sangka di balik semak belukar itu ada gua. Aku mulai masuk sembari mengucapkan salam dalam hati. Paman Naga mengubah tubuhnya lebih kecil. Baru beberapa langkah aku dihadapanku ada sosok perempuan yang sudah sangat sepuh. Bahkan duduk pun beliau bertopang pada tongkat di genggamannya. Entah berapa ribu tahun usia beliau. Namun melihat kondisinya meski sepuh, beliau masih memiliki kemampuan interaksi yang baik.

“Salam, Nini. Terimalah sembah sujud hamba. Hamba Putri Selasih dari seberang” Ujarku berusaha beradaptasi pada budaya kerajaan.

“Salam, Om Swastyastu” Suara Nini Ratu sedikit bergetar. Tangannya melambai menyuruhku mendekat. Aku beringsut pelan mendekat pada beliau. Setelah dekat, beliau langsung memelukku erat. Dari mata rentanya, bergulir air mata.

“Akhirnya kau datang, Cucuku setelah ratusan tahun lamanya, aku bertapa menunggu kehadiranmu. Hyang Widhi mengabulkan doa-doaku” Nini Ratu masih menangis dengan suara gemetar. Aku bisa merasakan keharuan batin beliau luar biasa. Tak lama beliau merenggangkan pelukan dan ciumannya. Selanjutnya entah mengucapkan apa beliau seperti sedang membaca mantra. Lalu suara canang menggema di ruangan gua. Aku hanya diam memperhatikan bahasa tubuh Nini Ratu. Belum ada tanda-tanda akan melepaskan pelukannya. Akhirnya aku tetap bertahan di pelukannya. Rupanya beliau memanjatkan doa dan mengucapkan terimakasih pada para dewa yang telah mengabulkan doa sekaligus mendoakan keselamatanku.

“Aku sudah tahu jika kau akan datang, Cucuku. Untuk itulah Nini telah bersiap-siap menunggumu. Sebelum kau kembali ke kerajaan kita, Nini akan serahkan ini padamu. Ambillah. Tongkat kecil ini peganglah” Nini Ratu menyerahkan sebuah tongkat kecil, berkepala ular naga. Tongkat berukuran kurang lebih empat pupu centi meter ini terlihat sangat mewah karena berbalur emas. Aku melihat mata naga menyala. Ini bukan tongkat biasa. Instingku mengatakan tongkat ini bisa berubah menjadi ular naga sakti. Tanganku bergetar ketika menerimanya. Aku mencoba mengendalikannya, lalu menyinkronkannya dengan batinku. Tak lama, terasa tenang dan nyaman.

“Tongkat ini adalah lambang kerajaan kita, Cu. Rakyat kerajaan kita semuanya bangsa jin dari berbagai macam jenis dan golongan. Mereka pasti akan kembali tunduk jika melihat tongkat yang kau pegang ini. Nini percaya padamu. Dirikanlah kembali kerajaan kita yang telah hancur. Jika kerajaan kita sudah berdiri, maka Nini ingin segera menuju nirwana. Tempat yang damai, meninggalkan dunia yang fana ini dengan tenang” Ucap Nini Ratu seakan sengaja tidak memberikan kesempatan padaku untuk bertanya siapa dirinya dan apa hubungannya denganku.

“Jadilah pemimpin yang bijak, Cucuku. Aku tahu, kau tidak sepenuhnya bisa selalu berada di kerajaan, namun Nini yakin, kau pasti bisa mengatur semuanya dengan baik” Ujar Nini Ratu. Kali ini beliau mengambil sebuah bungkusan dari kain berwarna merah dan kuning yang diikat dari ujung ke ujung.

“Ini pakaian kebesaran kerajaan untuk kau kenakan, Cucuku” Ujar Nini lagi. Aku menerimanya dengan dua tangan terbuka. Aku letakkan di pangkuanku, lalu membuka bungkusan yang berwarna merah. Ternyata isinya gaun adat lengkap dengan aksesorisnya. Lalu aku membuka bungkusan yang berwarna kuning, ternyata di sana terdapat mahkota, kalung, gelang tangan dan kaki, serta peding emas berkepala naga. Ada juga tusuk konde emas, lalu seperti selempang, pun terbuat dari emas. Aku terbelalak dibuatnya. Dua bungkusan itu kurapikan kembali. Aku kembali sujud mengucapkan terimakasih. Aku merasakan beliau sedikit terburu-buru memberikan benda-benda pusaka itu padaku. Sayang aku tidak bisa membaca situasi itu lebih dalam.

Terakhir beliau meraih tanganku, lalu meletakkan ke telapak tangannya. Aku disuruh beliau menutup mata. Pelan-pelan kurasakan ada sesuatu yang beliau salurkan sehingga tanganku yang semula biasa saja, sekarang bergetar dan hangat. Hal itu terasa cukup lama. Alam yang semula berwarna sedikit remang tiba-tiba terang benderang. Ada kekuatan terpancar hingga menembus cadas. Beliau menyalurkan kekuatannya padaku.

Aku konsentrasi dan pasrah. Ilmu Nini Ratu seperti desir angin menyusup lewat telapak tangan, seperti lapisan kulit bersusun memenuhi ruang jasadku. Tiba -tiba ada beberapa yang beliau salurkan menolak masuk ke dalam tubuhku. Bahkan mental ke sana kemari. Aku segera menyambarnya. Langit berubah menjadi hitam dan gelap, sesekali seperti cahaya menyambar-nyambar. Fenomena ini kerap terjadi jika seseorang membuang ilmunya, atau memutuskan segala hal gaib pada dirinya. Tapi ini padaku. Aku sedikit heran. Akhirnya kuhimpun energi yang menolak itu ke dalam lengan. Hanya sebatas itu. Energi itu kusimpan lebih dulu. Aku tidak ingin melihatnya terbang liar ke mana-mana. Tubuh Nini Ratu semakin lama semakin bergetar hebat. Aku balik mencoba menyalurkan energi positif padanya. Setelah selesai kulihat Nini Ratu semakin lemas. Aku segera bergerak membantunya memulihkan tenanganya kembali.

“Terimakasih, Cucuku. Semua milikku sudah kuserahkan padamu. Gunakanlah sebaik mungkin. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi akan kembali hidup di tanganmu.” Ujar Nini dengan suara makin kecil. Nafasnya sedikit terengah. Eyang Naga kulihat menutup mata. Mungkin beliau sedang semedi.

Tak lama aku melihat Nini Ratu mengangkat tangannya ke atas kepala dengan telapak tangan mengatup. Kembali beliau berkata-kata seperti membaca mantra. Lalu pelan-pelan telapak tangannya bergoyang-goyang di atas kepalaku. Selanjutnya ada semacam air beliau percikkan ke tubuhku. Aku tidak paham apa yang beliau lakukan. Mungkin itu rangkaian ritual keagamaan Nini Ratu, aku juga tidak tahu.

Langit dan bumi terasa kembali hening. Suara gemuruh yang semula memekakkan hilang sama sekali. Ruang goa semula merah sekarang normal kembali.

“Ampun Nini, ada beberapa yang Nini Ratu transfer ditolak oleh tubuhku. Apakah itu Nini? Energi itu masih kusimpan di lenganku, Nini. Dia tidak bisa menyatu dengan tubuhku” Ujarku penuh kelembutan.

“Iya, aku tahu. Kepercayaan yang kau miliki, kesucian batinmu memang menolaknya, Cu. Itu adalah ilmu sihir andalan kerajaan kita, yang banyak diminati oleh jin-jin lain dan bangsa manusia.” Ujar beliau kembali. Aku bingung harus aku apakan ini. Jelas batinku menolak ilmu hitam warisan beliau. Ilmu itu tidak akan bisa menyatu dalam tubuhku. Ilmu-ilmu sihir ini biasa dimanfaatkan oleh tukang teluh, santet, dan lain sebagainya. Demi menghormati beliau, warisan yang beliau miliki itu akan kusimpan untuk sementara. Aku khawatir ada makhluk lain yang menyambarnya lalu digunakan untuk menyakiti sesama makhluk hidup di muka bumi ini.

“Mohon maaf Nini Ratu, ilmu warisan leluhur ini tidak semuanya bisa hamba terima. Hamba mohon izin ilmu itu hamba simpan saja, tidak hamba musnakan, atau hamba gunakan. Sebab, hamba takut jika ilmu ini disalahgunakan oleh makhluk hidup di muka bumi ini, justru akan berakibat bencana” Ujarku sedikit ragu. Aku takut jika yang kusampaikan tidak beliau terima. Ternyata beliau tersenyum manis sekali.

“Semuanya kuserahkan padamu, Cu. Lakukanlah yang menurutmu paling baik dan terbaik untuk kerajaan kita” Lanjut beliau.

“Satu lagi, Nini Ratu. Hamba memiliki keyakinan berbeda dengan Nini dan rakyat kerajaan. Apakah ini tidak akan menjadi penghambat?” Ujarku terus terang. Lagi-lagi aku melihat senyum Nini Ratu mekar. Beliau menggeleng-ngegelengkan kepala.

“Sepenuhnya kuserahkan padamu, Cu. Meski kau dan aku berbeda keyakinan, demikian rakyat kerajaan, aku yakin tidak akan menghambat selagi kau bisa mengayomi rakyatmu yang berbeda itu. Aku dulu pernah jatuh cinta pada bangsamu, Cu. Bangsa manusia. Beliau seorang Habib. Tapi karena alam yang berbeda, sulit untuk bisa bersatu. Nini sangat mencintainya hingga kini” Suara Nini Ratu sedikit tersendat. Aku jadi ikut tercekat. Beliau memiliki kisah cinta juga rupanya. Aku merasakan jika beliau menyimpan rasa cinta itu hingga kini. Sedetik aku merasakan keperihan batin Nini Ratu.

“Cinta memang tidak mesti memiliki” Ujarnya sedikit berfilsafat. Aku memaklumi pernyataan beliau. Meski usia beliau sudah ribuan tahun, namun tetap sinkron dengan kehidupan masa kini. dalam hati aku pun berucap, aku juga punya rasa cinta yang dalam pada cinta pertamaku hingga kini. Pada Guntoro. Hanya saja yang kucintai sebangsa denganku, manusia. Sedangkan Nini Ratu, beliau makhluk asral namun menyintai banga manusia. Sekilas kami sama-sama hanyut dengan perasaan masing-masing. Perasaan cinta, ternyata memiliki ruang tersendiri di dalam dada siapa pun. Luar biasa.

“Kita tengah berbicara masa depan kerajaan, mengapa berbelok ke cerita masalah cinta? Menyintai seseorang hanya membuat perasaan kita didorong keinginan untuk saling memiliki. Nafsu yang ada. Ketika kita tak mampu menggapainya maka akan luka. Perasaan luka inilah salah satu yang membuat Nini mengasingkan diri jauh dari keramaian, Cu. Nini ingin menyucikan diri dari segala hal berbau duniawi” Nini Ratu menarik nafas panjang. Sejenak aku menatap beliau dalam-dalam. Andai bisa, ingin aku menghapus rasa luka yang pernah menggores batinnya.

“Cucuku, pulanglah segera. Tugasmu sangat berat. Tapi Nini merasakan, banyak sekali yang akan membantumu. Empat penjuru angin akan berpusar, semuanya berporos padamu. Tidak salah Sang Widhi memilihmu sebagai titisanku. Ratu Laut Timur Banyuwangi” Nini Ratu dengan suara sedikit berapi. Aku merasakan bara semangat di tuturnya. Beliau perempuan hebat menurutku. Pada akhir hidupnya, lebih memilih mendekatkan diri pada Sang Widhi sesuai keyakinannya.

Aku mengumpulkan pemberian Nini Ratu. Tongkat lambang kekuasaan kerajaan kusimpan segera di betis. Seketika ke luar cahaya lembut sepanjang tongkat itu. Aku mengusapnya segera agar tidak mencolok. Melihat apa yang kulakukan Nini Ratu dan Eyang Naga mengangguk-angguk.

“Kau cerdas Cucuku. Segala kemungkinan ternyata sudah terbaca olehmu” Nini Ratu tersenyum. Selanjutnya mahkota, busana dan aksesoris sebagai ciri seorang ratu, kusimpan juga ke telapak tangan. Ketika semuanya beres, aku kembali duduk timpuh memberikan sujud mohon diri pada Nini Ratu. Beliau kembali meraih tubuhku, lalu memeluk dan menciumku.

Aku memutar badan agak ke samping. Ada Eyang Naga di sana. Aku pun memberi hormat pada beliau sebelum pamit untuk kembali ke Laut Timur Banyuwangi. Aku menolak permintaan Eyang Naga untuk naik ke punggungnya guna mengantarku.

“Eyang, maafkan saya, terimakasih Eyang telah membantu saya. Jika Eyang hendak bersamaku, mari Eyang kita berjalan bergandengan” Ujarku setelah mendengar beliau hendak membawaku agar kembali menunggang padanya.

“Naga, biarlah Putri Selasih, Cucuku melakukan tugas sesuai dengan rencananya. Kita awasi saja dulu dari sini. Suatu saat kita kunjungi istana kita” Kata Nini Ratu. Eyang Naga mengangguk setuju. Akhirnya aku mundur pelan-pelan menuju pintu gua. Aku mendekap telapak tanganku memohon diri.

“Salam Nini Ratu, Eyang Naga” Sejenak aku berdiri di pintu gua. Aku berbalik badan. Kembali menikmati pemandangan indah di hadapanku. Gundukan-gundukan yang membentuk bukit dan anak gunung kecil berlekuk-lekuk membuatku rindu gunung Dempu.

Oh! Tahukah Nenek Kam jika aku berada di tanah asing, tanah yang siap menguras energi? Kembali ke tanah seribu ilmu, konon tanah leluhurku? Membangun kembali kerajaan gaib di Laut Timur Banyuwangi. Menjadi seorang Ratu!

***

Aku melepas pandang pada satu bintang yang lebih terang di timur. Posisinya sudah membuat kepala sedikit mendongak. Ini penanda sebentar lagi fajar tiba.

Aku segera menemui Nyi Ratih yang masih khusuk berzikir. Sejenak kupandang sekeliling. Masih seperti tadi. Pagar gaib Nini Ratu tidak ada yang rusak sedikitpun.

“Nyai…” Aku sedikit berbisik memberi kode pada beliau untuk mengakhiri zikirnya. Aku menunggu sejenak. Tak lama Nyi Ratih membuka matanya dan tersenyum padaku.

“Kanjeng sudah pulang? Bagaimana hasilnya, Kanjeng? Kanjeng berjumpa dengan Nini Ratu Bukan?” Ujarnya dengan ekspresi penuh tanya. Aku mengangguk sambil menarik tangannya untuk berdiri.

“Sudah semuanya, Nyai. Semua sudah selesai. Nini Ratu sudah menyerahkan semuanya padaku. Tinggal kita rancang bagaimana mengawali pembangunan istana yang sudah hancur ini. Bagaimana menurut Nyai, apakah kita pulang ke Dieng atau tetap bertahan di sini sementara?” Ujarku meminta pandangan Nyi Ratih. Siapa tahu beliau punya saran dan rencana yang belum kuketahui.

“Bagaimana kalau kita pulang ke Dieng terlebih dahulu, Kanjeng. Kita diskusikan dengan Eyang Guru untuk membangun kembali istana kita. Barangkali beliau punya saran untuk kita” Ujar Nyai Ratih bijak. Apa yang beliau sampaikan sepemikiran denganku. Akhirnya kami sepakat untuk pulang dulu ke Dieng.

Aku segera menyapukan tangan ke atas. Selanjutnya kuraih tangan Nyi Ratih untuk ke luar dari lingkaran istana. Di luar pagar gaib itu aku memanggil angin untuk mengantarkan kami ke Dieng. Belum selesai mantra angin kuucapkan, tiba-tiba ada sosok makhluk asral bertubuh besar, berkulit merah menghampiri kami.

“Siapa kalian? Apa keperluan kalian ke mari? Apa yang kalian cari? Berani sekali kalian masuk ke area kerajaan kami.” Suaranya menggelegar bernada tidak suka. Aku sedikit mundur ketika tongkat yang dipegangnya sedikit terkibas dan mengeluarkan tenaga.

“Paman! Paman Gola! Paman masih di sini? Aku Nyi Ratih, Paman” Suara Nyi Ratih kaget melihat sosok besar tinggi yang berdiri menantang di hadapan kami.

“Nyi Ratih? Kau jangan mempermainkan aku. Nyi Ratih tidak sepertimu. Lagi pula, Nyi Ratih telah lama gugur bersama Nyi Rara di medan perang ketika melawan orang dari Seberang. Beliau gagal menjemput ratu kami. Jadi jangan mengada-ada” Ujar sosok yang dipanggil Paman Gola. Mungkin karena sudah sepuh, beliau sudah tidak bisa membedakan suara Nyi Ratih. Nyi Ratih memang berbeda sembilan puluh derajad dari yang dulu. Jika dulu Nyi Ratih berbalut kemben, sekarang tertutup rapi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beliau memakai setelan celana, namun gaunnya panjang dan longgar hingga betis. Memakai kerudung mirip Eyang Guru. Bagian dalam kain yang diikat erat, lalu bagian luar kain agak panjang dibiarkannya menguntai hingga leher dan dada, berbahan yang lembut dan jatuh. Selanjutnya, cadar yang dipakai nyaris menutupi semua wajah. Yang terlihat hanya bola matanya yang indah. Aku juga memakai model yang senada. Warnanya saja yang berbeda. Biru dongker. Namun aku tidak menutup wajahku mirip cadar seperti Nyi Ratih.

“Paman Gola, aku Nyi Ratih, Paman” Nyi Ratih berusaha meyakinkan.

“Apa yang bisa kau buktikan jika engkau memang Nyi Ratih, untuk meyakinkan aku” Ujar sosok yang dipanggil Paman Gola masih tidak percaya. Tatapannya masih sinis. Akhirnya Nyi Ratih sedikit berputar, tak lama tangannya bergerak cepat sehingga terlihat tangannya banyak sekali. Ada ribuan tangan bergerak. Sebuah jurus yang luar biasa. Padahal Nyi Ratih tidak mengeluarkan tenaga dalamnya, namun aku bisa mengukur kedasyatannya.

“Paman ingat jurus ini siapa saja yang memiliki? Apakah suaraku berbeda dengan dulu, Paman?” Lanjut Nyi Ratih lagi.

“Jurus seribu tangan yang hanya dimiliki oleh Nini Ratu, Nyi Rara, dan Nyi Ratih” Suaranya bergetar. Ada rasa haru di nadanya. Tiba-tiba Paman Gola menjatuhkan badan dan sujud sedalam-dalamnya.

“Om Swastyastu, maafkan hamba Nyi Ratih. Maafkan orang tua yang tidak pandai ini. Nyi Ratih sangat berubah. Tidak seperti dulu” Paman Gola menatap Nyi Ratih. Ekspresi harunya membuat aku juga terharu. Apalagi ketika di balik matanya yang besar ada bening air mata. Bisa juga makhluk asral menangis haru. Aku membatin.

“Panjang sekali jika kuceritakan, Paman. Nyi Rara memang gugur dalam perang ketika itu. Sementara aku sempat menyelamatkan diri meski terluka, dan gagal membawa Kanjeng Ratu pada waktu itu. Setelah kekalahan itu, aku disuruh Nini Ratu pergi ke gunung Ijen menemui Resi Gondo Biru, beliau petapa kawah di gunung Ijen. Tetapi beliau justru menyarankan dan mengantarkan aku ke Dieng menemui betapa perempuan yang kini menjadi guruku Resi Sahida”

“Resi Sahidah? Yang dikenal Eyang Putih, perempuan badai yang menyamar menjadi manusia tua dan jelek itu gurumu?” Paman Gola lebih kaget lagi. Nyi Ratih mengangguk cepat.

“Iya, bahkan beliau sering disebut gila oleh bangsa manusia. Beliaulah yang mendidik, menempahku hingga aku menjadi seperti ini. Sebab waktu itu beliau berkata, jika engkau ingin Ratumu kembali, bukan dengan cara menculiknya. Dia akan datang sendiri, dengan syarat kau harus seakidah dengannya. Kata Eyang guru saat itu. Demi cinta dan kesetiaanku pada kerajaan ini, aku bersyahadat Paman. Sebelumnya aku minta izin terlebih dahulu pada Nini Ratu. Beliau mengizinkan aku” Nyi Ratih menyusut air mata.

“Lalu..” Paman Gola semakin tertarik.

“Aku dididik agama terlebih dahulu, lalu beratus tahun aku disuruh bertapa, ditempah untuk dekat pada Sang Pencipta. Hingga akhirnya, niat untuk menculik Sang Ratu yang menggebu, berubah menjadi hasrat menerima takdir, dan menjalaninya dengan ikhlas. Aku hanya berdoa, dan pasrah. Ternyata apa yang disampaikan Eyang Guru ketika pertamakali menemuinya, menjadi kenyataan, Paman. Aku tidak perlu mencari dan menculik Kanjeng Ratu agar kembali ke kerajaan kita. Beliau akan datang sendiri tanpa ada yang merekayasa. Ratumu akan datang sendiri. Dan itu benar! sang Maha pencipta mengabulkan doaku. Itulah sebabnya aku sangat percaya pada takdir. Pada skenario Maha pencipta, Paman” Ujar Nyi Ratih kembali sembari menyusut air mata.

Aku terus mengamati obrolan mereka. Perasaan dan kisah masing-masing selama mereka berpisah menjadi pokok obrolan. Akibatnya sedikit banyak aku tahu bagaimana hubungan mereka dan bagaimana kesetiaan mereka selama ini pada kerajaan.

“Aku ingin melihat wajahmu, Nyi Ratih” Paman Gola bernada rindu. Nyi Ratih menatapku seakan ingin minta izin. Aku mengangguk mengizinkannya. Akhirnya Nyi Ratih membuka cadarnya sekilas demi meyakinkan orang tua itu.

“Aku seperti ini karena agamaku mengajarkan untuk menutup auratku, Paman” Lanjut Nyi Ratih lagi.

Suasana hening sejenak. Kedua orang di hadapanku kubiarkan hanyut dengan rasa kerinduan yang membuncah di dada mereka. Dapat kusimpulkan kedua makhluk ini adalah sisa kerajaan yang masih setia. Aku berharap masih ada Nyi Ratih dan Paman Gola yang lain.

“Lalu, apakah Nyi Ratih sudah bertemu, atau sudah tahu keberadaan Nini Ratu dan Kanjeng Ratu?” Paman Gola bertanya kembali. Nyi Ratih baru saja hendak berbicara, ketika Paman Gola menjerit, lalu menjatuhkan dirinya ke tanah.

“Om swastyastu Kanjeng Ratu. Ampunkan hamba yang bodoh ini, Kanjeng. Sungguh hamba tidak mengetahui jika dihadapaku adalah kanjeng Ratu. Sekali lagi maafkan Hamba, Kanjeng. Terimalah sembah hamba” Orang tua ini masih sujud tidak mengangkat-angkat tubuhnya setelah tahu ada tongkat kerajaan di betisku. Kuakui kehebatannya.

“Bangkitlah Eyang. Salam. Mengapa Eyang menyebut aku Ratu Timur Laut Banyuwangi? Bukannya kita belum pernah berjumpa sebelumnya?” Ujarku menyimpan rasa kagumku. Padahal aku sudah mencoba serapi mungkin menyimpan tongkat kebesaran di betisku agar tidak dikenal lebih awal oleh siapa pun.

“Cahaya dari betis Kanjeng, itu adalah cahaya tongkat kerajaan Timur Laut Banyuwangi, Kanjeng. Hanya Raja atau Ratu saja yang bisa memegangnya. Ampunkan hamba, Kanjeng. Ampunkan ketidaktahuan hamba. Hukumlah hamba yang telah lancang, Kanjeng” Ujarnya menyesal. Aku kembali takjub. Begitu dalamnya aturan di dalam kerajaan sehingga anak kecil seperti aku disembah-sembah oleh sosok yang sudah sangat tua. Aku jadi merasa tidak enak. Malah ada perasaan bersalah, berdosa.

“Bangkitlah, Eyang. Lupakanlah. Bersikaplah biasa-biasa saja, Eyang. Aku tidak perlu dielu-elukan, dihormati sedemikian rupa. Terimakasih Eyang masih setia. Mohon bantuan Eyang untuk kembali bersama-sama, kita bangun kembali kerajaan yang sudah mati ini” Ujarku mencoba memposisikan diriku sebagai seorang pemimpin.

“Ratusan tahun sejak kerajaan ini runtuh, ditinggalkan Nini Ratu, hamba masih kerap ke mari, Kanjeng. Hamba sering melihat dan mengawasi meski tidak bisa masuk karena dipagar oleh Nini Ratu” Ujar Eyang Gola lagi. Rupanya kesetiaannya pada kerajaan membuat orang tua ini dengan ikhlas tetap menjaga meski hanya di luar area.

Aku diam sejenak. Berpikir bagaimana caranya supaya sementara waktu tidak ada yang mengenalku. Sebab belum saatnya aku mengeluarkan atribut kerajaan.

Hup! Hup!

Aku mengambil kabut hitam lalu menyapukannya pada betisku. Cahaya yang dikeluarkan oleh tongkat kebesaran tidak tembus pandang lagi. Nyi Ratih dan Eyang Gola hanya menatapku diam.

“Lama sekali kita tidak berjumpa, Paman. Sungguh aku tidak menyangka akan jumpa kembali dengan Paman. Beliau adalah salah satu ponggawa kepercayaan kerajaan, Kanjeng” Ujar Nyi Ratih.

“Tentu saja! Hamba sangat cinta dengan kerajaan ini, Nyi Ratih. Kerajaan yang dengan susah payah dibangun oleh paduka ayahanda Nini Ratu. Hamba juga terlibat membangun istana waktu itu. Hamba sangat tahu bagaimana beliau berjuang menghimpun rakyat kerajaan dari berbagai jenis dan golongan. Baik makhluk laut maupun yang di darat. Tidak mudah menyatukan dua jenis makhluk yang hidup di darat dan laut. Tapi baginda ayahanda Nini Ratu, bisa menghimpunnya” Ujarnya lagi membuatku takjub.

“Baiklah, Eyang. Maafkan jika saya memanggil Eyang. Saya butuh bantuan saran dan pemikiran Eyang untuk kembali menegakkan kerajaan kita. Saat ini, kami hendak ke Dieng menemui Eyang guru kami. Pun sama untuk meminta petunjuk mereka” Ujarku sedikit lega. Paling tidak beliau bisa menjadi referensi bagaimana bentuk kerajaan ini bisa utuh dan bangkir lagi. Nampaknya beliau makhluk yang bisa diarahkan pada kebaikan.

Akhirnya diambil kesepakatan, aku dan Nyi Ratih pulang ke Dieng, sementara Eyang Gola tetap menjaga di sini. Malam besok kami akan kembali. Aku memanggil angin dari laut. Tak lama aku dan Nyi Ratih melesat menuju Dieng, tempat Eyang Guru menunggu kami.

Sebentar lagi subuh tiba ketika aku dan Nyi Ratih menjajakan kaki di tanah. Suasana Dieng nampak sepi. Kami berdua melangkah sejajar memasuki pintu gerbang gaib tempat Eyang Guru bersemayam.

Suasana di tempat Eyang sepi. Hanya ada beberapa kakak seperguruan sedang asyik menata taman, ada yang menyapu, ada juga yang hanya duduk-duduk saja. Nyi Ratih mengucapkan salam.

Sembari terus melangkah menuju pintu masuk kediaman Eyang Guru.

“Nampak sepi, kemana para Eyang, dan kakek ya” Ujarku sambil melangkah.

“Alhamdulilah, sudah pulang Cu?” Tiba-tiba aku kaget hanya mendengar suara Eyang Putih. Mataku celingukan mencari wujudnya.

“Iya, Eyang. Alhamdulilah selamat tidak ada hambatan apa pun” Jawabku meski tidak melihat wujudnya. Aku merasa cukup aneh juga menghadapi Eyang Putih.

Usai salat subuh, kita kumpul di masjid, kita bicarakan rencanamu selanjutnya” Eyang Putih lagi seakan tahu dan menjawab segala hal yang tersimpan di benakku.

“Baik Eyang. Terimakasih” Ucapku mengangguk tanpa tahu harus menghadap ke mana. Mengapa aku tidak mendetekalsi keberadaan Eyang Putih? Batinku. Namun niat itu kubatalkan. Aku takut kelakuanku lancang.

Eyang Kuda adzan subuh di masjid gaib itu. Masya Allah aku merinding mendengarnya. Sangat patut beliau medampingi Pangeran Sentot Ali Basya, bahkan tetap setia hingga kini. Karena beliau memang sosok yang soleh. Irama azannya mirip seperti azan qori kondang di alam nyata. Benar-benar syahdu. Aku bersyukur sekali dipertemukan dengan makhluk-makhluk asral yang berbudaya itu.

Usai adzan, beliau mengumandangkan syalawat. Pun sama merdunya ketika beliau adzan. Aku melihat banyak sekali makhluk asral berduyun-duyun ke masjid untuk melaksanakan subuh berjamaah. Mereka tidak melulu menggunakan gamis serupa para Kyai. Tapi tidak sedikit yang berkain sarung, bercelana sebatas betis, bahkan ada yang berpakaian seperti pengawal-pengawal kerajaan zaman dulu, seperti rompi dan ikat kepala dengan bentuknya yang khas. Sementara yang perempuan tidak sedikit yang hanya mengandalkan baju dan jilbab panjang mereka . Rata-rata mereka berwujud dan mewujudkan diri seperti manusia.

Sholat subuh diimami oleh seorang Syech. Aku tidak tahu beliau berasal darimana. Merasakan suasana seperti ini, aku serasa berada di masjid perut bukit Marcawang. Indah dan damai. Padahal di alam nyata hiruk-pikuk bangsa manusia, kerap kali mengunjungi dataran tinggi ini. Namun nampaknya tidak pengaruh, selagi mereka bisa menjaga diri dan tetap beretika.

Usai sholat subuh, kami berkumpul seperti intruksi Eyang Putih di teras sebelah kanan masjid. Sebab di dalam nampaknya jamaah masih melakukan kajian agama menjelang matahari terbit. Melihat antusias makhluk asral seperti ini membuat aku iri. Mereka makhluk-makhluk yang tekun dan taat dalam menjalankan ibadah, namun tetap saja menyempatkan diri untuk memperdalam pengetahuan religi mereka.

Ketika semua berkumpul, aku diminta Eyang Putih menyampaikan pengalaman dan rencana apa yang aku lakukan. Aku ceritakan kondisi area istana, lalu menemui Nini Ratu. Termasuk lambang-lambang kebesaran kerajaan telah Nini Ratu serahkan padaku. Selanjutnya kuceritakan pula jika aku ingin membangun istananya terlebih dahulu, baru menarik pulang rakyatnya yang telah menyebar dan liar.

“Kapan rencanamu hendak memulainya, Muridku?” Ujar Eyang Putih. Kukatakan nanti malam aku ingin pembangunan istana sudah dimulai.

“Aku tidak tahu, harus mulai darimana dan bagaimana caranya, Eyang Guru” Ujarku ingin solusi. Sebab aku sadar, aku baru memliki semangat yang membara. Untuk melakukan sesuatu dari awal aku masih butuh bantuan banyak orang.

Ternyata, rencanaku disambut baik oleh semua yang hadir. Eyang Putih langsung menyatakan aku tidak usah pusing soal pembangunan istana itu.

“Eyang akan siapkan material yang dibutuhkan sekaligus perancangnya sesuai keinginanku. Eyang akan minta bantuan sahabat, murid-murid Eyang, terutama dari makhluk asral” Eyang Putri menyanggupi membuatku terkejut. Seketika beliau menghadirkan beberapa orang Kyai dan santri, konon mereka sering menemui Eyang Putih di alam gaib ini. Dari percakapan beliau, Kyai dan santri itu akan menyiapkan seribu santrinya dari makhluk asral yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk membantu pembangunan. Selanjutnya mereka menyatakan akan minta bantu kawan-kawan mereka untuk mengumpulkan sepuluh ribu santri yang bertugas berzikir di area istana.

Demi mendengar itu, aku rasanya ingin melompat girang. Aku tidak bisa banyangkan melihat keajaiban-keajaiban di depan mata.

“Aku akan bawa lima ribu santri malam esok” Jawab Puyang Purwataka. Selebihnya santri yang lain, akan membantu mengundang para santri gaib untuk memenuhi menjadi sepuluh ribu santri pasukan zikir.

Mataku serasa terang benderang mendengar segala kemudahan yang disampaikan di forum ini. Ternyata tidak ada yang sulit jika dibicarakan dengan baik dan disampaikan oleh orang yang baik, serta diterima pula oleh orang yang baik-baik. Semua bersedia menyumbangkan ini dan itu sesuai dengan kebutuhan. Usai diskusi dan semua dinyatakan sepakat, termasuk desain istananya aku minta bernuansa islami, lalu aku sampaikan keinginanku agar di bangun masjid dan pure berdiri sejajar, tidak jauh dari area istana. Kuceritakan jika sembilan puluh sembilan persen rakyatnya beragama hindu. Mendengar itu, beberapa orang santri yang dipanggil Eyang Putih akan memanggil seribu makhluk asral pula yang siap membantu membangun pure. Simpulannya, semua hal berkaitan dengan rencana pembangunan beres dalam waktu singkat.

Aku masih duduk timpuh di sudut musolah, sebagai bentuk utuh manusia. Aku tengah berinteraksi dengan Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Kuceritakan jika aku bertemu dengan Nyi Ratih peri Banyuwangi yang menculikku dulu dan hingga kini mereka menganggapku ratu mereka. Kusampaikan juga perihal pembangunan istana.

“Iya, kami sudah tahu semuanya, Cung. Puyang melihat semuanya. Insya Allah, malam nanti Puyang, Nenek, Kekekmu, akan hadir di pembangunan istanamu” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Mendengar itu aku semakin semangat. Rasanya ingin saat ini juga aku melaksanakan amanah besar ini. Aku yakin hari ini aku tidak akan bisa tidur meski sekejap. Rencana nanti malam bukan rencana kecil. Ini adalah peristiwa paling besar pertama dalam hidupku. Bagaimana tidak, tiba-tiba aku harus menjadi ratu, memimpin dan menyatukan sebuah kerajaan yang sudah runtuh dan cerai-berai.

Sambil menghirup udara segar pegunungan, aku bangkit dari duduk di masjid. Aku ingin melihat kehidupan nyata Eyang Putih. Beliau tertawa terkeke-keke ketika tahu aku hadir di alam nyatanya.

“Kau penasaran pada gurumu, ya Cu? Inilah gurumu. Jelek dan tua” Ujarnya seperti menertawakan diri sendiri. Memang aku melihat beliau jauh terbalik dari yang kukenal. Siapa sangka beliau adalah seorang perempuan hebat yang hari-harinya selalu beliau manfaatkan untuk ibadah. Aku seperti melihat permainan teater di depan mata. Eyang Putih pemain drama hebat!

Jika ingin melihat sosoknya yang sebenarnya memang harus masuk ke alam gaib.

Akhirnya meski Eyang Putih nampak cengar-cengir kadang tertawa aku tetap serius menghadapinya. Aku juga belajar memahami karakter beliau di alam nyata.

“Kulungnuwun, mbah…” Aku segera menoleh dan menjawab salam. Seorang petani memanggul sayur dan kentang dalam keranjang bambu. Nampaknya sangat berat. Karena keranjang itu padat. Peluh mengucur dan nafasnya sedikit memburu.

Eyang Putih tidak peduli, dan tidak pula menjawab salam tamunya. Apalagi hendak menghampiri dan mengucapkan terimakasih. Pantas saja beliau dibilang kurang waras, karena memang beliau seperti tidak respon dengan tamunya.

“Darimana Pak?” Sapaku sambil tersenyum melihat Eyang diam saja.

“Dari kampung di lembah itu, Nduk. Kamu tamunya Mbah Sahida ya. Biasanya saya mengetahui jika ada tamu ke mari. Kapan datang Nduk?” Sapanya ramah. Pertanyaan beliau membuat aku sejenak bingung.

“Oh, saya datang tadi malam Pak. Maaf jika tidak sempat bertemu dengan Bapak dan warga” Ujarku salah tingkah. Si Bapak tersenyum kembali sembari meletakan bawaannya di sudut pintu gubuk Eyang Putih.

“Maaf, nampaknya kamu bukan orang Jawa, ya Nduk. Dealekmu seperti orang Melayu” Ujar Si Bapak lagi. Aku tertawa kecil mendapatkan pertanyaan itu. Kujawab saja apa adanya, jika aku berasal dari Sumatera. Si Bapak manggut-manggut.

“Habis panen ya Pak. Itu sayur-mayurnya segar dan banyak sekali. Padahal Eyang sendiri.” Ujarku.

“Iya habis panen, Nduk. Sayur-mayur ini bukan hanya dari saya. Tapi banyak juga titipan penduduk desa. Saya hanya membantu mengantarkan. Saya tahu, Mbah Sahida seringkali kedatangan tamu. Kadang ramai sekali tamunya, Nduk. Merekalah yang memasakan untuk beliau” Lanjut Bapak itu lagi. Aku kembali mengangguk dan tersenyum. Selanjutnya si Bapak mohon diri tidak lupa mengajak aku singgah ke rumahnya. Beliau bilang rumahnya pas di ujung perempatan jalan lurus dari sini. Dalam hati aku kagum dengan keramahannya. Baik sekali Bapak ini. Keramahannya membuatku seperti mengenalnya sejak lama.

“Ayo ikut aku” Ujar Eyang Putih setelah melihat Bapak yang mengantarkan sayur hilang di tikungan jalan. Aku bingung, tadi beliau diam saja rada cuek ketika ada yang datang mengantarkan sayur-mayur. Mengapa sekarang Eyang terlihat gagah dan perhatian.

“Ikut kemana, Eyang?” Bisikku lembut. Tanpa menjawab, Eyang Putih memanggul keranjang sayuran di punggungnya dan menolak kutolong. Aku terbengong melihat Eyang memanggul keranjang sayuran dengan ringannya. Perempuan tua ini membuatku bingung. Lalu beliau memegang tanganku. Tak lama beliau membaca doa-doa dan mantra. Tiba-tiba kami sudah berada di sebuah perkampungan. Aku celingukan seperti mimpi. Aku jadi bingung membedakan alam gaib dan alam nyata. Kami berada di tanah tandus, berbatu dan berpasir. Perdu yang tumbuh di beberapa bagian nampak kering. Di tengah terik dan fatamorgana aku melihat beberapa rumah-rumah kecil terbuat dari kayu. Sekeliling mereka ada hutan-hutan kecil yang gersang pula.

“Eyang, kita dimana?” Ujarku mengiring langkahnya.

“Ikut saja dulu. Hitung-hitung jalan-jalan seputaran kampung siang hari” Ujarnya berjalan cepat.

Di alam nyata, Eyang guruku, orang awam akan melihat beliau seorang perempuan kotor, dekil mirip orang tidak waras. Tapi dimataku beliau seorang perempuan tua yang cantik, gagah, dan karismatik. Aku ikut berjalan cepat mengimbangi langkahnya.

Di depan sebuah rumah kayu, Eyang mengajakku berhenti.

“Kulunuwun..Mbah…ini ada sedikit sayuran untuk masak hari ini, mbah” Eyang Putih mengeluarkan beberapa batang sawi putih dan kentang. Lalu dari balik keranjang beliau mengeluarkan sekantong beras. Ditambahnya pula selembar uang pecahan dua puluh ribu rupiah, masih anyar! Aku terbengong. Darimana beras dan uang itu?

Dari dalam seorang perempuan tua, kurus, keriput dan sedikit kusut, berjalan ngesot menuju pintu. Nampaknya beliau lumpuh sejak lama. Dari sinar matanya nampak sekali jika beliau sangat bahagia menyambut kehadiran Eyang. Dalam logat Jawa yang kental, antara terdengar dan tidak, Si Mbah mengucapkan terimakasih lalu mendoakan Eyang panjang sekali. Lalu Eyang memainkan tangannya, tak lama aku melihat air ke luar dari ujung jarinya. Tanpa disuruh aku mengambil ember yang tergeletak di dekat pintu rumah Mbah, lalu kutampung segera. Aku makin kagum dan tercengang dengan guruku ini. Masya Allah, ridho Allah akan turun pada siapapun yang dikehendakinya. Aku yakin itu. Aku membatin. Aku mohon pamit dengan si Mbah untuk mengisi ember-embernya dengan air lalu menyusunnya di dalam gubuknya. Si mbah diam saja. Nampaknya beliau tidak tahu aktivitas yang kami lakukan. Setelah selesai, Eyang pamit dengan si Mbah, barulah Si mbah sadar.

“Jangan lupa solat, eling karo gusti Allah ya Mbah” Pesan Eyang Putih. Si Mbah mengiyakan dan kembali mengucapkan terimakasih berkali-kali.

Perasaanku masih galau. Melihat kenyataan di depan mata benar-benar menumbuhkan rasa kagumku. Keajaiban-keajaiban itu masih ada di zaman sekarang dimiliki oleh orang-orang pilihan. Eyang guruku termasuk orang pilihan itu. Aku kembali menatap beliau di sampingku. Sayur yang dipanggulnya cukup berat. Tapi Eyang menolak ketika aku meminta agar aku saja yang memanggulnya.

Kami menuruni jalan kecil, licin, dan terjal. Dari gubuk Mbah yang pertama, ada beberapa gubuk yang terbuka dan berpenghuni. Tapi Eyang tidak singgah ke sana.

“Eyang, ada apa dengan gubuk-gubuk itu? Bukankah kehidupan mereka kurang lebih sama dengan Mbah yang tadi?” Lanjutku.

“Iya, sama miskinnya. Tapi mereka terlalu egois. Mereka tidak pernah memperhatikan orang tua itu. Kau tahu, Muridku. Tiga gubuk yang kita lalui itu adalah anak dan menantunya. Allah tidak akan mengangkat derajat hidup mereka. Mereka tetap akan hidup sengsara hingga turunannya. Pekerjaan mereka tidak lebih dari buruh harian. Karena beliau tidak pernah mendoakan orang tuanya, tidak pernah berusaha menyenangkan orang tuanya meski untuk sekadar melihat, menampakkan wajah. Mereka seperti tidak mengenal orang tua itu. Apalagi bertanya kebutuhkan orang tua itu. Alasan merka apa yang bisa mereka bantu sementara mereka hidup miskin. Kemiskinan itu mereka minta. Karena ketika mereka mengatakan dirinya miskin pada dasarnya mereka tengah mendoakan diri sendiri” Ujar Eyang Putih masih berjalan cepat.

Kali ini kami berdiri di depan gubuk kayu lagi. Bedanya, gubuk kayu yang ini sudah tidak layak huni. Pintunya jebol, hanya ditutup dengan karung bekas. Dindingnya demikian, hancur dimakan rayap. Atapnya juga sudah bolong-bolong. Semak belukar nyaris menutupi rumah. Semula aku mengira tidak ada kehidupan di sini. Ternyata, ada satu keluarga. Si ibu berbadan kurus dan lusuh, memangku anaknya seusia dua rahun, berperut buncit, kotor dan dekil. Nampaknya kurang gizi. Rupanya ada tiga lagi anaknya sama dekil dan kurusnya. Usia anak-anak ini seperti anak tangga, sebaya.

Eyang kembali mengeluarkan sayur, kentang, beras dan lembaran uang. Namun kali ini bukan selembar, ada tiga lembar pecahan dua puluh ribu Eyang serahkan.

“Obati anaknya yang itu, Muridku” Ujar Eyang Putih menunjuk anak yang dipangku dengan ujung bibirnya. Aku ijin dengan si Ibu untuk memegang anaknya. Nampak si anak takut-takut menatapku hendak menangis. Pertama kupegang pundakdan kepalanya. Anak ini kekurangan gizi dan cacingan. Matanya nyaris buta. Otaknya bekerja lamban. Aku segera meraba tulang belakangnya, langsung ke syaraf otaknya berusaha memperbaiki syarafnya yang telah rusak. Lalu dengan kekuatan energiku, kukeluarkan cacing di dalam perutnya hingga bersih. Kubuang ke alam gaib. selanjutnya kutransfer energi lagi pada anak kecil itu. Kuangkat agar dia bisa berdiri, lalu kubimbing untuk berjalan. Selanjutnya kusuruh dia mendekati ibunya. Si anak berlari ke pelukan ibunya sambil tertawa. Rupanya selama ini si anak tidak bisa berjalan karena kehilangan tenaga. Sang Ibu menjerit bahagia. Tangisnya pecah dan sujud-sujud pada Eyang sebagai ucapan terimakasih. Senyumku mekar. Aku bahagia sekali melihat ekspresi Si ibu dan Si anak. Akhirnya Kami pun pamit meninggalkan rumah itu.

Sayur dan kentang dalam keranjang masih ada. Kali ini Eyang mengajakku berjalan menyisir sisi gunung. Kami berjalan di sisi jurang yang di bawahnya terhampar ladang. Udara terasa dingin meski terik matahari bersinar terang. Aku tidak banyak berbicara, apalagi bertanya. Aku belajar pada apa yang dilakukan Eyang. Tak lama beliau membelok ke jalan setapak agak menanjak. Keranjang masih berisi setengah. Aku mengirim-ngintip isi keranjang untuk memastikan apakah di dalamnya ada beras? Tidak ada bungkusan beras dalam keranjang. tapi Eyang memberi beras? Bahkan Eyang juga tidak ada kantong atau dompet, tapi beliau bisa memberi uang.

Eyang kembali berhenti di depan satu rumah mirip-mirip gubuk sebelumnya. Aku membantu Eyang menurunkan keranjang sayur yang dipanggulnya.

“Assalamualaikum punten..Mbah…” Lagi-lagi orang tua yang dipanggil Eyang. Aku melongokan kepala ke dalam rumah. Rumah berlantai tanah kering nampak lenggang.

“Kulunuwun…mbah…” Kembali Eyang memanggil sambil mengeluarkan sayur dan kentang. Nampaknya meski tuan rumah tidak ada, Eyang tetap memberikan sayur, beras dan uang.

Benar saja, Eyang meletakkan pemberiannya di atas kursi bambu dekat pintu. Sekali lagi aku mau mengintip keranjang bagaimana Eyang bisa memberi beras? Demikian juga uang. Sekali lagi aku terkecoh, semuanya selalu diambil Eyang dari dalam keranjang. Padahal secara kasat mata maupun tak kasat mata yang kulihat hanya kentang dan sayur sawi putih.

Baru saja kami hendak berajak tiba-tiba dari semak-semak kering muncul seorang lelaki renta, tanpa baju memanggul ranting kayu. Melihat itu aku langsung menghampiri dan menyambar ranting kayunya.

“Maturnuwun Nduk, sopo jenengmu?” Ujarnya senang.

“Namaku Selasih, Mbah” Jawabku lalu meletakkan kayu bakarnya di dekat pintu masuk dapurnya.

“Itu ada sayur dan beras dari Eyang, mbah. Semoga manfaat” Ujarku bahagia ketika melihat ekspresi polosnya. Beliau mengucapkan terimakasih berulang-ulang sembari memengang kantong beras dan uang.

“Ngapain mbah peot ini ke mari? Mau minta-minta ya? Kalau mau minta tuuuu ke sana. Ke pasar!” Tiba-tiba seorang lelaki kira-kira berusia tiga puluhan menyembul dari tebing halaman. Tanpa tanya-tanya lagi langsung saja berbicara kasar. Mendengar ucapannya emosiku langsung naik. Apalagi dia menyebut Eyang Putih ‘mbah peot’. Ingin aku menghancurkan mulutnya seketika. Kulihat Eyang biasa saja, beliau seperti tidak mendengar.

“Apa ini! Pemberian mbah peot ini? Masak memberi sayur busuk? Ini sayur sisa sampah mau dibawa ke pasar. Hei Mbah peot, kalau menghina jangan kebangetan. Masak sayur busuk dikasih ke bapak saya” Ujarnya meradang sambil melempar kentang dan sayur ke arah kami. Bapaknya menjerit-jerit menghalangi. Wajah sumringah bahagia si Bapak berubah drastis jadi tangis. Lelaki tua itu beruarai air mata sembari berlari memunguti kembali sayur dan kentang yang sudah berserakan di halaman.

Aku menatap Eyang Putih menunggu perintah. Aku ingin sekali melihat lelaki ini hingga babak-belur. Apalagi ketika melihat Si Mbah sambil menangis dan menyumpah-nyumpah anaknya terjatuh-jatuh memungut kembali sayur yang berserak. Melihat adegan itu perasaanku hancur. Aku bingung antara ingin menolong Si Mbah, menghajar anaknya yang bajingan itu, atau langsung ikut Eyang Putih yang berjalan meninggalkan pemandangan miris di depan mata. Akhirnya aku menyusul Eyang dengan perasaan kacau. Sepanjang jalan emosiku terasa masih naik. Aku berniat balik lagi ke sini untuk menghajar anak yang sombung itu.

“Tak perlu kau risaukan anak itu. Apalagi hendak menghajarnya. Tidak penting muridku. Jangan kotori tangan dan batinmu. Jika kau sudah berbuat baik, maka ikhlaskan. Jangan pernah mengharapkan sesuatu di baliknya” Eyang seakan paham apa yang ada dalam pikiran dan apa yang akan aku lakukan.

“Biarlah si Mbah menyelesaikan masalahnya. Ini adalah takdir yang harus beliau tanggung. Cobaan untuknya demi menyadarkan batinnya. Ketika masih muda, Si Mbah kurang lebih sama arogan dengan anaknya. Bahkan kerap kali ibunya tidak jadi makan lantaran si anak suka mengamuk dan menghambur masakan yang susah paya di masak ibunya. Itu sebabnya, meski dia sudah tobat setelah tua, namun derajad hidupnya tidak berubah. Sampai sepuh seperti ini dia masih miskin dan susah, lalu dikaruniai anak yang tidak membawa rahmat pula untuknya. Semasa ibunya masih hidup, dia belum sempat minta maaf” Jelas Eyang Putih lagi. Darahku berdesir kencang. Aku jadi ingat kisah Nabi Musa berjalan mengikuti Nabi Khidir. Nabi Musa kaget ketika diperjalanan itu beliau membunuh seorang anak kecil yang tengah bermain dengan tangannya. Ketika nabi Musa bertanya mengapa anak itu dibubuh? Bukankah anak kecil itu terlahir tanpa dosa? Akhirnya pada akhir perjalanan dijawab Nabi Khidir jika anak kecil itu kelak akan menjadi anak durhaka, bahkan dia akan membunuh kedua orang tuanya. Kisah nabi itu justru terlihat di depan mataku meski tidak persis sama. Aku melihat kedurhakaan dan kesombongan seorang anak. Kata Eyang itu adalah hukuman pada Si Mbah karena masa mudanya sering abai bahkan kerap menyakiti orang tuanya.

Sebelum pulang, aku dan Eyang kembali berhenti di beberapa gubuk. Eyang membagikan sayur mayur, uang, dan beras seperti sebelumnya. Melihat isi keranjang, tinggal jatah untuk satu orang lagi. Eyang mengajakku turun. Aku salut pada guruku ini. Meski kelihatan sepuh namun tetap gagah. Kakinya sangat lincah meniti jalan curam meski tanpa alas. Mirip Nenek Kam. Bahkan masuk hutan berduri pun tanpa alas kaki.

Kali ini kami singgah di salah satu rumah terpencil, jauh dari perkampungan. Awan berarak sangat dekat di atas kepala kami. Angin terasa menyengat dingin. Matahari belum mampu menembus dingin di pegunungan. Eyang kembali mengucap salam berkali-kali di depan pintu yang terbuka. Di dalam gubuk terdengar ramai sekali. Ada suara anak menangis, berteriak, menjerit, dan sebagainya. Tak lama muncul perempuan muda berwajah kusut, sekusut pakaian yang dikenakannya. Melihat kehadiran kami nampak wajahmu sedikit takut. Namun Eyang Putih dapat menenangkan perasaannya.

“Nduk, ini sayuran untukmu dan anak-anakmu. Ini beras, dan ini uang. Segera masak nasi dan sayuran, agar anak-anakmu makan. Mereka lapar” Ujar Eyang.

Si ibu muda dengan kepolosannya mengucapkan terimakasih pada Eyang. Tak lama aku melihat tangan Eyang bergoyang-goyang seperti menarik sesuatu. Aku kaget melihat kayu bakar berterbangan dan menyusun diri di samping dapur perempuan muda itu. Eyang juga memintaku mengambil penampungan air. Aku melihat ada ember dan jerigen kosong. Kutampung air yang ke luar dari telunjuk Eyang Putih. Lagi-lagi yang punya rumah tidak tahu yang kami lakukan. Setelah selesai Eyang berkata permisi mau pulang, baru yang punya rumah sadar.

“Perempuan muda itu, janda. Usianya masih sangat muda. Dia menikah dalam keadaan yatim piatu. Ketika hamil anak ke empatnya, suaminya meninggal. Lihatlah keempat anaknya masih kecil-kecil. Dia pontang-panting sendiri untuk menghidupi anaknya. Dengan kita bantu tadi, paling tidak dia bisa menikmati istirahat beberapa saat untuk tidak ke hutan mencari kayu bakar dan mengambil air di ceruk sana.” Eyang menunjuk lembah jauh dari tempat kami berdiri. Perempuan beranak banyak ini hampir sama dengan perempuan sebelumnya. Diam-diam aku meneteskan air mata. Aku sungguh terharu dengan pembelajaran hari ini. Jiwaku seperti digebleng dengan perasaan yang saling berbenturan. Aku menyadari betapa dangkal pengetahuan dan pemahaman yang kumiliki.

Bersambung…
close