Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GERBANG GAIB GUNUNG ARJUNO (Part 2 AND)


JEJAKMISTERI - "He saudara jero awakku reget i enek opone ya?"
(He saudara di dalam tubuhku kotor itu ada apanya ya?) tanyaku.
"Enek sampah belukar paling."
(Ada sampah belukarnya mungkin) jawab Mamad sambil tertawa.
"Mata you." jawabku.
"Wes gak usah dipikir, pak'e iku paling cuma mengada-ada tok, gak enek opo-opo."
(Udah gak usah dipikir, bapaknya itu mungkin cuma mengada-ada saja, gak ada apa-apa) ujar Ozie
"Ho.oh a?" tanyaku.
"Iyo, iyo wes gak usah dipikir nek awakmu mikir gek terus ngelamun malah iso kesurupan engko."
(Iya, iya udah gak usah dipikir kalau kamu mikirin terus ngelamun malah bisa kesurupan nanti) ujar Ozie.

Kami pun terus jalan mengikuti Pak Andik yang jalan begitu cepat. Jalanan kembali menanjak tajam dengan kemiringan yang curam. 30-45 menit perjalanan yang harus ditempuh hingga pendaki tiba di sebuah pelataran luas dengan sebuah punden berundak yang berada tepat di tengah-tengah. Kibaran bendera berwarna hijau nampak menghiasi punden ini. Sesaji dan dupa pun berderet mengelilingi punden yang nampak sangat keramat ini. Konon di punden inilah dahulu Dewa Wisnu sering melakukan pertapaan.

Di tempat ini juga tempat turunnya Wahyu Mahkuto Romo dan tempatnya Raden Arjuno bertempur dengan Adipati Karna dan para Kurawa memperebutkan Wahyu Mahkuto Romo yang dimenangkan oleh Raden Arjuno. Wahyu Mahkuto Romo sendiri adalah wahyu yang akan diturunkan dari langit untuk bekal raja untuk mengatasi kondisi negara yang sedang mengalami bencana dan malapetaka, segala tatanan negara sedang semrawut untuk menciptakan perdamaian. Karena di tempat inilah konon Wahyu Mahkuto Romo turun tempat ini dinamakan Mahkuto Romo.

Saya masih penasaran dengan ucapan Pak Andik yang mengatakan badan saya kotor. Kata-kata ini benar-benar mengganggu pikiran saya, saya pun menanyakan hal itu lagi pada Pak Andik untuk lebih jelasnya.

"Pak seng dimaksud awak kulo reget niku pripun?
(Pak yang dimaksud badan saya kotor itu bagaimana?) tanyaku
"Yo neng jero awakmu iku enek isine, mboh iku diiseni soko mbahmu, mboh iku soko moyangmu mbiyen. Goro-goro iku, neng kene enek seng arep melu koe mergo nyenengi koe."
(Ya di dalam badanmu itu ada isinya, entah itu diisi dari mbahmu, entah itu dari moyangmu dulu. Gara-gara itu, di sini ada yang mau ikut sama kamu karena menyukai kamu.) ujar Pak Andik.

Mendengar jawaban Pak Andik seketika saya teringat dengan kakek saya yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Dulu beliau waktu muda pernah mempelajari ilmu Kejawen. Kakek saya pernah mengalami mati suri, ketika itu beliau sakit kemudian meninggal. Ketika sedang menunggu waktu mau dimandikan kakek saya tiba-tiba menggaruk-garuk pantat kemudian bangun lalu jalan ke kamar mandi pipis kemudian bertanya ada apa kok rame-rame, hmm auto bingung orang-orang yang pada nyelawat.

Setelah mengalami mati suri kakek saya jadi sedikit aneh. Pernah suatu ketika beliau mengajak saya main ke alun-alun.
"Arep neng ndi mbah wes sore ayo mlebu omah!"
(Mau ke mana mbah udah sore ayo masuk rumah!) ujarku.
"Ayo dolan neng alun-alun,"
(Ayo pergi ke alun-alun!) kata kakekku.
"Lho nyapo neng alun-alun to mbah?"
(Lho ngapain ke alun-alun to mbah?) tanyaku
"Arep golek cewek seng bokonge gedi."
(Mau nyari cewek yang pantatnya besar.) jawab kakekku.

Njir, seketika saya dan orang tua saya ngakak mendengar jawaban kakek saya. Ibu saya pun membujuk kakek saya untuk masuk ke dalam rumah. Kakek saya selalu bicara yang aneh-aneh, ketika sedang bersama saya beliau meminta saya untuk menjaga temannya. Beliau selalu saja bicara hal itu pada saya, kadang saya itu risih dengan kehaluan kakek saya. Mungkin karena merasa khawatir dengan kakek saya, bapak saya pun mencarikan kyai dan orang-orang yang paham dengan dunia supranatural sedangkan saya tinggal di kosan. 

Enam bulan kemudian saya mendapat kabar dari adik saya kalau kakek saya meninggal, saya pun tidak buru-buru pulang, saya menunggu 30 menit karena jujur saya takut kakek saya hidup lagi. Saya pun kembali menelepon adik saya lagi, kata adik saya kakek saya sudah benar-benar meninggal. Selama saya di kosan kakek saya diajari solat sama bapak saya karena sebelumnya kakek saya adalah seorang Hindu. Saya terharu karena kakek saya meninggal selesai Solat Subuh. Saya pun menceritakan hal itu pada Pak Andik. 

"Yo berarti mbahmu kui seng ngiseni. Aku iki ngesakne karo koe jan, mbahmu ki gek pie cah isek urung wayahe barang wes diiseni sak mene mbane weki sek terlalu nom nanggung semene mbane. Nek tak delo koe ki wes diiseni pas isek neng jero kandungan saiki ditambahi maneh untung kok kuat lha nek ora, iso monting awamu iso edan. Saiki ayo moro neng arca kono. Engko sore arep Maghrib tak ruwat." 
(Ya berarti mbahmu itu yang mengisi. Saya ini kasihan sama kamu, mbahmu itu bagaimana anak masih belum waktunya sudah diisi segini banyaknya kamu itu masih terlalu muda menanggung segini banyak. Kalau saya lihat kamu itu sudah diisi sejak ada di dalam kandungan sekarang ditambahi lagi, untung kok kuat kalau gak kuat bisa gila kamu. Sekarag ayo pergi ke arca sana. Nanti mau Maghrib kamu saya ruwat di arca itu.)
"Enggeh nek iso jenengan guak kabeh mawon pak, gak enek gunane yoan gae opo."
(Iya kalau bisa dibuang semua aja pak, gak ada gunanya juga buat apa.) ujarku.
"Yo iso gae nambani wong nek mbok pelajari." 
(Ya bisa buat nyembuhin orang kalau kamu pelajari.) jawab Pak Andik.
"Mboten."
(Gak mau.) jawabku.

Kami pun pergi ke arca yang dimaksud oleh Pak Andik. Di arca ini ada dua buah batu yang saling berhadapan dan membentuk seperti mahkota. Pak Andik dan saya duduk di atas batu sedangkan Ozie diminta Pak Andik berdiri di belakangku untuk berjaga-jaga kalau saya jatuh ke belakang. Saya duduk bersila di depan Pak Andik sementara Pak Andik mulai menyalakan dupa dan membaca doa lalu memegang kening saya kemudian mengeluarkan keris dan menempelkan di perut saya, saya langsung batuk-batuk. Ozie memegangi pundak saya, setelah kira-kira 15 menitan lah kemudian selesai dan kami pun kembali ke shelter.

Sambil nunggu waktu Maghrib saya dan teman saya pun berkeliling melihat-lihat arca-arca yang ada di Mahkuto Romo. Di shelter ini ada dua orang lagi, satu ibu-ibu dari Jakarta yang katanya mau nyepi di sana tirakat untuk anak-anaknya bersama dengan temannya Pak Andik yang sedang menemani ibu itu menyepi. Ibu itu bilang di sini sudah dua minggu kalau yang bapak temannya Pak Andik beliau itu asli orang sini, sering nyepi di sini. Kebetulan ini bulan Suro, dia berada di sini sampai habis bulan Suro. Kami pun membantu temannya Pak Andik mencari kayu bakar di dekatnya Candi Sepilar yang tidak jauh dari Mahkuto Romo. Dibutuhkan waktu 15 menit maka sudah sampai di sini. Ada tiga buah arca dengan wajah yang menyeramkan.

Tepat di tengahnya terdapat sebuah jalur menanjak dengan bebatuan yang tertata rapi. Konon arca berjumlah sembilan ini merupakan sosok yang menjaga daerah Sepilar ini, dan tepat di batas jalur bebatuan ini terdapat sebuah deretan patung yang melambangkan Pandawa Lima "Yudhistira, Bima dan Arjuna" sedangkan "Nakula dan Sadewa" telah hilang diambil para pencuri. Saya dan Ozie pun duduk di tangga yang ada di arca ini. 

"He Buh awakmu yakin a arep ruwatan?
(He Buh kamu yakin mau ruwatan?) tanya Ozie
"Lha mboh aku kok wedi to mas."
(Gak tau aku kok takut to mas.) jawabku.

"Nek menurutku ora usah ae Buh! Koyoke kok gk bener nek tak delok-delok. Saikimu pikiren mosok wonge kesurupan Eyang Semar tenan aku kok gak yakin mboh nyapo kok aku ngroso aneh ae, wonge kok iso eroh nek awakmu ki diiseni mbahmu kaet nang jero kandungan iku teko ndi ketemu kita ae lagi pisan. Yo mungkin bener mbahmu bien pernah mempelajari ilmu Kejawen tapi kan karo bapakmu wes digolekne kyai sopo ngerti ae wes dirukyah terus ilmune mbahmu diguak hayo. Mboh nyapo aku ki nyawang carane wonge ngomong i gak yakin Buh. Koyok enek seng janggal ae ngono. Saikimu lo jam tiga ae neng kene wes adem yakin a awakmu arep diruwat terus diadusi engko Maghrib. Aku khawatir awakmu kenek hypo. Saikimu pikiren nek menurut hati nuranimu dewe piye?"
(Kalau menurutku gak usah aja Buh! Kayaknya kok gak benar kalau aku lihat-lihat. Sekarang coba pikir masak iya dia kesurupan Eyang Semar beneran aku kok gak yakin, gak tau kenapa aku ngerasa aneh aja, orangnya kok bisa tahu kamu diisiin sama mbahmu sejak dari dalam kandungan itu dari mana, ketemu kita aja baru sekali. Ya mungkin benar mbahmu dulu pernah mempelajari ilmu Kejawen tapi kan sama bapakmu sudah dicarikan kyai siapa tahu aja udah dirukyah, ilmunya mbahmu sudah dibuang. Gak tahu kenapa aku itu lihat cara dia ngomong itu gak yakin Buh. Seperti ada yang janggal aja gitu. Sekarang di sini jam tiga aja udah dingin kamu yakin nanti mau diruwat terus dimandiin nanti Maghrib. Aku khawatir kamu kena hypo. Sekarang coba pikir kalau menurut hati nuranimu gimana?) tanya Ozie

"Jujur ae yo mas aku yo gak yakin wonge kesurupan Eyang semar opo gak, aku yo ngeroso enek seng aneh sih, aku pernah nyawang wong kesurupan gk koyok Pak Andik iku. Tapi yo mboh maneh nek kesurupan iku akeh modele. Tapi enek satu omongan seng tak pikir bener sih yo tentang mbahku iku mau lho mas, aku wedi nek ternyata diiseni tenan aku wegah nek koyok mbahku arep meninggal ae susah. Ih aku yo gak yakin kuwat adus sore-sore nang gunung po gak. Ah bingung aku."
(Jujur aja ya mas aku juga gak yakin orangnya kesurupan Eyang Semar beneran atau enggak, aku juga ngerasa ada yang aneh sih, aku pernah lihat orang kesurupan gak seperti Pak Andik itu. Tapi gak tau juga kalau kesurupan itu banyak modelnya. Tapi ada satu omongan yang aku pikir benar ya tentang mbahku itu tadi lho mas, aku takut kalau ternyata diisi beneran aku gak mau kalau seperti mbahku mau meninggal saja susah. Ih aku juga gak yakin kuat mandi sore-sore di gunung apa enggak. Ah bingung aku.) jawabku.

"Wes talah dang dilakoni ae ndang wes ndang bar timbang ribet mboh kui bener mboh gak. Doaku selalu menyertaimu wahai saudaraku."
(Udah lakuin aja biar cepat selesai daripada ribet entah itu bener atau enggak. Doaku selalu menyertaimu saudaraku.) ujar Mamad sambil menepuk-nepuk pundakku. 
"Mata you Mad," jawabku

**

"Lah kan timbangane ribet, menowo bar diadusi awakmu sakti saudara,"
(Lah kan daripada ribet, kali aja habis dimandiin kamu sakti saudara) ujar Mamad sambil ketawa.
"Omong maneh tak sobek-sobek mulutmu loh."
(Ngomong lagi aku sobek-sobek mulutmu loh) kataku. 
Mamad pun tertawa sambil pergi ninggalin kami, dia mulai asyik berfoto dan bikin vidio alay.

"Heh mas iku enek wong wedok gae klambi pink sopo lo? Neng alas kok gae gaun gak salah kostum a iku? Mosok iku ukhtie tapi kok gak hijab."

(Heh mas itu ada perempuan pakai baju pink siapa? Di hutan kok pakai gaun gak salah kostum? Masak itu ukhtie tapi kok gak hijab?) ujarku yang tiba-tiba ngelihat seorang perempuan sedang jalan-jalan.
"Uduk iku nek ukhtie Buh. Mbak'e iku paling pendaki seng isek newbie."
(Bukan itu kalau ukhtie Buh. Mbaknya itu mungkin pendaki yang masih newbie.) jawab Ozie.
Kami lihatin terus perempuan itu, dia jalan ke arah dua pohon cemara yang berjejer di sebelah timur gak jauh dari arca. Dia pun jalan ke arah situ dan pandangan kami terhalang pohon cemara, kami lihatin terus perempuan itu tapi gak muncul lagi yang muncul malah orang, semakin lama semakin banyak.
"Buh kok akeh wong mondar mandir neng kono eroh awakmu?" 
(Buh kok banyak orang mondar mandir di sana lihat kamu?) ujar Ozi.
"Ho.oh, lha mbake mau endi lho kok gak metu-metu?"
(Ho.oh, mbaknya tadi ke mana kok gak keluar-keluar?) tanyaku.
"Gak eroh."
(Gak tahu.) jawab Ozie.

Temannya Pak Andik (maaf saya lupa namanya ) ikut kita duduk di tangga sepilar setelah keluar dari semak-semak. Sedangkan Mamad masih asik bikin vidio alay.
"Pak niku kayune mpon ditaleni," 
(Pak itu kayunya udah diikat) ujar Ozie
"Iyo le sek engko ae digowo neng shelter."
(Iya le nanti dibawa ke shelter) jawab temannya Pak Andik.
"Pak teng mriki kok katah tiang mondar mandir pak."
(Pak di sini kok banyak orang mondar mandir pak) kata Ozie .
"Awakmu ketok to le?"
(Kamu kelihatan to le?) tanya temannya Pak Andik.
"Enggeh pak."
(Iya pak.) jawab Ozie. 
"Lha emange nopo lo pak niku kan emang katah tiang?"
(Emangnya kenapa pak? Itu kan memang banyak orang?) tanyaku.
"Neng kene iki mben banget jarene gon kene iki enek desone terus ajur mergo kenek musibah. Lha cemoro seng jejer dua iku gerbange. Jadi yo gak heran nek awakmu nyawang akeh wong neng kene." 
(Di sini itu dulu katanya tempat ini ada desanya terus hancur karena musibah. Pohon cemara dua yang berdampingan itu gerbangnya. Jadi ya gak heran kalau kamu melihat banyak orang di sini.) ujar temannya Pak Andik.
"Oalah ngoten to pak. Jenengan nek pas teng mriki kiambaan enak no pak katah tonggone."
(Oalah gitu ya pak. Bapak kalau pas di sini sendirian enak dong pak banyak tetangganya) kata Ozie sambil ketawa.
"Iyo akeh tonggone, akeh koncone tapi yo raiso dijak omong."
(Iya banyak tetangganya, banyak temannya tapi gak bisa diajak ngomong.) jawab temannya Pak Andik.

Kami pun menceritakan kepada temannya Pak Andik kalau kemarin malam kami bertemu seseorang yang seluruh badannya dipenuhi bulu dan wajahnya sedikit mirip kera. Kata temannya Pak Andik gunung ini memang ditunggu oleh keturunannya Hanuman dan Bambang Wisanggeni yang merupakan anak dari Arjuna dengan Bathari Dresanala.

"Podo ngomongne opo to iki?"
(Pada ngomongin apa sih ini?) tanya Mamad
"Kepo loe." jawabku.
"Wes ayo mbalek, wes sore."
(Sudah ayo balik, sudah sore) ujar temannya Pak Andik.

Kami pun kembali ke shelter, Mamad dan Ozie membawakan kayu bakar milik temannya Pak Andik. Pas sampai di shelter saya dipanggil sama Pak Andik.
"Nduk ayo tak ruwat. Wes sore gek ndang siap-siap awakmu. Engko klambi seng bar dinggo adus diguak ae wes ojo digae maneh. Tak tunggu neng padusan."
(Nduk ayo saya ruwat. Udah sore buruan siap-siap kamu. Nanti baju yang habis dipakai mandi dibuang aja udah jangan dipakai lagi. Saya tunggu di pemandian) ujar Pak Andik
"Aduh matih we tulungungono aku to saudara. Aku emoh diruwat... mas, mas Ozie omong no hayo aku emoh diruwat."
(Aduh mati, tolongin aku dong saudara. Aku gak mau diruwat... mas, mas Ozie tolong bilang ke bapaknya dong aku gak mau diruwat) ujarku sambil memelas.
"Lah yo gak iso wong awakmu mau wes kadung gelem og makane talah nek diomongi wong ki ojo ya yo - ya yo ae."
(Ya gak bisa kan kamu tadi udah terlanjur mau makanya kalau dibilangin orang itu jangan iya-iya aja) jawab Ozi
"Mad!" Kataku sambil memelas ke Mamad.
"Maap ya saudara aku gak iso membantumu. Asline aku ngesakne tapi pie maneh ya duh wes gelemo ae lo dang bar urusan gak dikongkoni ae."
(Maap ya saudara aku gak bisa membantumu. Sebenarnya aku kasihan tapi gimana lagi ya duh udah kamu mau aja biar cepet selesai urusannya gak disuruh-suruh terus.) jawab Mamad.

"Yu..." terdengar suara Pak Andik memanggilku.
"Duh pie iki?"
(Duh gimana ini?) tanyaku. Sedikit takut.
"Wes ayo gak popo tak kancani, nasi wes jadi bubur arep pie maneh . Tak tunggoni engko awakmu, nek wonge kurang ajar karo awakmu tak antemane."
(Wes ayo gak papa aku temenin, nasi udah jadi bubur mau gimana lagi. Aku tungguin nanti kamu, kalau orangnya kurang ajar sama kamu aku hajar dia) kata Ozi.
"Iyo saudara tenang ae kita jogo." 
(Iya saudara tenang aja kita jagain) ujar Mamad.

Saya pun menghampiri Pak Andik ditemani Ozie dan Mamad. Sesampainya di pemandian, Pak Andik baca doa lalu saya dimandiin air kembang sama Pak Andik. Masya Allah hmm langsung otak saya berasa beku. Maghrib-maghrib di diatas gunung gak mandi aja udah dingin ini malah dimandiin, airnya kayak es lagi. Udah gitu dikeramasin lagi. Langsung kaku semua rasanya badan saya.

"Iyuh aduh pak sampon pak!"
(Iyuh aduh pak udah pak!) ujarku baru aja satu guyuran.
"Sek to wes piye to? ben resik ugong dikramasi barang."
(Sebentar, udah gimana? biar bersih, belum dikeramasin juga) jawab Pak Andik.
"Astaghfirulloh adem pak balungku rasane klotekan."
(Astaghfirulloh dingin pak tulangku rasanya gemeteran) kataku.
"Semangat saudara yoh aku ra tego."
(Semangat saudara aku gak tega) ujar Mamad.
"Sabar ya sediluk engkas bar."
(Sabar ya sebentar lagi selesai) kata Pak Andik sambil terus menyiram badan saya.
"Iyuh pak sampon to pak. Nangis lo aku engko pak!" 
(Iyuh pak udah dong pak. Nangis lo aku nanti pak!) ujarku sambil gemetaran.

Akhirnya penderitaan pun selesai sudah, Ozie memberiku pakaian ganti dan handuk. Setelah ganti pakaian, pakaian saya yang basah dibuang ke jurang yang gak terlalu dalam di dekat pemandian. Setelah itu kami kembali ke shelter. Aku jalan sambil gemetaran, njir udah kayak robot aja. Sampai di shelter saya pun langsung diajak Ozie duduk di depan api. Sama temannya Pak Andik saya dibuatin teh hangat dicampur dengan Tolak Angin biar gak hypo.

Singkat cerita. Paginya saya teringat kalau di saku celana saya ada uang 100 ribu kalau gak salah.
"He Mad deingi nang sak celonoku lo enek duite 100k lali gak tak jupok celonone dibuang. "
(He Mad kemarin di saku celanaku ada uang 100k lupa gak aku ambil celananya dibuang.) ujarku.
"Jupok yo! Lumayan 100k engko mudun iso gae tuku sate." 
(Ambil Yuk! Lumayan 100k nanti turun bisa buat beli sate) kata Mamad.
"Ya ayo lo" jawabku.

Kami pun pergi ke tempat kemarin kami membuang pakaianku. Pas menuju ke sana Mamad ngeliat ada burung, dia pun jalan sambil meleng ngeliatin burung. "Bruak" dia jatuh tersungkur kesandung akar pohon. Saya pun langsung ketawa.
"Aduh cuk loro."
(Aduh sakit) ujar Mamad.
"Sokor salahe mlaku meleng ae rasakno."
(Sukurin salah sendiri jalan meleng) kataku sambil ketawa.
"Hi... iki opo?"
(Hi... ini apa) ujar Mamad sambil ngelihatin tangannya yang kotor.
"He ndeng, gendeng tai iku Mad hi yeyek!" Kataku.
"Mosok se tai ?" 
(Masa sih tai) tanya Mamad sambil mencium tangannya.
"Hoeeekkk! Ha... iyo tai cuk deh." kata Mamad sambil diusapkan tangannya ke tanganku.
"Kurang ajar nyapo mok serne aku ndeng."
(Kurang ajar ngapain kamu usapin ke aku ndeng) ujarku sambil menjambak rambutnya.
"Aduh loro goblok, ben podo ngerasakne ambune hehehe joh gilani taine sopo iki?"
(Aduh sakit goblok, biar sama-sama ngerasain baunya hehehe menjijikkan tainya siapa sih ini?) tanya Mamad.
Lha mboh Mad.
(Gak tahu Mad.) jawabku sambil jalan ninggalin dia pergi ke pemandian cuci tangan. Mamad pun mengikutiku jalan di belakangku.
"He saudara lha clonone ndi lo kok gak enek kok karek klambine tok."
(He saudara celananya mana kok gak ada tinggal bajunya aja.) ujarku.
"Paling digondol bedes ayo mbalek."
(Mungkin dibawa monyet ayo balik) kata Mamad.

**

Kami pun kembali ke shelter dan bersiap-siap ke Puncak Arjuno. Kami ditemani oleh Pak Andik yang katanya ingin berdoa di atas puncak. Kami membawa beberapa makanan ringan dan air. 

Persiapan pun selesai dan dari Mahkuto Romo kami memulai perjalanan kami menuju ke Candi Sepilar. Kami menaiki tangga-tangga yang sebelumnya kami duduk-duduk di tempat ini. Candi Sepilar ini dikawal oleh sembilan arca yang menggambarkan raksasa yang sedang mengawal Pandawa. Suasana angker dan menyeramkan sangat terasa, kami berjalan meniti jalan setapak yang dikelilingi patung-patung Buto. Katanya sih di Sepilar inilah juga terdapat Pasar Setan atau Pasar Dieng seperti halnya di Gunung Lawu atau Gunung Merbabu.

"Ih mrinding aku lewat kene medeni patunge wajahe ora santuy blas podo megelno koyok arep ngejak tawuran." 
(Ih mrinding aku lewat sini menakutkan wajah patungnya gak santuy sekali pada menyebalkan semua kayak mau ngajak tawuran.) Ujar Mamad.
"Kapan awakmu gak mrinding iku Mad, Mad. Perasaan awakmu mrinding terus, iling a pas nang Putuk Lesung dirimu kebelet boker padahal aku cuma ngomong genderuwo terus tak tinggal ndelik awakmu mlayu celonomu gong mok unggahne terus mlayu sampek kejongor-jongor.
(Kapan kamu gak merinding itu Mad, Mad. Perasaan kamu itu merinding terus, kamu ingat pas di Putuk Lesung dirimu kebelet boker padahal aku cuma ngomong genderuwo terus aku tinggalin sembunyi kamu lari sampai celanamu belum dinaikkan lari sampai jatuh-jatuh) ujarku sambil ketawa .
"Kaget goblok WC-ne horor og, tarah dirimu i nggitili og dadi konco. Clonoku gong tak unggahne tapi kan aku sarungan."
(Kaget goblok WC-nya horor, emang dirimu itu teman nggitili. Celanaku belum aku naiki tapi kan aku makai sarung.) jawab Mamad sambil nonjok lenganku.
"Heleh tarah kalian itu para kaum halu." ujar Ozie sambil ketawa.

Kami pun lanjut jalan menuju arah kanan menyusuri satu bukit, sampailah di Candi Wesi. Katanya sih dulu semasa Bung Karno masih muda dan belum menjadi Presiden RI beliau sering ke Candi Wesi ini.
Di sini bisa dilihat tiga Arca Pandawa, dahulunya terdapat lima buah patung namun patung Nakula dan Sadewa telah hilang dicuri.

Di sebelah kiri bangunan Candi Sepilar bisa dilihat sebuah kuburan yang menurut cerita merupakan tempat muksanya Eyang Semar. Pada bulan Suro tempat ini banyak didatangi para penganut aliran Kejawen untuk memohon doa bagi keselamatan hidupnya.

Kami pun break beberapa menit di sini kemudian lanjut jalan menuju ke Candi Mangunggale Suci. Candi ini hanyalah sebuah batu yang ditata seperti pondasi yang di atasnya terletak sebuah marmer yang bertuliskan huruf Jawa dan di bawahnya lagi tertulis Sura Dira Jaya Diningrat Lebur Dining Pangastuti (Kejahatan pasti kalah oleh kebaikan). Dan di bawah tulisan ini tersebutlah nama Maha Resi Agung Prawira Harjana. Katanya sih dia ini adalah pengikut setia Bung Karno.

Dari Candi Manunggale Suci kita berjalan ke arah kiri mendaki bukit terjal di antara pohon-pohon pinus. Dengan menyusuri punggungan bukit, jalan setapak berada di pinggiran jurang dalam yang berbatuan, dan deru angin kencang serta kabut yang sering muncul menambah seramnya suasana.
Mendaki di jalur ini harus ekstra hati-hati. Setelah berjalan sekitar 1 jam kita berbelok ke kanan mengikuti alur punggung bukit yang semakin terjal dan berbatu-batu. Dari tempat ini kita bisa melihat jurang dalam yang sangat indah.

Saya dan Pak Andik jalan duluan sedangkan Ozie dan Mamad tertinggal jauh di belakang. 
"Buh..." terdengar suara Ozie memanggilku.
"Ayo tak tunggu neng kene!" 
(Ayo aku tungguin di sini!) jawabku sambil teriak.
Saya menunggu Mamad dan Ozie beberapa menit sedangkan Pak Andik jalan duluan. Heran, dia kok bisa jalan secepat itu padahal track-nya nanjak, kayak gak punya capek. 
"Ih neng kene suangar ya. Rasane aura dewaku muncul."
(Ih di sini sangar ya. Rasanya aura dewaku muncul) ujar Mamad.
 "Dewa halu a? " tanyaku.
"Kurang ajar, hei saikimu aku ki wes dadi dewa."
(Kurang ajar, hei sekarang aku itu udah jadi dewa) jawab Mamad.
"Kaet kapan dadi dewa kok aku gak eroh?"
(Sejak kapan jadi dewa kok aku gak tau?) tanyaku.
"Kaet kita munggah neng Semeru sak jok'e iku aku wes dadi dewa."
(Semenjak kita naik ke Semeru sejak itu aku udah jadi dewa) jawab Mamad 
"Lha og iso?"
(Kok bisa?) tanyaku lagi.
"Yo iyolah kan Puncak Semeru iku puncake para dewa la pas aku wes sampai puncak para dewa, aku dadi dewa. Awakmu nek nyeluk aku gak oleh Mamad kudu Dewa Mamad."
(Ya iyalah kan Puncak Semeru itu puncaknya para dewa pas aku udah sampai puncak para dewa, aku jadi dewa. Kamu kalau manggil aku gak boleh Mamad harus Dewa Mamad) jawab Mamad.
Saya pun ketawa mendengar ucapannya Mamad "Hah sak merdekamu ae lah saudara." 
"Ayo dewa lanjut!" ujar Ozie sambil ketawa terbahak-bahak. 

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan berjalan sekitar 2 jam menyusuri punggung bukit yang berbatuan kita akan sampai di pertemuan dua buah punggung bukit, kemudian kita menyusuri lereng jurang yang mengitari Puncak Arjuna. Setengah jam kemudian dengan mengitari Puncak Arjuna yang banyak batu besarnya selanjutnya kami harus menempuh padang rumput yang banyak ditumbuhi bunga edelweis dan cantigi. Saya dan Mamat jalan sambil makan nyemilin daun cantigi yang masih muda, hmm udah kayak embek aja kita. Jalur ini sangat terjal melintasi tanah yang berdebu, sekitar setengah jam kita akan sampai di Puncak Gunung Arjuna yang disebut Puncak Ogal-agil atau Puncak Ringgit, sebelumnya kita harus melewati batu-batuan yang berserakan. 

Para peziarah membangun undak-undakan yang tersusun dari batu-batu andesit yang ditata rapi untuk melangkah ke Puncak Gunung Arjuna. Sampailah kami di puncak. Pak Andik berdoa, kami mulai mengalai di puncak. Satu jaman kita berada di sini kita turun kembali ke shelter. Mamad sama Pak Andik udah ngacir duluan, saya sama Ozie tertinggal jauh di belakang. Jam menunjukkan pukul 4, kami sampai di Alas Lali Jiwo. Hutan angker yang menurut ahli spiritual daerah ini banyak dihuni oleh para jin. Menurut kepercayaan setempat, orang yang mempunyai niat jahat jika melewati daerah tersebut akan tersesat dan lupa diri. Di hutan ini juga kadang terdengar suara gamelan Jawa. Katanya sih kalau kita mendengar suara gamelan Jawa berarti penghuni sini sedang ngunduh mantu. Jika kita melewati tempat ini dan mendengar gamelan Jawa sebaiknya jangan melanjutkan perjalanan karena bisa tersesat. Sampai di Alas Lali Jiwo ini saya merinding, tiba-tiba kabut perlahan-lahan turun, ya ampun makin serem aja ini hutan bulu kuduku berdiri. Kami mempercepat langkah kami menyusul Mamad dan Pak Andik. 

Kami sampai di shelter istirahat sejenak lalu packing, habis Solat Maghrib kami turun. Kami sempat ditahan sama Pak Andik dan temannya juga sama ibu yang ada di sana tapi karena Ozie harus segera kembali ke Semarang dan Mamad juga harus kerja kami pun memutuskan untuk pulang hari itu juga. 

Jalan malam hari melewati situs-situs itu rasanya tegang mulu yang ada. Apalagi pas lewat Pondok Rahayu yang angker masya Allah spot jantung. Si Mamad yang penakut dia gak mau jalan baris dia maunya jalan jejeran. Kalaupun baris dia minta di tengah gak mau di depan/belakang. "Bruak !" Saya terjatuh karena berhenti mendadak. Saya kaget karena tiba-tiba ada bayangan hitam melintas sekelebatan di depan saya. 
"Gak popo Buh?
(Gak papa Buh) tanya Ozi.
"Gak popo, iku mau opo? "
(Gak papa, itu tadi apa?) tanyaku.
"Gak popo mereka baik kok gak ganggu kita, mereka cuma ngawasi kita tok."
(Gak papa mereka baik kok gak ganggu kita, mereka cuma ngawasi kita aja)
"Kalian nyawang opo to rek?"
(Kalian lihat apa teman-teman?) tanya Mamad
"Wes ayo mlaku!"
(Udah ayo jalan!) ujar Ozie.

Kami pun lanjut jalan. Sampai di Petilasan Eyang Semar kami ketemu orang rombongan 5 orang sedang berada di dalam shelter, kami pun gabung numpang istirahat dengan mereka. Kami kira mereka pendaki yang mau naik ke atas ternyata mereka itu para peziarah yang sedang nyepi di sini. Mereka memberi kami makanan. Setelah beberapa menit kami di sini kami pun pamit lanjut jalan lagi. Sampai di Pos 2 ya Allah makin merinding aja, bau dupa sangat menyengat. Ketika di pertengahan antara Pos 2 ke Pos 1 setelah melewati Candi Kursi Ozie gak kuat jalan, dia tiba-tiba lemas. Katanya tasnya semakin lama semakin berat, kami pun break di area kebun kopi. Saya dan Ozie pun tukeran tas, dia bawa tas saya yang lebih ringan. Dan ternyata benar tasnya Ozie makin lama semakin berat. 

Kami break lagi di dekatnya Gua Anta Boega. Kami duduk berdoa membaca ayat-ayat yang kami bisa dan tasnya Ozie pun kembali normal. Sesampainya di basecamp kami numpang nginap di sini dan keesokan paginya kami pulang. Sampai di kosan ada yang aneh, celana yang kupakai tiba-tiba ada di jemuran entah itu celanaku atau celana temanku kos yang mirip dengan punyaku. Saya gak berani ngecek akhirnya saya biarkan aja di situ sampai tiga hari, eh hilang sendiri. Pas saya pulang ke rumah, kaos yang saya buang juga tiba-tiba ada di dalam lemari saya dan masih kotor, bekas tanahnya pun masih menempel. Saya cerita pada orang tua saya tentang pertemuan saya dengan Pak Andik kemudian bapak saya membakar baju saya dan saya pun dibawa ke kyai untuk dirukyah. 
[TAMAT]

*****
Sebelumnya

close