Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GERBANG GAIB GUNUNG ARJUNO (Part 1)


JEJAKMISTERI - Waktu itu tanggal 1 Oktober 2018 saya bertiga dengan teman saya ke Gunung Arjuno. Dia ngajakin saya mendaki Gunung Arjuno via Purwosari. Ini kali kedua kami ke Arjuno sebelumnya kami naik via Tretes. 

Gak ada yang menarik di sini selain jalur makadaman yang panjang menanjak dan menyiksa apalagi pas di tanjakan asu, gak tahu tanjakan asu itu mana menurut saya tanjakan di Gunung Arjuno via Tretes ini semuanya asu bikin emosi hehehe. Teman saya Ozie dapat cerita dari temannya asal Malang, dia bilang naik Arjuno itu lebih asyik kalau via Purwosari. Jalurnya enak, masih sepi dan banyak sekali petilasan peninggalan sejarah. Ozhie pun penasaran ingin mencoba jalur yang diceritakan temannya. Dia pun menghubungi saya via chat ngajakin nyoba jalur Purwosari. Dia menceritakan apa yang sudah diceritakan temannya kepada saya. Karena hasutan dan bujuk rayuan dari dia saya pun setuju untuk ikut. Karena rumah kami beda kota kami pun janjian di Terminal Bungurasih Surabaya. Dia berangkat dari Semarang sedangkan saya dari Madiun. 

Sesampainya di Kota Surabaya, teman kami Mamad yang sedang tinggal di Surabaya sudah menunggu kami di terminal. Kami pun berangkat bertiga menuju ke Purwosari naik bis jurusan Malang dan turun di Pasar Purwosari kemudian berlanjut naik ojek menuju lokasi pendakian.

Sesampainya di lokasi pendakian jam 9 malam kami pun istirahat sejenak mengecek kembali logistik dan barang bawaan kami lalu mengisi perut. Kami mulai start jam 11 malam, jalan melewati kebun kopi dan hutan pinus, setengah jam kami jalan kami melihat Pos Perijinan pendakian. Pos Perijinan ini bangunannya sangat sederhana terbuat dari kayu semi terbuka dan ada gapura terbuat dari bambu sebelum memasuki Pos Perijinan. 

Ketika kami sampai di depan gapura saya melihat ke atas gapura gak sengaja lampu head lamp saya menyorot ke sesuatu. Gak tahu itu apa seperti orang tapi badannya penuh bulu dan kekar postur tubuhnya tinggi besar dia sedang tiduran di atas gapura. Dia kaget karena kena cahaya head lamp saya dan head lamp-nya Ozie yang kebetulan juga melihat ke atas. Dia langsung bangun melihat kami, wajahnya juga dipenuhi bulu. Tahu Kera Sakti kan? Nah hampir mirip kayak gitu. Dia langsung bangun dan melompat keatas pohon cepat sekali saking cepatnya daun yang kesenggol sama dia sampai gak gerak. Kami break di Pos Perijinan sambil ngurus ijin pendakian. Mamad daftar ngurus perijinan sedangkan saya dan Ozie duduk di bale-bale yang terbuat dari bambu.

"Yu awakmu mau eroh neng duwur gapuro mau enek opo?" 
(Yu kamu tadi tahu di atas gapura tadi ada apa?) tanya Ozhie
"Ho.oh og. Opo ya iku mosok nek lutung?"
(Ho.oh og. Apaan ya itu masak lutung?) saya pun balik bertanya.
"Mosok lutung gedine sak menungso. "
(Masak lutung segede manusia) ujar Ozi 
"Lha terus iku mau opo ? Koyok Kera Sakti ya hehe"
(Terus itu apa? kayak Kera Sakti ya hehe.) jawabku
"He.em, embohlah iku opo mugo-mugo ae gak enek opo-opo budal muleh slamet."
(He.em, gak tahulah itu apa semoga saja gak ada apa-apa berangkat pulang selamat.) ujar Ozhie
"Ojok cerito Mamad areke parnoan nek ngerute bengi engko tiwas heboh geger malah merepotkan."
(Jangan cerita ke Mamad dia parnoan kalau ngerute malam nanti heboh geger malah merepotkan.) kataku.
"Nyoh wes mari regiatrasi iki pie lanjut opo break sek?"
(Nih udah selesai registrasi ini gimana lanjut apa break dulu?) tanya Mamad
"Break sek wae lo ngombe teh panas sek adem eram ."
(Break aja dulu minum teh panas dulu dingin banget) jawab Ozie.

Kami pun beristirahat di sini, setengah jam kemudian melanjutkan perjalanan, jam 12 malam. Satu jam kami jalan sampailah kami di tempat yang bernama Gua Onto Boega. Tempat ini begitu gelap dan sepi hanya ada beberapa ekor anjing yang tiba-tiba menggonggong saat kami lewat. Kami jalan menelusuri tempat ini. Di sini ada bangunan seperti rumah, mungkin tempat orang-orang berziarah lalu ada bangunan terbuka dengan cungkup di atasnya. Di dalam bangunan itu ada lubang yang tidak terlalu lebar mungkin cukup untuk satu orang. Di depan gua itu ada bunga-bunga dan sesajen juga dupa. Di sini bau wangi dupa sangat menyengat, asli bikin merinding. Gua Onto Boega ini berdasarkan nama tokoh pewayangan dia adalah dewa berwujud naga yang menguasai dasar bumi. Dengan suasana yang sedikit horor ini kami gak ingin berlama-lama di sini. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Satu setengah jam kami berjalan sampailah kami di Pos 2 Tampuono. Di sini juga banyak sekali bangunan shelter, dan lagi-lagi bau dupa begitu menyengat. Di sini ada lagi anjing, heran banyak banget di tempat ini anjing. 

"He saudara break nang kene yok sesok ae lanjut maneh ngantuk aku"
(He saudara break di sini yok besok aja lanjut lagi ngantuk aku.) ujar Mamad
"Ssttt enek suoro wong watuk."
(Sstt ada suara orang batuk) kata Ozie 
"Ndi suoro wong watuk ? Gak enek ojo ngeden-ngedeni talah." 
(Mana suara orang batuk ? Gak ada jangan nakut-nakutin dong) ujar Mamad.
"Ho.oh enek suoro koyoke teko shelter ngarep iku." 
(Ho.oh ada suara kayaknya dari shelter depan itu.) kataku.
"Assalamualaikum" ujar Ozhie. Namun tidak ada jawaban.
"Assalamualaikum" Ozhie mengulangi ucapannya lagi.
"Waalaikum salam" tiba-tiba ada yang menjawab salamnya Ozhie dari arah belakang kami. Kami pun kaget karena ada seseorang berdiri di belakang kami.
"Eh pak" ujar Ozie.
"Arep munggah to le?"
(Mau naik to le ?) tanya bapak itu.
"Enggeh pak, tapi niki ajeng ngecamp teng mriki rencang kulo mpon kepegelen."
(Iya pak, tapi ini mau ngecamp di sini teman saya sudah kecapekan) jawab Ozie.
"Ngecap neng shelter kono wae lo bareng karo aku gak usah ngedekno tendo. Neng jero kono akeh wong konco-koncoku."
(Ngecamp di selter sana aja lho bareng sama saya gak usah mendirikan tenda. Di dalam sana banyak orang teman-teman saya) kata bapak itu.
"Ow enggeh pak. Niki bapak nopo geh ajeng munggah teng puncak?"
(Ow iya pak. Ini bapak apa juga mau ke puncak?) tanya Ozie
"Ora, aku nyepi neng kene tok paling munggah yo sampek Mahkuto Romo terus mudun maneh. Aku wes tiga minggu neng kene ae"
(Enggak, saya nyepi di sini aja paling naik ya cuma sampai Mahkuto Romo lalu turun lagi. Saya sudah tiga minggu di sini.) jawab bapak itu.

Kami pun masuk ke dalam shelter. Kami diberi mie instan dan kopi sama bapak itu. Selesai makan kami pun tidur. Keesokan harinya kami melihat-lihat Tampuono ini. Di sini enak banget tempatnya bersih, asri karena ada banyak pohon-pohon besar dan di belakang shelter ada kebon kopi.

Ada beberapa petilasan juga di sini. Petilasan yang pertama yakni Petilasan Eyang Abiyasa dengan jalan setapak yang ditata rapi dengan semen serta di kiri kanan jalan dibentuk taman-taman yang sangat rapi dan bersih. Nama Abiyasa merupakan tokoh pewayangan bergelar begawan yang dikenal sakti. Dalam cerita pewayangan ia dipercaya sebagai orang yang menulis riwayat keluarga Barata.

Tak jauh dari Petilasan Eyang Abiyasa terdapat pula Sendang Dewi Kunthi yang konon jika airnya diminum dapat memberikan keluhuran jiwa serta selalu ingat Hyang Kuasa. Di sini juga terdapat beberapa pondokan. Dewi Kunthi dalam dunia pewayangan merupakan ibu dari Pandawa Lima.

"He gak pingin adus nang kene a? Jare nek adus neng kene iso awet nom."
(He gak ingin mandi di sini? Katanya kalau mandi di sini bisa awet muda.) ujar Ozie.
"Mosok Iyo a? Ayo adus rek ben awet nom."
(Masa iya? Ayo teman-teman mandi biar awet muda) kataku.
"Males a gak butuh awet nom aku, seng tak butuhno iku sendang seng iso merubah wajahku dadi tampan."
(Males gak butuh awet muda aku, yang aku butuhin itu sendang yang bisa merubah wajahku jadi tampan.) jawab Mamad.
"Njir elekmu wes mendarah daging raiso dirubah maneh, pomo operasi plastik, butuh 1 ton plastik bekas."
(Njir jelekmu sudah mendarah daging gak bisa dirubah lagi, umpama operasi olastik, butuh 1 ton plastik bekas.) kata Ozie
"Lambemu lo kok kok menyebalkan mok kiro wajahku iki tempat sampah a?" 
(Mulutmu itu kok menyebalkan sekali kamu kira wajahku ini tempat sampah apa?) jawab Mamad.
"Wes ayo gek ndang jupok banyu. Aku arep raup menowo iso ayu tambah nom dadi dedek gemes." 
(Udah ayo buruan ngambil air. Aku mau cuci muka kali aja bisa cantik tambah muda jadi dedek gemes.) ujarku.

Kami pun mengisi botol air kamu dengan air sendang dan mencuci muka tangan dan kaki (udah kayak mau tidur aja) di pancuran. Setelah itu kami kembali ke shelter lalu packing dan melanjutkan perjalanan. 

"Pak bade pamit ajeng mlampah maleh, selak panas mengkeh."
(Pak pamit mau jalan lagi, keburu panas nant.) kata Mamad.
"Iyo nak ati-ati! Alon-alon ae dalane angel."
(Iya nak hati-hati! Pelan-pelan saja jalannya susah) jawab bapak-bapak itu.

**

Setelah kami berpamitan kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Dua puluh menit menit kita jalan sampailah kita di Pos 3 Petilasan Eyang Sakri. Pos yang mempunyai sebuah halaman luas dengan sebuah bangunan rumah yang terkunci rapat. Dapat saya perkirakan jika di dalamnya mungkin sebuah makam atau arca dari Eyang Sakri itu sendiri. Kami break beberapa menit di sini dan kembali melanjutkan perjalanan. 

Dari eyang Sakri ini track mulai menanjak cukup bikin ngos-ngosan. Pepohonan di sini mulai rapat, cahaya matahari pun tidak bisa masuk terhalang dedauan. Kami pun tiba di Pos Bayangan Pondok Rahayu. Tempat ini begitu asri sejuk dan enak, kami break lagi di tempat ini. Pondok Rahayu ini seperti bangunan kuno sedikit menyeramkan, udah kayak rumah hantu aja gitu. Ditambah lagi letaknya di tengah hutan. Saya gak tahu apa fungsi bangunan ini. Kata teman saya, dia pernah bercerita tentang Pondok Rahayu ini katanya dulu tahun 2000-an maaf saya lupa tepatnya 2000 berapa, ada temannya yang hilang di lokasi ini dan sampai sekarang belum ditemukan jasadnya. 

Teman saya Ozie masuk ke dalam pondok itu, karena saya juga penasaran dengan apa yang ada di dalam pondok itu saya pun juga ikut masuk. Di dalam pondok ini sangat bersih bahkan hampir tidak ada kotoran sama sekali. Awal masuk pondok ini dingin gitu tapi lama-lama atmosfernya itu jadi gak enak. Kalau dilihat sekilas gak ada apa-apa di sini cuma bangunan kosong aja. Kira-kira 10 menitan kami berada di dalam pondok ini kami pun keluar.

"Hawane gak uwenak ya neng jero kono mas, ikino bangunan digae opo ya?"
(Hawanya gak enak ya di dalam sana mas, ini bangunan buat apa ya?) tanyaku.
"Iyo Buh (teman saya Ozie ini memang lebih sering manggil saya Subuh dari pada manggil Wahyu) nek menurutku sih gon iki iku mbien digae padepokan belajar silat ngono kae lo Buh koyoke sih," 
(Iya Buh kalau menurutku sih tempat ini itu dulu dibuat padepokan belajar silat kayak gitu lho Buh kayaknya sih) jawab Ozie
"Jare koncoku mas bien iku neng kene koncone wonge enek seng mlebu pondok iki to terus ilang sampek saiki gong ketemu wis bertahun-tahun jasad e yo gak ketemu ilang musnah ngono ae."
(Kata temanku mas dulu itu di sini temannya dia ada yang masuk pondok ini terus hilang sampai sekarang belum ketemu udah bertahun-tahun jasadnya ya gak ketemu hilang musnah gitu aja.) ujarku.
"Ancen nang jero kono iku nek didelok sekilas ngono koyok biasa wae gak onok seng aneh tapi asline nang jero kono iku kae lo Buh sebelah selatan mentok pojok seng enek koyok rak-rak'an iku lo neng ngisor kono iku enek sesuatu koyok gon gae muja enek dupo-dupone. Nek seng gak eroh ngono iso diidek mergo ra ketok."
(Emang di dalam sana itu kalau dilihat sekilas gitu seperti biasa aja gak ada yang aneh tapi sebenarnya di dalam situ itu lo Buh sebelah selatan mentok pojok yang ada kayak rak-rakan itu lo di bawah sana itu ada sesuatu seperti tempat buat muja ada dupa-dupanya. Kalau yang gak tau gitu bisa diinjak karena gak kelihatan.) jawab Ozie. (Teman saya Ozie ini dia memang sensitif pada hal-hal yang tak kasat mata)

Kami pun menyempatkan mengambil foto di depan Pondok Rahayu ini. Pas giliran saya yang difoto sama Ozie pertama itu pondoknya kelihatan tapi saya yang berdiri di depan pondok gak kelihatan kayak gak ada orang gitu.

"Kok aneh ya Buh awakmu gak enek neng foto mung ketok pondoke tok." 
(Kok aneh ya Buh kamu gak ada di foto hanya kelihatan pondoknya aja) ujar Ozie sambil memperlihatkan hasil jepretannya
"Hi ho.oh ... kok aneh ya," ujarku.
"Sek jajal baleni maneh paling mau mergo sek memproses terus HP-ne tak geser jadi awakmu maleh ilang,"
(Sebentar coba diulang lagi mungkin ini karena masih memproses terus HP-nya aku geser jadi kamu jadi hilang) jawab Ozie

Kami pun mengulangi mengambil foto di depan pondok, dua kali  masih tetap sama dan yang ketiga kali akhirnya gambarku ada. Setelah itu kami bergegas melanjutkan perjalanan, track-nya nanjak terus bikin dengkul lemes. 

Dan sampailah kami di Pos 4 Petilasan Eyang Semar. Konon katanya merupakan tempat "Moksa" atau menghilangnya Eyang Semar yang merupakan penasehat kepercayaan Raden Arjuno.

Ada sebuah arca berselimut kain putih yang menghadap timur yang dipercaya sebagai perwujudan Eyang Semar itu sendiri. Kami pun break lagi di sini melepas lelah, kami melihat-lihat Arca Eyang Semar ini.

"He saudara arcane iki batuke koyok mrepul bar ketatap ngono ya hehe,"
(He saudara arcanya ini jidatnya kayak benjol habis kebentur gitu ya hehe) ujarku.
"Iyo,"
(Iya) jawab Mamad sambil ketawa

Di depan Arca Eyang Semar ini ada dupa yang udah mati namun masih bau wangi dan sesajen. Di sebelah kiri arca ini ada bunga sedap malam yang udah mulai layu. 

"Iki nyapo kok dibuntel kain putih koyok ngene patunge?"
(Ini kenapa kok dibungkus kain putih kayak gini patungnya?) tanyaku.
"Ben ra kademen Buh."
(Biar gak kedinginan Buh) jawab Ozie.
"Enek titite paling,"
(Ada tititnya mungkin) jawab Mamad sambil ketawa.

Kami pun mengambil foto juga di sini. Lalu pergi mengambil air. Di dalam salah satu shelter ini ada keran air. Selesai mengisi botol air kami pun duduk di depan teras shelter ini sambil makan roti untuk mengisi perut kami. Kemudian datanglah orang berpakaian serba hitam, orang yang kami temui di Pos 2 tadi pagi tapi kami belum sempat ngobrol dengannya. Ozie ngobrol sama bapak itu, dia bilang dia sedang nyepi di tempat ini. Dia di sini empat tahun kalau saya gak salah dengar soalnya saya gak begitu memperhatikan obrolan mereka.

"Ajeng teng pundi pak?"
(Mau ke mana pak?) tanya Ozie 
"Arep munggah neng Mahkuto Romo, arep nyepi neng kono aku. Tapi sek arep soan sek neng Eyang Semar,"
"Mau naik ke Mahkuto Romo, mau nyepi di sana saya. Tapi soan dulu sebentar di Eyang Semar) jawab Pak Andik.
"Pak kulo angsal tumut pak pingin delok."
(Pak saya boleh ikut pak ingin lihat) ujarku
"Yo ra popo nek pengen melok yo ayo pisan dungo ben dilancarno pendakiane budal muleh selamet".
(Ya gak papa kalau ingin ikut ya ayo sekalian berdoa biar dilancarkan pendakiannya berangkat pulang selamat) ujar pak Andik.
"Pie?"
(Gimana?) tanyaku.
"Yowes ayo gak popo"
(Yaudah ayo gak papa) jawab Ozie.

Kami pun ikut Pak Andik pergi ke arcanya Eyang Semar. Pak Andik pun duduk bersila di depan Arca Eyang Semar sedangkan kami duduk dibelakangnya Pak Andik. Pak Andik pun mulai menyalakan dupa dan mulai membaca rapalan-rapalan doa sedangkan kami hanya duduk diam sambil memperhatikan apa yang dilakukan Pak Andik. Ketika Pak Andik berdoa kami pun hanya mengamini dan tiba-tiba suaranya Pak Andik berubah jadi agak berat. Dia tiba-tiba mengulurkan tangannya ke belakang tanpa balik badan sambil mengerang hem...hem... dengan suara berat.
"Lho mas nyapo?" 
(Lho mas kenapa?) tanyaku sedikit kebingungan. Tapi Ozhie menjawab pertanyaanku dia langsung memegang tangannya Pak Andik.
"Jenengmu sopo le?"
(Namanu siapa le?) tanya Pak Andik.
"Kulo Ozie" 
(Saya Ozie) jawab Ozie
"Kenalno aku Eyang Semar seng nunggu papan panggonan kene. La iki Andik seng tak percoyo ngurus gon kene iki".
(Kenalkan aku Eyang Semar penunggu tempat ini. Ini Andik yang saya percaya mengurus tempat ini) ujar Pak Andik, eh Eyang semar atau siapa sih bingung saya.
"Enggeh mbah."
(Iya mbah) jawab Ozie
Kemudian pak Andik melepaskan tangannya dari Ozie dan diarahkan kepadaku.
"Mas piye mas?"
(Mas gimana mas?) tanyaku.
"Salaman Buh!" jawab Ozie .
Saya pun mengulurkan tangan saya dan memegang tangannya Pak Andik dengan rasa takut. Pas saya menyalami dia tangan saya langsung dipegang, digenggam erat terasa sedikit sakit.
"Jenengmu sopo ngger?"
(Namamu siapa ngger?) tanya Pak Andik.
"Wahyu mbah," jawabku.
"Ngertio nduk kowe ki wes ngganggu papan panggonan kene."
(Kamu tau nduk kamu itu sudah mengganggu tempat ini) kata Pak Andik sambil melepaskan genggaman tangannya.
"Sepuntene mbah kulo ngganggu pripun?" 
(Maaf mbah saya mengganggu bagaimana) tanyaku dengan sedikit takut deg-degan.
"Kowe enek neng kene iki wes gawe perkoro, enek penghuni kene iki seng seneng karo koe njur arep melu awakmu. Kowe ki asline ayu nduk nanging awakmu iku reget, duduk reget sandangane nanging reget jiwane. Koe kudu diruwat neng Sendang Madrim. Engko meluo bocahku Andik ben diruwat, diresiki awakmu neng Mahkuto Romo."
(Kamu ada di sini itu sudah buat masalah, ada penghuni sini yang suka sama kamu lalu mau ikut sama kamu. Kamu itu sebenarnya cantik nduk tapi badanmu itu kotor, bukan kotor pakaiannya tapi kotor jiwanya. Kamu harus diruwat di Sendang Madrim. Nanti ikutlah sama Andik biar diruwat badanmu dibersihkan di Mahkuto Romo) ujar Pak Andik. 
"Enggeh mbah,"
(Iya Mbah) jawabku.
"Yowes nek ngono aku tak pamit. Kowe engko melu'o Andik"
(Ya udah kalau begitu saya pamit. Kamu nanti ikut sama Andik) ujar Pak Andik sambil mengulurkan tangannya. 

Ozie pun mencium tangan Pak Andik dan kami juga melakukan hal yang dilakukan Ozie. Kemudian Pak Andik pun melakukan gerakan terus seperti menarik nafas dalam-dalam kemudian memukul-mukul dadanya, dan dia pun berbicara seperti semula. 

"Dek mau Eyang Semar ngomong opo?"
(Tadi Eyang Semar ngomong apa?) tanya Pak Andik
"Ngomong tirose rencang kulo Wahyu niki kudu diruwat teng Mahkuto Romo mergine enten seng tumut."
(Ngomong katanya teman saya Wahyu ini harus diruwat di Mahkuto Romo karena ada yang ikut) jawab Ozie.
"Enggeh pak tirose awak kulo niku reget maksute pripun pak?"
(Iya pak katanya badan saya itu kotor maksudnya gimana pak?) tanyaku.
"Yo neng jero awakmu iku enek isine".
(Ya di dalam tubuhmu itu ada isinya) jawab Pak Andik.

Mendengar jawaban Pak Andik langsung galau saya. Jadi kepikiran yang di dalam badan saya itu apa gitu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close