Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 39)


Tiba-tiba aku merasakan angin berhembus sangat kencang. Padahal aku berada dalam kamarku yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Aku baru saja menyelesaikan lukisan vinyet di dinding. Akhirnya kuhentikan semua aktivitas. Aku heran. Tak lazim angin berhembus kencang. Kecuali kalau aku punya kipas angin. Pasti ada sesuatu yang aka terjadi. Aku mengira-ngira. Suasana seperti ini salah satunya jika Gundak dan pengawalnya turun dari bukit. Atau para Puyang hendak datang. Sejenak aku menerka-nerka sekaligus menunggu. Namun sudah menunggu beberapa saat tidak ada tanda ada yang menemui. Lalu apa maksud angin kencang ini? Hap! Hap! Aku duduk dengan tapak tangan ke atas. Aku merasakan ada gelombang energi yang melingkari tubuhku, namun ada juga gelombang yang hendak menembusnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, ada apa? Apa yang terjadi? Aku sendiri tidak bisa menembus gelombang itu. Siapa yang melindungi aku? Lalu mengapa aku dilindungi?

Di luar aku mendengar hiruk pikuk. Nampaknya terjadi pertempuran dasyat. Suara benturan senjata, dengusan tenaga dalam nampak ramai sekali. Aku ingin sekali mengetahui siapa yang bertempur tersebut? Tapi mengapa aku tidak bisa menembus dinding ini seperti biasanya sekadar untuk ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di luar sana? Untuk mengetahui siapa yang bertempur. Akhirnya aku hanya terduduk lesu. Aku hanya bisa mendengar benturan-benturan yang membuat jantungku berdegub. Aku mencoba komunikasi dengan nenek Kam, gagal. Kucoba dengan Kakek Andun, pun gagal. Kakek Njajau, Macan Kumbang, sama. Semuanya gagal. Aku merasa seperti hidup sendiri. Mengapa aku diasingkan sendiri? Ingin rasanya menangis. “Puyaaang..Puyang Pekik Nyaring!” Aku menjerit. Sama saja, gagal!

Akhirnya aku baring di lantai dalam posisi telentang. Kuabaikan pagar gaib yang melingkar. Aku memandang langit-langit kamar yang berwarna gelap. Lampu lima watt berwarna biru membuat kamar ini terkesan mistis. Cahaya redup membuat suasana sedikit mencekam. Tapi aku suka. Beberapa kali Bapak hendak menggantinya dengan warna bening selalu kutolak. Angin pelan-pelan reda. Kamarku hening kembali. Gelombang yang melingkar masih bergerak seperti balon transparan. Kadang mirip fatamorgana berpendar pula warna-warna pelangi. Aku kembali ke keadaan semula. Kamar semi permanen, separuh tembok, separuh lagi papan. Darimana angin akan masuk? Nyaris tidak ada sela kecuali ventelasi di atas jendela. Pelan-pelan terdengar suara dinding dikeruk-keruk. Aku mencoba menajamkan panca indera dengar dan penciumanku. Panca indera yang kututup sekian lama. Hmmm..Dinding kamar Bapak! Bapak tidak akan mendengar suara yang mengeruk-ngeruk itu. Hidungku mencium aroma nenek gunung. Tapi bukan dari bangsa manusia harimau. Bangsa siluman. Tapi ketika ingat kejadian kebakaran itu, niat untuk tahu banyak tentang hal yang tidak terlihat oleh kasat mata kuurungkan.

“Eiiit…jangan diam saja melihat kezoliman depan mata. Lawan!” Tiba-tiba aku dibentak. Suara nenek Ceriwis. Aku jadi takut lebih tepatnya trauma. Nenek Ceriwis tidak hanya nyiyir, tapi suka mencubit. Mendengar nenek Ceriwis mengawasiku, aku langsung buru-buru meningkatkan kewaspadaan. Kuintai. Benar, siluman harimau jantan. Tubuhnya besar sekali. Mengapa dia menggaruk-garuk dinding? Mau apa dia? Makhluk darimana pula? “Hei, kamu sedang apa?” Sapaku dengan nada biasa. Melihat kehadiranku dia kaget. Diturunkannya kakinya buru-buru.. “Ah, tidak! Aku cuma mengasah kuku saja.” Ujarnya agak gagap. Aku mencoba membacanya. Membaca hati dan pikirannya. Termasuk membaca asalnya darimana. “Hiaaat! Das! Das!” Aku menyerangnya tiba-tiba. Siluman itu terpental jauh. Sebelum sempat dia bangkit, kuhantam lagi dengan pukulan tajam. Aku ingin mengorek kejujurannya. Makhluk ini suruhan dukun dari Banten, berniat mencelakai Bapakku. “Katakan, apa maksudmu datang kemari!” Kuinjak tubuhnya setelah dia terguling dan kukunci. “Ampun..ampun..aku hanya disuruh untuk membuat Bapakmu sakit, lalu mati..” Ujarnya menyembah minta ampun. “Tidak ada ampun sebelum kamu mengaku dengan jujur. Kalau kamu berbohong maka akan kuhancurkan tubuhmu!” Ancamku. “Aku tidak bisa menyebutkan siapa yang menyuruh.” Ujarnya memelas.

Iya aku tahu, makhluk peliharaan dukun ini tidak akan pernah mengaku siapa yang menyuruhnya. Itu semacam sumpah dan mereka memegang teguh janji itu meski taruhannya nyawa sekali pun. Jika mereka mengaku, maka siksaan akan lebih berat mereka terima dari sang dukun. “Kamu bodoh! Mau saja disuruh dukun untuk mencelakai manusia. Sudah kuhancurkan saja ya!” Aku main-main. “Ampun…ampun…ampunkan aku. Aku tidak ada pilihan. Anak baik, sudah jujur. Bapakmu adalah tumbal yang dilakukan seseorang. Aku hanya disuruh majikanku. Nah aku sudah jujur. Lepaskan aku ya,” ujarnya menunduk dalam sekali. Tapi aku tidak peduli. Siluman itu menjerit menolak ketika kutarik lalu kisimpan dalam jariku. Baru saja hendak bernafas lega, datang serangan tiba-tiba. Hantaman tenaga dalam diiringi dengan senjata rahasia menyerangku bertubi-tubi. Rupanya serangan Dukun dari jarak jauh. Dukun itu tidak terima anak buahnya kuambil. Serangan demi serangan terus dilakukannya. Dalam hati aku kagum juga dengan sang Dukun. Sakti! Dia menyerang nyaris tidak ada jeda. Mirip air hujan terus mengucur tidak ada henti. Aku berusaha mencari titik keberadaan sang Dukun. Oh rupanya beliau tidak seberapa jauh. Satu kilo ke arah hulu dari rumahku. Pantas dia lancar betul melakukan penyerangan. Jika sebelumnya aku hanya bertahan dan menghindar dari serangannya kali ini aku beralih melakukan penyerangan balik. Kuhantamkan halilintarku. Duar!!! Aku melihat sang Dukun terpental. Benda-benda ritualnya porak-poranda. Rupanya tidak hanya sampai di situ, dari jauh aku melihat jenglot peliharaan sang Dukun bangkit dari kotak. Makhluk hitam mengkeret bemata api itu menyerangku bertubi-tubi tidak dalam jarak jauh, tapi secepat kilat dia hadir di hadapanku. Gerakan dan pukulan tak kasat mata yang dimilikinya dasyat sekali. Aku berusaha untuk menangkapnya. Iblis ini akan kuhancurkan. Aku berusaha menyedot energinya. Ternyata jenglot menangkis tenaga dalamku. Benturan demi benturan terjadi. Asap berwarna ungu membumbung petanda kekuatan jenglot memang luar biasa. Cukup lama aku menyerang dan menghindar. Kali ini tenaga yang ke luar dari mata jenglot berupa api runcing meluncur tajam ke arahku. Aku berusaha menghalanginya dengan perisai payung dari kakek Bukit Ulu Selepah. DuaRR!!! Benturan terjadi kembali. Tanganku sampai bergetar hebat. Ini tidak bisa dianggap main-main. Jenglot memang berniat membunuhku. Aku mengayunkan tangan ke atas, kuambil energi halilintar membakar gunung, warisan Puyang Pekik Nyaring yang belum pernah kugunakan. Aku membaca mantra-mantra, seketika kurasakan energi mengumpul di telapak tanganku. Nampaknya jeglot menyadari hal itu. Dia siap-siap pula dengan serangan baru. Aku tak mau membuang waktu, secepat kilat kuhantamkan ke arah jenglot. Sinar kuning dari tanganku meluncur kencang sembari mengeluarkan suara seperti desing suling lalu menderu seperti deru angin. Halilintarku berkilat-kilat memancarkan api. Benar saja, benturan dasyat membumbungkan api besar sekali. Api tersebut membakar jenglot. Aku mulai lega.

Tiba-tiba aku mendengar tawa terbahak-bahak. Jenglot yang kukira telah terbakar ternyata tidak. Dia pandai mengelabui pandangan lawan. Yang terbakar tadi bukan jenglot asli. Tapi jenglot palsu, bayangannya. Demi melihat itu akhirnya aku membelah diri. Aku mulai menyisir mencari jeglod yang asli. Sementara pecahan tubuhku berhadapan dengan jeglod banyangan yang masih menyerang dengan bola api dari matanya. Rupanya sang jenglot asli duduk semedi. Tubuh kecil kasat mata tak bergerak itu, ternyata lebih ganas dari manusia. Ada kekuatan iblis di dalamnya. Tanpa menunggu lagi, langsung kuarahkan telapak tanganku. Api berkobar membakar tempat duduknya. Aku mencari- cari jenglot yang melesat ke mana. Kurang ajar!! Rupanya iblis ini licik sekali. Dia menyerangku dari belakang. Angin gerakkannya sangat dasyat. Aku langsung memutar badan sembari menunduk menghindar. Lalu kembali kulakukan serangan.”CeduaaaRR” Benturan keras terjadi. Kulihat dia agak mundur jauh ke belakang. Melihat dia bergerak mundur aku kembali menyerangnya. Kali ini dia tidak dapat menghindar. Hantamanku telak mengenai tubuhnya. Dalam sekejab tubuhnya hangus terbakar. Aku hanya menemukan sepotong arang sebesar ibu jari. Segera kunetralisir, lalu kuremuk jadi abu.

“Dek….Dedek….” Bapak menggedor-gedor pintu kamarku. Aku segera berlari membukakan pintu. Setelah terbuka kulihat Bapak melihatku heran.”Kamu tidak apa-apa kan?” Ekspresi Bapak sambil menyapu serius kamar dengan matanya. Aku tersenyum melihatnya. Rupanya kata Bapak dia mendengar ada suara menggeram, meraung, dan berisik sekali dari arah kamarku. Makanya sampai terbangun. “Tidak ada apa-apa. Bapak. Dedek baik-baik saja. Dedek belum tidur dari tadi. Suara Dedek bereskan kamar, Pak.” Ujarku menenangkannya. Bapak menarik nafas lega. Meski hidungnya bergerak-gerak seperti mencium aroma tertentu. Bau gosong jenglot. Untung Bapak tidak melanjutkan bertanya, lalu kembali masuk kamar melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Aku tidur telentang memandang langit-langit kamar. Kembali kunikmati aura mistis lampu kamarku. Rencana mau membuka buku pelajaran. Batal. Aku kehilangan mood. Lama aku tercenung sendiri. Kutelusuri peristiwa barusan. Mulai dari suara angin dan hiruk -pikuk yang tidak kutemukan sumbernya, sampai berkelahi dengan siluman harimau, dukun dan jenglot. Rangakaian peristiwa yang sebenarnya sudah ingin kutinggalkan. Tapi panggilan hati, sungguh tidak bisa dibohongi. Andai anak nenek gunung di sirkus itu kubiarkan saja, aku tidak mau membantu nenek gunung rasanya tidak manusiawi sekali. Sementara mereka sudah minta tolong padaku. Lalu dukun yang masih saja mau mencelakakan Bapakku. Jika dulu aku diam saja, tidak peduli dengan teluh dan santet menyerang Bapak, karena aku benci dengan diri sendiri. Aku memiliki kampuan namun tidak boleh kugunakan. Sungguh penyiksaan batin hingga kini. Kalau tidak ditegur nenek Ceriwis, aku juga tidak peduli.Ah! Aku hempaskan nafas panjang. Mengingat masa lalu sungguh sakit. Hingga kini kehidupan kami seperti merangkak. Pejuangan Bapak dan Ibu luar biasa.

Dalam ketidak mampuannya Ayukku Nismah Hasan setengah terpaksa melanjutkan D2- nya di Universitas Lampung. Berangkatlah beliau ke Lampung dengan uang saku sekadarnya. Beruntung di Lampung ada saudara sepupuku. Ayuk Nismah menumpang di sana. Kakakku Syahrial Hasan, terpaksa drop out dari ATPU Cirebon, jurusan Arsitektur, gara-gara tidak ada biaya untuk Ujian Negara. Kakak yang paling pendiam dan pemalu ini akhirnya mencoba mengadu nasib, bekerja di Jakarta. Tapi akhirnya gagal, malah pulang ke Seberang Endikat, membantu-bantu di kebun kopi hingga kini menjadi petani. Akhirnya calon arsitektur itu jadi orang kebun. Lalu Arsito Hasan melanjutkan di MAN, adikku Andy Wijaya, sebentar lagi masuk SMP, si bungsu sekolah TK.

Sudah terpuruk seperti ini masih juga ada yang berniat mencelakai Bapak. Aku berpikir, terbuat dari apalah manusia seperti ini. Beruntung aku punya orang tua yang kuat. Aku sudah mau tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. “Selasih…mau ikut tidak?” Suara Macan Kumbang. “Kemana?” Tanyaku panasaran. “Ke Jarai. Depatkah bunting” Ujarnya. Depatkah bunting maksudnya menjemput calon pengantin. Pahamlah aku pasti ada nenek gunung yang berjodoh dengan bangsa manusia. “Depatkah bunting? Bunting siapa?” Tanyaku. Sebenarnya aku masih capek. Sudah lama aku tidak bertarung seperti tadi. Tubuhku masih lelah. Tapi demi mendengar depatkah bunting rasa ingin tahu mendorongku untuk ikut. Padahal besok aku harus kembali melatih kawan-kawanku baris-berbaris dalam rangka menyambut HUT RI. Sudah seminggu ini kakiku serasa mau copot. Setiap aku latihan, dua peri berpakain Jawa selalu mengawasiku. Saking seringnya, akhirnya aku tidak terlalu memperdulikannya lagi. “Mau ikut tidak? kalau mau ikut aku jemput,” Macan Kumbang lagi. Aku langsung menjawab ‘iya’.

Dalam sekejab Macan Kumbang sudah ada di hadapanku. Wow! Macan Kumbang ganteng sekali dalam pakaian adat ini. Berbaju Telo Belango berwarna hitam satu setel dengan celana panjang. Tanjak Pelembang, dan berkain tanjung warna merah marun sebatas dengkul. “Aku pakai baju apa? Masak pakai kaos oblong dan celana pendek?” Ujarku. “Justru itu, aku mengajakmu. Ini bajumu dari nenek Putri Kuning,” lanjut Macan Kumbang kembali. Mataku terbelalak. Aku disuruh pakai kebaya? Aduh! Aku langsung menepuk jidat. Bagaimana caranya? Akhirnya aku memakai baju yang diberikan Macan Kumbang. Macan Kumbang membantuku memakaikan kain agar terlihat anggun. Rambut panjangku segera kusanggul, lalu kupoles sedikit wajahku dengan bedak. “Nah, baru terlihat perempuan tulen,” Macan Kumbang tersenyum. Aku mesem-mesem mendapat pujian tersebut.

Akhirnya kami berangkat. Aku menunggangi Macan Kumbang. “Kita lewat depan rumah Guntoro saja” Ajakku. Mendengar permintaanku Kumbang mendengus marah. “Ini malam hari di alammu, sempat-sempatnya ngajak lewat depan rumah Guntoro. Jangan samakan dengan alam nenek gunung. Malam serasa siang, dan siang adalah malam.” Akhirnya aku diam saja. Aku memeluk Macan Kumbang. Lalu aku merasakan seperti terbang. Dalam sekejab kami sudah berada di Jarai bergabung dengan rombongan yang lain. Aku terperangah ada dua kelopok besar kehidupan. Satu kelompok nenek gunung lengkap dengan pakaian adat membimbing seorang lelaki muda, berkulit sawo mateng, tinggi sedang, berjalan diapit sepasang orang tua dengan senyum sumringah. Satu kelompok lagi bangsa manusia turun naik tangga rumah dalam suasana mencekam. Seorang ibu menangis tersedan diikuti oleh beberapa orang berurai air mata. Di hadapannya terbujur kaku jenazah yang ditutup dengan kain panjang. Jantungku berdebar kencang. Ingin bertanya, namun aku takut. Aku bertemu dengan nenek Ceriwis yang memelukku penuh rindu. “Aiii…cucungku gadis Besemah, anggun sekali.” Nenek Ceriwis memerhatikan aku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Terimakasih bajunya, Nek” Aku tersenyum. Sebab baju yang kupakai sama motifnya dengan yang dipakai nenek Ceriwis dan beberapa perempuan. Artinya yang memakai seragam seperti ini ada hubungan kekerabatan. Beberapa lelaki memakai pakaian telo belango sama seperti yang dipakai Macan Kumbang.

Aku masih bertanya-tanya dalam hati melihat situasi agak aneh ini. Sang calon pengantin nampak tegang, ekspresinya sangat kaku. Meski kelihatannya ganteng, namun bibirnya pucat. Pandangan matanya lurus. “Pengantin perempuan mana, Nek?” Ujarku pada Nenek Ceriwis. Terus akan dibawa kemana?” Tanyaku penasaran. “Pengantin perempuan di Ulu, di sana sedang menunggu kita mengantarkan bunting lanang (pengantin laki-laki). Makanya tugas kita depatkah buting, untuk kita antar ke rumah pengantin perempuan, persiapan untuk menikah dan langsung bagok’an” Ujar Nenek Ceriwis lagi. Dalam hati aku bertanya-tanya. Artinya sebentar lagi kami akan ke gunung Dempu. Akhirnya aku diam saja mempelajari situasi yang tidak sinkron antara rombongan kami yang berbahagia dengan rombongan kaum manusia yang berduka. Calon pengantin diarak oleh kelompok lelaki memakai terbangan, tambore, biola, akordion sembari bersyalawat dan puji-pujian berirama riang berjalan pelan menjauh dari perkampungan. Aku juga berada di barisan belakang. dibimbing nenek Ceriwis. Rata-rata ekspresi yang kulihat cerah, bahagia. “Ringankan tubuhmu,” Nenek Ceriwis mengingatkan. Aku patuh. Dalam waktu sekejab rombongan kami seperti berjalan di atas angin meniti jalan lurus dan lengang. Aku berada dalam dimensi yang lain. Baru kali ini aku ke gunung Dempu ikut dengan fisikku. Biasanya jasadku tinggal. Kami berjalan seperti melayang. Aku pasrah saja tidak ikut menggerakkan angin.

Salawat masih menggema sepanjang perjalanan. Para pemain musik dan vokalisnya semangat sekali. Tidak hanya memukul alat dengan energik, tapi ikut bergerak dan menari-nari. Sekarang kami sudah memasuki gerbang dusun. Sesampai di dekat gerbang, rupanya ada yang menjaga. Penjaga ini sengaja menghadang rombongan kami. Jadi rombongan kami berhenti sejenak harus minta izin dulu sebelum memasuki pintu gerbang dusun. Penjaga gerbang dusun menyapa kami dengan pantun yang isinya bertanya maksud kedatangan kami. ‘Ikan bilis beranak pinak segera goreng agar tak busuk. Apa maksud kedatangan sanak. Sebelum kami ijinkan masuk..Selanjutnya rombongan kami ada jubir yang menjawab pertanyaan itu dengan pantun pula; Burung bubut berbulu tembaga. Kutilang kuning hinggap di ranting. Izinkan kami masuk tuan penjaga. Kami berniat mengantarkan bunting.

Ada tiga batang (bait) berbalas pantun hingga kami diizinkan masuk. Dalam hati aku kagum dengan mereka begitu cepat berangkai kata menjadi puisi klasik ini. Usai berpantun lalu penjaga membuka semacam kayu yang sengaja dibuat melintang. Akhirnya kami masuk. Kali ini kami berjalan menyusuri jalan berumput yang dipotong rapi. Tak lama kami sampai di depan rumah panggung yang ramai. Di depan rumah ada semacam tenda yang ditata sedemikian rupa. Tiap sisi tenda dipasang janur dengan aneka bentuk. Nampaknya inilah rumah mempelai wanita. Beberapa orang tua berseragam duduk berjejer menyambut kedatangan rombongan kami. Jika sebelumnya arakan kami bersalawat, sekarang gantian diambil alih rabana oleh ibu-ibu yang suaranya merdu, dan sangat fasih ketika menyanyikan lagu-lagu bahasa Arab. Aku merasa benar -benar di negeri asing yang tidak dikenal sebelumnya. Kami di arahkan menuju panggung yang ditata dengan nuansa religi. Latar panggung serupa bubungan masjid berwarna keemasan dibantu lampu warna-warni. Kesannya mewah sekali. Rupanya kami disuruh menikmati berbagai macam kuliner yang disusun dalam hidangan panjang. Berbagai kue tersaji rapi. Calon mempelai lelaki ikut duduk dan makan minum juga.

***

Sekilas aku menatap wajah calon pengantin. Tanpa ekspresi. Pucat dan kaku meski samping kiri dan kanan mengajaknya berbicara dan menyilakan dia menyicipi antaghan minum yang sudah disediakan. Aku mengambil sepotong kue lapis yang diiris sedang. Sedangkan nenek Ceriwis dari tadi kulihat makan keripik mumbai tanpa henti. “Enak ya Nek?” Tanyaku. Langsung dijawab beliau dengan anggukan. “Renyah dan guri.” Ujar nenek Ceriwis sambil menawariku. Aku mengambil satu dan mencobanya. Benar sekali! Bikin ketagihan.

Usai minum beberapa menit, kami bergerak ke arah tengah panggung. Seorang lelaki sepuh berdiri di hadapan calon mempelai. Entah apa yang dilakukannya, ada semacam tradisi mirip tepung tawar, yaitu memercikan air beras ke arah calon pengantin dengan mayang pinang. Kepalaku agak pusing ketika aroma kemenyan arab memenuhi ruangan. Terlalu wangi menurutku. Menyengat sampai ke otak. Aku mencoba menutup pancaidera penciumanku. Tapi tetap saja tercium. Akhirnya aku menahan-nahan ketika menghirup udara. Kami duduk diatur sedemikian rupa. Mataku mencari-cari calon mempelai wanita. Mengapa di sini hanya ada lelaki semua? Ibu-ibunya mana? Aku ikut nenek Ceriwis duduk di bagian belakang khusus untuk besan dan tamu perempuan. “Hmmm jadi rombongan kami dianggap rombongan besan?” Aku membatin. Aku memperhatikan aktivitas di sini. Tertib sekali. Tidak ada suara berdengung bercakap-cakap seperti biasa di pesta-pesta yang kutemukan di alam manusia. Calon pengantin lelaki duduk bersila di atas permadani berwarna hijau lumut. Warna sepadan dengan gorden dan alas meja yang akan dipakai akad nikah. Di kiri kanan pengantin sudah duduk dua lelaki sepuh. Nampaknya mereka bertugas menjadi saksi. Lalu di hadapan calon pengantin, dua orang lelaki duduk sejajar. Aku memperkirakan satu orang wali calon pengantin perempuan, satu lagi ketip, orang yang dipercaya atau petugas menikahkan.

Tak lama pembawa acara memimpin rangkaian pernikahan. Calon pengantin lelaki lancar saja mengucapkan ijab kabul sampai membaca taklik. Dalam hati aku membatin. Ternyata tidak ada beda dengan di alamku. Akad nikah diawali mengucapkan dua kalimat syahadat, disuruh mengucapkan taawuz, lalu membaca beberapa surat pendek selanjutnya mengucapkan akad, jika benar, maka serentak saksi menyatakan “sah”. Usai mengucapkan ijab kabul, tak ada sedikitpun ekspresi gembira pengantin pria. Wajahnya masih tegang dan kaku. Pandangan matanya kosong. Mirip robot! Musik qasidah terdengar sangat indah membuat suasana hangat dan gembira. Kulihat beberapa orang ikut mengangguk-angguk menikmati irama yang memang rancak. Semua mata fokus pada pengantin perempuan yang baru ke luar dari balik tirai, diiringi dua anak gadis yang membimbingnya kiri dan kanan. Di belakangnya, mengiring ibu, nenek, dan saudara-saudaranya. Sang pengantin menggunakan baju beludu warna merah, memakai gelang, kalung, dan tali pinggang semua berwarn emas. Mahkotanya menurutku cukup unik. Ujungnya runcing-runcing mirip daun pakis keriting. Motifnya ramai sekali. Berkilau-kilau keemasan ketika tertimpa cahaya lampu. Ekspresinya menampakkan kebahagiaan. Wajahnya lembut, matanya bercahaya. Aku melihat kecantikan alami yang dimilikinya. Dengan agak malu-malu dia duduk di samping kiri mempelai pria. Ketika disuruh sujud, mempelai pria seperti kayu menjulurkan tangan tanpa ekspresi. Dalam hati aku kasihan melihatnya. Tidak terbayang, bagaimana menghadapi suami kaku seperti itu.

Tiba-tiba aku teringat Gunturo. Mungkinka aku akan sampai ke pelaminan bersamanya seperti pengantin Itu kelak jika aku dewasa? Ada rasa pilu menyusup di dadaku. Sudah seminggu ini aku tidak jumpa Guntoro. Aku tidak tahu kemana dia. Mau bertanya dengan teman-temannya aku malu. “Usai acara ini nanti, tuan rumah menyiapkan hidangan makan. Kamu duluan makan ya. Baru pulang dengan Macan Kumbang. Besok kamu harus sekolah kan?” Ujar Nenek Ceriwis. Aku mengangguk setuju. “Nek, yang menikah ini siapa?” Tanyaku. Apalagi sampai pakai seragam sama seperti ini. Aku tidak melihat sosok nek Kam, kakek, dan puyang lainnya yang kukenal. “Yang menikah ini masih kerabat Orang tua nenek. Itu yang perempuan adik sepupu nenek. Nah, nek Kam dan lainnya belum datang. Kemungkinan nanti atau esok mereka pasti datang. Pesta ini tiga hari tiga malam. Sekarang mereka tengah menyelesaikan masalah besar di luar sana. Nanti juga kamu akan tahu,” ujar nenek Ceriwis lagi.

Masalah besar? Masalah apa gerangan? Aku tidak berani bertanya lebih detil. Pantas ketika aku memanggil nenek dan kakekku satu-satu mereka tidak ada yang menyahut. Rupanya mereka tengah menghadapi masalah besar. Akhirnya usai doa, sepasang pengantin duduk di pelaminan. Para undangan disilakan untuk menikmati hidangan yang disediakan. Aku tidak ingin makan sebenarnya. Perutku masih kenyang. Jika aku makan jam segini apa bedanya dengan makan sahur? Tapi demi menghargai nenek Ceriwis, akhirnya aku ikut rombongan ke samping panggung tempat disediakannya hidangan makan. Aku ikut duduk melingkar. Sama seperti hidangan makan anak kepala suku lereng Dempu ketika aku dan nenek Kam undangan beberapa waktu lalu. Hidangan ini pun memiliki macam -macam lauk. Aku mengambil nasi samin setengah centong, dan malbi sepotong. Di panggung, qasidah masih menghibur para tamu. Iseng aku bertanya dengan nenek Ceriwis.”Nek, mana keluarga mempelai laki-laki?” “Itu, yang pakai baju merah marun. Itu ayah dan ibu angkatnya mempelai. Ibu kandungnya kan bangsa manusia. Dia kan di sunting seminggu yang lalu.” Ujar nenek Ceriwis. “Nek, kalau boleh bertanya, mengapa harus menikah dengan manusia? Kasihan kan Nek. Keluarganya harus kehilangan anak bujangnya?” Ujarku.

Selintas terpikir olehku jika Guntoro yang mereka sunting. Wah! Bisa dipastikan aku akan ngamuk di dua alam. Akan kuobrak-abrik semuanya. Tak akan kubiarkan Guntoro diambil siapapun. Aku membenak.”Aduh..duh..duh!!” Tiba-tiba cubitan kecil mendarat di pahaku. Aku mendesis menahan sakit. Nenek Ceriwis seperti kebiasaannya mencubit! Rupanya dia tahu apa yang ada dalam benakku.”Yang disunting itu punya kriteria tahu. Bukan sembarangan orang. Guntoro…hmmm..apa kelebihannya anak itu hah?” Ujar Nenek sedikit melotot. “Dia baik dan setia, Nek. Trus ganteng juga. Yang penting aku suka dan cinta dia”. Jawabku seadanya. “Iiiih…pecah bulu! Kecil-kecil bilang cinta.” Kembali tangannya mau mendarat, kali ini aku menghindar sambil tertawa sampai-sampai beberapa orang melihat pada kami berdua.

Jelang subuh aku minta izin pulang. Macan Kumbang kembali mengantarku. Semula aku ingin pulang sendiri. Tapi Nenek melarang. Katanya Selasih harus diantar sampai di rumah. “Antar sampai ke rumahnya, Kumbang ya. Pastikan itu. Kalau tidak nanti dia nyasar ke rumah Guntoro. Kayak mana si Guntoro itu sampai cucuku kepincut kayak gini,” nenek Ceriwis ngoceh lagi. Kumbang mengangguk sambil tersenyum. Aku mencium tangan nenek Ceriwis sembari was-was takut dicubitnya lagi. Rupanya nenek meraih tubuhku, memeluk dan menciumku. “Jaga diri baik-baik, Cung. Tetap waspada. Tingkatkan kewaspadaanmu.” Aku berpikir mengapa sampai sedalam itu nenek berpesan? Mengapa aku harus meningkatkan kewaspadaan? Adakah sesuatu yang akan terjadi padaku?

Sambil berjalan dengan Macan Kumbang aku berusaha membaca diriku. Tapi lagi-lagi lingkaran tipis yang melingkariku tak mampu kutembus. Aku tak mampu membaca apa yang akan terjadi pada diri sendiri. Akhirnya aku naik ke punggung Macan Kumbang. Memeluk lehernya. Kuletakkan kepalaku ke tengkuknya. Diperjalanan aku lebih bayak diam. Ada rahasia yang tidak terpecahkan olehku. Rahasia yang disimpan oleh para nenek dan kakekku. Tidak ada yang mau mengingatkan dan memberitahu aku. “Kenapa diam? Masih sakit dicubit nenek Putri Kuning?” Tanya Macam Kumbang. “Bukan Putri Kuning, tapi Nenek Ceriwis!” Ujarku. Macam Kumbang tertawa terbaik-bahak. “Cucu durhaka. Nenek sendiri diberi julukan negatif. Dosa tahu!” Macan Kumbang masih tertawa. Tidak berapa lama aku sudah sampai si rumahku. Aku menarik nafas panjang. Rasa kantuk mulai menjalar. Aku langsung terkapar hingga tidak tahu lagi ketika Macan Kumbang pulang. Ketika terjaga, kebaya yang kupakai raib.

Mataku masih terasa sangat berat. Tapi aku paksakan untuk mebuka mata. Aku takut terlambat sekolah.Sekilas aku jadi ingat pengantin lelaki tadi malam. Jam baru menunjukkan pukul 05.00 pagi. Iseng aku memfokuskan diri ke Jarai. Aku ingin melihat bagaimana keadaan keluarga pengantin laki-laki yang kami ampak tadi malam. Dalam sekejab aku sudah berada di depan rumahnya. Tadi malam kami berada di sini menjemput pengantinnya. Aku melihat banyak orang sibuk-sibuk turun naik ke rumah panggung, ada juga di sisi rumah menyiapkan air banyak sekali. Aku mencoba naik ke rumah untuk melihat jasad lelaki pengantin. Masya Allah yang diusap dan ditangisi bukan jasad manusia. Benar kata nenek Kam ketika beliau bercerita beberapa waktu lalu jika yang terlihat jasad ifu sebenarnya batang pisang. Tapi mata awam akan melihatnya jasad manusia. Aku jadi bingung sendiri. Mengapa bisa begini?

“Assalamualaikum, kamu siapa anak gadis? Darimana?” Seorang lelaki sepuh menghampiriku. Sepertinya bukan bangsa jin, siluman, hantu, atau pun nenek gunung. Tapi beliau manusia tulen. “Waalaikum salam, Bapak bisa melihat saya?” Tanyaku heran. Beliau menjawab dengan senyum. “Iya. Kamu pasti penasaran dengan jasad yang hendak dimadikan itu bukan? Bukankah jasadnya sudah kalian bawa ke Uluan? Sudah kalian lamar beberapa hari lalu,” ujarnya menggunakan kata ‘kalian’. “Mengapa tidak Bapak halangi agar tidak disunting oleh manusia Uluan? Mengapa tidak Bapak larang?” Ujarku lagi. “Siapa yang dapat menghalangi jodoh seseorang, anak Gadis. Siapapun itu takkan mampu. Bapak tidak punya hak dan tidak pula punya kamampuan untuk menghalangi. Ada kesepakatan leluhur antara dua alam yang berbeda ini. Ini menandakan betapa dekatnya kehidupan mereka meski di dimensi yang berbeda. “Aku mengaguk sembari memahami uraian Bapak yang terlihat bijak ini. Akhirnya aku mohon diri untuk pulang. Ternyata ada juga manusia sakti seperti Bapak ini. Aku mirip maling ketangkap tangan.

Baru saja setengah jalan, tiba-tiba ada angin sangat kencang langsung menerjangku. Sungguh aku tidak menduga sama sekali. Aku tak sempat mengendalikan diri. Tubuhku seperti digulung. Dalam keadaan berputar, aku mencoba membaca mantra anginku untuk mengendalikan angin. Dalam sekejab aku seperti diraih oleh angin yang kukendalikan. Terjadi tarik-menarik. Angin yang kukendalikan berusaha meraih tubuhku sementara ada kekuatan lain yang berusaha menarik tubuhku juga. Aku tak sempat berpikir kecuali pasrah. Tubuhku terombang-ambing. “Gunakan selendangmu Selasih!” Kakek Andun mengingatkan. Dalam keadaan lelah dan pusing, kutarik selendangku lalu kuayunkan ke arah kekuatan yang menarik-narik tubuhku. Duaaar!!! Tubuhku terasa lepas dari cengkraman aneh itu. Aku diboyong angin pulang. Setelah tahu sudah sampai di kamarku kembali, aku menarik nafas lega. Aku baru saja menyatu dengan jasadku, ketika sebuah tangan menjewerku hingga tubuhku terasa terangkat. Oh! Aku menahan sakit hingga mataku terpicing satu.

“Bandeeeeel!! Bandeel!! Iiih… Ngapain kamu ke Jarai, ha? Penasaran dengan bujangan itu? Bukankah tadi malam sudah Nenek jelaskan! Kamu mencari bala rupanya. Kamu tahu siapa Bapak-Bapak itu? Dia adalah salah satu peri yang sering kamu lihat itu. Dia mengubah dirinya menjadi lelaki agar bisa dekat denganmu. “Nenek nyerocos kayak pipa air. Mendapatkan penjelasan itu aku kaget bukan main. Mengapa peri pakai nyamar segala? Lalu mengapa dilarang dekat denganku? Ada apa ini? Aku menggosok-gosok telingaku yang terasa pedas. Nenek masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil dengan menjewer, mencubit. “Nenek. sadisss.” Gerutuku dalam hati. “Lebih baik sadis biar kamu tidak gagal paham! Saking hebatnya dia, kamu tidak bisa mencium aromanya dia kan? Kamu tidak bisa juga membaca pikirannya. Untung kamu bisa lepas dari cengkramannya. Ingat? Waspada..waspada! Tingkatkan instingmu. Patuhi nasehat orang. Jangan sok hebat!” Aduh, telingaku serasa mau meledak mendengar suara nenek Ceriwis. Suara itu mengiang-ngiang. “Iya Nek…maafkan aku. Aku janji tidak akan gegabah lagi.” Ujarku. Aku berharap Nenek ceriwis segera pulang ke Uluan. Aku mau siap-siap ke sekolah. “Terimakasih, Nek.” Sambungku lagi ketika nenek minta izin untuk pulang.

Aku menarik nafas lega. Rasanya baru bisa menarik nafas ketika nenek sudah pergi. Aku duduk sejenak sembari memeriksa buku pelajaran yang harus kubawa hari ini. Sebenarnya di sekolah tidak belajar aktif lagi setelah ulangan akhir. Minggu depan sudah menerima raport kenaikan kelas. Tapi rasanya tidak afdol kalau tidak bawa buku ke sekolah. Di sekolah sedang diadakan class meeting. Sementara aku latihan baris berbaris persiapan lomba 17 Agustus, hari kemerdekaan. Rasa dingin dan kabut tebal subuh belum semuanya turun. Udara lembab sangat terasa. Bayangan batang pisang pengganti jasad bujang Jarai itu masih terlihat jelas. Tapi yang aku masih bingung , mengapa peri itu menyamar jadi bapak-bapak? Nenek tidak menjelaskan dan aku juga tidak sempat bertanya. Ada apa gerangan peri itu ingin mendekati aku? Lalu dilarang? Aku jadi marah pada diri sendiri. Harusnya aku bertanya dari kemarin-kemarin dengan Macan Kembang atau nenek. Mengapa selalu tidak terpikir ketika dekat dengan mereka? Ada benarnya juga apa yang dikatakan nenek Ceriwis, aku harus waspada. Sebenarnya aku senang dinasehati beliau. Beliau perhatian dan sayang padaku. Tapi cara mengungkapkan kasih sayangnya beda jauh dengan nenek Kam. Nenek Ceriwis ringan semuanya. Ringan mulutnya, ringan tangannya. Masak aku masih dianggap anak kecil terus? Dicubit!

Hari ini rencana Bapak akan pulang ke Seberang Endikat. Ketika kutanya , jawab Bapak batal. Entah apa alasannya. Aku si bahagia saja, pulang sekolah ada Bapak yang nungguin. Seperti biasa, matahari belum muncul aku dan kawan-kawan sudah menyisir jalan berbatu. Sambil ngobrol segala macam mulai dari membicarakan masalah kenaikan kelas, sampai ke aktivitas sekolah yang padat. Sesekali aku menoleh, berharap ada keajaiban seseorang memanggil, menyusulku. Siapa lagi kalau bukan mengharapkan kehadiran Guntoro. Perasaan sedih rindu, mengaduk-ngaduk perasaanku beberapa hari ini. Selalu saja di sela kesibukanku wajah Guntoro saja yang terbayang.

“Kita susuri saja yuk nyari keberadaan Guntoro,” ajak Selasih. “Ssst…kita tidak boleh memanfaatkan kemampuan kita untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, mungkin sudah setiap saat aku mendekat dan melihat Guntoro.” Ujarku. Akhirnya aku hanya menekan perasaan rinduku. Beberapa kakak tingkat yang berusaha menggodaku kubalas saja dengan senyum. “Dek, sama aku saja. Tinggalkanlah Guntoro. Sekolah saja dia jarang. Siapa tahu dia punya teman serius yang lain,” ujar Holidi sambil lalu. Aku berusaha menahan diri untuk tidak emosi. Meski dalam hati sangat tersinggung. Ingin rasanya mendampratnya. Dia pikir aku perempuan apa. Tapi lama-lama aku jadi risau sendiri. Kupandang ada batu agak besar dekat kaki Holidi. Tiba-tiba Holidi tergelincir sesuai dengan pikiranku. Aku kaget! Holiday terjerengkang.”Toloooong…tolong….” Aku terkesima. Di tengah jalan masih temaram, ketika aku dan kawan-kawan hendak meniti jalan agak menanjak dan menikung di Nendagung Ulu, jauh masuk area kuburan aku mendengar suara minta tolong. Sejenak aku mencoba mendengarkannya lagi. Iya..bahkan suara minta tolong kali ini lebih menyayat. Naluriku hendak menolongnya. Aku titipkan tasku dengan kawan-kawan, lalu mereka kusuruh berangkat duluan. Tanpa menunggu persetujuan mereka aku langsung berlari ke area kuburan yang bersemak.

Beberapa temanku berteriak memanggil namaku. Tapi aku sudah melesat berlari di antara kuburan. “Akhirnya datang juga! Kemari Putri kecil yang cantik, Putri Selasih. Sudah lama kami menunggumu ingin memelukmu” Sepasang Peri berdiri persis di hadapanku. Aku terkesima sejenak. Perasaan tidak enak mulai menjalari hatiku. Ketika pertama kali melihatnya aku simpati bahkan ingin tahu siapa neraka, peri darimana, namun setelah mengalami peristiwa tadi pagi, di antara mereka mengubah dirinya menjadi lelaki untuk mengelabuiku, aku menjadi waspada. Untung nenek ceriwis mengingatkan aku. “Siapa kalian Peri? Aku tidak kenal!” Jawabku sembari tetap was-was. Salah satu mereka telah membaca mantra untuk menundukkan aku, serupa gedam agar aku lupa, termasuk lupa dengan diriku sendiri. Kulawan pula dengan mantra. Mantra ketemu mantra. Aku melihat kedua mantra bertabrakan. Dua kekuatan beradu.

“Tidak usah dilawan mantra kami Selasih. Kami sayang padamu. Kamu anak yang manis. Kami ingin dekat denganmu.” Kata yang satu lagi. Aku berusaha bertahan untuk tidak terpengaruh. Baiklah mereka sepertinya menyerang dengan kekuatan mantra. Aku segera duduk bersila. Aku lawan mantra-mantra mereka. Mereka serentak membaca mantra. Lalu aku melihat ada jaring yang mengulur ke arahku. Belum sempat jaring itu menyentuhku kulawan jaringannya dengan mantra pemotongku. Aku mencoba memotong-motong jaring itu menjadi beberapa bagian. Aku terbelalak. Jaring yang terpotong -potong itu berubah menjadi jaring baru. “Sreeeet” Sabuk pemberian Putri Ular kukelurakan. Kubaca mantra, lalu sabukku bergerak sendiri menuju sasaran. Jaring dan ular bertarung. Dua kekuatan mantra sang peri serupa badai menderu hendak menggulung sabukku. Kuubah sabuk menjadi pedang. Dengan cepat, sabuk berputar memapas jaring lalu kusuruh puting beliau menggulungnya. Dua peri terpental. Aku masih duduk tidak mengejar mereka untuk melakukan serangan. Tiba-tiba aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya melihat dinding tipis menghalangiku dan tak mampu kutembus dengan mantra-mantraku. Aku hanya mendengar suara pertempuran yang dasyat. Entah siapa yang bertempur aku tidak tahu. Aku kembali dilindungi pagar tipis.

“Berangkatlah menuju sekolahmu, Selasi.” Suara nek Kam. Aku segera bangkit berlari kecil kembali di antara kuburan. Aku coba menoleh, tak kutemukan dua peri itu. Aku benar-benar terkurung lagi. Entah siapapun melakukannya aku tak tahu. Kuntum kamboja berserakan di atas rumput kuburan yang tak terurus. Ranting kering berserakan. Semua kuburan yang terhampar mirip kuburan-kuburan tua tanpa pemilik. Pohon berdaun merah yang umum tumbuh di pemakanam Besemah seakan bercerita tetang sepi yang paling cekam.

Bersambung…
close