Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 40)


Cuaca terasa sangat terik. Hari menunjukkan pukul 11.00 siang. Aku sudah menghabiskan hampir tiga gelas air dingin. Emak mengingatkan agar perutku tetap diisi nasi. Apalagi beliau melihat peluhku mengucur seperti mata air. Kulit wajahku tampak merah. Aku baru saja selesai melatih baris-berbaris di lapangan bola kaki depan sekolah. Ternyata melatih teman-teman SMP sungguh berbeda ketika melatih kawan-kawanku waktu SD. Anak SMP susah di atur. Mungkin mereka sudah merasa gede. Rata-rata kurang kesadaran dalam memaknai kebersamaan, kekompakan, dan perjuangan. Sampai-sampai guru olahraga yang mengawasi kami latihan marah-marah melihat teman-teman banyak tidak serius. Kami dijemur Beliau di lapangan bola kaki. “Makanya setiap hari itu jangan kebanyak makan! Ini sarapan dengan makan siang sama porsinya. Kalau makan terong satu-satu. Setiap hari sayur rebus. Sesekali ditumis. Sesekali makan ikan teri agar otak kalian itu berbobot. Kamu kira enak memimpin empat puluh orang ini agar kompak? Ini main-main. Hargailah Dedek yang sudah susah payah mengajari kalian!” Ujar beliau di sela -sela marahnya.

Aku juga akhirnya ikut dijemur meski Pak Ardi intinya membela aku. “Dek, jangan minum air dingin, ini ganti dengan air hangat-hangat kuku,” Bapak menyuguhkan segelas air hangat. Padahal cuaca terik. Akhirnya aku manut saja. Aku minum air hangat dari Bapak. Duh aku jadi malu ketika Emak memaksaku makan. Sepiring nasi, sepotong tahu dan tempe goreng, sayur lumai tumis dan sabel cengek. Bapak menambahkan segelas air hangat kembali. Masya Allah..kedua orang tua ini. “Emak, Bapak, Dedek kan bisa ambil sendiri. Tidak usah diambilkan. Dedek jadi malu.” Ujarku. “Hallah…sesekali juga. Kamu susah betul kalau disuruh makan,” sambung Emak sambil mengelap meja.

Aku tak mampu berkata apa-apa menerima kebaikan kedua orang tua ini. Selalu dan selalu. Nyaris setiap aku kemari ada saja yang disuguhkan. Akhirnya aku paksakan makan suguhan Emak. Usai makan buru-buru aku mencuci piring, menyapu dapur Emak sekadarnya agar tidak terlambat untuk melanjutkan latihan. “Dek, kalau mau pulang nanti singgah kemari ya. Bapak habis panen, bawa pulang sayur dan cabe!” Emak berteriak dari dalam ketika melihat aku sudah di seberang jalan. Kubalas ‘iya’ dengan sedikit berteriak juga. Entahlah, latihan kali ini aku merasa sangat lelah. Bukan karena siang tadi di jemur di terik matahari. Tapi aku merasakan sesuatu yang terjadi namun aku tidak tahu apa itu. Sementara aku tidak punya waktu untuk terlalu fokus pada instingku karena disibukan berbagai macam hal. Aku merasa paling sibuk. Belum lagi harus mempersiapkan diri berbagai macam lomba membaca puisi perjuangan, lomba solo vokal lagu-lagu perjuangan. Kadang aku berpikir, mengapa harus aku terus yang diikutkan lomba? Seperti tidak ada orang lain saja.

Hari ini, bagiku benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Ada-ada saja kejadian tidak masuk akal. Ketika aku sedang melatih, peluit yang kutiup untuk aba-aba, pecah tanpa sebab. Lalu dua di antara kawanku satu keseleo, kakinya cedera. Padahal tidak ada lubang atau terinjak batu. Tiba-tiba tergelincir. Lalu satu lagi, apakah kelelahan atau memang fisiknya kurang sehat, tiba-tiba baru latihan beberapa menit pingsan. Akhirnya barisan jadi kacau. Banyak yang protes minta istirahat saja dulu dengan alasan nanti kejadian yang ke tiga pasti lebih parah dan lain-lain. Akhirnya karena aku juga kurang mood, kuhentika latihan. Tapi konsekuensinya besok latihan ekstra dari pagi sampai sore. Semua sepakat!

Aku masih asyik ngobrol dengan teman-temanku di pinggir jalan depan gerbang sekolah. Salah satu yang kami bicarakan masalah teknik lomba yang akan kami ikuti. Beberapa teman bersedia juga ikut lomba dan hendak ngajak latihan bersama. Baru saja aku menjelaskan teknik lomba, tiba-tiba aku mendengar suara halus memanggilku. “Selasih…selasih…kau berjalanlah ke hulu. Kakek menunggumu.” Suara kakek? lama aku mengingat-ingat suara kakek yang mana itu? Kok asing suara itu? Aku tidak mengenalnya. “Iya Kek…kemana?” Ujarku sengaja bertanya untuk kembali mendengar suaranya agar aku tahu, kakek yang mana yang memanggilku.”Ke hulu, Cung. Ke arah gunung Dempu.” Aku kembali mencoba memahami warna dan nada suara yang agak berat itu. Tapi gagal. Aku tidak bisa menentukan kakek yang mana yang berkata. Aku tidak mengenalnya. Untuk bertanya ada rasa segan. Aku malu jika tidak mengenal suara siapa yang memanggilku. Dan ini kuanggap ‘dungu’.

“Sini, Cung..ada hal penting yang harus kamu tahu,” suara Kakek Andun? Tapi Kakek Andun dengan siapa? Mengapa kakak Andun menyuruhku ke arah hulu? Bukankah jika kakek Andun memanggilku harusnya dia menyuruhku ke hutan perkemahan Bandar Jaya itu? Ke hilir. Antara ragu dan tidak, aku mencoba mencari keberadaan mereka. Aku minta izin kawanku ke belakang warung Emak sebentar. Aku berlari. Sesampai di sana aku pecah diriku menjadi dua. Satu bergabung kembali dengan kawan-kawanku. Lalu aku baca mantra kasat mata. Jasadku tak terlihat oleh manusia. “Kakek…keberadaan kakek di mana? Di puncak?” Tanyaku. Aku berharap kakek Andun yang jawab. “Belum, belum sampai puncak. Masih di kaki Dempu.” Ujar kakek yang tidak kukenal suaranya itu.

Akhirnya aku hanya berjalan cepat. Di jalan aku masih juga terpikir ragu dan tidak yakin kakek Andun menunggu di kaki Dempu. Akhirnya aku tidak habis akal, muncul inisiatifku memanggil Macan Kumbang. “Macan Kumbang, Macam Kumbang…kemari,” ujarku pelan. “Ada apa?” Tanya Macan Kumbang. “Aku dipanggil Kakek Andun dan kawannya di hulu kaki gunung Dempu,” ujarku sambil terus berjalan. “Stop!!! Berhenti di situ. Jangan lanjutkan perjalanan, Selasih.” Sambil komunikasi dengan Macan Kumbang suara memanggil seakan mendorongku untuk terus berjalan. “Cepatlah kemari, Cung. Kakek menunggumu..” Suara Kakek Adun lagi. Aku menjadi ragu. Tidak biasanya kakek Andun memanggilku setengah maksa seperti itu. Beliau sangat sayang padaku. Tidak akan menyuruhku cepat menemuinya dengan sedikit memaksa. Beda karakter dengan kakek Andun yang kukenal.

Aku berhenti sejenak mencoba menyisir keberadaan Kakek Andun. Dua kali kucoba, tidak bisa! Aku bingung. Apakah kemampuanku yang hilang, atau memang aku dihalangi kekuatan gaib yang tidak bisa kutembus. “Ini kekekmu, Selasih. Kakek menunggu di sini. Jangan ragu-ragu, Cung.” Suara itu lembut sekali. Persis suara kakek Andun. “Jangan lanjutkan, Selasih. Mari kita putar balik.” Tiba-tiba Macan Kumbang ada di hadapanku. Macan Kumbang menarik tanganku untuk kembali turun ke lembah. “Aku mau menemui kakek Andun, Kumbang,” ujarku berusaha menarik tanganku. “Itu bukan kakek Andun, Selasih. Kamu kena sihir mereka.” Lanjut Macan Kumbang. “Sihir? Siapa mereka Macan Kumbang? Mengapa mereka menyihirku?” Tanyaku bingung.”Mereka adalah bala tentara kerajaan yang datang dari Banyuwangi.” Ujar Macan Kumbang. Aku terkesima. Balatentara? “Balatentara siapa? Dalam rangka apa dia jauh-jauh menyeberangi lautan dan pulau datang ke tanah Besemah ini?” Tanyaku lagi. Pasti ada alasan kuat pasukan tentara dari Banyuwangi meyeberang ke Sumantera.

“Sudah dua bulan ini mereka berkeliaran di wilayah kita ini. Sudah dihalau, sekarang kembali lagi.” Lanjut Macan Kumbang. Lalu Macan Kumbang menuturkan jika mereka adalah orang-orang sakti. Sejenak aku berpikir, orang sakti dari Banyuwangi datang ke tanah Besemah. Dalam rangka apa? “Saat ini di alam sana sering terjadi pertarungan antara pasukan Banyuwangi dan nenek gunung. Tapi meski sudah kalah dan dihalau mereka datang lagi membawa balatentara lebih dari sebelumnya. Makanya para nenek gunung tidak bisa kau hubungi, Selasih. Bukan tidak menyayangimu. Justru mereka sangat mencintaimu, sehingga mereka tetap menjagamu dengan memagarimu pagar gaib agar mereka bisa fokus dengan pekerjaan berat mereka. Itu cara melindungi di tengah kesibukan mereka, Selasih.”

Aku terperanga. Ini pasti bukan Masalah kecil. Ini masalah besar! Mengapa para nenek gunung tidak melibatkan aku? Bukankah sedikit banyak aku dapat membantu untuk menghalau balatentara itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dadaku. Ada rasa kecil hati, mengapa kakek, Nenek, dan Puyangku tidak memberitahuku hal ini? Apakah karena selama ini aku mengabaikan apa yang telah mereka wariskan padaku sehingga mereka tidak membutuhkan aku lagi? Dadaku terasa sesak. Aku ingin menangis kecewa. Mengapa aku tidak diizinkan masuk ke dimensi itu? Aku berair mata sembari dibimbing Macan Kumbang. “Jangan berprasangka buruk dulu. Ada alasan mengapa dirimu tidak dilibatkan dalam urusan ini. Sebab kalau kamu diajak di dimensi itu maka akan lebih rumit lagi menjaga dirimu,” ujar Macan Kumbang masih bertutur bersayap-sayap. “Mengapa aku harus dijaga? Bukankah aku bisa menjaga diri sendiri? Bukankah aku biasa dilatih untuk mandiri dalam menghadapi hal-hal tak kasat mata,” ujarku lagi.

Macan Kumbang semakin cepat menarik tanganku tanpa penjelasan lebih lanjut. Demi melihat itu aku makin tidak sabar. “Macan Kumbang, apa masih kurang aku ditempa oleh berapa orang nenek gunung. Berapa banyak guru yang sudah mewariskan kemampuan mereka masing-masing padaku. Apa yang kumiliki belum cukup untuk mengahadapi balatentara Banyuwangi itu?” Ujarku agak emosi. “Biarkan aku menyusul kakek Andun. Yang memanggilku itu benar kakek Andun, Macan Kumbang. Aku ingin tahu apa yang beliau kehendaki dariku. Apakah benar Kakek Andun atau bukan aku ingin buktikan. Segala resiko biarlah akan aku hadapi.” Ujarku melepaskan pegangan Macan Kumbang dengan paksa.

Aku segera memanggil angin yang akan membawaku pada panggilan dua kakek itu. Secepat kilat angin menyambarku dan meluncur ke hulu kembali. “Selasih!!” Macan Kumbang nampaknya tidak menduga jika aku akan melakukan hal itu. Dia gunakan kemampuannya mengejarku, berusaha menarik kembali tubuhku yang meluncur. “Selasih jangan lakukan. Jangan ke sana Selasih…Selasih kembali!!” Macan Kumbang berteriak kencang. Tenaga dalam yang dia gunakan sempat mengguncang anginku. Aku hanya ingin tahu siapa yang memanggilku. Aku ingin buktikan apakah benar kakek Andun atau bukan. Namun kekuatan Macan Kumbang menghalangiku tak dapat kuanggap remeh. Beliau serius menghambati langkahku. Hampir beberapa kali tangannya meraih tubuhku. Namun selalu lolos. Macan Kumbang seperti memegang angin. “Selasih..hentikan. Dengarkan aku. Selasih!!” Macan Kumbang berteriak kencang sekali lagi. Tiba-tiba Aku seperti berputar di tempat. Anginku tidak bisa maju, ke atas, maupun ke samping. “Mari Selasih…sedikit lagi. Kakek di sini,” suara kakek Andun memberi semangat padaku untuk menghampirinya. “Kakek….kek….” Aku membatin memanggil kakek Andun. Dalam hati aku heran. Mengapa Kakek Andun tidak menolongku, atau langsung menghampiri aku? Kembali batinku ragu. Sementara Macan Kumbang masih terus berusaha meraih tubuhku. “Kakek dimana…tolong aku kek,” jeritku. “Sini sayang….sini Cung,” lagi-lagi jiwaku serasa terguncang antara percaya dengan tidak. Kakek Andun meski sangat sayang padaku tidak pernah beliau menyapaku dengan sapaan ‘sayang.’ Karena ketika beliau menyebut “Cung” itu ungkapan melebihi kata dan perasaan sayang.

Muncul niatku untuk bertarung dengan dua kakek yang memanggilku itu. Aku akan hajar mereka jika mereka benar menipuku. Perasaanku makin galau. Angin masih berputar membawa tubuhku. Aku seperti kumparan angin berputar kencang di tempat. Sambil terus berputar, kukumpulkan tenaga dalam dan kekuatan matahari. Kali ini aku gunakan untuk menembus dinding yang menghalangi gerakku. “Jangan Selasi, Selasih jangaaaan! Masya Allah..Selasih jangan…jangan lakukan itu.” Macan Kumbang berteriak sembari berusaha mengendalikan dirinya yang kadang bergulung kadang terombang-ambing. Tapi aku sudah terlanjur mengumpulkan kekuatan dan membaca mantra.

Cahaya kuning terkumpul di kedua telapakku. Kuayunkan ke samping lalu kuhantamkan ke hadapanku. “DuaaaRR!!! Creeeesss..cressss.” Benturan keras mirip seperti geledek dan sambaran api mental kemana-mana bahkan berbalik ke arahku dan Macan Kumbang. Aku kaget bukan main. Kuhalangi segera dengan angin badai. Api yang menyala akhirnya kembali seperti menghantam dinding. Ruang yang mengurungku seperti bara terasa sangat panas. Aku melihat Macan Kumbang turut panik melihat aku kehilangan kontrol. “Selasih…kamu tidak apa-apa kan?” Macan Kumbang terengah-engah. Nafasnya pendek-pendek. Yaa Allah, aku melihat Macan Kumbang seperti ikan yang kehabisan oksigen. Sesak nafas. Aku kembali membaca mantra untuk menetralisir hawa panas dalam ruang yang mengurungku. Bola es menggelinding mengitari dinding gaib dan suara berdesis kemana-mana. Persis seperti air terkena api. Tak lama ruang yang mengurungku terasa sejuk kembali.

Aku menjerit sekencang-kencangnya. Tidak ada gunanya kemampuan yang kumiliki. Aku menangis dan terduduk di tanah. Macam Kumbang meraih tubuhku dan mendekapku kencang dengan tangan gemetar. Aku menangis sejadinya. “Selasih…Selasih…” Macan Kumbang sedikit terengah sembari memelukku erat berusaha meredakan tangisku sampai dadanya basah. “Ada apa. Apa yang terjadi padaku, Macan Kumbang?” Ujarku menahan sedih. Dadaku terasa terbakar saking sesaknya. “Katakan Macan Kumbang. Mengapa aku dilarang menemui Kakek Andun yang sejak tadi memanggilku. Mengapa aku tidak boleh masuk ke dimensi leluhurku. Mangapa aku tidak diberitahu dan diajak untuk turut serta mengusir balatentara dari Banyuwangi itu. Ah! Kakek Pekik Nyariiing.” Aku kembali menjerit dengan kekuatan tenaga dalam. Meski suaraku lepas jauh membumbung, namun tak ada tanda-tanda kakek Pekik Nyaring menjawab.

Aku kembali menjerit kecewa. Air mataku serupa mata air mengalir tak henti-henti. Kutumpahkan tangis sepuas-puasnya. Macan Kumbang masih berusaha menyabarkanku. Tangannya sibuk menyeka air mataku. Sembari masih sesegukan, sekilas kutatap wajah Macan Kumbang. Ternyata Macan Kumbang ikut menangis. “Putri Selasih…sabar..istighfar sayang. Istighfar…kami semua sayang padamu, Selasih. Bersabar ya…” Suara Macan Kumbang sedikit tercekat dan bergetar. Punggungku dielus-elusnya pelan. “Tapi apa salah jika aku ingin tahu apa yang terjadi padaku? Mengapa aku dibiarkan terkurung tanpa penjelasan? Aku tidak mau. Keluarkan aku.” Aku kembali menangis. Sejenak Macan Kumbang membiarkanku menangis sepuasnya. Lalu setelah agak lama, dia sibuk pula menenangkanku.

Melihat Macan Kumbang ikut berurai air mata, pelan-pelan aku hentikan tangisku. Aku tidak tega melihat lelaki gagah ini ikut menangis. “Maafkan aku Macan Kumbang. Jangan menangis..” Ujarku. Malah aku balik menyabarkannya. Ini salah satu sifat manusia. Acap kali lupa dengan masalah sendiri tatkala melihat orang lain dianggap menderita. Demikian juga aku. Aku tidak tega melihat Macan Kumbang sedih gara-gara aku. Aku merasa bersalah. “Aku akan menangis bila melihatmu tidak terkontrol seperti tadi Selasih. Aku khawatir kamu celaka. Aku tidak ingin melihatmu sedih lagi Selasih,” ujar Macan Kumbang mengelus kepalaku.

Aku seperti anak kecil kehilangan mainan. Meleprok duduk di tanah, dibujuk oleh kakaknya dengan penuh kasih sayang. Macan kumbang mengangkat wajahku membuat aku mendongak menatapnya. Hanya nenek gunung satu ini saja yang kerap mendampingiku pasca kebakaran itu. Adik nenek Kam ini inilah yang gencar mengingatkan dan berusaha selalu memantauku lansung. Aku menggigit bibir. Terasa kering. Aku kembali melihat Macam Kumbang. Ekspresi sedih ditambah sinar matanya yang merah, aku merasa berdosa. Aku telah menyakiti Macan Kumbang? Aku tidak patuh padanya. Aku jadi menyesal. Baru kusadari ternyata aku egois.

“Dengar Selasih, ketika aku, Kakek, atau nenek mengingatkanmu, itu semata-mata demi kebaikanmu. Kami semua sayang padamu. Kamu adalah anak pilihan yang memang sudah ditakdirkan dekat dengan alam kami. Kamu salah satu perwakilan kami hidup di alam manusia selain nenek Kam-mu. Makanya kau tidak akan bisa lepas dari kehidupan nenek Gunung.” Ujar Macan Kumbang masih sambil menyeka air mataku yang tersisa. Aku mengatur posisi duduk. Sekarang kami duduk berhadapan dengan kaki bersila. “Menjagamu dari berbagai macam hal itu sudah kewajiban kami, Selasih. Karena masing-masing kami mempunyai tanggung jawab padamu. Meski nenek dan kakekmu jarang berinteraksi padamu secara langsung, namun secara batin mereka selalu bersamamu tanpa kau sadari.” Lanjut Macan Kumbang. Aku merasa semakin terharu mendengarkan. Pelan-pelan air mataku kembali terbit. Baru kusadari betapa lembut perasaan makhluk di hadapanku ini. Aku merunduk menyembunyikan air mata. Selama ini aku tidak pernah menyadari dan berpikir lebih jauh tentang mereka. Aku hanya berpikir mereka adalah bangsa nenek gunung berupa manusia harimau yang dekat dan menyayangi aku dengan ikhlas. Menitis pula dalam darahku, dari kerajaan Pekik Nyaring yang kusebut leluhurku. Mereka mengajari aku berbagai macam hal, dan aku membalas kebaikan itu membantu beberapa hal yang mereka tidak bisa campurtangan terlalu banyak. Apalagi jika berkaitan dengan kehidupan manusia. Aku adalah salah satu perantara mereka untuk berinteraksi dengan alam manusia. Selama ini aku hanya menerima kebaikan-kebaikan mereka sekadar kujadikan alat untuk menyelesaikan masalah, dan berinteraksi dengan mereka. Aku juga menyadari tidak semua orang bisa berinteraksi dengan kaum ini. Aku belum pernah berpikir tentang hakikat ini semua. Baru sebatas kebutuhan dan membutuhkan. Aku menyesali diri. Dan kuanggap ini satu kedunguanku karena lambannya aku berpikir.

“Maafkan atas kebodohanku, Macan Kumbang. Aku terlalu egois. Selama ini aku baru mengukur sebatas apa yang telah kuberikan. Sementara apa yang kuterima jarang sekali kuukur.” Aku seperti masuk ke dalam ruang baru yang terbuka luas membuka kesadaran batiniah. Pelan-pelan aku melihat warna biru, kuning dan putih seperti gelombang mengitari seluruh tubuhku. Gelombang energi positif yang paling dasar ke luar dari tubuh manusia ketika batinnya bersih tanpa beban. Aku bersyukur menjadi bagian keluarga besar nenek gunung. Aku menarik nafas lega. Aku seperti lepas dari beban yang maha berat. Kutata kembali energi dan kekuatan dalam tubuhku yang selama ini kuabaikan. Iya…cukup lama. Puluhan purnama. Macan Kumbang tersenyum padaku. Aku melihat air muka teduhnya kembali berseri. Lelaki adik kesayangan nenek Kam ini hanya garang ketika dia berbentuk nenek gunung dengan dengan warna pekat. Pada dasarnya dia adalah lelaki dewasa yang berhati lembut dan penyayang.

“Sekarang, aku akan menjawab semua pertanyaanmu, Selasih. Meski sebelumnya kami sepakat dirimu tidak boleh tahu tentang peristiwa besar di alam sana.” Aku mulai serius mendengarkan penuturan Macam Kumbang. “Selasih, engkau sering disapa dua peri yang berbusana Jawa itu kan? Dia adalah peri dari kerajaan Banyuwangi. Dia berusaha menyapamu dengan kekuatan sihirnya agar kamu patuh dan mengikuti mereka.” Tutur Macan Kumbang. “Mengapa? Supaya apa aku patuh dengannya? Memang ada apa denganku, Macam Kumbang?” Tanyaku makin penasaran. “Selasih…sejak dua bulan lalu mereka datang, menghadap ke Puyang Pekik Nyaring. Mereka meminta dirimu untuk mereka bawa ke Banyuwangi. Konon kamu diminta untuk memimpin kerajaan mereka. Kerajaan itu akan jaya apabila dipimpin oleh manusia damai bernama Putri Selasih. Hasil tapa mereka hanya kamu yang dinobatkan jadi Ratu mereka. Tentu saja Puyang Pekik Nyaring tidak mengizinkan. Bagaimanapun Puyang Pekik Nyaring tetap mengharapkan kamu jadi bagian dari tanah Bersemah ini, bukan menjadi orang seberang.” Ujar Macan Kumbang lagi.

Mendengar penuturan itu jantungku jadi berdegup. Alam dan seisinya kadang memang penuh rahasia. Rahasia yang kerap tidak terbaca oleh keterbatasan kemampuan manusia. “Bacalah dengan iman” Suatu kali kakek Andun pernah berkata. Jadi memang tidak ada yang tidak mungkin. Termasuk pasukan Banyuwangi yang menyatakan akulah ratu, pemimpin mereka. Kita saja tidak paham sepenuhnya mengapa demikian? Selanjutnya, pasukan Banyuwangi tidak terima penolakan Puyang Pekik Nyaring. Mereka merasa dirimu adalah ratu mereka. Jadi mereka ingin merebutmu, untuk dibawa ke Banyuwangi.” Bagaimana mungkin aku harus menjadi ratu di kerajaan bangsa halus tersebut. Aku manusia. Terlahir sebagai manusia. “Lalu apa hubungannya dengan dua peri itu, Macan Kumbang?” Tanyaku.

“Dua peri itu bertugas untuk mengambilmu. Mereka pengawal andalan di kerajaan itu. Mereka sangat sakti. Keduanya memiliki ilmu rawarontek. Persis seperti leak yang pernah kamu takhlukan. Dia tidak bisa mati meski dicacah sekecil apapun. Jika telah menyentuh tanah tubuhnya akan menyatu kembali. Itu baru contoh saja. Masih banyak ilmu-ilmu di luar nalar dan berbeda dengan ilmu yang kita miliki. Apalagi ilmu sihirnya. Masih sakit kena cubit dan dimarah nenek Putri Kuning bukan? Kamu bertemu dengan salah satu peri yang mengubah jadi bapak-bapak di tempat pengantin yang kita depatkan itu? Kamu tidak bisa mengenalinya bukan? Kamu kira dia adalah manusia yang kebetulan memiliki kemampuan sepertimu bukan? ” Aku mengganguk mengiyakan. Benar, sedikit pun aku tidak menyayangka jika yang nyamar bapak-bapak itu adalah peri, makhluk yang cantik. Macan Kumbang menarik nafas seakan masalah yang dihadapinya memang berat. Sementara aku membayangkan pertarungan sengit yang telah dilakukan oleh bangsa nenek gunung melawan pasukan dari Banyuwangi itu.

Jadi apa yang kudengar pertarungan beberapa hari lalu adalah pertempuran sengit pasukan dari Banyuwangi melawan pasukan nenek gunung di kerajaan Pekik Nyaring. Pantas aku tidak bisa menembus untuk sekadar melihat ke medan pertempuran. Rupanya aku sengaja disembunyikan oleh para leluhurku. “Maafkan aku kakek…aku telah berprasangka buruk..”Desisku. Lagi-lagi aku merasa berdosa. Ternyata tanpa kusadari leluhurku sangat memperhatikan aku.

Lama aku tercenung memikirkan apa yang disampaikan Macan Kumbang. Peluh kami mengucur deras meski cuaca sebenarnya sejuk. Ada dorongan emosi yang membuat tubuh kami terasa panas.” Lalu apa yang harus aku lakukan Macan Kumbang? Tadi pagi aku bertempur dengan dua peri itu dekat kuburan. Aku terkecoh dengan suara minta tolong. Untung sebelumnya nenek ceriwis mengingatkan aku jika yang menyamar Bapak-bapak itu salah satu dari mereka.” Ujarku sedikit risau. “Yang harus kamu lakukan adalah waspada. Hindari bertemu dengan dua peri itu. Apalagi sampai bertempur. Dia selalu mengikuti kamu kemana saja. Yang mengaku kakek Andun saja kamu percaya. Kekuatan magis mereka saya akui, luar biasa,” lanjut Macan Kumbang.

Akhirnya aku hanya dapat merenung tidak bisa berpikir apa yang harus aku lakukan. Langit mulai mendung, nampaknya akan turun hujan setelah lebih empat hari kota kecilku terasa panas. Aku dan Macan Kumbang bangkit dari duduk di tanah. “Terimakasih Macan Kumbang, maaf jika aku telah merepotkan,” ujarku. Macan kumbang langsung merangkul bahuku sambil mengajak berjalan ke lembah. Aku seperti akan menghadapi babak baru dalam hidup namun tidak tahu akan seperti apa. Langit yang suram, kabut yang tiba-tiba turun adalah isyarat betapa berat tantangan ke depan. Ah, aku menekan diri saat tak bisa membaca kejadian ke depan pada diri sendiri. Kabut terlalu tebal.

***

Tidak terasa aku dan Macan Kumbang sudah sampai di halaman sekolah. Pecahan tubuhku kembali menyatu. Macan Kumbang mohon diri kembali menemui nek Kam di gunung Dempu. Sudah beberapa minggu ini nenek Kam ada di sana. Kulihat Sumiyem berlari-lari kecil memanggilku. Katanya aku dipanggil pak Ardi, pembina OSIS. Aku segera menemui beliau. “Dek, kamu bawa nota ini ke tukang jahit di pasar proyek, tanyakan kapan seragam baris-berbaris kalian selesai. Kamu pakai motor Riyan sebentar.” Kata pak Ardi. Akhirnya aku dengan Sumiyem pergi mengendarai sepeda motor ke pasar Proyek Pagaralam.

Ketika balik lagi ke sekolah di jalan kami berpapasan dengan Eko dan Rudi, dua temanku yang tinggal di tangsi satu gunung Dempu. Kami naik kendaraan beriringan. Mereka berdua ada di belakang. Entah mengapa, tiba-tiba gas motor yang kubawa melaju kencang di jalan yang berbatu dan sulit dikendalikan. Sumiyen yang duduk di belakangku nyaris jatuh karena terguncang-guncang. Aku berusaha mengendalikan setang motor dan gas yang diputar full.

Tiba-tiba di hadapanku ada kabut tipis. Pertama kabut itu lebar seperti bentangan kain, tiba-tiba menyambar dan membalut sukmaku. Gerakkannya cepat sekali. Hanya dalam hitungan detik, kendaraan yang kubawa meluncur bersama jasadku. Persis di simpang pemakaman menuju sekolah. Aku melihat tubuhku terkapar tertimpa motor. Sementara Sumiyem menangis histeris, tak lama berselang Rudi dan Eko tiba. Untung ada mobil bak terbuka kebetulan melintas. Eko dan Rudi mengangkat tubuhku ke atas mobil dan langsung mereka bawa ke rumah sakit DKT di pusat kota. Eko menangis sambil memangku tubuhku sepanjang jalan. Sementara jasadku terlihat lemah tak berdaya. Bawah betis kaki kiriku patah! Rudi memegangi kakiku agar tidak bergoyang-goyang. Sementara, sukmaku tidak bisa bergerak sama sekali. Sukmaku dibalut dari ujung kaki hingga kepala. Hanya wajahku saja yang tersembul seperti bayi yang baru lahir.

Di alam gaib ini sedang berlangsung pertempuran sengit. Ada dua kubu tengah bertempur. Aku tidak tahu siapa yang membalut dan memanggul sukmaku. Dan apa pula penyebab pertempuran ini. Atau mereka ini tengah memperebutkan aku? Oh! Tiba-tiba ada perasaan cemas memenuhi ruang dada. Aku akan hilang dari keluarga jika benar aku dibawa ke Banyuwangi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Sukmaku yang terbalut selaput tipis dengan tangan terbujur kaku dipanggul seorang perempuan sambil membalas serangan. Aku tak mampu melihat siapa dengan siapa yang bertempur. Aku hanya bisa merasakan dasyatnya pertempuran dan tubuhku ikut terombang-ambing ke sana kemari.

Tidak jauh dari tempat ini pertarungan sengit juga sedang berlangsung. Mendengar dengus nafas dan suara yang menggema jumlah yang berkelahi tidaklah sedikit. Aku mulai merasakan lelah di panggul apalagi dalam keadaan seperti kepompong ini. Aku segera mencoba membaca mantra untuk melepaskan diri. Semakin kubaca aku merasakan balutan tubuhku semakin erat. “Pasrah saja Kanjeng Ratu. Lemaskan tubuh Kanjeng agar tidak cidera. Kami akan melindungi Kanjeng Ratu sampai tetes darah penghabisan.” Kata perempuan yang dipanggil Nyi Rara.

Akhirnya kuurungkan sambil mencari akal bagaimana bisa lepas. Mereka memanggilku Kanjeng Ratu? Kalau aku kanjeng Ratu mereka mengapa aku diikat seperti ini? Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Bukankah ini menyiksa? “Nyi Ratih, berikan kanjeng Ratu padaku. Biar aku yang bawa Kanjeng Ratu,” seseorang berbicara. “Baik, hati-hati Nyi Rara, jangan sampai Kanjeng Ratu cidera. Apa lagi pihak lawan tidak terima kita membawa pulang Kanjeng Ratu. Bawalah segera Kanjeng Ratu ke istana kita.” “Aaaoww…” Aku menjerit tertahan. Tiba-tiba aku dilempar dan telah berpindah tangan. Aku jadi tahu, tadi di tangan Nyi Ratih. Sekarang di tangan Nyi Rara. Siapa mereka ini? Dua peri itukah? Aku tidak bisa menatap wajah mereka. Dipanggul dengan kepala di bawah, lalu bagian pinggang ke kaki dikepit membuat darahku seakan berkumpul ke kepala. Mau berusaha menotok bagian-bagian tertentu meski hanya lewat pikiran. Namun gagal.

Aku mulai putus asa. Artinya aku harus pasrah sukmaku mereka ambil. Sementara jasadku masih terbaring dengan kaki patah di atas bangsal rumah sakit tua yang remang-remang. Rumah Sakit seperti kuburan karena tidak hanya sepi tapi suasananya memang mencekam. Di bangsal samping kulihat seorang lelaki tua sedang sekarat. Tak lama, dia meninggal dunia ditangisi sanak keluarganya. Sedangkan aku, masih terbaring tak berdaya. Kaki kiriku di sarau beralas papan dibalut erat dengan perban. Perawat bolak-balik mengontrolku. Kawan-kawan sekolahku silih berganti melihat kondisiku, sebagain besar berkerumun hingga di luar Rumah Sakit. Aku dijaga guruku. Semua menampakkan simpatinya. Beberapa orang kulihat menitikan air mata. Tak sedikit yang menangis tersedan di sisi ranjang. Mereka tidak ada yang tahu kalau di hadapan mereka hanyalah jasad yang hanya memiliki setitik kehidupan. Sukmaku tengah disandera oleh makhluk gaib bangsa peri. Mereka mengatakan aku adalah ratu mereka. Aneh!

“Nduuuk…Yaa Allah nduuuk…” Aku melihat Emak bergegas bersama Bapak gorengan menaiki anak tangga Rumah Sakit sambil menangis. Sampai di ruang rawat inap, Emak tumpahkan tangis sambil memelukku. “Aduh Nduk..Nduk..kok bisa seperti ini? Masya Allah, kakimu patah yo Nduk.” Emak mengelus-ngelus dan memelukku. “Sabar yo nduk…sabar…ini cobaan. Sabar ya nduk.” Bapak mengelus-ngelus wajahku. Sementara Emak menggenggam tanganku erat sekali sambil berurai air mata. Aku ingin sekali menjawab, jangan menangis Emak, Bapak. Tapi tidak bisa. Mataku masih terpejam. Aku seperti kehilangan tenaga sama sekali. Jangankan bergerak untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.

Menjelang malam, Ibu dan Bapakku baru datang. Mereka dijemput kerabatku di sebrang Endikat. Hebatnya keduanya tidak menangis. Mereka begitu tegar. Melihat kakiku patah, mereka hanya pasrah dan berusaha menguatkan aku. “Kita berobat sampai sembuh ya, Dek. Ini cobaan untuk kita. Perbanyak istighfar. Insya Allah sembuh,” Bapak menguatkan. Aku bersyukur memiliki dua orang tua yang hebat ini. Padahal aku tahu betapa hancurnya perasaan mereka. Mereka pandai sekali menyembunyikan perasaan itu. DuaRR!! Aku terkejut mendengar benturan keras seakan-akan dekat sekali denganku. Jantungku berdegup kencang. “Nyi Rara, selamatkan Kanjeng Ratu. Gelombang penyerangan makin dasyat. Mereka makin banyak. Entah darimana-mana mereka ini. Kau harus lolos bersama Kanjeng Ratu. Sebentar lagi kita akan terkepung. Bawalah Kanjeng Ratu ke istana kita. Biarkan kami yang menghadapi mereka-mereka di sini.” Suara yang dipanggil Nyi Ratih mengingatkan Nyi Rara. Beberapa orang berkeliling melindungi Nyi Rara. Aku masih dalam keadaan terpasung. Aku tak sempat ingin fokus mencoba memecah diri. Oh! Kulit tipis seperti kepompong ini benar-benar kuat. Rupanya telah dimantra-mantrai. Dalam keadaan masih dipanggul aku serasa meluncur kencang. Aku mencoba berkomunikasi dengan Macan Kumbang, tidak bisa. Dengan Puyang Pekik Nyaring, Nenek Kam, juga tidak bisa. Aku mirip anak bayi yang hanya bisa mengedipkan mata tanpa daya. Apakah ada yang tahu jika aku telah mereka sandera? Angin mendesing sangat kencang.

Aku tidak tahu akan di bawa kemana kecuali pasrah. Sekilas aku melihat banyak sekali perempuan memakai kemben dengan senjata di tangan seperti mengawal ikut mengawal aku. Dalam hati aku teringat kata Macan Kumbang tentang balatentara dari Banyuwangi. Merekakah yang dimaksud itu? Oh! Aku benar -benar berhasil mereka culik. Aku gagal menjaga diriku sendiri. “Berhenti!! Mau kalian bawa kemana gadis kecil itu? Kembalikan Putri Selasih kalau kalian tidak mau mati sia-sia di sini. Tidak akan kami biarkan selangkah pun, kalian bawa Putri Selasih dari tanah Sumatera ini.” Suara lelaki tegas. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi mendengar perkataannya nampaknya dia ada dipihakku. Hendak menyelamatkan aku. Dari nada suaranya beliau bukan suku Besemah. Tapi dari suku Minang. Apakah Kakek Pekik Nyaring dibantu oleh inyiak dari Sumatera Barat? Oh, aku jadi teringat dengan inyiak dari Gunung Talang yang pernah menginjak tanah Besemah ketika menangkap keturunan Tionghoa yang telah memperjualbelikan daging nenek gunung.

“Maaf orang tua. Putri Selasih ratu kami. Kamilah yang berhak atas dirinya. Dia adalah titisan raja pemimpin di kerajaan kami. Maka selayaknya kami jemput untuk kembali ke kerajaan kami,” lanjut Nyi Rara. “Jangan bermimpi Nyai cantik. Dia keturunan dari Kerajaan Pekik Nyaring, bukan kerjaan pantai Timur Banyuwangi. Cari saja dari bangsamu untuk menjadi Ratu kalian. Jangan Putri Selasih. Dia adalah titisam manusia harimau dari gunung Dempu. Bukan titisan peri seperti kalian. Paham?!” “Tidak bisa orang tua! Putri Selasih adalah Ratu kami. Maka hidup ataupun mati kami, Kanjeng Ratu akan kami bawa pulang.” Nyi Rara tetap bersikeras. Sambil berbicara Nyi Rara melakukan serangan. Entah apa yang dia lakukan. Namun yang jelas aku merasakan sebuah energi yang luar biasa dasyatnya. Sekilas aku melihat gelombang bergulung ke arah lawan. Lalu dari lawan aku mendengar suara saluang yang menyayat. Nadanya mengiris-ngiris rasa siapapun yang mendengarnya. Jika tidak kuat maka suara saluang itu akan mebuat seseorang menjadi melakolis. Otomatis akan sangat mudah melumpuhkannya. Selanjutnya diikuti suara kain yang ditepuk-tepuk. Dan tepukan itu bukan tepukan biasa, tapi tepukan berenergi yang dasyat pula. Aku merasakan dasyatnya tepukan itu seperti hendak memecahkan gendang telinga. Oh! Aku tak mampu menghalangi suara itu. Telingaku berdenging terasa sakit. “Oh! Maafkan Kanjeng Ratu, maafkan hamba. Hamba lupa menghalangi panca indera dengar Kanjeng Ratu.” Nyi Rara seperti baru sadar dari tidur. Secepat kilat tangannya bergerak menotok bagian alat dengarku. Akhirnya aku hanya mendengarkan suara yang berenergi biasa-biasa saja.

Tak lama berselang aku mendengar pertarungan jaraknya dekat sekali . Angin pukulan dan tangkisan terasa seperti deru angin mengaduk-ngaduk semua sisi. Belum lagi api seperti lidah yang menjilat-jilat entah dari tenaga dalam atau senjata siapa. Ternyata Nyi Rara ini tak kalah tinggi ilmunya dengan nyi Ratih. Meski sembari memanggul tubuhku namun tidak menghalangi dirinya untuk bergerak. Ilmu meringankan tubuhnya kurasakan sangat tinggi. Akhirnya muncul ideku untuk mengelabuinya. “Nyi Rara, lepaskan aku. Agar aku bisa membantu melawan orang tua itu.” Ujarku lembut. “Maaf Kanjeng. Kanjeng Ratu adalah tanggung jawab hamba. Tangan Kanjeng Ratu tidak boleh dikotori melawan orang-orang ini.” Jawab Nyi Rara lembut pula. Aku menarik nafas. Gagal membujuknya. Ketika tubuh nyi Rara naik ke udara, lalu turun lagi ke bumi, aku serupa naik kincir membuat darahku berdesir-desir. Samar, aku mendengar ada yang bersyalawat. Makin lama syalawat itu semakin syahdu. Sementara pertempuran Nyi Rara dan lelaki dari rana Minang masih terus berlangsung sengit. Suara syalawat itu seakan-akan membimbingku untuk mengikutinya dalam hati.

Akhirnya aku memejamkan mata fokus pada syalawat yang kudengar. Hati, jiwaku menjadi satu dalam syalawat. Kunikmati kesyahduan dan dalamnya. Sukmaku seperti diajak ke alam lain jauh lebih tinggi ke angkasa. Aku merasakan ada nuansa damai dan sejuk dan aku makin hanyut dibuainya. Makin lama syalawat itu makin merdu hingga membuat bulu romaku berdiri semua. Aku tidak sempat berpikir siapa yang bersyalawat itu yang kurasakan adalah jiwaku terasa damai dan semakin ringan. Tanpa kusadari ternyata lilitan kabut tipis yang membalut erat tubuhku makin longgar. Aku masih di panggul nyi Rara. “Kanjeng Ratu sedang bersenandung ya. Mohon maaf, hentikan sejenak Kanjeng, Mengapa aku merasa panas mendengarnya?” Ujar nyi Rara memohon di sela-sela pertempuran melawan Inyiak dari Sumbar itu. Padahal aku bersyalawat dalam hati. “Aku seorang muslim, nyi. Jadi jangan halangi aku bersyalawat pada Baginda Nabi Muhammad SAW.” Ujarku pelan.

Aku terus mengikuti syalawat yang mengalir lembut di telingaku. Diam-diam aku bisa menarik kedua tanganku. Pelan-pelan kuletakkan di dada, aku mulai membaca mantra memecah diriku menjadi dua. Sukma asliku ke luar dari kabut yang mengikatku. Sementara sukma pecahanku kubiarkan seperti terikat. Lalu kupecah lagi jadi dua. Sekarang ada empat Putri Selasih. Satu terkurung, tiga turun ke medan lagi. Melihat jumlahku banyak, nyi Rara kaget bukan main. “Kanjeng..kanjeng Ratu. Bagaimana Kanjeng bisa ke luar. Di luar berbahaya Kanjeng?” Tanyanya heran. Konsentrasi nyi Rara terpecah dua. Selain harus melawan inyiak dari suku Minang yang masih gencar menyerangnya, di sisi lain dia takut aku lepas tidak bisa dibawanya ke Banyuwangi. Jurus-jurus nyi Rara agak kacau. Ini terlihat ketika dia melayangkan pukulan selalu meleset. Tidak pernah kena sasaran. Banyak sekali pukulan mubazirnya menyentuh tanah, batu, kadang hanya angin. Inyiak dari ranah Minang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Beliau melancarkan pukulan-pukulan maut. Ternyata bala tentara dari Banyuwangi bukanlah makhluk yang kosong. Mereka berani sampai menyeberang ke tanah Sumatera pasti karena sudah memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.

Entah darimana datangnya, aku melihat sosok bayangan putih menyambar diriku lalu membawa aku pergi meninggalkan arena pertempuran. Aku tak sempat untuk melakukan apa-apa. Seluruh tubuhku lemas seperti tak bertulang. Aku tidak tahu, apakah aku ditotok atau disihir, saking cepatnya aku tidak menyadari semuanya.Aku melihat tubuh kami melintas di atas bukit dan hutan. Ternyata yang menyambarku seorang lelaki yang memiliki ilmu meringankan tubuh melebihi ringan angin. Dalam ketidakberdayaanku, aku ingat bagaimana aku bisa lolos dari balutan gaib nyi Rara peri dari Banyuwagi tadi. Aku mencoba bersyalawat sendiri. Hanya ini yang dapat kulakukan. “Iya, bagus Cung..teruslah bersyalawat. Insya Allah atas izin Allah, setinggi apa pun ilmu yang miliki oleh jin jahat tak akan bisa menyentuhmu.” Ujarnya masih terus melaju.

“Puyang siapa? Aku akan di bawa kemana?” Tanyaku ketika selintas menatap wajahnya sebaya Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Belum ada jawaban. Namun ada rasa lega dibatinku, aku jatuh di tangan orang yang benar. Tiba-tiba aku dan lelaki tua yang tak kukenal itu sudah berada di sebuah daerah yang tinggi, bercadas. Aku diturunkannya. Lalu didudukannya di atas batu lebar yang datar. Di sekeliling batu itu ada jurang yang sangat dalam. Lalu jauh di seberang, hutan belantara yang sangat lebat. Aku mendengar deru air. Sungai! Namun ketika aku memandang ke lembah, di sisi dua pertemuan sungai aku melihat sebuah istana mega berdiri kokoh seakan menantang bibir jurang. Sungguh menakjubkan. Istananya di desain mirip-mirip bangunan Timur Tengah. Jendela-jendela lebar bentuknya seperti kuba masjid. Beberapa sisi terlihat seperti jamur tumbuh lebih menonjol dari bangunan yang lain seperti menara masjid. Cahaya keemasannya membuat istana itu berkilau-kilau. Sisi kanan kiri mengalir sungai bertemu pas di unjung jurang tempat istana berdiri. Di hulu, ada bagian yang lebih rendah, mirip sebuah telaga yang airnya merah. Suasana lembah yang hening mengingatkan aku pada kampung kampung halamanku. Dusun Bapak dan Ibu, Seberang Edikat.

“Maafkan aku Puyang. Jika tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapakah Puyang? Dan saat ini aku berada di mana?” Ujarku. Aku baru bisa menatap wajahnya dengan awas setelah aku diturunkan dan berhadapannya dengannya. “Untuk sementara kau aman di sini. Aku puyangmu dari Besemah, dan ini tanah leluhurmu, Cung.” Lelaki berpakaian gamis putih, berjabang, kumis dan jenggot yang sudah putih pula itu berkata tanpa menyebutkan siapa dirinya kecuali leluhurku dari Besemah. Demi melihat tubuhnya besar tinggi, berhidung mancung. Wajahnya sedikit ke Arab-araban. Matanya yang terduh dan bening, menandakan beliau orang soleh. Aku tidak berani menanyakan siapa namanya.

Dalam hati aku masih bertanya-tanya tentang puyang Besemah yang menolongku ini? Aku telah diselamatkannya sudah sangat bersyukur lepas dari cengkraman pasukan dari Banyuwangi. “Jadi aku masih di tanah Besemah, Puyang? Bukan di Banyuwangi bukan?” Tanyaku serius. Puyang tersenyum simpul. “Silakan duduk timpuh, pejamkan mata, lalu ikuti Puyang,” ujarnya lembut tanpa menjawab pertanyaanku. Aku segera melakukan apa yang beliau perintahkan. Aku segera duduk simpuh lalu memejamkan mata. Aku ikuti aliran nafas ke luar dan masuk. Sang Puyang mengajakku diam khusuk berzikir. Lagi-lagi zikir nafas. Persis yang sering dilakukan kakek Andun, Kakek Njajau, Kakek Pekik Nyaring, dan Kakek Ulu Bukit Selepah. Lalu siapakah Puyang dihadapanku ini? Lalu aku sedang berada di mana? Daerah ini bagiku asing. Di tengah deru suara sungai yang mengisi dua sisi jurang membuat alam pebukitan ini seperti dalam lorong yang luas. Aku mengikuti pengarahan Puyang, untuk pasrah dan terus memusatkan diri pada sang pencipta sembari menarik dan mengeluarkan nafas dengan

“Huu Allah”. Tak lama berselang, dalam keadaan terpejam aku merasakan ada cahaya yang mengitari kami berdua. Cahaya seperti gelombang itu makin lama makin besar dan luas. Lalu seperti gelombang pelan-pelan mengecil kembali sebatas lingkaran tubuh kami. Lalu Puyang menyuruhku membuka mata. Aku patuh membuka mata. “Puyang akan cabut gendam dalam tubuhmu.” Ujarnya. Tak lama aku melihat tangannya bergerak cepat seperti menarik sesuatu dari dalam tubuhku. Ada kabut tipis digulung kakek dengan tangannya mirip seperti benang sutra namun berwarna putih halus sekali. Tak lama berselang aku melihat kabut itu sudah sebesar bola kaki. Puyang membaca ayat-ayat Al quran lalu dengan kekuatan tenaga dalamnya sembari mengucapkan “Allahu Akbar” bola kabut itu pelan-pelan dihancurkannya dengan kedua belah telapak tangannya. Sekejab, bola itu telah berubah menjadi asap lebur bersama udara.

“Alhamdulilah…” Puyang tersenyum sembari memandangku. Ditariknya tanganku untuk menyuruhku berdiri. Aku patuh saja ketika tanganku dibimbingnya berjalan beberapa langkah ke arah timur. Di hadapan kami bukan saja terdapat jurang, namun jauh di sana cadas berdiri kokoh seakan sengaja dibuat untuk memagari lembah dan menopang bukit dan belantara di atasnya. Cahaya telaga yang tertimpa matahari memantulkan cahaya ke dinding cadas. “Cung, dirimu masih di tanah Besemah. Tanah leluhurmu. Saat ini kita berada di atas bukit Mercawang. Di balik bukit itu, dusun Bapak Ibumu, dusun nenek Kam, dusun kita. Aku melemparkan pandang ke arah yang ditujuk Puyang. Masya Allah, aku serasa bermimpi. Jadi saat ini aku masih berada di tanah Besemah. Tanah leluhurku? Aku hanya dapat membenak sembari menahan air mata haru. Kupandang wajah Puyang yang tesenyum. Wajah teduh ini bercahaya menatapku penuh kelembutan. Selintas aku teringat jasadku. Kapan aku bisa kembali ke jasadku dengan sempurna? Sepertinya Puyang paham apa yang kupikirkan, Puyang menyabarkan aku.

Jika keadaan tidak genting lagi, semua aman, dan pasukan Banyuwangi ke luar dari tanah Sumatera, maka aku akan diizinkan untuk kembali. “Saat ini, kamu ikut bersamaku. Mari kita turun.” Ajaknya. Aku mengikuti langkah beliau. Baju gamis putihnya berkibar-kibar ketika diterpa angin. Kami menyisir jalan setapak lurus dan panjang meretas jurang yang dalam. Kiri dan kanan air sungai makin terdengar kencang mengisi ruang lembah seperti tabuhan.

***

Kami masih berjalan. Setapak yang meretas jurang ini cukup panjang. Aku tidak berani banyak bertanya. Karismatik yang ditujukkan Puyang membuatku segan untuk banyak bertanya. Aku melihat kaki puyang seperti tidak menjejak tanah. Jangankan untuk bertanya banyak tentang tempat ini, bertanya untuk tahu puyang apa saja aku tidak punya keberanian. Pokoknya beliau mengaku Puyangku, leluhurku. Dan aku cucunya.

Sesekali aku melompat kecil ketika menuruni tebing yang curam. Sementara Puyang kulihat seperti berjalan di jalan yang datar saja. Tak sedikitpun aku melihat tubuhnya melonjak saat melompati beberapa bagian jalan curam. Selama perjalanan Puyang diam saja. Aku juga ikut diam. Aku hanya mendengar nafasku yang sesekali seperti mendengus, namun kembali mantul sesolah-olah memenuhi ruang alam yang luar biasa ini. Kami seperti berjalan di atas kayangan, karena tiba-tiba kabut berarak menuju lembah, menutupi sebagai bubungan istana. “Kita belok ke kanan Selasih.” Ujar Puyang membimbing tanganku. Kami kembali menuruni jalan setapak yang curam dan berbelok. Suara sungai yang mengalir seperti menggema dan terasa makin dekat. Aku tidak mendengar suara lain kecuali suara deru air.

Angin di lembah ini terasa lebih kencang dan lembab. Aku tidak melihat istana lagi, sebab terhalang dengan cadas serupa dinding. Cadas ini seperti sengaja melindungi istana dari pandangan bagian Barat. Di seberang, belantara terlihat gelap saking lebatnya. Akar-akarnya ada yang menonjol di sisi tebing dan menutupi bibir cadas. Bahkan akar-akar itu sudah seperti pohon, besar dan meliuk-liuk ikut menopang cadas agar tak terbis. Ada mata biru di antara daun dan semak di seberang. Kuawasi pelan-pelan. Ternyata beberapa nenek gunung tengah mengawasi aku bertsama puyang. “Akan ke mana kita, Puyang?” Tanyaku setelah sekian lama diam. Padahal aku berbicara pelan. Namun suaraku menjadi bergema seperti dalam ruangan tertutup.

Halimun sudah mulai turun, langit sudah berwarna gelap. Bukit ini pun sebenarnya sudah mulai gelap, namun tidak menghalangi pandangan kami berdua. Sukmaku masih saja santai menikmati alam perbukitan yang indah ini. “Kita menuju air terjun di ujung lembah, Cung. Sengaja Puyang bawa kamu berjalan kaki agar aroma tanah leluhurmu tetap tersimpan di benakmu. Meski engkau kelak jauh merantau, engkau tetap ingat leluhurmu dan sesekali pulanglah”. Aku mendengarkannya dengan seksama. Dalam hati tentu saja aku akan selalu ingat dan rindu pada tanah leluhurku. Bahkan bagiku tanah Besemah ini adalah bagian dari nafasku. Bagaimana tidak, konon leluhurku jauh masuk ke pedalaman ini bukan saja untuk mencari ilmu dan ikut berjuang mempertahankan tanah Besemah dari penjajah Belanda, namun mereka menyisir hutan ke hutan untuk mencari kehidupan, lalu pelan-pelan mengubah kehidupan setiap orang yang ditemuinya menjadi lebih bermartabat, paham dan memiliki agama.

Menurut penuturan Bapak, moyangnya pernah bercerita bahwa sebelum mereka mengenal agama, mereka animisme. Kehidupan di sini sangat kental dengan berbagai macam ritual, menyembah roh nenek moyang, pohon besar, dan lain sebagainya. Hukum rimba masih berlaku. Banyak sekali pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan sumpah nenek moyang. Belum mengenal berbagai macam peradaban dari luar. Bahkan pakain yang mereka kenakan terbuat kulit kayu. Masih primitif sekali. Suatu kali, aku pernah ikut Bapak hendak ziarah ke makam kekek nenekku di Tebat langsat. Makan orang tua Bapak. Untuk sampai ke sana, kami melintas di sebuah tikungan menuju dusun Bangke. Kiri kanan ada paok (kolam) kecil milik penduduk. Jalan yang menghubungkan Singepure dan Bangke itu, akan turun dan terdapat hutan-hutan kecil bertanah merah.

Menurut Bapak, dulu hutan-hutan yang menghubungkan Singepure dan Bangke ini adalah belantara dan seringkali melihat nenek gunung melintas atau sekadar duduk-duduk di tengah jalan menikmati sinar matahari pagi. Waktu itu, yang manarik perhatianku bukan soal nenek gunung yang kerap melintas dan sering tidur-tiduran di tengah jalan, namun bagian leduk (rendah) dan menikung sebelum ke tanjakkan perlintasan nenek gunung itu. Tiap kali melintas di sini maka aku akan mendengar jeritan dan tangis yang menyayat dari makhluk-mahkluk gaib di sekitar sana. Saking tidak tahannya pernah kutanyakan pada Bapak, dulu ini tempat apa? Bapak menjelaskan jika di lembah ini tempat orang zaman dulu melemparkan mayat. Dulu, siapa yang mati tidak ada yang dikubur. Jadi sebelum mereka mengenal agama, dan masih dalam kehidupan yang serba minim, kematian dianggap pembawa sial. Jika ada yang mati, maka akan digulung dengan pelupuh (batang bambu yang dicacah) lalu diikat. Kemudian mayatnya diangkat dan dilemparkan di jurang itu tanpa tangis dan derai air mata, apa lagi iringan doa, tidak ada sama sekali itu. Kata Bapak. Yang lebih kasihan lagi adalah ketika ada yang meninggal karena melahirkan, maka jenazahnya tidak saja dibuang di jurang itu, namun sebelum dibuang setiap orang akan memukul gulungan jenazah dengan kayu atau dengan apa saja, melemparinya dengan batu sambil didawaikah, artinya berkata-kata berisi sumpah serapa, lalu dipukul-pukul. Setelah satu dusun sudah melakukan ndawai dan memukul, baru jenazah dilempar sambil tetap berkata-kata.

Bagiku lembah itu adalah lembah yang paling seram di dusunku. Aku melihat banyak sekali mayat-mayat bangkit dan minta tolong. Selanjutnya kata Bapak zaman Belanda dan Jepang, tentara mereka pernah sampai masuk ke wilayah ini mengejar para tentara pribumi sampai ke hutan-hutan pedalaman. Mereka yang mati ditembak Belanda atau Jepang, mayatnya pun di lempar ke jurang-jurang, Termasuk jurang dekat tanah leduk itu. Tutur Bapakku. Aku hanya dapat menahan nafas ketika itu. Dan yang mati di sana, sebagian besar pasti leluhurku. Sekarang aku tengah berjalan di samping seorang lelaki yang mengaku leluhurku, puyangku, berwajah ketimuran, berkulit kuning langsat, bertubuh besar tinggi, berhidung mancung, mata agak cekung, becabang, jenggotnya panjang berwarna putih keemasan, terlihat tegas, alim dan berwibawa. Pernah aku mendengar orang-orang tua mengatakan jika moyangku ini berasal dari negeri Timur Tengah. Merantau sampai ke tanah Sumatera ini menyebarkan agama sembari berdagang kain. Wallahu a’lamu bil Showab!

“Apa yang kamu pikirkan, Cung? Jauh sekali jangkauan pikiranmu?” Puyang tersenyum sembari menatapku. Jenggotnya yang melambai-lambai ketika ditiup angin mengingatkan aku dengan Puyang Ulu Bukit Selepah, Puyang yang karismatik juga, dan puyang Pekik Nyaring. Das! Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku jadi ingat Puyang Pekik Nyaring. Konon karena aku keturunan dari kerajaan kecil di lereng gunung Dempu, di tanah Besemah ini pulalah mengantarkan aku hingga ke alam tak kasat mata. Sehingga jasad dan sukmaku terpisah. Oh! Aku melihat jasadku tergeletak lemah dijaga oleh ibu. Ibu nampak terkantuk-kantuk mengipasi aku yang berpeluh. Jasadku tengah tidur di tengah udara yang gerah. Beberapa alat kedokeran ada di samping kiri kanan. Kakiku masih di sarau dan diperban. Dua tulang betisku patah tebu. Hanya satu malam rawat inap di Rumah Sakit DKT Pagaralam, selanjutnya aku di bawa ke Rumah sakit DKT Lahat. Rumah Sakit yang dianggap lebih lengkap. Malam itu kakiku langsung dioperasi, konon untuk menyatukan tulang yang patah. “Puyang, kasihan Ibu.” Ujarku hendak menitikan air mata. “Tidak apa-apa. Yang ditungguinya adalah jasadmu yang masih memiliki nyawa. Bukan jasad yang mati. Kamu belum bisa pulang menyatu dengan jasadmu, Cung. Masih sangat berbahaya untukmu. Di luar sana pertarungan masih terus berlangsung. Pasukan Banyuwangi semakin ngamuk mengetahui kamu hilang kembali. Mereka mati-matian ingin membawamu ke kekerajaan mereka. Insya Allah mereka tidak akan bisa menemukanmu di sini. Banyak sekali yang memertahankanmu, Cung.” Lanjut Puyang lagi.

“Mengapa harus aku Puyang yang jadi pilihan mereka?” Tanyaku masih mengulang pertanyaan seperti pertanyaan yang pernah kuajukan dengan Macan Kumbang. “Menurut pemahaman dan keyakinan mereka, bukan soal pilihan, Cung. Tapi umumnya mereka adalah petapa-petapa hebat. Makanya mereka memiliki berbagai macam ilmu yang tinggi. Selanjutnya dalam tapa mereka, mereka dapatkan semacam wangsit agar kerajaan mereka kembali bangkit, yang memimpin mereka adalah Putri Selasih dari seberang. Gadis kecil yang dianggap memiliki kelebihan dan bisa bersenergi pada dua kehidupan yaitu alam gaib dan alam nyata. Dari sekian tahun tapa mereka, selalu saja yang disebut adalah Putri Selasih, dan mereka anggap kamu adalah titisan ratu Banyuwangi. Makanya mereka nekad mencarimu untuk mereka nobatkan jadi ratu mereka.

Mereka memang butuh orang sepertimu Selasih.” Lanjut Punyang kadang berhenti berjalan untuk meyakinkan penuturannya. Aku tidak tahu harus berbicara apa? Untung aku memiliki orang-orang yang menyintai aku, tanpa kuminta pun mereka melindungi dan menjagaku. Aku tidak tahu jika tidak ada yang membelaku. Mungkin Bapak dan Ibu telah lama kehilangan anak gadisnya. Bisa jadi Bapak ibu mengira aku sudah mati. Padahal, roh dan jasadku akan pindah ke alam lain dan tidak bisa kembali ke alam nyata seperti bujang Jarai tempo hari. “Nah, persis seperti yang kau pikirkan, Cung. Bedanya dirimu dengan yang disunting nenek gunung itu adalah, kamu bisa bolak-balik ke dua alam, alam gaib dan alam nyata, baik dengan fisikmu, maupun hanya sukmamu. Sedangkan bujang Jarai itu hanya satu arah saja. Ketika masuk ke dimensi nenek gunung maka selamanya dia ada di sana. Dia tidak bisa kembali ke alam hidup manusia. Sudah berbatas. Bahkan lewat mimpi pun tidak bisa”. Lanjut Puyang lagi. Aku hanya manggut-manggut memahami apa yang disampaikan Puyang padaku. Pemahaman yang hanya bisa dicerna dengan rasa. Sesuatu yang tidak masuk akal dan logika namun ada. Sesuatu yang gaib, bagian dari rahasia sang Maha Pencipta.

“Puyang, begitu besar pengorbanan puyang-puyang dalam mempertahankan aku agar tidak diambil oleh kerajaan Banyuwangi itu. Konon sudah berlangsung lama. Lalu yang membantu pertempuran tadi, benarkah nenek gunung dari ranah Minang, Puyang?” Tanyaku lagi. Aku jadi teringat bagaimana saluang yang ditiupnya meliuk-liuk menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Aku melihat Puyang mengangguk pelan sembari memandang ke air terjun yang semakin dekat di hadapan kami. “Benar, Cung. Mereka adalah para nenek gunung dari Bukit Dua Belas sampai ke Kerinci Jambi, lalu Nenek Gunung dari Sumatera Barat, dari Gunung Talang, Gunung Singgalang, dan Merapi. Bahkan ada dari bukit Medan dan Nagro Aceh Darussalam. Mereka ikut memertahankan dirimu.” Lanjut Puyang. Aku kaget bukan main. Banyak sekali ternyata melibatkan para nenek gunung hingga ujung Sumatera. Artinya ini benar-benar masalah besar bagi nenek gunung. “Jelas ini masalah besar. Bagaimana pun darahmu adalah darah tanah Besemah. Jika kamu berhasil mereka culik dan dinobatkan mejadi Ratu mereka, tidak mudah bagimu untuk kembali kemari, Cung. Kau akan hilang selamanya. Sementara dirimu sejak masih dalam kandungan telah ditempah oleh leluhurmu sebagai pewaris demi kelanjutan kehidupan di dua alam ini. Makanya, tidak hanya dari tanah Besemah ini saja yang cinta padamu, namun sepajang tanah Sumatera ini menganggapmu bagian keluarga mereka. Maka tentu saja tidak akam membiarkan dirimu diambil oleh makhluk dari seberang itu.” Lanjut Puyang lagi.

Aku serasa menjadi manusia paling bahagia demi mendengar penuturan Puyang. Dicintai oleh banyak orang. Tidak hanya oleh bangsa manusia saja tapi oleh bangsa manusia harimau. Tidak terasa, kami sudah sampai di bibir jurang sungai yang berair jernih. Di seberang air terjun jatuh dari ketinggian membentuk untaian perak yang memanjang. Indah sekali. Embun yang memencar sebelum jatuh seperti salju menyebar ke batu-batu, dan dedaunan. Hawa terasa sangat sejuk. Angin semilir ikut membantu menjadikan suasana petang ini berbeda. Sejenak aku menikmati alam disekitarku. Air terjun, sungai yang mengalirkan air yang bening, cadas yang berakar, hutan rimba dengan aneka tumbuhannya, batu-batuan yang berwarna hijau lumut, merah, putih, hitam, coklat dan lain-lain membuat sisi lembah ini seperti kepingan surga. Aku masih terpaku menikmatinya. Indah sekali. Di bibir sungai berjurang bagian Barat, ternyata ada jembatan yang menghubungkan sisi jurang ke air terjun. Anehnya air terjun yang jatuh pas pada bagian jembatan, seolah-olah berhenti. Jadi air yang jatuh seperti ada garis lurus yang menghalangi “Cung, tidak semua orang bisa sampai ke sini. Hanya orang-orang tertentu saja bisa menjajakan kaki di sini” Ujar Puyang lagi. Aku menatap wajahnya dengan tanda tanya. Mengapa demikian? Apa bedanya denganku? “Tempat ini adalah salah satu tempat yang sakral. Pintu masuk ke rumah suci. Jika seseorang yang memiliki hati dengki, jahat, tidak beriman, dia tidak akan bisa kemari. Jangankan menginjakkan kaki, untuk sekadar melihatnya saja dia tidak akan bisa.”

Selanjutnya Puyang menujuk ke arah jembatan. Setelah kuamati ternyata jembatan ini bukan dari kayu atau besi seperti di alam manusia. Tapi jembatan berupa akar-akar hidup yang melilit seperti sengaja di jalin oleh tangan-tangan ajaib. Sejenak kutelusuri asal akar, darimana bisa membentuk jembatan menghubungkan sisi sungai dengan air terjun itu. Padahal jarak antara bibir sungai yang berupa jurang ini ke air terjun tidak kurang lima puluh meter. Luar biasa! Rupanya akar dari sisi air terjun di sebarang sana, seperti dua tangan menjalar hingga ke seberang sini, lalu mencengkram tanah dan batu. Dari akar utama itu muncul lagi akar yang saling menyilang membentuk lilitan sehingga mirip sebuah jaring yang dijalin rapi. Meskipun dari akar yang terjalin secara alami, namun nampak kokoh dan kuat. Yang lebih membuatku terpukau, mengapa air terjun yang jatuh dari ketinggian ratusan meter itu tidak tumpah menimpa jembatan akar ini? Malah seperti berhenti lalu membelok ke sisi kiri dan kanan. Dan jembatan tidak basah meski embun air nampak berkabut.

Aku mengikuti langkah Puyang yang mulai menapakkan kaki ke jembatan. Sungguh kokoh! Aku seumpama semut yang berjalan di sulur daun ilalang. Tidak berpengaruh sama sekali. Jembatan tidak bergoyang sedikitpun. Dalam hati aku terus terkagun-kagum. Alangkah Agungnya sang Maha Besar menciptakan berbagai hal yang kadang tak terbaca oleh manusia. Siapa yang menyangka akar pohon menjalar hingga membentuk jembatan. Kalau bukan kehendak-Nya tidak mungkin ada jembatan ini. Jika jaraknya semeter atau dua meter mungkin saja bisa terjadi. Ini lima puluhan meter?

Aku mendengar puyang tertawa kecil. Mungkin beliau membaca pikiranku. Sekarang kami berada persis di ujung jembatan. Aku mendongak melihat air terjun yang jatuh. Ajaib! “Puyang, mengapa air terjun itu tidak tumpah menimpa jembatan? Tapi membelok ke sisi kanan kiri jembatan seakan dihalangi padahal tidak,” ujarku. Aku berdiri persis di bawahnya sembari mendongak. Puyang tersenyum melihat tingkahku. Kubentang-bentangkan tangan ke atas seakan-akan hendak menampung air namun tetap saja kering. Puyang meraih tanganku untuk mengajak masuk. Akhirnya aku ikut masuk. Mataku terbelalak! Di balik air terjun ini terbentang jalan yang lantainya terbuat dari batu pualam berwarna gading. Dinding-dindingnya pun pualam. Dalam hati aku bertanya-tanya, tempat apa ini? Alangkah indahnya? Beberapa meter masuk, kembali aku terbelalak. Aku melihat sebuah ruangan yang sangat luas tertata rapi degan lampu-lampu hias semuanya berwarna kuning seperti emas. Aku seperti bermimpi, seakan bukan hidup di bumi. Hampir sepanjang jalan sisi kiri dan kanannya berdiri lampu-lampu dengan tiang-tiang berukiran. Langit-langitnya seperti awan sangat sinkron dengn warna pualam lantai dan dinding. Tidak ada satu sudutpun yang tidak tertata. Semuanya terlihat rapi dan terawat.

“Puyang, ini tempat apa? Kita di mana?” Aku masih berusaha meyakinkan diri jika yang kualami ini bukan mimpi. “Kita berada di dalam perut bukit, Cung. Ini jalan menuju rumah ibadah. Itu di hadapan kita, ada masjid, Puyang akan antar kamu ke masjid itu untuk itikaf,” lanjut Puyang lagi. Itikaf? Berapa lama aku harus itikaf di masid ini? Aku membatin. Aku belum tahu apa tujuannya itikaf ini. Mengapa aku harus itikaf jauh di perut bukit Marcawang ini? Tapi ketika ingat cerita Puyang tentang pasukan dari Banyuwangi hingga saat ini masih melakukan perlawanan hendak mengambil aku, akhirnya aku patuh saja. Aku tidak ingin membuat masalah baru dalam urusan satu ini. Kurasa sudah sangat banyak pengorbanan yang dilakukan oleh para puyangku.

Semakin ke dalam masjid ini semakin indah. Sekarang di hadapanku ada dua pintu gerbang yang luas kiri kanan dan bagian atas pintu gerbang berhias kaligrafi yang ditata sedemikian rupa. Aku merasa sangat kecil sekali. Ini baru berhadapan dengan pintu gerbang masuk area masjid. Belum masuk ke pelatarannya apalagi ke dalamnya. Dari kejauhan aku melihat banyak sekali orang yang tengah melakukan salat, ada yang duduk sambil membaca al quran, ada yang hanya duduk seperti berzikir. “Cung, kamu masuk lewat pintu ini. Duduklah di dekat tiang yang ada les kuning itu. Silakan duduk dan bersadar di sana. Ketika tiba waktunya salat, salatlah. Tapi sebelumnya, kamu ambilah wudhu di samping sana.” Aku mengangguk paham. Aku segera mengambil wudhu sesuai dengan petunjuk Puyang. Lalu masuk menuju tiang yang dimaksud untuk duduk diam di sana sembari menunggu jadwal-jadwal salat.

Seorang perempuan tinggi semampai berwajah bening sambil tersenyum manis menghampiriku. “Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang Selasih, kenalkan saya Siti Aliyah. Ini mukena untukmu. Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan, temui aku. Aku ada di sudut itu.” Siti Aliyah menunjuk sudut ruang khusus tempat wanita ini. Aku menjawab salamnya dan mengambil mukena yang diulurkannya. Kupakai, ternyata ukurannya pas betul denganku. Aku tersenyum padanya sembari mengucapkan terimakasih. Siti Aliyah gadis dewasa, semakin lebar tersenyum. “Wajahmu cantik sekali Putri Selasih. Salatlah dua rakaat terlebih dahulu.” Ujarnya sembari mengelus pipiku. Aku menangkupkan kedua belah telapak tangan sambil tersenyum lalu mengatur posisi untuk melaksakan salat sunah dua rakaat.

Dalam keadaan berdiri, aku merasakan seolah-olah banyak sekali orang berada di sekitarku. Sempat juga terlintas dalam benak apakah mereka sama denganku di suruh itikaf di masjid ini. Usai salat aku mulai melakukan apa yang diperintahkan puyang. Aku duduk diam, khusuk berzikir. Terus berzikir hingga aku merasakan diriku terangkat dan ada daya yang menggerakkan tubuhku sendiri tanpa di bawah kendali otakku. Ketika aku kembali ke posisi semula kembali kulanjutkan zikir tanpa henti. Entah berapa lama hal ini kulakukan aku tidak bisa membedakan apakah sudah siang atau malam. Yang kutahu hanya ketika azan jadwal solat pertanda waktu terus bergeser. Aku tidak pergi-pergi dari tiang yang ditunjuk Puyang. Sebenarnya aku ingin bertanya dengan Siti Aliyah perihal puyang yang menyuruhku itikaf itu siapa? Dan berapa lama? Tapi niat itu berulang kali kuurungkan, sebab belum tentu dia tahu persoalanku. Yang jadi masalah apakah dia sukma manusia sepertiku atau bangsa jin? Entahlah. Banyak sekali rahasia Allah yang tidak bisa kubaca. Aku kembali hanyut dalam zikir.

Bersambung…
close