Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 36)


Entahlah. Beberapa minggu ini suasana jadi lain. Baik suasana di rumah, maupun suasana di luar rumah. Ada sesuatu yang aneh namun tidak bisa kurumuskan. Semua aktivitas  petualanganku libur, karena para nenek gunung nampaknya sibuk melakukan berbagai macam persiapan menjelang tahun baru Islam, satu Muharam, yang diyakini hari rayanya para jin.

Aku juga minta izin pada semuanya, agar sejenak libur berinteraksi karena harus menghadapi ujian Nasional. Namun, keinginan tidak sesuai rencana. Menjelang Ujian Nasional, keluargaku mendapat musibah. Ruko kami terbakar Padahal di gudang kopi Bapak waktu itu ada sekitar tiga puluh ton kopi bersih yang belum dikirim ke Palembang. Belum lagi yang masih mengapar di lantai, biji kopi eceran  yang baru dibeli Bapak petang itu. Semuanya terbakar. Api merambat cepat dalam hitungan menit terlalap semuanya. Akhirnya hanya tinggal pakaian di badan. 

Ketika api merambat kemana-mana, tidak sedikit ruko yang  dijarah. Saat yang punya ruko berusaha menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, namun yang pura-pura menolong juga banyak. Termasuk milik Ibu Bapakku, berapa banyak barang yang sempat dikeluarkan dari ruko dan gudang, namun kenyataannya lebih banyak hilang  diambil orang.

Waktu itu, ketika api sudah melalap dinding dan atap dapur, aku masih tidur. Saat terjaga, aku melihat api menyala dari  bagian belakang gudang tetangga langsung merambat ke bagian dapur. Dalam hitungan detik api sudah membumbung dan merambat ke mana-mana. Padahal waktu itu rasanya aku baru saja terlelap.  Dari  lantai atas, terlihat separuh ruko Bapak sudah terbakar. Antara sadar dan tidak, aku langsung menggendong adik  bungsuku dan membimbing adik lelakiku menuruni anak tangga.

Jarak kami dengan api yang membumbung tidak lebih dua meter. Udara sudah sangat panas. Dari lantai bawah, aku melihat separuh kamar Bapak dan ibu sudah dilalap api. Aku dan adikku bergegas ke luar. Untung pintu sudah terbuka. Aku tidak tahu siapa yang membobolnya. Ibu masih di lantai atas menjatuhkan apa yang bisa beliau jatuhkan lewat beranda depan.

Sebenarnya aku ingin turun tangan untuk  mematikan api yang sudah menyebar luas. Namun dilarang oleh beberapa sesepuh gaibku. Terlalu riskan, api sudah sangat besar. Ada waktu tertentu kita harus turun tangan, namun ada waktunya tidak, meski hal yang terjadi pada diri kita sendiri, katanya. Malam itu, aku seperti kosong tak punya kemampuan apa-apa. Melihat ruko bapak hangus terbakar di depan mata, aku hanya bisa menatapnya tanpa rasa.

“Biarkanlah Selasih. Ini kehendak sang Maha untuk pembelajaran kita semua. Jangan halangi. Kau lihat raja angin berkesiur seakan memang diperintah untuk membuat lautan api kotamu malam ini.” Suara itu jelas sekali. Aku ingin protes! Ini yang  terbakar rumah dan toko Bapakku. Ruko ini tempat kami berlindung. Lalu kami akan ke mana sesudah ini? Aku masih memeluk kedua adikku sembari menatap api yang melalap ruko di antara orang yang lalu lalang. Aku tidak tahu, kakak, ayuk, Bapak dan ibuku di mana. Kami terpisah.

Di dalam batin aku sangat kecewa sebenarnya. Saat orang lain yang membutuhkan pertolongan, semua kulakukan dengan mudah. Saat peristiwa besar berkaitan dengan masa depan hidup keluarga besarku, aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku hanya menatap ekspresi polos adikku. Keduanya belum bisa mencerna peristiwa malam ini.

“Kenapa City tidak di bawa ke luar, Yuk?” Ujar polos adik bungsuku ingat dengan kucing kampungnya. Lalu adik lelakiku membayangkan ikan goreng lele kesukaannya, habis terbakar. Aku hanya diam. Pernyataan keduanya tak ada kujawab. Entah sudah berapa lama kami bertiga berdiri di trotoar seberang jalan, bersandar pada tiang tilpon.

Tak lama aku melihat  sosok Bapakku di antara kerumunan orang banyak. Di tengah cahaya remang-remang api, Bapak berteriak-teriak memanggil namaku, adik, kakak, dan ayukku. Akhirnya kami berempat menyatu. Bapak memeluk kami erat sekali.

“Alhamdulilah..kalian selamat Anakku. Mana ibu, kakak, dan ayukmu.” kata Bapak sedikit gemetar. Bapak memang sedang tidak di rumah ketika kejadian. Sejak petang Bapak kumpul-kumpul dengan sahabat-sahabatnya di rumah saudaranya yang akan hajatan. Beliau tahu rukonya dilalap api, ketika api sudah tak terkendali.

“Ibu  masih ada di dalam rumah, Pak.” Ujarku pada Bapak. Bapak hanya dapat menatap diam lurus ke ruko. Kobaran api pelan-pelan menghabiskan kusen jendela depan dan atap. Tempat biasa aku duduk memandang gunung Dempu dengan lantang.

Aku menatap ekspresi Bapakku yang tak henti itighfar dengan perasaan perih. Kota gelap. Hanya pencahayaan dari ruko-ruko yang terbakar saja terlihat terang. Satu mobil pemadam kebakaran yang hilir mudik  tak banyak membantu. Angin kencang berhembus dari arah gunung Dempu seperti tersedot hawa panas mengeluarkan suara menderu. Atap-atap rumah banyak yang melayang. Kembang api membumbung mengeluarkan suara gemeretak. Kadang-kadang terdengar suara ledakan.

Manusia yang berjubel sepanjang jalan,  ada yang murni hendak menolong, ada yang sekadar ingin melihat jadi penonton, ada juga yang berniat mencari kesempatan untuk mencuri. Mereka seperti punya kepentingan sendiri-sendiri. Ada sekitar dua puluh lima ruko ludes dilalap api malam itu. Gedung  yang rata-rata berlantai dua dan tiga, rata dengan tanah. Tinggallah puing-puing yang masih menyimpan bara. Sisa tangis dan eluhan syok masih menghiasi pinggir-pinggir jalan. Tak sedikit mereka yang kenal memberi suport berucap ‘sabar’. Berusaha memberi kekuatan. Namun ada juga yang hanya menatap ibah. Atau barangkali ada juga berucap syukur dengan kejadian ini?

Api sudah mulai mengecil. Namun kerumunan manusia makin bertambah. Rupanya ada juga kenalan dan keluarga yang mencari keberadaan kami. Bakwo Ruslan, kakak angkat Bapak menjemput dan membawa kami ke rumahnya di Selangis. Di rumah Bakwo Ruslan inilah akhirnya aku bertemu dengan kakak, ayuk dan ibuku.

Selebihnya aku merasakan hidup ini seperti terbalik.  Kami tidak punya rumah sama sekali. Aku lebih banyak diam. Rasa kecewa yang mendalam benar-benar melukai perasaan. Di satu sisi rasa berdosa teramat sangat karena aku melakukan pembiaran. Di sisi lain, aku harus  putuh pada takdir.

Sejak itu kututup komunikasi dengan alam gaib terutama dengan nenek gunung. Aku engan bertemu dengan siapa-siapa. Aku tidak peduli. Pernah suatu hari nenek Kam mengajakku ke gunung Dempu, aku tolak. Macan Kumbang berusaha memanggilku, kuabaikan. Kubunuh rindu pada kakek Andun, Kakek Njajau, Nenek Ceriwis, Macan Kumbang. Aku ingin sendiri!! Apalagi Gundak dan Gali. Kulupakan! Aku benci kehidupanku. Aku kecewa! Aku merasa hidupku tidak ada artinya. Melihat Bapak dan Ibu, ibaku tak ada habisnya.

Kebetulan rumah Bakwo Ruslan, persis di sisi sungai Selangis. Kerap aku berlari ke belakang rumahnya, menuruni tebing curam dekat penggilingan kopi, sekadar duduk berjam-jam di sisi sungai. Membiarkan anganku melanglang buana ke mana-mana. Kutepis tiap kali teringat dengan kehidupan dimensi Uluan. Aku ingin putuskan untuk tidak bersentuhan dengan mereka lagi. Persetan soal aku keturunan kerajaan Pekik Nyaring segala. Beberapa kali kakek Andun membujukku, agar aku dapat menerima kenyataan.

“Apa yang menimpa orang tuamu adalah takdir. Sudah digariskan Sang Maha. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan, apalagi menyesali diri sendiri. Kamu sudah menyelamatkan dua adikmu dari kobaran si jago merah itu lebih baik dibandingkan menyelamatkan harta Bapakmu. Harta bisa dicari, Cung.” Ujar kakek Andun suatu malam.

“Iya Kek, termasuk takdirku juga dengan mata dan kepala sendiri aku melihat usaha Bapakku hancur dilalap api. Padahal itulah satu-satunya usaha Bapak. Dan aku tidak berbuat apa-apa…” Ujarku dengan nada kecewa. Kakek terus memberikan nasihat. Aku tidak peduli. Masuk kanan ke luar kiri. Hingga Akhirnya beliau pulang tanpa pamit.

Demikian juga kakek Njajau. Nyaris tiap waktu beliau mencoba  menembus dinding pembatasku. Aku tahu beliau berusaha untuk jumpa langsung denganku tapi aku menutupnya. Akhirnya beliau hanya berbisik agar aku bangkit. Jangan larut dalam kesedihan. Nasihatnya pun mirip-mirip dengan kakek Andun. 

Semua mengharapkan agar aku kembali seperti semula. Mana bisa. Setiap hari aku melihat Bapak dan Ibu seperti jasad tanpa roh. Pandangan mereka kosong. Siapa yang bisa memberikan suport pada mereka? Mereka telah kehilangan langkah. Sementara aku menyesal tak mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak melakukan apa-apa.

“Untuk apa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya, Kek. Sementara musibah menimpa orang tuaku, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Sekarang keduanya seperti mayat hidup. Jasadnya saja yang ada. Tapi ruhnya seperti tidak bersemayam dalam tubuhnya.” Suatu kali aku menangis ketika Kakek Njajau mendesak untuk bertemu denganku.

“Maafkan aku, Kek. Aku tidak butuh kalian semua. Kalian tidak bisa membantuku ketika Bapakku terpuruk. Biarkan aku menjadi aku. Ambillah apa yang  pernah kalian berikan padaku.” Tangisku. Aku benar-benar ingin menutup diri. Melupakan segala petualang bersama nenek gunung. Melupakan mereka.

Suatu kali, kakek Pekik Nyaring datang lewat mimpi. Tatapan lembut beliau, menyiratkan jika beliau paham kesedihanku. Beliau bimbing tanganku, mengajak aku berjalan sambil bercerita.

“Setiap manusia, pasti akan mendapat ujian dalam hidupnya, Cung. Ujian itu sebagai tolak ukur rasa syukur. Masihkah kita bersyukur meski dihadapkan pada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Di situ juga untuk melihat ketaqwaan seseorang, Cung. Dan kamu saat ini tengah menghadapi ujian itu. Kamu harus jadi pemenang! Kamu harus jadi yang terbaik. Sebagai makhluk hidup, kita memang ada rasa sedih, kecewa, marah dan lain sebagainya. Itu sangat normal, Cung. Ekspresikanlah kemarahanmu pada hal-hal yang baik-baik saja. Kau harus mampu mengontrol diri sendiri. Ingat, orang lain hanya bisa menasehati. Tapi penentu nasib ada di tangan kita masing-masing.” Kakek Andun jongkok sambil menatap wajahku.

“Garis hidup seseorang, sudah tertulis sebelum manusia itu lahir, Cung. Termasuk dirimu, usia sekian kau akan mengalami apa, usia sekian kau akan mendapatkan apa, usia sekian kau akan jadi apa. Termasuk juga hidup mati kita, sudah tertulis di catatan nasib, takdir kita. Dirimu tak mampu berbuat terbaik untuk Bapak dan Ibumu, itu juga takdir. Musibah yang dialami Bapak Ibumu, pun takdir. Kuncinya tetap bersabar dan bersyukur” Tiba-tiba  aku terjaga. Bau harum dari tubuh kakek Pekik Nyaring masih menyebar di kamarku. Lama aku merenungi perkataan beliau. Tapi dorongan untuk tidak berpetualang bersama nenek gunung  dalam batinku sangat kencang. Biarlah aku dibilang anak durhaka. Tidak tahu diri, tidak beriman dan lain sebagainya. Toh yang merasakan sesak dada hanya aku. Bukan mereka.

Belakangan kuketahui jika kebakaran ruko Bapak disengaja, bukan karena arus pendek listrik. Yang melakukan pekerjaan  jahat itu kawan bisnis Bapak. Aku berusaha menyembunyikannya. Berbulan-bulan bahkan bertahun, aku simpan agar Bapak ataupun siapa saja  tidak mengetahui  kalau kebakaran itu ada unsur kesengajaan. Dan orang yang membakarnya adalah sahabat bisnis Bapak. Orang yang selama ini dekat dengan keluarga kami, yang kupanggil Wak. Rupanya berbagai cara telah beliau lakukan untuk menghancurkan bisnis Bapak. Sayang, aku mengetahuinya setelah kejadian.

Keinginan beliau membuat usaha Bapak hancur berhasil. Bapak telah hancur sehancur-hancurnya. Beliau iri melihat usaha Bapak lancar. Lalu agen-agen kecil yang selama ini kerap menjual kopi dengannya berpindah ke Bapak membuat beliau makin meradang. Alasan pindah tempat menjual pengusaha kecil itu simpel, karena timbangan yang digunakan Wak tidak akur. Setiap menimbang, banyak sekali pengurangannya. Beliau berani  membeli dengan harga mahal di luar harga pasaran, namun untuk menutupi kerugian beliau mainkan ‘timbangan’. Lama-lama pelagan tahu permainan ini, lalu satu-satu berpindah ke tempat lain. Salah satunya ke tempat Bapakku.

Sejak kebakaran  itu, hidup kami memang sangat berubah. Bapak kehilangan langkah. Bapak sudah enggan untuk membangun kembali bisnisnya. Akibatnya, satu-satu kendaraan milik Bapak habis dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pengusaha-pengusaha kecil yang pernah  berhutang, meminjam modal usaha dengan Bapak, seakan raib. Mereka menjauh semua, seakan-akan tidak punya sangkutan sama sekali. Akhirnya, untuk tetap berlangsung hidup, Ibu rela berjualan sayur di emperan jalan dekat Majid Raya. Masa-masa ini, adalah masa tersulit keluarga kami. Ketika ingat nasehat kakek Pekik Nyaring, siapa yang dapat melawan takdir? Aku berusaha berpikir positif. Aku bukan manusia super yang dapat mengubah atau mengembalikan kondisi Bapak.

Ternyata niat orang jahat  untuk menghancurkan Bapak, belum cukup sampai disitu.  Keinginan orang yang kupanggil Wak, berharap Bapak mati. Berbagai usaha dilakukan untuk membunuh Bapak. Teluh, santet, seperti air mengalir diarahkan ke pada Bapak. Berkali-kali Bapak jatuh sakit, namun tidak ada obatnya. Secara medis bapak selalu dinyatakan sehat.

Bahkan si Wak rela membayar tetanggaku untuk menanamkan sesuatu sesuai perintah  dukun di sudut  rumah kontrakan kami. 

“Obati Bapak..” Selasih menangis.

“Tidak!” Jawabku.

“Kalau aku mengobati Bapak, maka aku akan berurusan dengan nenek di Ulu. Aku tidak mau!” Jawabku.

“Tapi ini darurat!” Selasih meyakinkan.

“Apa kau kira ketika api melalap rumah dan toko Bapak, itu bukan darurat? Mengapa aku dilarang  untuk membantu menyelamatkan ruko Bapak? Mengapa aku membiarkan api melalap semua yang Bapak miliki? Padahal aku punya kemampuan saat itu.” Aku kembali kecewa dengan diri sendiri. Selasih diam. Berbulan-bulan dia tidak pernah berbicara padaku. Kami sama diam. Sama tidak membutuhkan.

Tuhan tidak tidur! Demikianlah adanya. Setelah berhasil menghancurkan bisnis Bapak, usaha Wak tidak juga meningkat.  Malah sebaliknya, beliau gulung tikar. Terakhir, diketahui beliau membakar rumahnya sendiri.

Ketika memasuki SMP, Bapak membujukku agar aku tetap melanjutkan ke SMP Xaverius. Alasannya selain dekat, tingkat disiplinnya itu yang membuat Bapak suka. Tapi aku bersikeras menolak. Alasanku  ingin pula merasakan sekolah negeri agar bertambah teman  dari berbagai dusun yang tersebar di kota Pagaralam. Padahal aku paham, ekonomi keluarga tidak mendukung. Biaya sekolah di Xaverius  terbilang mahal. Akhirnya aku diizinkan sekolah di SMP Negeri 2 Pagaralam.

Sekolah yang terletak di kaki gunung Dempu. Setiap hari aku berjalan kaki delapan kilo meter pulang pergi. Menyisir jalan ke arah gunung Dempu yang berbatu. Pukul enam pagi, ketika kabut kotaku masih sangat kental aku bersama kawan-kawanku sudah menembusnya. Yang menjadi kendala adalah ketika musim hujan. Aku tidak berani minta sepatu boot dan jas hujan, apalagi minta diantar.

Aku bersyukur pernah dididik di Xaverius. Hidup disiplin membekas padaku. Hal itu kuterapkan dalam kebidupan sehari-hariku. Efeksnya, aku selalu mendapat juara umum, dan mendapat beasiswa ketika itu. Hanya ini yang dapat kupersembahkan pada Bapak dan Ibu, mereka bangga sekali ketika diundang kepala Sekolah untuk tampil bersamaku ketika kenaikan kelas, aku dinobatkan sebagai siswa yang  memiliki nilai terbaik dan diberi penghargaan.

Di SMP ini, aku merasa seperti mendapatkan gemblengan baru. Aku belajar memahami kedua orang tuaku menjalani hidup yang sulit. Lalu belajar pula bagaimana mengatasinya. Makanya hingga sekarang aku sangat kagum pada ibuku. Kukira beliau perempuan lemah, penakut. Tapi ternyata beliau adalah perempuan tangguh yang tak pernah roboh disapu badai. Beliau adalah pejuang kehidupan. Di tengah keterpurukan ekonomi keluarga, ibulah yang berusaha bangkit. Beliau tampil sebagai pahlawan dalam keluarga. Akhirnya ibulah yang banyak bergerak mengantikan Bapak agar keluarga besar kami tetap hidup meski hanya sekadarnya.

Terakhir, Bapak dan Ibu  memilih pulang ke seberang Endikat mengurus kebun-kebun kopinya. Sementara aku, kakak dan adikku tetap di Pagaralam karena masih sekolah.

Pernah suatu kali, di dapur sudah tidak lagi yang bisa kami makan. Beras habis. Uang tidak ada. Bapak dan Ibu jauh. Mau berhutang di warung tidak berani karena takut tidak ada uang untuk membayarnya. Mau minta kepada saudara-saudara Bapak atau ibu, tidak berani, malu. Beruntung aku punya kakak yang terampil. Kami butuh makan. Aku sarankan kakakku untuk membuat layang-layang. Kebetulan musim kemarau sudah tiba. Kakak bingung karena tidak punya bambu untuk kerangka layang-layang. Kebetulan  pagar sekeliling rumah disisipi bambu. Akhirnya kuambil sebilah. Kusuruh kakaku membuat kerangkanya. Benang jahit ibuku kumanfaatkan, lalu sekajang kertas jagung rencana untuk sampul buku sekolahku, kukorbankan. Aku pergi ke rumah saudara Bapak, meminta sesendok tepung sagu, lalu kubuat lem. Alhasil jadi empat layang-layang berukuran sedang. Aku dan kakakku segera menggantungnya di depan rumah, sembari berteriak “yoo layangan..layangan…” Hanya beberapa menit, layangan habis tejual. Uangnya kami belikan beberapa kajang kertas minyak warna-warni. Aku bertugas melukis layang-layang dengan gincu. Lalu sisa kertas kubuat ekor dan kutempel pada layang-layang agar terlihat cantik. Hari itu puluhan layang-layang laku. Ayukku membeli beras dan sayuran dari uang berjualan layang-layang. Tak disangka, petang itu Ibu pulang. Maksud Ibu pulang hendak membeli beras melengkapi kebutuhan kami. Ibu hanya bisa menatap haru, ketika melihat kami duduk melingkar makan bersama di atas tikar dengan lauk seadanya. Petang itu terasa nikmat sekali. Wajah sumringah saudara-saudaraku menumbuhkan optimisme baru. Suasana inilah yang paling berkesan dalam hidupku.

Malamnya kami kembali membuat layang-layang. Sudah separuh pagar rumah jadi ompong karena bambunya kuambil untuk kakak membuat kerangka. Dengan sigap kakak meraut bambu, dan menimbangnya. Aku menggunting dan mengelemnya. Malam itu puluhan layang-layang siap jual.

Aku mulai merasakan kehidupan lebih ringan. Kesederhanaan membuat aku lebih paham untuk menghargai sebuah usaha, menghargai waktu, dan menghargai makna hidup. Aku mulai terbiasa untuk tidak berinteraksi dengan semua makhluk tak kasat mata. Sudah puluhan bulan, seolah aku dibiarkan hidup sendiri. Hanya Putri Selasih yang senantiasa setia mendampingi. Itupun lebih banyak diam. Pernah suatu hari ketika ramai-ramai hendak pulang sekolah, aku kehilangan jalan pulang. Akhirnya aku membatin, baiklah jika jalanku untuk pulang dihilangkan, aku akan pulang ke gunung Dempu. Menemui kakek Pekik Nyaring. Tiba-tiba jalan pulang terbentang kembali. Akhirnya aku berjalan sendiri menyisir jalanan berbatu yang sepi.

Menjalani hidup sebagaimana manusia biasa. Tanpa ada keinginan untuk menjadi lebih.

“Lari yok!” Bisik Selasih. Aku menolaknya. Aku lebih memilih menikmati dan  menghayati setiap tapak sebagai bangsa manusia.

“Kita nikmati dulu hidup seadanya seperti sekarang. Lelah, peluh, panas, lapar, haus dan lain-lain. Agar kita kelak memahami makna syukur.” Ujarku lembut. Beberapa makhluk asral berusaha menyapa bahkan menggapai. Aku diamkan saja.

“Tetaplah abadi di alammu. Jangan ganggu aku!”

***

“Hidup itu jangan banyak mengeluh. Jangan pula mengukur seberapa berat cobaan yang menimpa kita. Apa yang kita terima belum sebanding dengan apa yang kita berikan pada sang khalik, mulai dari kita bangun tidur, kebangun lagi. Kita diberi nafas, pertanda kita masih hidup. Kita diberi akal, pertanda kita diberi kesempatan untuk berpikir. Mari kita belajar membenahi diri. Kakek yakin, Cucu kakek satu ini kelak akan mejadi orang besar. Karena Allah sudah ajarkan makna hidup sebenarnya sebagai pondasi sejak kecil. Kesulitan yang kau rasakan dan kau lihat di depan mata saat ini, itulah pendidikan yang sebenarnya, kalau kamu mau tahu.” Suatu kali Kakek Haji Yasir berbicara padaku, ketika aku mengungkapkan kekecewaanku tentang banyak hal padanya. Cukup lama beliau memerhatikanku. Menatap rautku yang beliau katakan pucat dan tirus. Padahal aku tidak sakit.

Aku nikmati elusan telapak tangan kakek yang kasar. Sesekali jarinya mengurai rambutku yang panjang. Aku baring berbantal paha kakek yang mulai kurus. Aroma khas asap dan kebun kopi menguap dari kain sarung yang dipakainya. Tapi aku suka. Apalagi ditambah aroma asap rokok nipahnya. Aku juga ikut-ikutan gaya kakek duduk setengah bersila, membuka sebatang rokok nipah, menekuk-nekuknya agar tidak kaku, mengambil sedikit tembakau, lalu membukus dan menggulungnya sampai kencang. Kuambil penekil (pemantik) lalu menyalakannya. Kuhisap dalam-dalam. Seakan-akan kenikmatan menghisap tembakau dan rokok nipah ini dapat mengusir segala risau. Kerap aku terbatuk-batuk karena aroma tembakau kakek  yang keras. Ditemani secangkir kopi, tenyata memang nyaman. Pantas kakek dari dulu lebih memilih hidup di kebun yang kerap kukatakan ‘bumi pengasingan’. Kakek selalu menolak jika diajak tinggal ke kota. Bahkan tinggal di dusun pun menolak. Alasannya di kota itu berisik, tidak ada air pancuran. Baru sekarang aku paham sepenuhnya mengapa Kakek memilih hidup seperti di pengasingan. Rupanya hidup sederhana, di kelilingi  pohon dan satwa yang bebas, tidak banyak hal yang dipikirkan. Tidak juga banyak keinginan.  Tidak ada waktu untuk mengupat atau mengulik-ngulik kekurangan maupun kelebihan orang. Hidup dibiarkan mengalir apa adanya. Waktu untuk ibadah lebih banyak. Bisa berzikir kapan  suka tanpa ada yang mengusik. Puasa sunah, membaca al quran, lalu melihat-lihat kebun, membersihkan rumput, memetik kopi dan lain-lain. Begitu setiap hari. Hidup jadi lebih ringan. Jiwa sehat, pikiran sehat.

“Rindu Kakek Haji Majani.” Ujarku tiba-tiba. Sudah lama tidak jumpa beliau.

“Adikku satu itu sudah mulai sakit-sakitan. Makanya dia jarang ke luar dusun. Bersyukur dia masih bisa aktif di masjidnya mengisi pengajian dan imam.” Ujar kakek menekan rindu. Hening sejenak. Kami bergumul dengan pikiran masing-masing. Lalu kakek melempar pandang lurus ke hamparan kebun kopi. Di bawah dedap dan petai cina, kopi tengah berbuah lebat. Pohon-pohon kopi itu selalu mendapat siraman doa kakek agar senantiasa sehat dan berbuah.

Nyanyian sesiagh makin lama makin kencang dan ramai mengisi lembah dengan suara alaminya. Semakin tinggi matahari, semakin kencang pula suara serangga kecil itu. Alam pebukitan tidaklah lengkap jika tidak ada suara makhluk yang nyaring itu.

Di atas dedap, sepasang tupai bercengkrama. Persis sepasang tupai yang kulihat tahun lalu. Sesekali mereka seperti menujuk padaku. Aku memalingkan muka dan menutup telingaku. Dorongan untuk tahu isi pembicaraan mereka seperti hendak meledak. Aku menahan diri untuk terus mengunci pengetahuan warisan kakek Njajau. Aku mengalihkan pandangan, menatap kakek Haji Yasir, mengabaikan obrolan sepasang tupai.

“Insya Allah, mudah-mudahan penen kopi kita melimpah. Jika cuaca tidak berubah, tahun ini kopi kita berbuah lebat, Dek. Kamu mau beli apa kalau sudah panen. Ambillah berapa kamu suka. Mau beli baju, sepatu, sandal, buku, tas, bedak, atau mau beli kalung panjang?” Ujar kakek tertawa. Kerut diwajahnya membuat matanya yang sipit makin kecil. Aku ikut tersenyum bahagia. Terbayang kakekku dulu pasti  bertubuh besar tinggi dan ganteng. Terlihat dari perawakannya. Hidungnya mancung, kulitnya kuning langsat, bidang dadanya lebar. Hanya saja sekarang karena sudah sepuh, tubuh kakek mulai mengkerut, bungkuk.

Andaikan kakek tahu, sudah lama aku tidak punya keinginan membeli apa yang  disebutkannya. Karena untuk membeli barang-barang itu bagiku terlalu mewah. Ada hal yang lebih penting, yaitu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba nenek Kam datang. Langkahnya nyaris tak terdengar. Aku segera bangun menyalaminya. Memeluk nenek Kam erat-erat.

“Kenapa kau tidak mau menemui nenek lagi, ha? Kau tahu kalau semua nenek gunung sangat merindukanmu. Sampai kapan kau mendiamkan kami?” Ujar nek Kam setengah berisik sembari menciumku  hangat. Nyaris aku menitikan air mata. Bagaimana pun di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan nenek Kam dan nenek gunung lainnya.

“Sampai aku merasakan cukup untuk merenung sendiri, bisa menerima kenyataan sepenuhnya. Dan yang penting adalah meyakinkan diri jika manusia hanya punya sedikit kemampuan, Nek.” Ujarku seadanya. Aku masih berusaha bertahan dengan prinsipku untuk tidak berinteraksi dengan dimensi lain sedekat dulu.

“Nanti nenek keburu mati, Dek!” Aku terperanjat mendengarnya. Mengapa nenek Kam berbicara seperti itu? Apa hubunganya aku menolak ajakan dengan kematiannya? Bagaimana pun juga aku tidak ingin nek Kam cepat mati. Aku berusaha menyembunyikan perasaan sedihku.

“Jika ajal menjemput sebelum aku tunaikan keinginan Nenek, mohon maaf, dan ikhlaskan aku Nek.” Ujarku menekan perasaan.

Jujur saja, aku memang belum bisa mengembalikan kepercayaan batinku sepenuhnya untuk kembali beraktivitas penuh petualang bersama nenek gunung. Apa lagi ketika melihat kenyataan, tatapan sinis orang kampung pada Bapak dan Ibu. Di mana-mana Bapak dan Ibu selalu menjadi ekor mata orang yang menatap mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka seperti menatap hina melihat kondisi Bapak dan ibuku kembali ke dusun karena Bapak Ibu seperti menata kehidupan baru, kembali mulai dari nol. Nada bicara mereka nyaris semua meremehkan, merendahkan, dan selalu berbicara bersayap-sayap. Akhir-akhirnya pembicaraannya mengarah pada kehidupan Bapak Ibu saat ini.

Pernah suatu hari, Bapak dan Ibu tengah merumput tidak jauh dari jalan tempat orang lalu lalang. Para pejalan kaki membicarakan mereka. Mereka tidak tahu ada ibu dan Bapak di dekat sana. Dengan suara besar mereka berkata,

“Ai..lebat juga buah kopi Hasan. Bisa beli sandal, nyetock beras untuk mereka makan sekeluarga. Sekarang Hasan dengan Ruhai bininya dah pulang ke sini. Kembali ke asal dia. Jadi petani!” Kata salah satu mereka sambil setengah tertawa.

“Iya, kalau melihat ketika dia jadi pengusaha kaya, siapa sangka akan kembali makan tanah kayak kita,” lalu orang-orang itu tertawa serentak. Mereka melanjutkan pembicaraan sepanjang jalan sembari menyebut nama Ibu dan Bapak. Yang berbicara dengan suara lantang itu bukan orang lain. Tapi masih terhitung saudara. Mereka seakan puas dan bahagia melihat kondisi Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu saling pandang sembari berurai air mata. Keduanya menangis di tengah kebun kopi. Pernah juga ketika Ibu membawa beberapa ekor ayam jago peliharaan Bapak untuk dijual di kalangan (pasar sepekan) dusun. Uang hasil penjualan ibu belikan minyak, sabun, ikan asin, salai, kentang dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Wadah membawanya, ibu gunakan kinjagh. Yaitu keranjang rotan yang talinya ditahan di kepala. Apa kata orang kampung ketika menyapa Ibu.

“Lukmane Ruhai, gipacak ngambin kinjagh. Gi teghingat? (Bagaimana Ruhai. Masih  bisa membawa kinjagh. Masih ingat?)” Serasa diusap dengan kotoran sapi wajah ibu ketika itu. Bagaimana mungkin tidak teringat? Apakah selama ini ada tingkah ibu yang berlebihan meski hidup berkecukupan? Apakah selama ini Ibu melupakan adat dan tradisi kehidupan Besemah. Mengapa orang-orang ini selalu menyapa sinis? Sepanjang jalan pulang ibu menangis dalam hati. Sampai di pondok beliau tidak bisa berbicara. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Mendengar cerita itu, dadaku terasa sesak. Dalam hati aku berdoa, semoga suatu saat mereka  yang sinis-sinis itu balik menemui Ibu Bapakku untuk minta tolong dalam hal apa saja, sampai mereka mengemis-ngemis!

Hal senada pernah juga kualami ketika aku pergi ke pasar, bersua dengan salah satu kerabat Ibu yang berdagang  di kaki lima. Ketika melihat aku dengan sinis beliau berkata dengan temannya sesama pedagang. “Dulu anak ini, bapaknya kaya betul. Tidak ada yang menyangka akan pailit. Sekarang hidupnya tidak jauh dengan kita, mencari hari ini untuk makan hari ini juga,” dan itu diucapkan di hadapanku. Ingin rasanya kusuap mulutnya dengan lumpur yang menyebar di badan jalan. Akhirnya aku berlari ke sawah tepi kota. Aku menangis sepuasnya di sana.

“Mengapa tidak dibuat miring saja bibirnya. Atau dia tidak bisa bicara. Biar dia berhenti menjelekan orang. Terutama menghinamu, menghina kita” Ujar Selasih.

“Kalau bukan ingat pesan Ibu, ingin kusuap dengan lumpur di jalan itu mulutnya. Ibu melarang membalas pada siapapun yang menyakiti kita. Apa lagi bila menyakiti dengan perkataan. Kita coba bersabar selagi kita mampu. Kalau sudah tak mampu, akan kubuat babak belur, sampai setengah mampus perempuan itu!” Lanjutku lagi. Aku merasakan ada bara di dadaku. Tanganku seakan menegang ingin meremuk-remuk wajah perempuan itu.

Saking sedihnya, rasanya aku tidak ingin pulang ke rumah. Kalau bukan memikirkan takut membuat susah kakakku aku ingin bermalam di pinggir sawah saja malam itu. Akhirnya jelang magrib aku pulang juga. Perkataan kerabat Ibu itu selalu terngiang. Bahkan terbawa mimpi. Mungkin dia anggap aku terlalu kecil untuk paham perkataannya. Sejak itu aku tidak mau menginjakkan kaki lagi ke pasar. Aku khawatir kalap ketika melihat wajah perempuan jahat itu.

Hari-hariku memang lebih banyak menyendiri. Kuhabiskan waktuku membaca buku pelajaran, melukis dinding kamarku dengan kapur. Bermain gitar dan bernyanyi sendiri. Kalaupun ke luar paling kegiatan sekolah, latihan pramuka, latihan teater, atau latihan menyanyi untuk persiapan lomba dan mengisi acara. Aku bukan tidak punya kawan karib.

Aku saja yang enggan untuk banyak bermain. Paling ketika ada jam kosong aku dan kawan-kawanku akan keluar pagar sekolah, masuk ke kebun memetik jambu biji yang tersebar di kebun dekat sekolah.

Terkadang teringat kawan SD-ku ketika kami bermain layang-layang, kelereng, yeye, gasing, egrang dengan di belakang ruko Bapakku dulu. Apa kabar mereka?

Meski tinggal di kota kecil, nyaris aku tidak pernah bertemu apalagi bermain dengan kawan-kawan SD-ku itu. Kami seperti putus hubungan sejak musibah itu. Atau tepatnya setelah pindah sekolah. Sebagian kawanku memang tidak tinggal di Pagaralam lagi. Mereka ada yang melanjutkan sekolah di Lampung, Palembang, Prabumulih, dan Jakarta.

Mengenang masa bahagia bersama kawan-kawanku, kerap membuatku tersenyum. Namun ketika berakhir dengan tragis, aku merasakan anak yang paling malang di dunia. Aku merasa ada bagian masa kecilku yang hilang. Aku belum siap untuk kehilangan keceriaan itu sebenarnya. Lalu kembali aku merasa berdosa dan bersalah. Ini sangat berat. Bertahun-tahun rasa bersalah membebani batin. Aku sudah beberapa kali mencoba untuk kembali semangat. Untuk kembali menerima keadaan. Tapi itu teori saja. Dalam praktiknya aku gagal!

“Malam ini kamu harus ikut aku!” Nenek Kam sedikit menekan. Aku menatap beliau dengan perasan tidak menentu. Nyaris satu tahun lebih aku tidak peduli kehidupan dunia lain. Setahun bukan waktu lama, masih terlalu singkat untukku bisa bangkit dan melupakan peristiwa menyakitkan itu. Hal itu juga yang membuatku enggan berinteraksi dengan dimensi lain.

“Maafkan aku, Nek. Aku tidak mau ikut. Biarlah aku seperti ini saja. Aku sudah tidak mau menggunakan semua kemampuanku. Aku ingin hidup normal sebagaimana manusia biasa. Suatu saat, setelah batinku siap, akulah yang akan menemui para sesepuhku itu. Lagian pula tidak ada hal yang darurat di alam sana bukan? Penangkapan liar pada nenek gunung tidak ada, nenek gunung memakan manusia tidak ada. Semuanya aman-aman saja bukan?” Ujarku panjang lebar. Aku tahu, perkataanku sedikit banyak membuat nenek Kam sedih. Tapi biarlah nenek Kam juga tahu, kalau aku juga punya hak untuk menolak.

Lama mata nenek Kam memandangku lekat-lekat. Aku menjadi takut. Lalu nenek Kam menunjuk ke luar jendela.

“Dek, kemari,” ujarnya. Aku mendekat dan ikut memandang ke luar jendela.

“Lihat itu…” Nenek Kam menunjuk ke arah rumpun pisang di belakang pondok.

Masya Allah!! Aku terbelalak. Aku melihat emas batangan menumpuk dekat rumpun pisang itu. Milik siapa? Dalam hatiku bertanya

“Itu emas batangan murni. Jika nenek mau, kapan saja nenek bisa ambil emas itu. Termasuk juga kamu bisa ambil sesukamu, untuk  menggantikan harta  bapakmu yang habis. Mau?” Tanya Nek Kam. Aku tidak bisa bayangkan ekspresiku saat itu. Mungkin pucat, mungkin juga senang. Yang jelas dadaku berdegup kencang. Aku seperti dihadapkan dua tikungan. Antara mau dengan tidak. Jika kuminta aku akan jadi kaya. Maka tidak ada lagi orang-orang yang menghina Bapak dam Ibu. Meremehkan mereka dan lain-lain. Tapi akan berganti dengan sanjugan. Yang tidak bersaudara mengaku saudara, tidak kenal mengaku sangat kenal. Di sisi lain aku tidak mau berurusan dengan hal-hal yang menuntut imbalan, perjanjian gaib yang hanya membuat manusia ketergantungan. Cukuplah!

“Ah tidak Nek, nanti yang punya emas itu marah. Itu bukan milik kita. Kecuali si pemiliknya memberikan padaku tanpa imbalan apa-apa, baru aku mau.” Ujarku

“Benar, kamu tidak mau emas itu? Meski cuma satu?” Tanya Nek Kam lagi. Aku menggeleng cepat.

“Bagus!! Kamu memang cucuku yang cantik. Ternyata hatimu masih bersih. Tidak salah nenek bangga padamu.  Itu harta gaib, Cung. Dijaga oleh para jin. Jika kita mengambilnya, memang kita akan kaya, Cung. Namun kekayaan itu tidak akan membuat kita tenang, damai. Justru kita akan jadi manusia rakus, mengharapkan lebih dari yang sudah kita miliki. Kita akan berupaya  agar harta terus melimpah. Tidak ada kata cukup. Otak kita hanya berisi uang, dan harta. Keinginan-keinginan semakin banyak. Kita akan lupa tujuan hidup sebenarnya.” Sambung nek Kam lagi.

“Apa hubungannya dengan kita, Nek?”  Tanyaku lagi.

“Cung, Nenek hanya ingin jelaskan padamu. Harta itu hanya perhiasan  dunia. Tidak ada yang abadi. Harta juga tidak dibawa mati. Kita hanya membawa kain kafan jika mati. Jika kamu tadi mengatakan mau emas ghaib itu, maka kamu tengah membuka pintu kesulitan selanjutnya. Kamu terikat perjanjian dengan bangsa jin. Harta tidak abadi, Cung. Hanya memberikan kesenangan sesaat. Jadi, harapan nenek, ikhlaskan apa yang telah terjadi pada Bapak dan Ibumu. Jangan berlarut menyalahkan diri sendiri. Sekarang yang perlu kau pikirkan bagaimana mengubah nasib Bapak Ibu melalui dirimu, menjadi kebanggan orang tuamu. Itu saja cara kamu membahagiakan mereka. Balaslah rasa bersalahmu dengan keberhasilanmu.” Nenek Kam kembali berbicara.

Aku masih berdiri di sisi jendela. Setumpuk emas yang kulihat tadi sudah raib. Aku hanya tertarik memikirkan apa yang nenek Kam sampaikan.

“Iya Nek, aku akan ubah pikiranku.” Ujarku membuang pandangan jauh ke ujung kebun kakek Haji Yasir. Sepasang burung pipit bolak-balik memberi anaknya makan. Si anak terus mencicit memanggil induk dan bapaknya minta makan. Hmm…induk dan Bapak pipit  begitu sayang dengan anaknya. Aku jadi ingat Bapak Ibuku yang saat ini penampilannya jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Jika dulu Bapak selalu pakai kemeja rapi, pakai sepatu hitam mengkilap karena Ibu paling rajin menyemir sepatu Bapak, dan menyiapkan pakaian Bapak sebelum tidur. Sekarang, kulit Bapak lebih hitam dan kering, wajahnya kelihatan  kusut karena kumis dan brewoknya tidak terawat. Rambutnya sudah mulai memutih. Sedangkan ibu, dulu saban hari memakai kebaya, berkain sarung batik. Sekarang lebih suka memaka celana blacu, dilapis dengan kain yang sudah layu bunga. Berbaju blacu pengganti kebaya, tengkulok kusam karena peluh. Dulu telapak tangan ibu mulus, kulitnya halus kuning langsat. Sekarang kering dan kasat. Kedua matanya itu tidak bisa berbohong. Bapak dan Ibu sama-sama lelah. Diam-diam aku sering sesak menahan tangis melihat kondisi mereka. Ingin sekali segera membahagiakannya segera mengakhiri penderitannya.

Aku menarik nafas panjang. Lalu mendekat  pada nenek Kam yang sedang asyik ngobrol dengan kakek. Keduanya sedang terlibat obrolan serius nampaknya. Menyebut-nyebut batas tanah warisan leluhur mereka. Aku baru saja hendak menyimak obrolan mereka berdua. Tiba-tiba ada Macan Kumbang berdiri dekat pintu memandang padaku. Aku langsung  terlonjak berdiri, berlari mendekatinya. Aku tak dapat menahan diri. Sebenarnya aku sangat rindu padanya. Kami berpelukan erat lama sekali sampai terguling-guling di lantai. Aku sesegukan tak mampu menahan tangis haru. Macan Kumbang pun demikian. Berulang kali Macan Kumbang mencium, lalu memelukku kembali sambil berurai air mata. Kami seperti dua sahabat yang terpisah lama. Setelah puas baru kami saling pandang dengan wajah basah lalu tertawa saling rangkul. Kakek Haji Yasir menatapku heran.

“Dedek sedang melepas rindu dengan Macam Kumbang, Kak Haji. Mereka sedang berpelukan sambil bertangis-tangisan.” Nenek Kam ikut menyusut air mata.

***

Aku baru saja menjejakkan kaki di pintu gerbang sekolah. Pagi masih berkabut. Rumput kecil sepanjang jalan menuju pintu gerbang masih basah. Begitu juga daun dan bunga sepatu, masih kuncup. Sekolah masih sepi. Aku piket hari ini, maka datang lebih awal. Aku harus membersihkan kelas bersama kawanku  Eta, Susi, Boy Kasman, dan Sutikno. Tapi mereka tidak bisa diandalkan. Mereka selalu datang terlambat.

“Selasih…Selasih…” Aku mendengar ada suara memanggilku. Sejenak aku berhenti. Apakah benar ada suara memanggilku-manggilku? Suara siapa itu? Lama aku menunggu, panggilan itu tidak berulang lagi. Baru saja hendak melangkah, kembali panggilan halus itu terdengar. Aku mencari-cari. Tidak jauh dari tempatku berdiri. Oh! Di atas akasia belakang Perpustakaan, dua perempuan cantik menatapku dan melambaikan tangan. Keduanya memakai pakaian adat jawa. Aku tidak paham pakaian adat dari Jawa mana. Yang jelas keduanya sangat cantik. Mirip putri seorang raja. Mereka bangsa peri. Senyum yang ditaburnya sungguh menghipnotis. Aku sadar. Aku ada disekolah. Akhirnya aku buru-buru naik tangga. Dua peri cantik itu kuabaikan.

Dadaku berdegup karena dari bawah aku melihat ada Bapak Syapawi kepala sekolahku bediri  dekat kelas mengawasi anak-anak yang piket. Beliau memang kepala sekolah terbaik. Selalu hadir lebih dulu dari yang lain, baik siswa, maupun guru dan TU. Memakai baju safari, rambutnya selalu tertata rapi, klimis, karena selalu pakai minyak rambut. Sekencang apapun angin menerpa rambutnya, tetap rapi. Sepatunya selalu mengkilap. Sesekali beliau batuk-batuk ringan.

Area sekolah masih berkabut tebal. Beberapa gedung tidak nampak karena kabut. Tapi beliau sudah keliling-keliling dari lembah sekolah sampai ke kelas-kelas paling atas. Maklum sekolahku berbukit-bukit. Beliau mengawasi tiap kelas. Memerhatikan kebersihan, kerapian, kelengkapan, taman kelas, pohon-pohon dan taman sekolah, parit, bahkan pagar sekolah yang merenggang tempat siswa biasa kabur, tidak luput dari perhatian beliau. Aku segera menyongsong beliau terlebih dahulu. Mencium tangannya, lalu minta izin melaksanakan tugasku, piket.

Benar saja, baru aku sendiri yang datang. Belum ada tanda-tanda kawanku datang lebih dulu. Aku melepas sepatu lalu meletakkannya di rak yang sudah di sediakan. Pelan-pelan aku membuka pintu kelasku. Alangkah terkejutnya aku, kelasku sudah bersih dan rapi. Aku mencari-cari siapa yang sudah datang lebih dulu? Lantai sudah bersih, meja rapi, sampah-sampah tidak ada lagi di kotaknya. Jendela sudah terbuka semua. Gordennya juga dirapikan. Meja guru sudah ditutup dengan taplak meja. Vas bunga juga sudah diisi. Aku melongok ke luar, di teras kelas biasa tempat kami duduk sambil bercerita juga bersih. Bahkan lantainya nampak seperti sudah di pel. Aku mengambil ember kecil yang belum berisi air untuk guru atau kami mencuci tangan. Hanya ember ini saja yang belum diisi. Yang lainnya sudah beres semua. Aku malas menggunakan kemampuanku untuk melacak mencari tahu siapa yang terbaik hati.

Sejenak aku menunggu sembari berpikir, siapa yang merapikan kelasku. Kaca jendela  nampak bekas di lap. Kapur tulis di kotaknya sudah ada. Bahkan debu bekas kapur juga bersih. Absen kelas sudah ada di atas meja. Meja teman-temanku pun bersih. Tak lama ada Maisi kawan sebangkuku datang.

“Wah, kamu piket sendiri, Dek?” Tanyanya melihat kelas bersih dan aku duduk sambil menatap jalan ke gunung dari balik jendela.

“Iya baru aku sendiri yang datang.” Jawabku mengambang. Aku menyembunyikan keherananku. Lalu kuambil ember, kuajak Maisi menemaniku mengambil air di pancuran dekat kolam sekolah. Lumayan jauh. Kami berjalan sambil berbincang-bincang perihal guru bahasa Inggris kami yang diganti. Persoalan siapa yang membersihkan kelas kuabaikan dulu. Nanti akan kupecahkan sendiri. Yang jadi masalah, beberapa minggu ini aku dan kawan-kawanku risau. Pasalnya guru bahasa Inggris kami diganti. Sebelumnya yang mengajar kami Bapak Adenan, tiba-tiba diganti oleh Bapak Simbolon yang sebelumnya mengajar keterampilan elektro. Bukan soal tidak nyambungnya, tapi beliau tidak punya kemampuan untuk mengajar bahasa Inggris. Kawan-kawan banyak protes. Sebab sudah berapa bulan pelajaran bahasa Inggris kami tidak pernah bergeser dari percakapan. Itu pun sambil membaca buku. Percakapannya itu-itu saja. Dan percakapan itu terus di praktikan di depan kelas. Tidak juga dijelaskan apa artinya atau bagaimana mengucapannya yang benar. Aku dan kawan-kawan sampai hafal dialog itu.

Akhirnya selesai belajar waktu istirahat, kawan-kawanku tidak kuizinkan ke luar kelas. Kebetulan aku ketua kelas. Bersyukur, kawan-kawanku banyak yang patuh. Kututup pintu kelas lalu aku berbicara di depan mereka.

“Kalian harus jujur. Ini menyangkut masa depan kita. Kalian jauh-jauh datang ke sekolah di kaki gunung Dempu ini tentu tidak ingin sia-sia bukan? Aku mau tanya, siapa selama beberapa bulan ini mendapatkan ilmu yang diberikan Bapak Simbolon? Sebutkan apa yang kalian peroleh selama belajar dengan beliau?” Ujarku. Nyaris kawan sekelas berteriak serentak “tidak ada!” Lalu aku lanjutkan lagi, jika tidak mendapatkan apa-apa, kira-kira langkah apa yang harus kita lakukan? Apakah diam saja? Menerima apa adanya?Akhirnya kawan-kawan ada yang menyarankan supaya ada perwakilan kelas menghadap kepala atau wakil kepala sekolah menyampaikan hal ini. Lalu ada yang menyarankan buat surat pernyataan menolak diajar Bapak Simbolon. Sejenak kelas menjadi riuh.

Aku membiarkan kawan-kawan berbicara sesuai dengan inspirasi mereka. Mereka tengah belajar mengemukakan pendapat. Kadang sambil ngotot di antara mereka, seperti hendak berantem. Pro dan kontra berseleweran. Ada yang menyatakan cukup menghadap kepala sekolah saja. Ada yang menyarankan buat surat kaleng saja. Ada yang menyarankan buat surat pernyataan. Akhirnya kutengahi mereka. Hari ini aku merasa paling dewasa di antara kawan-kawanku. Dalam hati aku berkata, mungkin inilah yang dikatakan demokrasi itu. Iya atau bukan tapi terasa jika hari ini berbeda. Ternyata kawan-kawanku bisa diajak berpikir.

“Baik kawan-kawan, saya siap mewakili  kawan-kawan menyampaikan inspirasi kita. Kita buat surat pernyataan saja lalu di bawahnya kita tandatangan bersama. Semua wajib tanda tangan. Ingat jangan sampai ada yang jadi penghianat. Kita harus satu suara. Terlepas dari kamu masih saudaranya kepala sekolah, atau saudara guru, keponakannya dan lain-lain, jangan pernah mengatakan bahwa kamu sekadar ikut-ikutan. Apalagi mengatakan karena di paksa olehku. Tapi katakan ini kesepakatan kita bersama. Jika ada yang berani menyampaikan tidak ada kesepakatan kita bersama, maka aku akan buat perhitungan dengan kalian. Siapapun kalian. Ingat itu,” kataku sambil menekan mereka sedikit mengancam. Sebab aku tahu, di antara kawan sekelas ini ada yang tinggal di rumah kepala sekolah. Bisa jadi mulutnya akan membocorkan rencana ini atau dia berbicara lain.

Akhirnya, aku tulis surat pernyataan, lalu kami tandatangani bersama. Selesai itu aku bersama Yenni dan Muin, wakil ketua kelas, dan sekretaris, menghadap kepala sekolah. Menyampaikan perihal keberatan kami diajar bahasa Inggris oleh Bapak Simbolon, dan minta diganti. Sebagai penegasan penolakan itu kami sertakan surat pernyataan yang ditandatangani kawan-kawan satu kelas. Aku menyerahkannya pada Pak Syapawi. Beliau menerimanya dengan wajah tenang.

Ternyata surat pernyataan yang kami buat berentet panjang. Aku dianggap propokator oleh Bapak Biarul, wakil kepala sekolah, sekaligus guru Biologiku yang terkenal killer. Beliau membentak-bentakku, sambil berkata “Memangnya sekolah ini punya nenek moyangmu ikut ngatur-ngatur guru. Kamu itu masih siswa. Ilmu yang kamu miliki masih cetek. Belum ada apa-apanya. Baru jadi ketua kelas, sudah pandai mengatur kawan-kawan untuk protes.” Suaranya menggelegar dengan mata melotot. Dua temanku sudah menangis. Usai beliau berbicara, aku mengangkat tangan untuk minta izin apakah aku boleh bicara. Belum sempat aku berbicara menyampaikan maksudku, kembali suara beliau menggelegar.

“Mau bilang apa? Ha!!! Mau bilang kalau kamu bukan propokator. Udah jelas kamu propokatornya masih juga mau bela diri. Kamu tahu! Surat pernyataan ini bisa saya polisikan! Biar masuk penjara saja kalian” sambungnya lagi.

Mendengar kata penjara, Yenni dan Muin makin mengkeret. Mereka menunduk dalam-dalam sambil sesegukan berurai air mata. Aku juga menunduk menunggu kesempatan untuk berbicara. Tapi aku tidak menangis. Nampaknya beliau sengaja mendiamkan kami. Beliau kular-kilir di hadapan kami. Aku sudah siap-siap bertahan jika beliau memukul atau menamparku. Malah langkahnya makin dibuatnya rada-rada serem. Beliau berjalan dengan bahu  sedikit diangkat. Dagu agak maju, lalu dada agak dibusungkan, enggan tersenyum, wajahnya serius. Urat-urat di wajahnya tegang. Matanya tajam menyeramkan.

Pernah suatu kali beliau marah dengan kakak kelasku yang datang terlambat. Beliau tidak mau tahu soal rumah jauh. Padahal kendaraan ke sekolah tidak lancar hanya ada satu angkot itupun mirip gerobak sapi. Niat hati pak Biarul mau menendang. Tidak tahunya sepatunya lepas, terlempar jauh ke semak-semak taman sekolah. Terpaksa kakak kelasku yang mencari-cari sepatunya. Aku yang melihat kejadian itu ingin tertawa, tapi takut beliau marah.

Melihat didiamkan lama, tanpa diberi kesempatan berbicara aku tidak sabar. Berulang kali aku ingin bicara, namun tidak jadi. Suasana beliau buat tegang. Udara dingin jadi terasa panas. Timbul ide isengku. Kusuruh Selasih menggeser-geser kursinya. Pertama digeser, bapak Biarul  belum sadar. Lalu kulihat kursi digeser agak menyentuh tubuhnya. Baru pak Biarul kaget. Tubuhnya terlonjak. Ditatapnya kursi dengan mata membelalak. Lalu kursi menjauh darinya. Mata beliau makin bulat dengan mulut terbuka. Beliau tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berubah pucat. Sayang Yenni dan Muin tidak melihat perubahan pak Biarul. Sementara aku, sebenarnya ingin tertawa tapi kutahan. Selanjutnya Putri Selasih memutar kursi. Pertama pelan lalu makin kencang. Kali ini pak Biarul tidak bisa membohongi rasa takutnya. Melihat kursi berputar beliau menjerit membuat Yenni dan Muin mengangkat kepala. Beliau tersandar di pintu lemari dengan wajah tegang.

“Mengapa Pak? Bapak sakit?” Tanyaku pura-pura, yang dijawabnya dengan gelengan berulang kali dengan wajah cemas. Beliau tak mampu berkata-kata. Ternyata Putri Selasih belum selesai dengan aksinya. Kaki pak Biarul yang gemetar ditariknya. Sepatu beliau dilepasnya satu.

“Iiihhh…toloooong….” Bapak Biarul melompat dengan satu sepatu berlari meninggalkan kami yang masih berdiri di sisi mejanya. Melihat Bapak Biarul kabur, Yenni dan Muin terkejut dan ikutan berlari ketakutan tidak jelas. Aku menutup mulutku agar suara tertawaku tidak terdengar. Putri Selasih melompat-lompat sambil tertawa. Dua telapak tangan kami beradu sehingga menimbulkan bunyi tepukan yang kencang. Lalu kembali Putri Selasih tertawa riang.

“Ternyata, guru yang paling  killer itu penakut juga ya..mentalnya kerdil! Gayanya aja yang sok gagah. Ekspresinya tegang terus, jalannya saja ketiak diangkat, persis seperti dihalangi kelapa. Padahal nggak berkepak tuh. Nggak gagah-gagah amat!” Ujar Putri Selasa.

“Sssstt…nggak boleh ngata-ngatain beliau. Beliau itu guruku. Walau begitu, otaknya pinter. Aku suka belajar dengan beliau.” Ujarku.

“Hallah…guru kok nggak pakai analisa lagi terus ngomongin kamu propokator, trus ngancam mau memperkarakan. Memenjarakan!” Nada Selasih sedikit berang. Aku tersenyum mendengarnya.

“Tak mungkinlah beliau hendak memenjarakan aku, Selasih. Itu hanya cara beliau menakut-nakuti anak SMP, Anak baru gede yang mentalnya masih labil. Beliau justru menunjukkan keprofesionalannya. Meski pak Simbolon kami sudutkan, tapi beliau tidak lantas menerima inspirasi aku dan teman-teman. Pak Simbolon masih dibelanya, bukan? Memang harus seperti itu. Guru harus kompak dan saling menjaga kewibawaan bersama-sama.” Jawabku panjang lebar. Akhirnya aku ke luar dari ruangan Pak Biarul. Aku mencari-cari beliau. Dua kawanku sudah kabur masuk kelas.

“Kenapa di sini? Mengapa tidak masuk kelas, belajar sana!” Tiba-tiba Bapak kepala Sekolah ke luar dari kantor.

“Saya di panggil Pak Biarul perihal surat pernyataan kelas kami tadi, Pak. Tapi tiba-tiba beliau lari ketakutan. Sekarang beliau ke mana saya tidak tahu.” Jawabku. Pak Syapawi langsung menuju tuang TU menanyakan keberadaan Bapak Biarul. Rupanya beliau lari ke rumah Dinas Kepala Sekolah. Duduk lesu di sana masih menyimpan rasa cemas. Aku kembali ke kelas. Teman-teman menatapku dengan wajah penuh tanya. Mereka ingin tahu apa hasilnya. Selanjutnya kami disuruh belajar Bahasa Inggris sendiri. Pak Simbolon tidak diizinkan masuk kelas. Satu kelas seperti anak TK tertawa riang. Senang tidak belajar!

Seperti biasa, aku tidak bisa pulang cepat hari ini. Sebagai wakil ketua OSIS ada beberapa hal organisasi yang harus aku selesaikan dengan kawan-kawan. Belum lagi persiapan berbagai lomba, aku diminta mewakili sekolah dan menyeleksi teman-temanku yang akan dilibatkan. Sementara perutku terasa sakit. Memang aku belum makan sejak pagi. Mau beli mie atau nasi pecel, uangku tidak cukup. Akhirnya aku pergi ke warung seberang sekolah membeli dua potong pisang goreng. Beruntung  sekali kenal dengan yang punya warung yang baik hati, aku dibuatkannya teh hangat. Padahal aku merasa cukup dengan meminta air putih saja.

“Dek, kalau haus atau lapar kamu pulang ke sini saja. Apa lagi sekolah sampai sore. Kamu nggak bawa bekal kan?” Tanya bibi penjual gorengan yang minta dipanggil Emak.

Aku hanya mengangguk sembari mengucapkan terimakasih. Bagaimana aku harus membawa bekal? Siapa yang akan memasakan menjelang subuh? Ibu masih di  dusun Seberang Endikat. Sementara sebelum subuh aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku pelajaran hari  ini terlebih dahulu, lalu bersiap-siap berangkat sekolah. Jalan kaki. Bukan tidak mau sarapan. Tapi memang sering tidak ada yang bisa dimasak untuk sarapan.

Beberapa minggu ini aktivitas di sekolah makin pesat. Kadang-kadang aku membantu guru bahasa Indonesiaku, Bapak Tarzan, memberikan materi tertentu di kelas les Bahasa Indonesia. Sering juga aku mengeluh karena banyak teman-temanku yang tidak paham-paham meski sudah dijelaskan detil. “Tidak apa-apa. Sekalian melatih kesabaran. Sahabat-sahabatmu itu kebanyakan orang kampung yang tidak punya waktu banyak untuk membuka buku dan mereka memang kurang biasa membaca. Bisa jadi mereka tidak punya buku sehingga minat itu tidak tumbuh.” Ujar pak Tarzan suatu hari menanggapi keluhanku. Padahal aku kurang lebih sama dengan kawan-kawanku. Aku juga tidak mampu membeli buku. Oleh sebab itu aku sering mencuri-curi ketika buku guruku diletakan di atas meja, dan beliau tidak ada, aku akan baca dengan buru-buru. Atau ketika habis pelajaran, aku buru-buru membereskan buku guruku, lalu membantu mengantarkannya ke ruang guru. Di ruang guru inilah aku minta izin sejenak membaca bukunya. Kadang aku lari ke perpustakaan membaca-baca koleksi buku. Rata-rata tidak menarik dan itu-itu saja. Yang paling banyak buku penunjang pelajaran yang jarang digunakan. Konon tidak sesuai dengan kurikulum.

Sabtu siang itu pak Tarzan memanggilku. Kukira beliau memintaku untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba lagi. Rupanya beliau menawarkan buku-buku beliau untuk kupelajari, karena beliau akan penataran minggu depan, jadi beliau menugaskan aku mengajari teman sekelasku. Biasanya kalau kelas lain mereka disuruh mencatat saja selama guru bersangkutan tidak ada. Tapi di kelasku beliau minta tidak hanya mencatat, tapi aku diminta menjelaskan dengan teman-teman. Dengan senang hati aku menerima amanah itu. Aku fokus pada materi yang beliau sebutkan.

Apa yang disampaikan pak Tarzan jika kawan-kawanku tidak sempat membaca  ada benarnya juga. Tidak semua kawanku ini tinggal di kota Pagaralam. Mereka banyak berasal dari desa-desa. Bahkan ada yang tinggal di kebun-kebun, sekitar sekolah. Bagi yang dusunnya jauh, mereka kos di rumah-rumah penduduk di Bangun Rejo. Sebagian lagi pulang sekolah mereka membantu kedua orang tua mereka di kebun atau di ladang. Seperti Muin misalnya, lebih banyak tidak aktif di sekolah. Padahal dia ketua OSIS. Alasannya setiap pulang sekolah dia ditugaskan  mengambil rumput untuk kambing-kambingnya. Akhirnya beberapa hal organisasi akulah yang membantu menyelesaikannya.

Jam sudah menujukkan pukul lima sore. Sudah dipastikan aku akan sampai di rumah pas magrib atau mungkin juga setelah magrib. Jalan gunung yang akan kulalui sepi. Kiri kanan jalan kebun kopi. Rumah penduduk masih jarang-jarang. Kali ini aku pulang sendiri. Yang lain sudah pulang lebih dulu. Sebagian besar kawan-kawanku tinggal di Bangun Rejo. Hanya aku sendiri rupanya yang tinggal agak ke kota. Melihat hari sudah petang, dan aku pulang berjalan sendiri, Bapak gorengan memanggilku dan menyarankan agar aku tidak usah pulang, tapi nginap di rumahnya saja. Dengan alasan tidak siap, tawaran itu kutolak. Akhirnya beliau bersikeras mengantarkan aku batas kuburan saja. Lewat dari sana baru beliau lepaskan aku sendiri. Memang untuk sampai ke sekolah, kami melewati area kuburan yang cukup panjang. Suasana tikungannya cukup menyeramkan. Banyak sekali makhluk asral berkeliaran di sana. Oleh sebab itulah tidak sekali dua kali Bapak  mengantarku sampai batas kuburan. Mungkin beliau kira aku akan takut. Hampir setiap aku pulang kesorean beliau memaksakan diri mengantar sampai lewat kuburan. Aku senang-senang saja karena punya Bapak yang cukup perhatian padaku.

Rasanya baru beberapa langkah aku berpisah sama Bapak gorengan. Tiba-tiba aku masuk ke dalam dimensi lain. Aku melihat dua peri yang menyapaku tadi pagi sedang bertarung hebat dengan seorang perempuan. Sejenak aku memerhatikan pertarungan dasyat itu. Perempuan itu, meski dikeroyok, tapi dia mampu melawan kedua peri. Benturan senjata andalan mereka mengeluarkan cahaya. Tubuh mereka berkelebat seperti angin. Aku tidak sempat untuk benar-benar awas dengan wajah perempuan yang dikeroyok itu. Gerakkannya sangat gesit. Aku terpukau! Sekilas perempuan itu menggunakan jurus-jurus yang mirip denganku. Dasar kutau harimau, dan angin. Aku mulai tertarik memerhatikannya. Mengapa mereka bertarung  aku tidak tahu. Yang jelas melihat gerakan mereka, mereka sama-sama berilmu tinggi. Jadi aku tidak bisa memihak di antara mereka.

Dua peri itu sangat kompak. Kadang mereka melakukan gerakan seperti menari. Kadang seperti ular meliuk-liuk ke kiri dan kanan. Hebatnya mereka menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Sepasang peri menggunakan senjata pendek mirip suling, sedangkan yang perempuan satu lagi menggunakan tongkat kecil yang bentuknya seperti akar berpilin. Menggunakan baju yang ringkas, tengkuluk warna kuning terikat rapi di kepalanya.

Ah! Aku sadar, Aku harus pulang. Sebentar lagi malam. Akhirnya pertempuran itu kuabaikan. Aku tidak mau tahu mengapa mereka bertarung. Itu urusan mereka. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku berjalan cepat. Udara petang sudah terasa dingin. Kabut sudah mulai turun. Aku bergegas ke luar dari dimensi itu. Aku masih enggan untuk lama-lama berinteraksi dengan mereka.

Bersambung...
close