Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 37)


Aku baru saja menjejakkan kaki di pintu gerbang sekolah. Pagi masih berkabut. Rumput kecil sepanjang jalan menuju pintu gerbang masih basah. Begitu juga daun dan bunga sepatu, masih kuncup. Sekolah masih sepi. Aku piket hari ini, maka datang lebih awal. Aku harus membersihkan kelas bersama kawanku  Eta, Susi, Boy Kasman, dan Sutikno. Tapi mereka tidak bisa diandalkan. Mereka selalu datang terlambat.

“Selasih…Selasih…” Aku mendengar ada suara memanggilku. Sejenak aku berhenti. Apakah benar ada suara memanggilku-manggilku? Suara siapa itu? Lama aku menunggu, panggilan itu tidak berulang lagi. Baru saja hendak melangkah, kembali panggilan halus itu terdengar. Aku mencari-cari. Tidak jauh dari tempatku berdiri. Oh! Di atas akasia belakang Perpustakaan, dua perempuan cantik menatapku dan melambaikan tangan. Keduanya memakai pakaian adat jawa. Aku tidak paham pakaian adat dari Jawa mana. Yang jelas keduanya sangat cantik. Mirip putri seorang raja. Mereka bangsa peri. Senyum yang ditaburnya sungguh menghipnotis. Aku sadar. Aku ada disekolah. Akhirnya aku buru-buru naik tangga. Dua peri cantik itu kuabaikan.

Dadaku berdegup karena dari bawah aku melihat ada Bapak Syapawi kepala sekolahku bediri dekat kelas mengawasi anak-anak yang piket. Beliau memang kepala sekolah terbaik. Selalu hadir lebih dulu dari yang lain, baik siswa, maupun guru dan TU. Memakai baju safari, rambutnya selalu tertata rapi, klimis, karena selalu pakai minyak rambut. Sekencang apapun angin menerpa rambutnya, tetap rapi. Sepatunya selalu mengkilap. Sesekali beliau batuk-batuk ringan.

Area sekolah masih berkabut tebal. Beberapa gedung tidak nampak karena kabut. Tapi beliau sudah keliling-keliling dari lembah sekolah sampai  ke kelas-kelas paling atas. Maklum sekolahku berbukit-bukit. Beliau mengawasi tiap kelas. Memerhatikan kebersihan, kerapian, kelengkapan, taman kelas, pohon-pohon dan taman sekolah, parit, bahkan pagar sekolah yang merenggang tempat siswa biasa kabur, tidak luput dari perhatian beliau. Aku segera menyongsong beliau terlebih dahulu. Mencium tangannya, lalu minta izin melaksanakan tugasku, piket.

Benar saja, baru aku sendiri yang datang. Belum ada tanda-tanda kawanku datang lebih dulu. Aku melepas sepatu lalu meletakkannya di rak yang sudah di sediakan. Pelan-pelan aku membuka pintu kelasku. Alangkah terkejutnya aku, kelasku sudah bersih dan rapi. Aku mencari-cari siapa yang sudah datang lebih dulu? Lantai sudah bersih, meja rapi, sampah-sampah tidak ada lagi di kotaknya. Jendela sudah terbuka semua. Gordennya juga dirapikan. Meja guru sudah ditutup dengan taplak meja. Vas bunga juga sudah diisi. Aku melongok ke luar, di teras kelas biasa tempat kami duduk sambil bercerita juga bersih. Bahkan lantainya nampak seperti sudah di pel. Aku mengambil ember kecil yang belum berisi air untuk guru atau kami mencuci tangan. Hanya ember ini saja yang belum diisi. Yang lainnya sudah beres semua. Aku malas menggunakan kemampuanku untuk melacak mencari tahu siapa yang terbaik hati.

Sejenak aku menunggu sembari berpikir, siapa yang merapikan kelasku. Kaca jendela  nampak bekas di lap. Kapur tulis di kotaknya sudah ada. Bahkan debu bekas kapur juga bersih. Absen kelas sudah ada di atas meja. Meja teman-temanku pun bersih. Tak lama ada Maisi kawan sebangkuku datang.

“Wah, kamu piket sendiri, Dek?” Tanyanya melihat kelas bersih dan aku duduk sambil menatap jalan ke gunung dari balik jendela.

“Iya baru aku sendiri yang datang.” Jawabku mengambang. Aku menyembunyikan keherananku. Lalu kuambil ember, kuajak Maisi menemaniku mengambil air di pancuran dekat kolam sekolah. Lumayan jauh. Kami berjalan sambil berbincang-bincang perihal guru bahasa Inggris kami yang diganti. Persoalan siapa yang membersihkan kelas kuabaikan dulu. Nanti akan kupecahkan sendiri. Yang jadi masalah, beberapa minggu ini aku dan kawan-kawanku risau. Pasalnya guru bahasa Inggris kami diganti. Sebelumnya yang mengajar kami Bapak Adenan, tiba-tiba diganti oleh Bapak Simbolon yang sebelumnya mengajar keterampilan elektro. Bukan soal tidak nyambungnya, tapi beliau tidak punya kemampuan untuk mengajar bahasa Inggris. Kawan-kawan banyak protes. Sebab sudah berapa bulan pelajaran bahasa Inggris kami tidak pernah bergeser dari percakapan. Itu pun sambil membaca buku. Percakapannya itu-itu saja. Dan percakapan itu terus di praktikan di depan kelas. Tidak juga dijelaskan apa artinya atau bagaimana mengucapannya yang benar. Aku dan kawan-kawan sampai  hafal dialog itu.

Akhirnya selesai belajar waktu istirahat, kawan-kawanku tidak kuizinkan ke luar kelas. Kebetulan aku ketua kelas. Bersyukur, kawan-kawanku banyak yang patuh. Kututup pintu kelas lalu aku berbicara di depan mereka.

“Kalian harus jujur. Ini menyangkut masa depan kita. Kalian jauh-jauh datang ke sekolah di kaki gunung Dempu ini tentu tidak ingin sia-sia bukan? Aku mau tanya, siapa selama  beberapa bulan ini mendapatkan ilmu yang diberikan Bapak Simbolon? Sebutkan apa yang kalian peroleh selama belajar dengan beliau?” Ujarku. Nyaris kawan sekelas berteriak serentak “tidak ada!” Lalu aku lanjutkan lagi, jika tidak mendapatkan apa-apa, kira-kira langkah apa yang harus kita lakukan? Apakah diam saja? Menerima apa adanya?Akhirnya kawan-kawan ada yang menyarankan supaya ada perwakilan kelas menghadap kepala atau wakil kepala sekolah menyampaikan hal ini. Lalu ada yang menyarankan buat surat pernyataan menolak diajar Bapak Simbolon. Sejenak kelas menjadi riuh.

Aku membiarkan kawan-kawan berbicara sesuai dengan inspirasi mereka. Mereka tengah belajar mengemukakan pendapat. Kadang sambil ngotot di antara mereka, seperti hendak berantem. Pro dan kontra berseleweran. Ada yang menyatakan cukup menghadap kepala sekolah saja. Ada yang menyarankan buat surat kaleng saja. Ada yang menyarankan buat surat pernyataan. Akhirnya kutengahi mereka. Hari ini aku merasa paling dewasa di antara kawan-kawanku. Dalam hati aku berkata, mungkin inilah yang dikatakan demokrasi itu. Iya atau bukan tapi terasa jika hari ini berbeda. Ternyata kawan-kawanku bisa diajak berpikir.

“Baik kawan-kawan, saya siap mewakili  kawan-kawan menyampaikan inspirasi kita. Kita buat surat pernyataan saja lalu di bawahnya kita tandatangan bersama. Semua wajib tanda tangan. Ingat jangan sampai ada yang jadi penghianat. Kita harus satu suara. Terlepas dari kamu masih saudaranya kepala sekolah, atau saudara guru, keponakannya dan lain-lain, jangan pernah mengatakan bahwa kamu sekadar ikut-ikutan. Apalagi mengatakan karena di paksa olehku. Tapi katakan ini kesepakatan kita bersama. Jika ada yang berani menyampaikan tidak ada kesepakatan kita bersama, maka aku akan buat perhitungan dengan kalian. Siapapun kalian. Ingat itu,” kataku sambil menekan mereka sedikit mengancam. Sebab aku tahu, di antara kawan sekelas ini ada yang tinggal di rumah  kepala sekolah. Bisa jadi mulutnya akan membocorkan rencana ini atau dia berbicara lain.

Akhirnya, aku tulis surat pernyataan, lalu kami tandatangani bersama. Selesai itu aku bersama Yenni dan Muin, wakil ketua kelas, dan sekretaris, menghadap kepala sekolah. Menyampaikan perihal keberatan kami diajar bahasa Inggris oleh Bapak Simbolon, dan minta diganti. Sebagai penegasan penolakan itu kami sertakan surat pernyataan yang ditandatangani kawan-kawan satu kelas. Aku menyerahkannya pada Pak Syapawi. Beliau menerimanya dengan wajah tenang.

Ternyata surat pernyataan yang kami buat berentet panjang. Aku dianggap propokator oleh Bapak Biarul, wakil kepala sekolah, sekaligus guru Biologiku yang terkenal killer. Beliau membentak-bentakku, sambil berkata “Memangnya sekolah ini punya nenek moyangmu ikut ngatur-ngatur guru. Kamu itu masih siswa. Ilmu yang kamu miliki masih cetek. Belum ada apa-apanya. Baru jadi ketua kelas, sudah pandai mengatur kawan-kawan untuk protes.” Suaranya menggelegar dengan mata melotot. Dua temanku sudah menangis. Usai beliau berbicara, aku mengangkat tangan untuk minta izin apakah aku boleh bicara. Belum sempat aku berbicara menyampaikan maksudku, kembali suara beliau menggelegar.

“Mau bilang apa? Ha!!! Mau bilang kalau kamu bukan propokator. Udah jelas kamu propokatornya masih juga mau bela diri. Kamu tahu! Surat pernyataan ini bisa saya polisikan! Biar masuk penjara saja kalian” sambungnya lagi.

Mendengar kata penjara, Yenni dan Muin makin mengkeret. Mereka menunduk dalam-dalam sambil sesegukan berurai air mata. Aku juga menunduk menunggu kesempatan untuk berbicara. Tapi aku tidak menangis. Nampaknya beliau sengaja mendiamkan kami. Beliau kular-kilir di hadapan kami. Aku sudah siap-siap bertahan jika beliau memukul atau menamparku. Malah langkahnya makin dibuatnya rada-rada serem. Beliau berjalan dengan bahu  sedikit diangkat. Dagu agak maju, lalu dada agak dibusungkan, enggan tersenyum, wajahnya serius. Urat-urat di wajahnya tegang. Matanya tajam menyeramkan.

Pernah suatu kali beliau marah dengan kakak kelasku yang datang terlambat. Beliau tidak mau tahu soal rumah jauh. Padahal kendaraan ke sekolah tidak lancar hanya ada satu angkot itupun mirip gerobak sapi. Niat hati pak Biarul mau menendang. Tidak tahunya sepatunya lepas, terlempar jauh ke semak-semak taman sekolah. Terpaksa kakak kelasku yang mencari-cari sepatunya. Aku yang melihat kejadian itu ingin tertawa, tapi takut beliau marah.

Melihat didiamkan lama, tanpa diberi kesempatan berbicara aku tidak sabar. Berulang kali aku ingin bicara, namun tidak jadi. Suasana beliau buat tegang. Udara dingin jadi terasa panas. Timbul ide isengku. Kusuruh Selasih menggeser-geser kursinya. Pertama digeser, bapak Biarul  belum sadar. Lalu kulihat kursi digeser agak menyentuh tubuhnya. Baru pak Biarul kaget. Tubuhnya terlonjak. Ditatapnya kursi dengan mata membelalak. Lalu kursi menjauh darinya. Mata beliau makin bulat dengan mulut terbuka. Beliau tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berubah pucat. Sayang Yenni dan Muin tidak melihat perubahan pak Biarul. Sementara aku, sebenarnya ingin tertawa tapi kutahan. Selanjutnya Putri Selasih memutar kursi. Pertama pelan lalu makin kencang. Kali ini pak Biarul tidak bisa membohongi rasa takutnya. Melihat kursi berputar beliau menjerit membuat Yenni dan Muin mengangkat kepala. Beliau tersandar di pintu lemari dengan wajah tegang.

“Mengapa Pak? Bapak sakit?” Tanyaku pura-pura, yang dijawabnya dengan gelengan berulang kali dengan wajah cemas. Beliau tak mampu berkata-kata. Ternyata Putri Selasih belum selesai dengan aksinya. Kaki pak Biarul yang gemetar ditariknya. Sepatu beliau dilepasnya satu.

“Iiihhh…toloooong….” Bapak Biarul melompat dengan satu sepatu berlari meninggalkan kami yang masih berdiri di sisi mejanya. Melihat Bapak Biarul kabur , Yenni dan Muin terkejut dan ikutan berlari ketakutan tidak jelas. Aku menutup mulutku agar suara tertawaku tidak terdengar. Putri Selasih melompat -lompat sambil tertawa. Dua telapak tangan kami beradu sehingga menimbulkan bunyi tepukan yang kencang. Lalu kembali Putri Selasih tertawa riang.

“Ternyata, guru yang paling  killer itu penakut juga ya..mentalnya kerdil! Gayanya aja yang sok gagah. Ekspresinya tegang terus, jalannya saja ketiak diangkat, persis seperti dihalangi kelapa.  Padahal nggak berkepak tuh. Nggak gagah-gagah amat!” Ujar Putri Selasa.

“Sssstt…nggak boleh ngata-ngatain beliau. Beliau itu guruku. Walau begitu, otaknya pinter. Aku suka belajar dengan beliau.” Ujarku.

“Hallah…guru kok nggak pakai analisa lagi terus ngomongin kamu propokator, trus ngancam mau memperkarakan. Memenjarakan!” Nada Selasih sedikit berang. Aku tersenyum mendengarnya.

“Tak mungkinlah beliau hendak memenjarakan aku, Selasih. Itu hanya cara beliau menakut-nakuti anak SMP, Anak baru gede yang mentalnya masih labil. Beliau justru menunjukkan keprofesionalannya. Meski pak Simbolon kami sudutkan, tapi beliau tidak lantas menerima inspirasi aku dan teman-teman. Pak Simbolon masih dibelanya, bukan? Memang harus seperti itu. Guru harus kompak dan saling menjaga kewibawaan bersama-sama.” Jawabku panjang lebar. Akhirnya aku ke luar dari ruangan Pak Biarul. Aku mencari-cari beliau. Dua kawanku sudah kabur masuk kelas.

“Kenapa di sini? Mengapa tidak masuk kelas, belajar sana!” Tiba-tiba Bapak kepala Sekolah ke luar dari kantor.

“Saya di panggil Pak Biarul perihal surat pernyataan kelas kami tadi, Pak. Tapi tiba-tiba beliau lari ketakutan. Sekarang beliau ke mana saya tidak tahu.” Jawabku. Pak Syapawi langsung menuju tuang TU menanyakan keberadaan Bapak Biarul. Rupanya beliau lari ke rumah Dinas Kepala Sekolah. Duduk lesu di sana masih menyimpan rasa cemas. Aku kembali ke kelas. Teman-teman menatapku dengan wajah penuh tanya. Mereka ingin tahu apa hasilnya. Selanjutnya kami disuruh belajar Bahasa Inggris sendiri. Pak Simbolon tidak diizinkan masuk kelas. Satu kelas seperti anak TK tertawa riang. Senang tidak belajar!

Seperti biasa, aku tidak bisa pulang cepat hari ini. Sebagai wakil ketua OSIS ada beberapa hal organisasi yang harus aku selesaikan dengan kawan-kawan. Belum lagi persiapan berbagai lomba, aku diminta mewakili sekolah dan menyeleksi teman-temanku yang akan dilibatkan. Sementara perutku terasa sakit. Memang aku belum makan sejak pagi. Mau beli mie atau nasi pecel, uangku tidak cukup. Akhirnya aku pergi ke warung seberang sekolah membeli dua potong pisang goreng. Beruntung sekali kenal dengan yang punya warung yang baik hati, aku dibuatkannya teh hangat. Padahal aku merasa cukup dengan meminta air putih saja.

“Dek, kalau haus atau lapar kamu pulang ke sini saja. Apa lagi sekolah sampai sore. Kamu nggak bawa bekal kan?” Tanya bibi penjual gorengan yang minta dipanggil Emak.

Aku hanya mengangguk sembari mengucapkan terimakasih. Bagaimana aku harus membawa bekal? Siapa yang akan memasakan menjelang subuh? Ibu masih di dusun Seberang Endikat. Sementara sebelum subuh aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku pelajaran hari ini terlebih dahulu, lalu bersiap-siap berangkat sekolah. Jalan kaki. Bukan tidak mau sarapan. Tapi memang sering tidak ada yang bisa dimasak untuk sarapan.

Beberapa minggu ini aktivitas di sekolah makin pesat. Kadang-kadang aku membantu guru bahasa Indonesiaku, Bapak Tarzan, memberikan materi tertentu di kelas les Bahasa Indonesia. Sering juga aku mengeluh karena banyak teman-temanku yang tidak paham-paham meski  sudah dijelaskan detil. “Tidak apa-apa. Sekalian melatih kesabaran. Sahabat-sahabatmu itu kebanyakan orang kampung yang tidak punya waktu banyak untuk membuka buku dan mereka memang kurang biasa membaca. Bisa jadi mereka  tidak punya buku sehingga minat itu tidak tumbuh.” Ujar pak Tarzan suatu hari menanggapi keluhanku. Padahal aku kurang lebih sama dengan kawan-kawanku. Aku juga tidak mampu membeli buku. Oleh sebab itu aku sering mencuri-curi ketika buku guruku diletakan di atas meja, dan beliau tidak ada, aku akan baca dengan buru-buru. Atau ketika habis pelajaran, aku buru-buru membereskan buku guruku, lalu membantu mengantarkannya ke ruang guru. Di ruang guru inilah aku minta izin sejenak membaca bukunya. Kadang aku lari ke perpustakaan membaca-baca koleksi buku. Rata-rata tidak menarik dan itu-itu saja. Yang paling banyak buku penunjang pelajaran yang jarang digunakan. Konon tidak sesuai dengan kurikulum.

Sabtu siang itu pak Tarzan memanggilku. Kukira beliau memintaku untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba lagi. Rupanya beliau menawarkan buku-buku beliau untuk kupelajari, karena beliau akan penataran minggu depan, jadi beliau menugaskan aku mengajari teman sekelasku. Biasanya kalau kelas lain mereka disuruh mencatat saja selama guru bersangkutan tidak ada. Tapi di kelasku beliau minta tidak hanya mencatat, tapi aku diminta menjelaskan dengan teman-teman. Dengan senang hati aku menerima amanah itu. Aku fokus pada materi yang beliau sebutkan.

Apa yang disampaikan pak Tarzan jika kawan-kawanku tidak sempat membaca  ada benarnya juga. Tidak semua kawanku ini tinggal di kota Pagaralam. Mereka banyak berasal dari desa-desa. Bahkan ada yang tinggal di kebun-kebun, sekitar sekolah. Bagi yang dusunnya jauh, mereka kos di rumah-rumah penduduk di Bangun Rejo. Sebagian lagi pulang sekolah mereka membantu kedua orang tua mereka di kebun atau di ladang. Seperti Muin misalnya, lebih banyak tidak aktif di sekolah. Padahal dia ketua OSIS. Alasannya setiap pulang sekolah dia ditugaskan  mengambil rumput untuk kambing-kambingnya. Akhirnya beberapa hal organisasi akulah yang membantu menyelesaikannya.

Jam sudah menujukkan pukul lima sore. Sudah dipastikan aku akan sampai di rumah pas magrib atau mungkin juga setelah magrib. Jalan gunung yang akan kulalui sepi. Kiri kanan jalan kebun kopi. Rumah penduduk masih jarang-jarang. Kali ini aku pulang sendiri. Yang lain sudah pulang lebih dulu. Sebagian besar kawan-kawanku tinggal di Bangun Rejo. Hanya aku sendiri rupanya yang tinggal agak ke kota. Melihat hari sudah petang, dan aku pulang berjalan sendiri, Bapak gorengan memanggilku dan menyarankan agar aku tidak usah pulang, tapi nginap di rumahnya saja. Dengan alasan tidak siap, tawaran itu kutolak. Akhirnya beliau bersikeras mengantarkan aku batas kuburan saja. Lewat dari sana baru beliau lepaskan aku sendiri. Memang untuk sampai ke sekolah, kami melewati area kuburan yang cukup panjang. Suasana tikungannya cukup menyeramkan. Banyak sekali makhluk asral berkeliaran di sana. Oleh sebab itulah tidak sekali dua kali Bapak mengantarku sampai batas kuburan. Mungkin beliau kira aku akan takut. Hampir setiap aku pulang kesorean beliau memaksakan diri mengantar sampai lewat kuburan. Aku senang-senang saja karena punya Bapak yang cukup perhatian padaku.

Rasanya baru beberapa langkah aku berpisah sama Bapak gorengan. Tiba-tiba aku masuk ke dalam dimensi lain. Aku melihat dua peri yang menyapaku tadi pagi sedang bertarung hebat dengan seorang perempuan. Sejenak aku memerhatikan pertarungan dasyat itu. Perempuan itu, meski dikeroyok, tapi dia mampu melawan kedua peri. Benturan senjata andalan mereka mengeluarkan cahaya. Tubuh mereka berkelebat seperti angin. Aku tidak sempat untuk benar-benar awas dengan wajah perempuan yang dikeroyok itu. Gerakkannya sangat gesit. Aku terpukau! Sekilas perempuan itu menggunakan jurus-jurus yang mirip denganku. Dasar kutau harimau, dan angin. Aku mulai tertarik memerhatikannya. Mengapa mereka bertarung  aku tidak tahu. Yang jelas melihat gerakan mereka, mereka sama-sama berilmu tinggi. Jadi aku tidak bisa memihak di antara mereka.

Dua peri itu sangat kompak. Kadang mereka melakukan gerakan seperti menari. Kadang seperti ular meliuk-liuk ke kiri dan kanan. Hebatnya mereka menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Sepasang peri menggunakan senjata pendek mirip suling, sedangkan yang perempuan satu lagi menggunakan tongkat kecil yang bentuknya seperti akar berpilin. Menggunakan baju yang ringkas, tengkuluk warna kuning terikat rapi di kepalanya.

Ah! Aku sadar, Aku harus pulang. Sebentar lagi malam. Akhirnya pertempuran itu kuabaikan. Aku tidak mau tahu mengapa mereka bertarung. Itu urusan mereka. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku berjalan cepat. Udara petang sudah terasa dingin. Kabut sudah mulai turun. Aku bergegas ke luar dari dimensi itu. Aku masih enggan untuk lama-lama berinteraksi dengan mereka.

***

Ayam berkokok berkali-kali, pertanda subuh telah tiba. Aku masih bergulung di bawah selimut. Udara masih sangat dingin. Tubuhku terasa lemas. Seluruh sendiku sakit. Ah aku demam. Tenggorokanku kering. Pagi ini jam pertama pelajaran Fisika. Ada materi yang belum kupahami dan rencana akan kutanyakan hari ini dengan guruku, Bapak Ibrahim. Aku mencoba bangkit. Tiba-tiba bumi serasa berputar. Kepalaku terasa sangat sakit. Oh! Tubuhku demam. Akhirnya aku kembali baring. Ada kekhawatiran jika aku benar-benar sakit. Aku tidak bisa sekolah! Berbagai perasan cemas muncul. Pikiranku sudah mulai kemana-mana. Aku tidak boleh sakit! Aku kembali bangkit. Aku berusaha berpegangan di dinding. Kupejamkan mata sambil berdiri. Aku berusaha sampai ke kamar mandi. Gosok gigi, cuci muka. Biarlah  aku tidak mandi hari ini. Yang penting bisa sekolah.

Di jalan  ke sekolah aku terus menahan dingin. Mantel yang kupakai tidak banyak membantu. Yenni membimbingku hingga sampai ke sekolah. Sepuluh menit lagi bell sekolah akan berbunyi. Aku singgah ke warung Bapak gorengan. Sementara Yenni langsung ke kelas sambil membawa tasku. Ternyata di warung hanya ada Emak tengah menyalahkan api. Aku minta izin untuk memanaskan tubuh sejenak dekat perapian.

“Mak, aku dingin. Izin memanaskan badan sebentar.” Ujarku. Si Emak bukan mengiyakan malah balik nanya.

“Emak ambilkan makan ya. Sedikit saja untuk ganjal perut. Emak goreng nasi tadi. Rusmini sudah makan dia. Sudah berangkat ke sekolah duluan.” Ujarnya sambil mengambil piring. Aku menjawabnya dengan mengangkat tangan tanda menolak.

“Mak, lidahku terasa pahit. Aku tidak ingin makan. Aku hanya kedinginan” Jawabku sedikit terharu. Perempuan kampung ini baik sekali. Padahal hidup mereka sederhana. Tapi hati mereka benar-benar kaya. Kebaikan mereka tidak dibuat-buat, murni dari hati.

“Bapak sama Ibumu masih di dusun?” Lanjutnya lagi.  Aku mengangguk sambil mengembangkan tangan ke arah api berusaha menghangatkan seluruh badan. Tak lama aku mendengar bunyi sendok beradu dengan gelas. Emak membuatkan aku segelas susu rupanya. Di sampingnya ada lemet ubi yang dibungkus daun pisang.

“Dek, sini minum dulu..” Emak meraih tanganku. Wajah beliau kaget setelah memegang tanganku.

“Kamu sakit, Dek. Tanganmu panas sekali!” Wajah Emak agak cemas. Tangannya  sibuk memegang leher, jidat, tengkukku. Aku langsung dipaksanya minum susu buatannya dan sepotong lemet. Meski tidak ada selera sama sekali, aku paksakan  juga minum dan makan, demi menghargai perempuan surga ini.

Aku menatap wajah Emak diam-diam. Kulitnya sedikit mengkilap berkeringat. Rambutnya yang ikal, meriap-riap di tiup angin dari gunung. Meski sudah berumur tapi Emak masih kelihatan energik. Sambil terus kular -kilir beberes-beres menyiapkan jualannya, Emak terus berbicara. Emak-emak nyaris sama di mana-mana. Sambil kerja tapi mulutnya terus merepet.

“Kamu istirahat saja di sini. Tidak usah sekolah. Biar nanti  Bapak menemui guru piket dan wali kelasmu. Sakit kok maksa sekolah nduk…nduk. Sesekali tidak sekolah tidak apa-apa. Tidak akan mengurangi nilaimu. Kalau cah pinter ya tetap aja pinter. Sekarang, kamu  istirahat saja dulu di sini.” Lagi-lagi Emak memandangku. Beliau menuju bilik di samping dapur, membentangkan kasur tipis, beralas kain yang sudah kehilangan motif. Lalu  menepuk-nepuk bantal.

“Sini istirahat saja” kata Emak. Aku bingung  hendak  menolak. Aku sudah sampai di sekolah tentu ingin belajar.

“Emak, aku tidak apa-apa, Mak. Izinkan aku masuk dulu jam pertama. Nanti kalau sudah tidak kuat aku pulang ke mari.” Ujarku memohon. Emak menatapku sembari membenarkan ikatan kain sarungnya. Tatapannya penuh keraguan. Aku menatapnya dalam-dalam. Dalam hati ada perasaan haru. Allah baik sekali. Allah berikan aku sosok seorang perempuan yang berhati emas saat aku jauh dengan orang-orang terkasihku. Padahal aku bukan apa-apanya. Hanya kebetulan nama depanku sama dengan nama anaknya, tapi beliau perlakukan aku melebihi anaknya sendiri.

“Baiklah, nanti kalau bell bunyi kamu berangkat. Sementara belum bunyi baring saja dulu..” Tangan Emak lincah membuka tali sepatuku, lalu membaringkan tubuhku. Diambilnya selimut yang sudah sedikit koyak di jemuran lalu dibalutkannya padaku. Aku meringkuk tidur miring sembari mengepit kedua belah tangan ke dalam paha. Aku masih berusaha mengusir rasa dingin. Mataku terasa panas. Kepalaku kembali berdenyut-denyut. Rasanya ingin terpejam saja meski tidak tidur. Ada mutiara mengalir pelan dari kelopak mataku meresap disarung bantal. Entah apa yang membuatku ingin menangis. Apakah kondisiku, apa karena kebaikan Emak dan Bapak yang menganggap aku anaknya ini, apakah karena  jauh dengan Bapak ibuku, atau karena rindu dengan nenek gunung, nenek Kam. Segala macam hal melintas dalam pikiranku.

Aku lupa kapan terakhir aku sakit. Sekarang aku sedang berbaring di bilik warung Bapak Emak angkatku. Bapak, Ibu, kakak dan adikku tidak ada yang tahu jika aku dalam keadaan seperti ini. Tiba-tiba aku merasa sangat sentimentil. Aku menangis lagi.  Kuputar tubuhku menghadap ke dinding menyembunyikan tangisku dari tatapan Emak yang sesekali melihat padaku. Samar-samar aku mendengar suara Bapak yang baru pulang dari pasar. Emak berbisik-bisik pada Bapak, cerita kalau aku sedang sakit dan sekarang sedang tidur. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Tapi nampaknya Bapak buru-buru ke sekolah. Pasti beliau menghadap guru piket dan wali kelasku. Akhirnya aku benar tidak sekolah.

Aku memang sudah tidak sanggup untuk bangun. Suhu tubuhku  sangat tinggi, tapi rasa dingin tubuhku benar-benar tidak bisa kutolak. Mataku masih  terpejam. Aku tidak bisa menahan ketika dari bagian pinggang ke ujung kaki menggigil. Lalu ganti bagian pinggang ke atas. Terus begitu hingga lama dan tidak bisa ditahan. Jari tangan dan kakiku terasa kaku. Gigiku gemelutuk beradu. Aku tidak berani memanggil Bapak atau Emak. Mereka berdua sedang sibuk mempersiapkan dagangan mereka. Aku berjuang sendiri melawan tubuh yang menggigil. Bagaimana pun aku tidak ingin  Emak dan Bapak cemas. Aku sudah merepotkan mereka. Tiba-tiba aku merasakan ada tangan memegang bahuku. Rupanya Bapak membawa secangkir air dan menyuruhku meminumnya.

“Bangun..bangun Nduk, minum dulu. Ayoo..ben mari,” ujarnya lembut. Aku memaksakan diri untuk bangun dalam keadaan menggigil kuteguk juga biar pahit itu.

“Kamu sakit malaria, Nduk.” Kata Bapak sambil merapikan rambutku yang menutupi sebagian wajah. Secangkir air berwarna hijau pekat kuteguk hingga habis. Baunya angur sekali. Bau kates. Aku terpaksa meminumnya untuk menghargai Bapak yang sudah susah payah membuatkan obat untukku dari sari daun kates. Lalu aku disuruhnya tidur lagi. Beliau rapatkan selimutku. Peluhku mengucur deras. Aku merasakan seluruh tubuhku basah. Air pahit pemberian Bapak mulai bereaksi  pelan-pelan aku tidak menggigil lagi. Suhu badanku mulai turun. Tubuhku sudah merasa enak dari sebelumnya. Malah rasa kantuk terasa sangat berat. Aku terlelap.

Tiba-tiba aku merasa  berdiri  di atas gundukan tanah kuning. Tempat ini terasa sangat asing. Di sekeliling tempatku berdiri lemba dan rawa-rawa.

“Selasiiiih….Putri Selasih…kemari…” Peri itu lagi. Aku merasakan lambaian tangannya lagi-lagi seperti menyedot keinginanku untuk menghampirinya. Nyaris aku melompat hendak mendekatinya. Kalau bukan ada tangan yang menghalangiku mungkin aku sudah meluncur menghampiri dua peri yang cantik itu. Akhirnya aku hanya balas melambai dan tersenyum pada keduanya. Aku mencari-cari siapa yang menarik tanganku. Tiba-tiba aku mendengar suara bergumam. Lama-lama makin ramai. Serupa degungan lebah.

Aku mulai fokus. Aku menyimak suara apa yang bergema tersebut. Masya Allah! Suara zikir. Sudah lama sekali aku tidak mendengar zikir ini. “Huu Allah…Huu Allah..Huu Allah..” Aku terperanga. Suara ramai tengah zikir nafas. Kakek Njajau. Yaa…kakek Njajau, Puyang Bukit Ulu Selepah, Puyang Pekik Nyaring, Kakek Andun. Itu empat suara mereka. Mereka ada di empat penjuru mata angin. Tiba-tiba ada rindu mendesak dalam dadaku. Aku menangis sembari menyebut mereka satu-satu. Akhirnya aku duduk di atas gundukan tanah kuning. Dua peri cantik masih menatapku dari jauh. Tangan mereka masih melambai-lambai. Sementara gema zikir masih terus mengiang. Aku mencoba mengikuti zikir mereka seirama nafasku yang ke luar masuk. Akhirnya aku menyatu dengan zikir kakek dan puyangku. Aku berada di tengah-tengah, seperti sumbu. Zikir yang dilakukan puyang dan kakekku terus kuikuti.

Tiba-tiba tubuhku seperti terangkat. Ada daya yang mengangkat tubuhku dengan ringan. Aku pasrah saja dengan daya itu sembil  terus mengikuti aliran nafas. Pelan-pelan, tubuhku turun kembali. Tiba-tiba ada tangan menyentuh bahuku. Aku menoleh dan ah! Aku terjaga. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku bermimpi? Kuusap wajahku yang basah sisa menangis. Aku benar-benar berada di alam lain tadi. Mengapa kakek dan puyang tidak menggubris panggilanku ya. O iya, mereka kan sedang khusuk berzikir. Kembali aku bertanya lalu menjawabnya sendiri. Lalu mengapa ada dua peri itu. Mengapa ada yang menghalangiku mendekati dua makhluk itu? Lama aku tercenung. Aku baru sadar kalau tidur di bilik bambu warung Bapak dan Emak. Aku kembali menggusap-ngusap wajah. Atap seng yang sudah hitam berkarat gemeletak seperti merenggang terkena  panas matahari.

Cahaya matahari menyelip di antara dinding. Kulihat sosok Emak merapikan perapian. Asap menyebar kemana-mana. Maklum Emak menggoreng pakai kayu bakar. Emak  sedang mengoreng bakwan.

“Jam berapa Mak? Aku hendak pulang.” Ujarku hendak bangun. Oh Tuhan, tubuhku masih lemas meski rasa dingin dan panas tubuhku dah turun. Aku seperti tidak punya tenaga.

“Baru jam 12. Kamu makan dulu. Itu Emak buatin bubur untukmu biar ada tenaga.” Kata Emak sambil membalik-balik bakwan.

“Aduh, Mak. Emak jadi repot. Terimakasih, Mak” Ujarku. Tak habis-habis kebaikan yang kuterima dari orang tua ini. Di tengah kesibukannya masih saja menyempatkan diri memikirkan  aku.

“Siapa yang merasa direpotkan. Emak tidak repot kok. Ini di makan ya. Habisin ya Dek, Emak tidak ingin Dedek sakit lama-lama. Tadi Bapak sudah mau jemput mantri kalau panas badanmu tidak turun.” Ujar Emak lagi sembari mengupas telur ayam kampung rebus lalu meletakkannya di pinggir piring bubur.

“Alhamdulilah..aku sudah enakan Mak, habis dikasih minum sari daun kates sama Bapak. Bapak pandai juga mengobati orang sakit rupanya, ya Mak.” Ujarku berusaha menyenangkan hati perempuan sederhana ini.

“Iya, dari zaman dulu Bapak kalau sakit mana pernah ke dokter atau mantri. Pasti minta dibuatin jamu, atau racikkan daun-daunan kayak yang kamu minum tadi. Kata Bapak, kalau panasmu tidak turun dia akan cari daun tetap tunggul obat pamungkasmu.” Sambung Emak lagi. Aku tersenyum mendengar daun tetap tunggul. Daun yang biasa dimakan kambing itu memang berkasiat untuk memulihkan berbagai macam penyakit. Nenek Kam seringkali mengobati orang-orang yang berobat dengannya salah satu daun yang diambil ya tetap tunggul itu. Aku mencoba mencicipi bubur buatan Emak. Masih hangat. Tapi lidahku sungguh tidak selera sama sekali untuk makan. Melihat aku lamban sekali nyendoknya Emak mendekat.

“Sini Nduk, Emak suapin ya…” Emak mengambil alih sendokku, lalu duduk di sampingku. Aku tak mampu menolak ketika satu sendok bunju bubur disodorkan ke mulutku. Aku berusaha menelannya. Sesekali kudorong dengan air. Berharap sepiring bubur segera habis. Perutku terasa begah. Kutahan agar tidak muntah. Air mataku meleleh ketika Emak mengucapkan “Alhamdulilah” melihat piring bersih. Aku jadi teringat Bik Sum. Apa kabar perempuan itu. Beliau persis seperti Emak. Perempuan kampung yang sederhana, berhati emas. Aku menjadi terkenang bagaimana setiap hari Bik Sum memanjakan aku. Selalu memperhatikan aku. Menyuapi aku. Kini ada perempuan lain yang hatinya sama  dengan Bik Sum. Tuhan benar-benar baik!

Aku mencoba memakai sepatu sembari menyeka air mata. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di depan. Oh rupanya anak-anak sekolahku beli jajanan dan semua minta dilayani dengan  cepat. Beberapa orang menanyakan tentang aku. Rupanya Yenni, Rumliana, Sumiyem, Maisi, Parlan, Boy, dan Sutikno rame-rame menemui aku dari pintu belakang. Aku tersenyum melihat sabahat-sahabatku ini. Mereka adalah teman-teman terbaikku. Hampir setiap hari mereka ini selalu bersamaku.

“Nggak enak belajar nggak ada kamu, Dek.” Kata Sutikno yang bertubuh kurus. Rambutnya rapi mirip pak Syapawi. Pakai minyak rambut anti badai. Anak satu ini seringkali mendesak-desak ingin duduk sebangku denganku tiap kali belajar.

“Iya…tadi pak Ibrahim nanyain kamu, Dek. Kami bilang Dedek sakit. Terus satu kelas tidak ada yang bisa menyelesaikan soal fisika. Lagi-lagi beliau nyebut nama kamu, kalau ada Dedek, beres ni soal,” sambung Parlan lagi disambut riuh sama yang lain. Ada yang menyebut pak Ibrahim pilih kasih. Masak ingatnya sama Dedek aja, ada yang menyebut beliau pelit nilai dan lain-lain.

“Hei, wajar beliau ingat Dedek, Dedek kan masih saudaranya. Iya kan Dek?” Tanya Yenni lagi. Aku mengangguk. Kawan-kawanku ini Terkadang terlihat lucu. Tak jarang meski akrab begini tiba-tiba mereka berantem. Kalau sudah begitu aku yang repot mendamaikan mereka agar kembali akur.

“Beliau memang masih saudaraku. Nenek kami bersaudara. Tapi kayaknya beliau tidak perduli saudara atau tidak. Buktinya waktu kita terlambat praktik di labor semua kita sama dipukul pakai penggaris panjang. Malah aku yang lebih dimarahi katanya ngajak kalian maling jambu di kebun kopi tetangga.” Ujarku dengan suara masih lemas. Tapi melihat kawan-kawanku bersemangat tidak tega untuk diam saja.

“Mau makan apa, Dek” Sumiyem bertanya. Anak orang kaya satu ini kalau denganku tidak pakai perhitungan. Aku tahu dia mau membelikan makanan untukku. Kujawab dengan menggeleng, dan memegang perutku yang masih terasa begah.

“Nah..ajak Dedek ngobrol ya biar makin sehat.” Ujar Emak sambil mengangkat gorengan dari wajan.

Ketika bell berbunyi kawan-kawanku serentak teriak masuk. Mereka minta izin kembali masuk sekolah dan mengingatkan aku agar jangan pulang duluan. Mereka minta ditunggu dan mau mengantar aku sampai ke rumah. Aku tersenyum lebar melihat kawan-kawanku ini. Akhirnya aku mengangguk dan kembali baring menunggu bell pulang dan kawan-kawanku.

Aku baru saja hendak lelap. Bapak dengan Emak masih sibuk di depan. Samar-samar aku mendengar Bapak mengingatkan Emak agar menyuruhku makan. Lalu mereka terlibat lagi obrolan si anu si anu kayaknya belum bayar jajanan. Si anu sering sekali sudah mengambil gorengan lalu kabur. Aku menyimaknya dengan saksama. Berarti selama ini banyak juga anak yang nakal? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus buat perhitungan dengan mereka. Kuingat nama-nama mereka. Besok-besok mereka dalam pengawasanku kalau jajan tempat Emak. Sayang tenagaku belum ada. Kalau ada sebenarnya aku ingin menelusuri mereka. Akhirnya aku kembali berusaha untuk lelap. Berharap tenagaku pulih kembali setelah bangun nanti.

“Putri Selasih..kemari..” Lagi-lagi dua peri berpakaian adat Jawa itu memanggilku. Tapi mengapa mereka tidak mau mendekat padaku? Ini yang keempat kalinya aku melihat mereka. Ajakan mereka benar-benar menghipotisku. Dorongan hati  ingin segera mendekati mereka sangat kuat. Tapi lagi-lagi ada energi yang menghalangi aku.

“Ada apa kalian memanggilku. Kemarilah.” Ujarku tanpa tenaga.

“Kamu yang kemari Selasih cantik. Kemarilah sayang. Kami ingin memelukmu. Kami tidak bisa ke sana.” Suaranya sangat merdu.

“Aku tidak bisa ke sana.” Ujarku jujur.

Kedua peri itu serentak melakukan gerakan yang sama seperti gerakan kuda-kuda penari kuda lumping. Aku hanya memandang takjub pada mereka. Lalu dari kedua telapak tangannya meluncur cahaya mengarah padaku. Aku kaget. Mengapa  kedua peri ini menyerangku? Mataku terpejam siap menerima hantamannya. Tubuhku terlonjak. Ternyata pukulan mereka tidak sampai padaku. Tapi seperti membentur sesuatu. Lalu keduanya lagi-lagi melakukan hantaman dari jarak jauh dan lagi-lagi pukulan itu seperti berbalik. Sadarlah aku. Ada dinding tipis namun memiliki kekuatan dasyat melindungi tubuhku. Entah siapa yang memagari, aku tidak tahu. Pantas kedua peri itu selalu melambai dari jauh. Rupanya  mereka terhalang oleh pagar yang melingkari tubuhku. Akhirnya aku hanya menyimpulkan pasti ada sesuatu sehingga aku dipagari. Lalu siapa peri itu? Apa kepentingannya selalu menemui aku? Rasa ingin tahuku sangat kecang.

Tadi aku seakan berada di tengah-tengah zikir puyang dan kakekku ketika peri itu memanggil. Sekarang peri itu lagi, ternyata aku dipagari.

Tiba-tiba aku mendengar suara menjerit tinggi sekali. Kedua peri itu terpental jauh. Mereka seperti mendapat perlawanan. Entah  siapa yang melakukan. Aku mencoba untuk konsentrasi.

“Jangan paksakan diri, Cung. Istirahatlah. Kamu demam. Tenagamu perlu dipulihkan dulu baru aman masuk ke pintu itu.” Suara nek Kam sangat jelas.

“Nek…Nenek….” Aku memanggil nek Kam.

“Nenek selalu ada di dekatmu, Cung. Bersabarlah.” Suara nenek Kam kembali. Aku menangis. Dadaku terasa sangat sesak. Aku inginkan wujud nek Kam di sini. Aku ingin memeluknya.

“Nenek sedang berada di Uluan, Cung. Sedang bertemu dengan sesepuh kita di sini. Jaga dirimu baik-baik ya.” Mendengar penuturan Nek Kam tangisku makin menjadi. Satu persatu wajah-wajah puyang dan kakek menari di pelupuk mata. Andai aku tidak demam seperti ini, akan kususul nek Kam. Aku juga rindu pada puyang dan kakek-kakekku.

“Selasih…jangan menangis..” Tiba-tiba ada yang mengusap kepalaku. Aku menoleh. Macan Kumbang! Aku terlonjak. Macan Kumbang mengangkat tubuhku tinggi-tinggi lalu mencium dan memelukku erat sekali. Aku tertawa bahagia. Kuelus wajahnya.

“Hmmm.. Pantes dicium kulitku terasa perih. Ternyata Kumbang dah bisa cukur brewok ya…brewoknya jadi kayak jarum. Tajam menusuk-nusuk. Ketahuan…dah bisa gaya, dah mau cari jodoh ya..” Godaku. Macam Kumbang tertawa lebar. Tubuhku kembali diraihnya. Kali ini dia sengaja menggesek-gesekan dagu dan pipinya  yang kasar. Aku menjerit mencoba memberontak. Akhirnya aku kehabisan tenaga. Aku pasrah saja. Melihat aku pasrah baru Macan Kumbang berhenti menciumiku. “Rasain. Jangan coba-coba menggoda orang tua ya…sekali lagi berani godain, akan kucium lagi sampai habis.” Ancamnya. Aku minta ampun berkali-kali sambil tertawa. Kulit pipiku terasa lecet semua. Macan Kumbang meyapukan tangannya. Seketika rasa perih hilang. Kami bertatapan. Lalu kembali tertawa dan kembali  berpelukan. Aku Merasakan degup jantung Macan Kumbang. Degup jantung itu seakan mewakili rindu kakek dan puyangku.

“Aku ingin ikut nenek Kam” Bisikku. Macan Kumbang menggeleng.

“Belum waktunya. Nanti setelah semuanya beres, baru kau di ajak ke Uluan. Ke kampung puyangmu, Pekik Nyaring,” lanjut Macan Kumbang. Sejenak aku berpikir. Memang ada masalah apa yang harus dibereskan oleh kakek dan Puyangku? Mengapa aku tidak boleh tahu?

“Kamu anak kecil masih ingusan. Jadi belum boleh ikut-ikutan urusan besar orang tua.” Lanjut Macan Kumbang. Dibilang anak ingusan aku protes.

“Buktinya masih suka menangis, masih suka ngambek, dan masih suka minta gendong!”  

Ah! Aku baru sadar jika dari tadi aku masih bergelayut di leher Macan Kumbang. Buru-buru kuturunkan tanganku. Macan Kumbang kembali tertawa. Meraih tubuhku lalu diangkatnya  tinggi-tinggi kembali. Ajaib! Aku merasakan tubuhku semakin membaik. Sakit meriang pagi tadi hilang sama sekali. Macan Kumbang menekankan telunjuknya ke punggung dan kepalaku. Ada energi hangat pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuhku.

“Selasih, sudah sembuh kan? Aku harus pulang ke Uluan. Sedang ditunggu sesepuh kita. Jaga dirimu baik-baik ya.” Macan Kumbang mencium pipiku lalu menghilang. Aku tak sempat menghalanginya. Aku menyesal mengapa tidak terpikir hendak bertanya perihal dua peri berpakian adat Jawa itu? Aku membuka mata. Benar saja, aku merasakan tubuhku sehat kembali. Aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aroma harum Macan Kumbang masih membekas di pipiku. Mengusir aroma asap yang  terus menyemaki ruang dapur dan bilik bambu Emak.

Bersambung…
close