Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 35)


Aku berangkat ke sekolah di antar Mang Sam. Sejak tadi malam hujan sangat lebat. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Jika hari biasa, lima belas menit lagi lonceng sekolah sudah berbunyi. Tapi kalau hujan seperti ini, masih ada toleransi. Meski terlambat, tetap diizinkan masuk.

Aku memakai sepatu boot plastik warna merah. Baru kusadari jika sepatuku sudah sempit. Sesekali aku berjinjit menahan sakit.  Dimana-mana air tergenang. Kalaupun tidak tergenang, penuh dengan lumpur. Beberapa kali mang Sam mengingatkan agar aku hati-hati melangkah. Lumpur hitam rupanya  nyiprat di jas hujan bagian  belakangku.

“Coba kita panggil Kumbang, dijamin nggak akan kotor dan basah.” Selasih berbisik.

“Kalau digendong Kumbang, kita tidak akan merasakan bagaimana rasanya berangkat sekolah hujan-hujanan, berjalan di lumpur. Suatu saat kita tidak punya cerita dengan anak cucu. Masak ceritanya cuma kemana-mana digendong?” Ujarku.

“Tapi akhirnya akan susah sendiri,” sambungnya.

“Siapa yang susah? Enak kok hujan-hujanan. Masuk kelas basah-basah sambil gokil, itu seru tahu!” Jawabku lagi. Aku tersenyum mendengar dengusnya.

Sudah pukul 12.00 siang belum juga ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Padahal baru awal September. Langit nampak gelap. Jadwal pulang sekolahku agak dipercepat karena kelas gelap. Proses belajar mengajar tidak bisa dilaksanakan. Maklum PLN di kotaku lebih banyak matinya daripada nyala. Otomatis di dalam kelas, meski tengah hari nampak gelap. aku melihat sosok kawanku seperti hantu. Ada bentuknya tapi tak ada wajahnya.

Aku melihat beberapa kawanku lebih memilih berhujan-hujan sambil melompat-lompat di air tergenang lapangan sekolahku. Ada juga tetap memakai jas hujan meski tetap main menyiprat-nyipratkan genangan air kepada kawan-kawan. Ada yang tertawa, balas menyipratkan. Ada juga yang marah seperti hendak berantem. Aku lebih memilih melipir di teras sekolah hingga ke teras gereja tak seberapa jauh samping kelasku. Beberapa temanku pun ikut melakukan hal yang sama. Jika tadi aku dan Mang Sam melalui jalan Masjid Raya, kali ini aku hendak pulang melalui jalan Indra Giri, simpang Tebat Baru, Proyek, lalu rumahku. Medannya lebih parah dari jalan Raya sebenarnya. Kalau lewat jalan Raya paling depan pasar Proyek sampai ke simpang Angin Timur yang berlumpur dan berair. Selebihnya jalan berbatu besar-besar menonjol sepanjang jalan.

“Deeeek tunggu!!!” Aku melihat Acen berlari di tengah hujan. Air nyiprat kemana-mana ketika kakinya menghentak bumi.

“Aku mau cerita!” Ujarnya setelah dekat.

“Cerita?” Tanyaku.

“Iya, itu pencopet yang kamu patahkan tangannya kemarin, nanya-nanya soal kamu. Rumahnya kan tidak jauh dengan rumahku. Perbatasan Tebat Baru dengan Kampung Melati. Dia tinggal di bedeng dua tingkat seberang rumahku.” Jelas Aceng antusias.

“Lalu kamu jawab apa Cen?” Tanyaku lagi.

“Aku pura-pura nggak tahu yang mana yang dia dimaksud. Soalnya kalau nama Dedek banyak. Ada yang SD, ada juga yang duduk di bangku SMP. Pokoknya aku belok-belokan agar tidak mengarah ke kamu. Pas dia bilang kamu, aku katakan namanya bukan Dedek, tapi Erus,” kami tertawa sejenak. Lucu juga kawanku satu ini. Apakah yang dibohongi tahu ya, kalau sebenarnya Acen paham siapa yang dimaksud.

Akhirnya kami berjalan berdua. Acen mengingatkan aku agar hati-hati. Dan menyarankan agar aku sebaiknya tidak lewat Simpang Tebat Baru. Aku hanya tersenyum sambil beriringan dengannya. Aku katakan biarlah kaki ini lewat Simpang Tebat Baru, besok-besok baru lewat Masjid Raya. Sahabatku satu ini gayanya agak tomboy. Aku suka. Tapi kalau pas mau diajak berantem dia lebih memilih tidak sekolah. Meski dia keturunan Tionghoa, tapi kulitnya tidak putih seperti sahabatku keturunan lainnya. Kulitnya sawo mateng, hidungnya sedang-sedang saja. Matanya saja agak sipit. Rambutnya lurus sebahu selalu kelihatan rapi melengkung ke dalam.

Di simpang Tebat Baru, di bawah derai hujan kami berpisah. Acen belok kanan, sedangkan aku lurus saja. Baru saja aku mau fokus melihat jalan penuh lumpur, ada suara memanggil.

“Selasih….selasih…tunggu!!!” Dari arah Indra Giri aku melihat nenek gunung berlari ke arahku. Tapi karena hujan lebat aku terhalang untuk melihat sosoknya dengan jelas. Siapa dia? Apalagi aromanya. Hujan menghalagi penciumanku. Setelah dekat baru jelas, ternyata Gundak.

“Kenapa kau kemari?” Bentakku kaget. Kalau kutahu dia yang berlari mendekatiku sudah kututup mata batinnya agar tak nampak aku.

“Aku ingin bertemu denganmu, Selasih.” Ujarnya.

“Ingin bertemu? Untuk apa? Aku tidak mau kau temui. Ingat tidak kata-kataku waktu di rumahmu yang luar biasa itu.” Aku teringat bagaimana sakitnya mendengar Gundak membentak agar aku jangan minum air yang ada di sepanjang sisi rumahnya, sebelum minta izin padanya. Belum sempat dia menjawab, aku langsung baca mantra pemagar diri. Gundak tak bisa melihatku lagi. Aku melanjutkan perjalanan pulang, meninggalkan Gundak yang terbengong.

Sebenarnya aku kasihan juga melihat dia jauh-jauh dari Bukit Selepah datang ke Pagaralam, lembah gunung Dempu ini. Apalagi kulihat dia basah kuyup. Bulu lorengnya jadi lepek. Tapi demi mengingat kejadian di rumahnya, aku jadi tidak simpati. Aku enggan bertemu dengannya. Biarlah dia mau berhujan-hujan keliling kota Pagaralam ini, Gundak tidak akan menemukan aku.

Tak banyak yang bisa kulakukan dalam keadaan hujan seperti ini. Aku enggan ke luar rumah. Dingin dan basah. Gudang kopi Bapak juga sepi. Yang Ada Mang Winar, Mang Sam, dan beberapa kuli yang biasa menjual jasa di depan-depan ruko Bapak. Ibu membawa secerek kopi untuk mereka sekadar menghangatkan badan. Semua terlihat mengepit tangan ke dada mengusir dingin.

Bosan duduk-duduk di gudang, aku kembali masuk ke rumah, menuju lantai atas. Belum tahu melakukan apa. Majalah sudah ludes kebaca. Mau dengarkan tape muter lagu pop atau daerah, suaranya tidak terlalu jelas karena berisik hujan menimpa atap. Padahal minggu depan, Pak Muslimi akan mengambil nilai praktik kesenian. Kami diminta menyiapkan tiga lagu; lagu wajib nasional lengkap dengan notnya, lagu daerah, lagu pop atau lainnya. Aku sudah mempersiapkan lagu-lagunya, tinggal latihan sendiri atau saling simak dengan kawan-kawanku.

“Selasih, mengapa kamu kunci dirimu dari pandangan Gundak.” Aku terperanjat tiba-tiba suara Puyang Ulu Bukit Selepah menegurku. Aku tercekat harus menjawab apa.

“Jika kamu mendiamkannya, sampai kapanpun Gundak tidak menyadari kesalahannya. Ajari dia Cung agar dia bisa sedikit dewasa. Puyang yakin kamu bisa meski usiamu lebih muda,” Suaranya lembut. Aku segera menjawab iya. Buru-buru Pagar gaib kubuka. Sekarang gantian aku yang mencari Gundak. Ternyata dia masih berdiri di tempat tadi, menadah hujan, mungkin juga sambil menangis.

“Gundak! Kemari!” Aku melambaikan tangan padanya. Nada suaraku lebih bersahabat. Aku seperti lupa kejadian petang waktu di dusunnya itu. Kulihat Gundak berubah ceria. Dia berlari kencang menghampiriku.

“Kamu menghilang tadi Selasih. Kemana?” Pertanyaan polos Gundak setelah dekat. Sejenak aku berpikir harus berkata apa. Mau jujur nanti dia sakit hati.

“Aku sengaja menghilang dari pandanganmu karena  aku pagari diriku. Kalau bukan ditegur kakek Ulu Bukit Selepah, Puyangmu mungkin selamanya kamu tidak bisa melihat apalagi menemuiku.” Jawabku seadanya.

“Aku mau minta maaf Selasih atas perlakuan kasarku tempo hari. Aku menyesal sudah membuatmu marah. Aku dimarahi Umakku ketika tahu kalau kamu pulang gara-gara kularang minum air kendi itu. Aku salah Selasih. Aku juga kena marah karena tidak peduli dengan Gali. Padahal dia sepupuku. Aku ingin suatu saat mengajakmu ke Ranau menemui Gali.” Ujar Gundak dengan ekspresi polosnya. Mendengar pernyataan polos Gundak luluh juga hatiku. Benar kata Puyang Ulu Bukit Selepah kalau tidak diberitahu mana Gundak akan tahu kesalahannya.

“Aku maafkan Gundak. Syukurlah kamu menyadari kesalahanmu. Jangan diulangi lagi. Aku juga minta maaf. Semula aku tidak mau lagi bertemu denganmu. Tapi itu salah. Sebagai sahabat kita harus saling mengingatkan” Ujarku.

“Iya, jangan bosan mengingatkan aku ya Selasih.” Suaranya sungguh-sungguh. Ketika kutanya mengapa dia datang sendiri. Biasanya dikawal oleh tiga nenek gunung. Salah satunya  paman Gali, saudara Umaknya. Dia jawab, dia sudah diizinkan pergi sendiri meski tetap diawasi dari jauh. Puyang Ulu Bukit Selepah memberi sedikit bekal untuknya. Artinya Gundak punya kemampuan lebih. Aku tidak bertanya bekal seperti apa yang diberikan Puyang Bukit Selepah. Tapi melihat tampilannya Gundak sedikit lebih dewasa.

“Dedek…ngobrol dengan siapa?” Tiba-tiba ibu menongolkan kepala ke kamarku.

“Ini sama Gundak, Bu” Jawabku. Aku kaget! Keceplosan. Benar saja mata ibu terbelalak. Disapunya dengan pandangan takutnya seluruh kamar. Menyadari hal itu aku langsung berdiri mendekatinya.

“Ibu, tidak usah heran, dan tidak usah takut. Gundak itu baik, Bu. Dia itu nenek gunung, anak riye Bukit Selepah. Maafkan, ibu tidak bisa melihat sosoknya. Gundak bujang kecil kira-kira berusia enam belas tahun, Bu. Saat ini dia sedang duduk di pojok itu.” Uraiku.  Ibu masih menatapku heran tak mampu berkata-kata. Sementara Gundak tersenyum melihat ekspresi Ibu yang aneh. Aku mengelus-ngelus tangan ibu yang terasa dingin. Pelan-pelan kusalurkan energi untuk menenangkannya. Tak berapa lama nafasnya normal kembali wajahnya  juga berubah.

“Apa kamu tidak takut, Nak. Masak berteman dengan nenek gunung?” Ujarnya lagi.

“Ibu, bukankah leluhur ibu nenek Bakek juga manusia damai? Lalu nenek Kam, ada lagi nenek Pagarjaya. Bukankah mereka-mereka nyaris tidak ada  jarak dengan kehidupan nenek gunung?” Tanyaku.

“Tapi beda, mereka orang kampung yang hidupnya dekat dengan rimba. Mereka sudah tua. Bukan anak-anak sepertimu.” Ujar Ibuku lagi. Aku berusaha menenangkan Ibu kembali. Dan meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Akhirnya setengah berlari sambil merinding ibu turun tangga buru-buru.

“Hati-hati, ibu.” Teriakku sambil menyusul melihat beliau turun. Aku balik lagi ke kamarku. Gundak masih duduk diam.

“Kapan kita ke Ranau. Malam ini?” Ujarku. Gundak mengangguk setuju. Berarti aku siap-siap untuk ngantuk besok.

Malam ini adalah malam pertama aku melakukan perjalanan tanpa didampingi nek Kam. Entahlah tiba-tiba aku merasa sudah sangat dewasa. Aku meninggalkan kamar namun sebelumnya aku pecahkan diriku untuk tetap diam di kamar jaga-jaga jika Ibu atau Bapak memanggil. Usai salat magrib, aku dan Gundak mulai melakukan perjalan. Kami berjalan terlebih dahulu sampai diperbatasan kota. Selebihnya kuajak Gundak untuk berlari menggunakan kemampuan yang dimilikinya. Aku mencoba mengimbangi kecepatannya. Ternyata Gundak ada kemajuan, lompatan dan larinya ringan dan cepat.

“Kamu tahu dimana Ranau itu Gundak?” Teriakku. Gundak baru menyadari kalau dia belum pernah ke sana. Jadi dia tidak  tahu dimana Ranau. Aku tersenyum mendengarnya.

“Baik sekarang kita berhenti sejenak.” Ajakku. Kami memperlambat gerakan. Lalu berjalan. Baru saja kami melewati sungai lematang dan bukit Serelo Lahat. Ranau sebenarnya tidak seberapa jauh lagi. Tinggal melintas  dua bukit, sungai, dan beberapa lembah curam. Sudah itu sampai. Di sana ada danau yang luas.

“Bagaimana caranya agar kita tahu lokasi dimana Gali berada, Selasih.” Ujar Gundak.

“Panggilah Gali dengan batinmu. Seperti ketika kamu sering memanggilku. Gunakan tenanga dalammu sedikit.” Ujarku. Gundak seperti baru jaga dari tidur. Dia baru sadar ketika kuingatkan.

“Iya..ya..kenapa aku bodoh sekali,” ujarnya menepuk jidat. Aku tersenyum.

“Jujur itu lebih baik Gundak, daripada sok pintar tapi nyatanya tidak ada isi.” Ujarku.

Akhirnya Gundak diam sejenak. Dia mulai konsentrasi mefokuskan diri memanggil  Gali. Aku membantunya menambahkan enegi agar panggilannya segera sampai dengan Gali. Kudengar mereka berkomunikasi. Aku telah menemukan posisi Gali  ketika ia berbicara dengan Gundak.

“Bagaimana Gundak, sudah tahu posisi Gali kan?” Tanyaku. Gundak menjawab dengan anggukan. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa kali aku melihat sosok nenek gunung di bukit-bukit yang  berdiri kokoh sambung-menyambung dari hilir ke hulu.  

Langit tertutup awan. Aku berharap tidak turun hujan. Tak lama berselang kami telah sampai di kawasan danau yang sangat luas. Danau inilah yang sering disebut-sebut kakek Haji Yasir, Danu Ranau. Aku menikmati alamnya sejenak. Tenang dan bening. Angin berhembus lembut. Beberapa kali aku Melihat ada gerakan-gerakan halus di permukaan air danau yang tenang.  Di kedalam danau aku melihat seorang ratu duduk disinggasana yang mewah. Matanya berkilat-kilat. Di sisi kanan kirinya ada  ular naga berwarna hijau dan merah. Kumisnya panjang bergoyang-goyang. Dia ratu buaya putih. Sedangkan naga itu adalah pengawalnya. Rakyatnya banyak sekali. Aku tidak mau berurusan dengannya. Aku menarik tangan Gundak agar berjalan ke hulu. Ada bukit kecil berdiri anggun sekali. Di lereng bukit kecil itu aku melihat ada perkampungan. Aku dan Gundak mempercepat langkah.

“Gali, kami sudah sampai” Ujarku sambil berkomunikasi.

“Selasih!! Kamu bersama. Gundak?” Suara Gali antusias. Aku menjawab iya. Tak berapa lama aku melihat ada pintu gerbang masuk ke perkampungan yang indah. Sisi kiri kanan berdiri guci besar membuat pintu gerang perkampungan itu seperti hendak masuk rumah. Gali berdiri di tengah-tengah pintu gerbang menunggu kami berdua.

Gali dan Gundak berpelukan. Aku bahagia sekali melihat mereka damai. Nampak betul kalau mereka bersaudara. Lalu bersalaman denganku. Genggaman Gali erat sekali. Aku terpukau melihat dua lelaki yang memiliki sikap berbeda. Gali meski usianya lebih muda dari Gundak namun sikapnya lebih bijaksana dan dewasa. Tidak mudah tersinggung. Dua sisi terbalik. Gundak harus banyak belajar pada Gali. Akhirnya kami bertiga berjalan memasuki kampung.

Lagi-lagi aku melihat berjajar rapi rumah panggung dengan halaman yang luas. Pohon rindang rata-rata tumbuh di halaman rumah. Jalan setapak ditumbuhi rumput yang rendah. Di ujung jalan setapak ada masjid berwarna hijau bediri  anggun sekali.  Di bawah garang aku melihat nyaris setiap rumah punya jaring. Nampaknya salah satu mata pencaharian masyarakat dusun ini mencari ikan. Kami memasuki halaman rumah limas yang  lebih luas dibandingkan dengan rumah lainnya. Nampaknya inilah rumah Gali. Di dekat tangga bertengger guci berisi air dan gayung kayu. Rupanya piranti  cuci kaki. Kami naik anak tangga saru-satu. Tangga kayu, licin dan terawat menuju  beranda kaca. Aku menarik nafas lega. Perkampungan nenek gunung yang kutemui pada umumnya sama. Rumah panggung yang berjajar.

Ternyata mengatur bangsa manusia harimau lebih mudah dibandingkan bangsa manusia. Mereka tidak banyak membantah. Patuh dan sopan.

Kami disuruh masuk. Beranda kaca yang luas berjajar kursi rotan manau yang berkualitas, dengan bentuk dan motif yang halus. Karya seni terindah hanya kutemui di sini. Beberapa rumah kulihat bagian dapurnya berasap. Asapnya membubung seakan  mengabarkan jika kehidupan mereka sangat sejahtera.

Aku baru saja menghempaskan pantat di kursi. Tiba- tiba datang perempuan berperawakan sedang. Kulit kuning langsat. Meski sudah separuh baya, namun masih terlihat kecantikannya. Dalam hati aku bertanya, apakah ini Umaknya Gali. Cantik sekali.

“Aihh..terimakasih Gundak sudah berkenan kemari. Dan ini pasti Putri Selasih!” Perempuan itu meraih tangan dan langsung memelukku berulang-ulang setelah menyalami Gundak. Aroma pandan yang bergelung di sanggulnya kuhirup dalam-dalam. Harum sekali.

“Sudah lama kami hendak bertemu denganmu Selasih. Sejak kamu menolong Gali dari keroyokan siluman anjing itu. Tapi ada saja hambatan. Ketika di Bukit Selepah, kamu duluan pulang sebelum kita bertemu” Ujarnya akrab sambil memegang tanganku. Aku tak henti tersenyum meski dalam hati agak risih seolah-olah aku adalah orang yang sangat penting. Aku dan Gundak langsung beliau ajak ke dalam.

Aku kembali terpukau. Isi dalam rumah Gali ternyata  serba rotan. Di dinding yang paling luas aku melihat kaligrafi Ayatul Kursy dari kain tapis khas Lampung yang disulam dengan benang emas berukuran besar pun dibingkai dengan rotan bulat. Lalu kami melangkah ke ruang tengah yang mirip lorong besar karena kiri kanan diapit kamar yang pintunya berhadapan. Kami berhenti di ruang yang lebih luas dari beranda kaca. Mungkin ini ruang keluarga. Ada kursi malasnya, meja makan, kursi tamu, dan lemari besar. Lantainya dilapis pula dengan tikar rotan. Aku dan Gundak diajak duduk ditikar rotan. Kami duduk setengah melingkar. Ibu Gali menyuguhkan teh hangat dan keripik mumbai. Sayang tidak bersua dengan Bak-nya Gali. Menurut Umaknya beliau sedang pergi.

Ketika kurasa sudah cukup aku dan Gundak mohon diri. Kami kembali melalui jalan semula menyisir pinggir danau Ranau. Di sudut timur aku melihat kerumunan sangat ramai. Dalam hati ingin melihatnya ada apa gerangan. Aku mencoba menembusnya dengan batin. Oh! Rupanya pasar! Berbagai jenis rupa dijual di sana seperti kehidupan pasar manusia pada umumnya. Terjadi transaksi dengan mata uang logam semua. Aku tidak mau berlama-lama. Apalagi untuk mengetahui apakah mereka bangsa manusia harimau semua atau bangsa jin?

Masih menyisir pinggir danau. Bagiku ketenangan danau ini banyak sekali menyimpan misteri. Sisi pinggir berbelok-belok, beberapa bagian pinggir danau perkebunan karet penduduk, ada rawa-rawa, dan lain sebagainya. Jauh di seberang lampu rumah penduduk berpendar-pendar. Danau seperti lautan ini dihuni berbagai macam jenis makhluk asral.

Baru saja aku dan Gundak hendak bergerak untuk mempercepat langkah pulang, tiba-tiba dihadapan kami berdiri enam perempuan berpakaian kebaya dan kain singkat (pendek) tanpa alas kaki. Mereka rata-rata terlihat cantik. Wajah mereka hampir mirip semua. Hanya pakainnya yang membedakan, ada yang burbunga-bunga rapat merah ungu, hijau. Ada yang polos warna kuning, ada yang bermotif bunga mawar besar-besar. Semuanya berkain batik, kain sarung  perempuan. Hanya satu orang di antara mereka memakai serindak seperti orang hendak ke sawah.

Aku mencium bau anyir dari tubuh mereka. Mereka siluman buaya.

***

Wajah mereka hampir mirip semua. Aku mencium bau anyir dari tubuh mereka. Mereka siluman buaya. “Siapa mereka Selasih” Gundak terkejut.

“Hati-hati Gundak, mereka sengaja menghadang kita. Mereka adalah buaya-buaya danau.” Ujarku berbisik.

“Ada anak manusia lewat sini. Sangat kebetulan. Nyai pasti senang jika kita persembahkan anak manusia satu ini.” Salah satu mereka tertawa.

Tawanya berenergi. Sehingga kedengarannya cukup seram menghantam dada. Dalam hati aku Bertanya, siapakah yang disebutnya Nyai itu? Apakah ratu buaya yang kulihat tadi? Apa urusannya dengan anak manusia? Hmmm..atau mungkin maksudnya mau mempersembahkan aku sebagai tumbal pada ratu mereka untuk memperkuat kerajaan atau menjadi budaknya? Dalam hati aku menyumpah mereka. Mereka golongan yang jahat. Aku mulai berpikir bagaimana melawan mereka. Sementara di sini adalah sarang mereka. Lalu yang jadi masalah lagi adalah Gundak. Aku khawatir dia tidak mampu melawan bangsa siluman buaya putih ini. Jika kulihat mereka berilmu tinggi semua. Dari suara dan tawanya bisa diukur.

“Gundak, kalau mereka menyerang kita, aku harap kamu bisa bertahan” Ujarku. Gundak mengangguk setuju.

“Maaf ayuk-ayuk. Kami mohon izin lewat sini.” Ujarku sesopan mungkin.

“Hmmm..dak bisa. Kamu harus minta izin Nyai kami dulu,” jawab seorang dari mereka.

“Bagaimana kalau saya tidak mau?” Jawabku.

“Maka kami paksa,” jawab yang baju kuning maju terlebih dahulu. Aku menyuruh Gundak mundur dan jangan terlibat perkelahian jika tidak terpaksa dan tetap waspada. Gundak sudah menyingkir. Aku merasa lega dan leluasa.  

“Ayo..ikut kami!” Si baju Kuning mau menarik tanganku. Secepat kilat kusambar tangannya dan Des! Des! Des! Totokanku pas benar mengenai punggung, tengkuk dan tulang belakangnya. Alhasil dia tidak bisa bergerak. Tangannya yang merangkak menjadi kaku. Si baju kuning mirip patung. Melihat kawannya berdiri kaku, yang lain kaget lalu serentak menyerang. Aku tak mau berlama-lama. Khawatir kawan-kawannya yang lain datang dan aku akan kerepotan. Aku mulai meningkatkan tenaga dalam. Lima orang perempuan cantik mulai melakukan penyerangan. Ternyata meski memakai  kain sarung, mereka lincah-lincah. Ilmu meringankan tubuh mereka  sempurna. Aku balik menyerang mereka dengan tangan kosong. Kucoba menarik energi mereka tiap kali tanganku berbeturan dengan tangan atau tubuh mereka. Ternyata meski perempuan, tubuh mereka seperti besi. Ketika mereka menangkis pukulanku, aku seperti berhadapan dengan besi keras yang kaku.

Angin serangan mereka rata-rata sangat kuat. Aku kagum pada  mereka. Perempuan perkasa!

“Maafkan aku Yuk!” Ujarku setelah berkali-kali aku mengelak dan melakukan penyerangan namun seperti tak membuahkan hasil. Aku menyapukan selendang pemberian kakek Andun. Kelima perempuan itu terjerengkang serentak.  Lalu dengan memutar tubuh ujung selendang aku berusaha melilit tubuh mereka. Empat berhasil kulilit jadi satu. Mereka tidak bisa bergerak sama sekali. Aku menyedot energi keempatnya. Mereka lemas seketika. Tinggal perempuan berserindak berkebaya kembang yang masih bertahan. Secepat kilat dia layangkan serindaknya padaku. Ternyata serindak itu adalah senjatanya. Aku mengelak sembari tetap memegang empat kawannya yang terlilit. Beberapa kali terjadi benturan antara selendangku dengan serindaknya. Benturan mengeluarkan percikan api. Alam yang gelap sesekali menjadi terang. Tangan kiriku menarik selindang, kutotok keempat perempuan cantik itu lalu melepaskan lilitannya. Seketika ketiganya berubah menjadi buaya putih. Ternyata yang baju kuning juga sudah berubah menjadi buaya putih. Mereka hanya mampu mengedipkan mata tanpa mampu bergerak sedikitpun.

Aku semakin gencar melawan satu orang lagi. Aku ingin semua cepat selesai agar cepat pergi dari empat ini.

“Selasiiiiih!” Aku kaget Gundak menjerit. Sekilas aku melihat ada yang membokongnya dari belakang tiba-tiba. Gundak tidak tahu dibawa kemana. Aku gusar. Antara ingin menyelamatkam Gundak dengan menghadapi perempuan satu ini. Akhirnya aku fokus menakhlukan perempuan satu ini. Dan kubaca mantra pemecah diri. Kusuruh mencari keberaan Gundak. Aku berhasil mendesak perempuan berserindak. Aku sengaja mempercepat gerakan agar perempuan berserindak itu segera lumpuh. Dest!!! Hantamanku tepat mengenai dadanya. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dia sempoyongan. Secepat kilat kuhantam punggungnya. Akibatnya dia tersungkur tak berdaya. Pingsan atau mati, terserah!

Aku segera memfokuskan diri pada jejak Gundak. Ternyata Gundak mereka bawa ke kerajaan mereka di dasar danau. Aku segera menotok Gundak dari jauh agar bisa bertahan di bawah air. Aku bersyukur kakek Andun telah mewariskan kemampuan seperti ini. Pecahan diriku tengah bertarung menghadapi beberapa pengawal yang bersejata. Pertarungan mereka luar biasa serunnya. Aku melihat Gundak dalam keadaan terikat. Dia tidak berdaya sama sekali. Aku berusaha mendekati Gundak.

Baru saja aku hendak bergerak beberapa serangan mengarah padaku. Aku mengelit sesuai dengan arah angin. Senjata-senjata rahasia itu hanya lewat saja. Lalu entah darimana asalnya keluarlah beberapa orang dengan senjata lengkap menyerangku. Kali ini aku tidak bisa main-main. Aku mulai serius menghadapi lawan. Aku kerahkan kemampuan angin badaiku. Dasyat! Tenyata seisi danau menjadi gegar. Melihat itu kembali kukerahkan kekuatan badaiku. Seisi danau kuaduk.

“Lepaskan kawanku kalau tidak akan kuhancurkan dasar danau ini. Termasuk istana dan ratu kalian!” Ujarku mengancam. Beberapa prajurit buaya putih sempoyongan. Mereka tidak kuat mendapat guncangan. Danau yang semula tenang berubah seperti laut yang berombak. Airnya memercik kemana-mana. Aku masih terus mengguncang dasar danau. Bahkan semakin kuputar dan kuaduk sesukaku membuat prajurit buaya terbanting-banting.

Tiba-tiba aku melihat air seperti terbelah. Seberkas cahaya mengarah padaku. Kuhantam cahaya itu dengan selendangku. Benturan tidak bisa dihindarkan. Kekuatan badai dan selendangku berbenturan dengan cahaya seperti pedang itu. Hasilnya dasar danau kembali berguncang. Bahkan lebih dasyat dari semula.

Tiba-tiba guncangan sedikit tenang. Sejenak aku hentikan gerakan. Aku menatap sosok yang datang. Perempuan cantik bermata bengis. Matanya berkilat-kilat. Kulihat dadang turun naik menahan emosi.

“Siapa kau anak manusia! Berani sekali kau masuk dan mengacak-acak istanaku.” Ujarnya.

“Dengar ratu buaya. Kami hanya lewat di pinggiran danau. Enam anak buahmu menghadang kami. Lalu menawan sahabatku. Lepaskan dia. Kami akan pergi dari sini. Tapi kalau kalian tidak melepaskan dia, maka aku akan hancurkan kalian tanpa sisa. Lihat ini!” Aku mengarahkan jariku, kusedot beberapa prajuritnya, lalu kuhancurkan di ujung jariku. Aku tahu, sang ratu terperanjat. Namun bukan ratu namanya jika  tidak bisa mengendalikan diri. Beliau menutupi kekagetannya.

“Anak kecil, kamu sudah mengobrak-abrik kediamanku. Kau harus jadi gantinya!” Teriaknya marah. Tangannya bergerak memerintahkan dua naga yang mendampinginya. Aku segera membagi diriku. Empat bayangan diriku keluar serentak. Sementara yang satu lagi masih gencar bertarung. Jumlah yang mengeroyoknya empat orang. Yang empat orang kuperintahkan untuk menyelamatkan Gundak. Selebihnya biar aku yang lawan.

Kini aku berhadapan dengan dua naga yang meliuk-liuk garang. Setiap gerakannya mengeluarkan ombak. Mata dan lidahnya berkilat. Yang lebih dasyat lagi hawa yang dikeluarkannya terasa panas. Aku kembali membaca mantra. Gabungan badai dan bola api kukumpulkan  bersamaan. Dua naga ini harus mati agar ratu buaya kehabisan nyali. Nyaris aku terkena sabetan salah satu ekor naga kalau tidak  disentak angin untuk menghindar.

“Hiaaaaaat!!!” aku mengerahkan dua kekuatan sekaligus. Kekuatan langsung berhadapan dengan dua naga yang menyerangku. Api berkobar. Air danau berubah menjadi panas. Segera aku menetralisir diri dan mengirimnya pula pada Gundak agar tubuhnya tidak mateng. Dua naga hanya terpental tak seberapa. Melihat mereka tidak ada pengaruh sama sekali, kuputar angin badaiku menjadi gasing dan mengejar keduanya. Dua naga tidak dapat menghindar. Kuangkat ke atas dengan terus memutarnya. Sekarang dua naga seperti di dalam blender. Pelan-pelan aku menyedot energi mereka. Hanya dengan cara  ini yang dapat kulakukan untuk mengurangi kekuatan lawan.

Melihat aku menyedot energi dua pengawalnya, Nyai si Ratu buaya meradang. Aku langsung diserangnya dengan senjata cahayanya yang mematikan. Aku segera menolaknya dengan telapak tangan. Cahaya biru dari telapak tanganku seperti berkumpul lalu  menyedot senjata cahaya Nyai Ratu buaya. Terjadi tarik menarik. Semakin kencang sang Ratu menarik sejatanya, energinya semakin cepat tersedot. Break!!! Tangan kiriku menghentamkan dua naga ke dasar danau. Keduanya tergeletak tak berdaya. Sementara tangan kiriku masih terus menyedot energi sang Ratu. Tiba-tiba dia melepaskan senjatanya. Aku terdorong kencang ke belakang. Punggungku menabrak dinding istana yang keras sampai remuk. Aku segera bangkit. Aku tertawa, senjata Nyai Ratu yang kutarik rupanya sebilah pedang. Kumantrai lalu menyimpannya  di tangan kanan bergabung dengan pedang pemberian kakek Andun. Ah! Terasa panas! Aku mencoba menyalurkan energi dingin.

“Tambahin mantra tapa” Suara kakek Andun. Aku kaget! Segera kulakukan itu. Dalam sekejap teras dingin kembali.

Mataku seakan tak percaya. Dua naga yang tergeletak di dasar danau ternyata tidak lama. Mereka nyaris serentak bangkit dan siap melakukan penyerangan kembali. Sekarang aku menghadapi tiga penyerang. Ratu buaya dan dua pengawalnya. Padahal tenaga mereka sudah kusedot. Mengapa mereka bisa bangkit sepertinya tidak ada pengaruh sama sekali. Aku kembali mengayunkan selendangku dengan jurus badai mengamuk. Selendangku berayun lalu membuat gelobang dengan angin badainya yang menderu. Air danau seperti terdorong sehingga membentuk ruang kosong seperti di daratan. Kulihat Nyai Ratu sempat terdorong jauh bersama naganya. Lalu maju kembali. Sekarang aku berhadapan dengan Nyai Ratu di ruang kosong. Ternyata ruang kosong seperti ini membuat Ratu tidak bisa bergerak bebas. Dia hanya bisa bertahan dan melakukan serangan dalam posisi tertelungkup.

Kulihat Gundak sudah di angkat daratan oleh empat bayanganku. Mereka masih tetap bertahan dan sesekali melakukan penyerangan pada prajurit buaya yang sudah mulai lelah.

Badai yang kudorong di dasar danau ternyata berefek pada para prajurit. Tidak sedikit mereka yang tewas maupun terluka. Melihat Ratu buaya hanya bisa menyerang sambil nelungkup, aku makin memperluas area tanpa air. Seledangku berubah jadi jaring, lalu kulemparkan menjaring tubuh Nyai Ratu. Sekarang Nyai Ratu masuk dalam jaring selendangku. Namun ternyata Nyai tidak diam dia melakukan perlawanan. Jaring selendangku seperti hendak dibakarnya. Aku ubah menjadi dingin. Namun benturan energi bersama Ratu buaya ini sungguh menghabiskan energi. Aku menarik sabuk di pinggang, lalu aku ubah menjadi tali, melilit tubuh Nyai Ratu. Belum selesai melilit tubuh Nyai Ratu, tiba-tiba ada yang memukulku dari belakang. Aku tersungkur. Punggungku terasa remuk. Sakit sekali. Kucoba meraba dadaku yang sesak. Aku mencoba mengobati diriku sendiri. Akhirnya aku muntah. Darah menyembur tak dapat ditahan. Aku merasakan desingan serangan baru lagi dari belakang. Aku berusaha berguling menghindar. Benar saja. Seorang lelaki besar tinggi siap menghantamkan tongkatnya ke arahku.

Masih sambil menahan sakit, aku berusaha menghindar kembali. Aku kembali membaca mantra angin. Hanya angin yang dapat membantuku menghindari serangan bertubi-tubi lawan tanpa aku harus mengeluarkan tenaga. Area kosong berubah menjadi area berair lagi. Nyai Ratu seperti mendapatkan kekutan baru setelah tubuhnya di sentuh air. Aku masih berusaha menyembuhkan diri sendiri. Aku pejamkan mata sambil  terus meliuk menghindari serangan lelaki bertubuh besar itu. Aku mencoba mengembalikan kekuatanku yang terkuras. Belum sempurna pemulihan tenagaku, anginku dibuyarkan lelaki besar itu. Aku terlempar cukup jauh.

Aku berusaha bangkit. Mataku agak kunang-kunang. Kali ini aku keluarkan parang pemberian kakek Andun. Senjata  yang jarang kugunakan. Kutarik dari lengan kiriku secepatnya, setelah kucium sekilas, kukibaskan ke arah lawan. Pertarungan menjadi seimbang. Akhirnya aku dapat mendesak lelaki besar itu. Melihat lelaki itu terdesak Nyai ikut turun tangan. Dia membantu menyerang. Sambil masih menahan nyeri di dada dan punggung, aku mencoba melakukan perlawanan. Tangan kiriku telah kuangkat ke atas, akan kulempar keduanya dengan bola es-ku. Bagaimana jika berhadapan dengan hawa dingin, apakah mereka mampu?  

Duaaar!!! Bola es-ku menghantam dua serangan sekaligus. Dalam waktu singkat, seperti bola raksasa yang bocor, bola es-ku mengeluarkan  hawa dingin. Air danau menjadi beku.

Lelaki besar tinggi dan Nyai Ratu dibalut es. Mereka seperti ikan dalam kulkas. Ular naga berusaha mengeluarkan hawa panas dan berapi dari mulutnya. Aku berusaha ke luar dari dasar danau, mencuat ke permukaan.

Sesampai di atas, aku kembali muntah dan mengeluarkan darah. Aku mendekati Gundak yang masih pingsan. Rupanya mereka di darat masih melanjutkan pertarungan. Gundak terluka. Aku membentangkan selendangku. Gundak langsung diangkat ramai-ramai. Aku meminta angin membawa kami pergi secepatnya. Belahan tubuhku menyatu kembali. Sambil menahan sakit dan kepala menyut-menyut aku mencoba menyalurkan energi pada Gundak berharap dia segera siuman.

Semakin lama aku semakin lemas. Aku kehilangan tenaga. Pukulan di punggungku ternyata bukan pukulan biasa. Tapi sepertinya ada racun yang sengaja dimasukan dalam tubuhku. Aku berusaha mempercepat laju angin agar segera sampai di rumahku. Sampai di rumah, aku sudah tak sadar. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ketika terbangun hari sudah siang. Itupun karena ibuku.

“Dedek, kamu pasti masuk angin gara-gara kehujanan kemarin. Badanmu panas tinggi. Nanti ibu kerok ya. Hari ini tidak usah sekolah dulu. Nanti Bapak buatkan surat izin untuk sekolah.” Ibu meraba-raba kepala dan tubuhku. Aku tak bisa menjawab. Memang aku tidak ada tenaga. Tubuhku terasa remuk semua. Mataku terasa panas. Dadaku sesak dan sakit. Ibu ke luar kamar berlari menemui Bapak.

“Selasih…selasih…” Suara halus sekali. Aku membuka mata. Ternyata di sekelilingku ada Gundak, kakek Andun, dan nek Kam.

“Minum ini, Cung…” Nek Kam meminumkan ramuan rempa padaku. Aku merasakan hawa hangat mengalir pelan. Kakek Andun menarik racun dari tubuhku. Aku merasakan tangan kakek bergerak mengumpulkan racun di perutku. Lalu beliau menotoknya menyuruhku duduk. Aku merasakan perutku diaduk-aduk. Pandangku kembali berkunang-kunang. Peluh mengalir sebesar biji jagung. Aku merasakan tubuhku basah semua. Aku kembali muntah. Darah beku berwarna hitam bergumpal-gumpal keluar dari mulutku. Nek Kam kembali memaksa ku minum. Selanjutnya kakek Andun mengusap tulang belakangku hingga ke punggung. Aku kembali muntah. Aku sudah tak kuat. Aku tak sadar kembali.

Entah berapa  lama aku tidak sadarkan diri. Ketika mataku terbuka, jam di dinding menunjukkan pukul 12.00 Wib. Sekali lagi aku tidak tahu siang apa malam. Aku mencari-cari adakah orang di sampingku? Di meja aku melihat air satu gelas dan semangkuk bubur. Mungkin buatan ibu. Namun ketika aku melihat dengan mata batin, nenek Kam, kakek Andun, Gundak, Macan Kumbang, dan kakek Njajau. Macan Kumbang memijit-mijit keningku. Aku berusaha tersenyum pada mereka.

“Selasih, bagaimana, sudah enak? Kamu hebat!! Tanpa kami, dirimu berhasil mengacak-ngacak kerajaan buaya putih danau Ranau. Lihat ini. “Ujar kakek Njajau sambil memperlihatkan telapak tangannya padaku. Aku melihat kerajaan Buaya Putih memang porak-poranda. Banyak sekali buaya kecil dan besar mengapung di permukaan. Mati. Bayi sang Ratu tergeletak lemah di tempat tidur. Aku sendiri heran. Perasaan aku hanya bertanggung dengan pengawal, Ratu, naga, dan lelaki besar tinggi itu. Mengapa menjadi porak-poranda dan banyak yang mati?

“Angin badaimu itu sangat dasyat mengaduk seisi dasar danau, Selasih” Sambung kakek Njajau lagi.

“Tapi aku kalah, Kek. Aku kabur dari situ karena aku sudah tak sanggup menerima pukulan di punggungku” Ujarku sedikit  kesal.

“Siapa bilang kamu kalah, yang memukulmu dari belakang itu namanya Raden Palung. Beliau kakak Nyai Ratu, punya kerajaan di Muara Musi Kecik. Justru dengan membokong orang dari belakang itulah pertanda dia tidak mampu. Dia pun saat ini dalam keadaan terluka. Lihatlah..” Kembali kakek Njajau memperlihatkan keadaan lelaki besar tinggi yang kuketahui namanya Raden Palung.  

“Sudah bangun, Dek? Ngobrol dengan siapa lagi kamu? Dengan nenek gunung ya..?” Ujar Ibu dengan mata curiga. Aku tersenyum. Demikian juga Nek Kam, Kakek Njajau, kakek Andun, dan Gundak. Ibu hendak menyuapi aku takut-takut.

“Biar Dedek makan sendiri ya Bu, Dedek mau ngobrol dengan para nenek gunung.”  Ujarku tersenyum.

“Iihhh…” Nyaris mangkok bubur terlepas dari tangannya. Ibu buru-buru ke luar kamar, berlari  menuruni anak tangga sampai bunyinya berdebum-debum. Nenek Kam, Kakek Andun, kakek Njajau, Macan Kumbang, dan Gundak tertawa tertawa terpingkal-pingkal.

“Luhai..luhai, kebile make kaba dek penakut. Kalah ngah dakecik. (Ruhai..Ruhai, kapan kamu tidak penakut, kalah dengan anak kecil)” kata nenek Kam disambut kembali dengan tawa semuanya. Hari ini kamarku jadi tempat pertemuan para nenek gunung yang hebat.

Bersambung…
close