Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERANG PAJANG MATARAM BAGIAN 2


Pemandangan di perbukitan utara itu sungguh indah, dihiasi cahaya matahari sore menyemburat merah di ufuk barat. Bertolak belakang dengan suasana tadi pagi di alas Trucuk yang telah terjadi pertumpahan darah antara Matarm dan Pajang. Disebuah pedataran hijau di kaki bukit sebelah utara tapal batas Mataram. Ratusan tenda-tenda sederhana berderet-deret memenuhi pedataran itu. Beberapa umbul-umbul yang ditancapkan dibeberapa tempat berkibar tertiup angin senja. Prajurit Mataram tampak mondar-mandir sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beberapa kali terlihat prajurit-prajurit itu menggotong tubuh teman-temannya. Ada yang dalam kondisi terluka dan tidak sedikit yang sudah meninggal. Prajurit yang terluka langsung diobati dan yang meninggal langsung di kuburkan hari itu juga di kaki bukit itu.

Sekartaji tampak memeriksa luka di bahu kiri Rana Wulung.

"Untung panah ini tidak beracun Rana. Sehingga keselamatan nyawa mu tidak terancam. Sekarang aku akan mencabut anak panah ini. Rasanya pasti akan sangat sakit"

"Kau siap Rana?"

"Siap Kakang"

Sekartaji memegang anak panah yang masih menancap itu. Lalu dengan gerakan cepat ditarik lepas anak panah itu. Rana Wulung menyeringai menahan sakit tatkala Sekartaji berhasil mencabut anak panah itu. Darah mengucur dari bekas luka. Sebuah ramuan obat dari dedaunan segera diborehkan ke arah luka yang menganga. Rasa perih dan panas bercampur jadi satu. Akan tetapi, rasa itu berangsur – angsur mereda tergantikan rasa adem dan sejuk di bahu yang terluka.

"Sekarang kita harus segera menghadap Gusti Senopati di tenda utama. Kita harus mendengar siasat selanjutnya. Perang tadi pagi bisa dikatakan kita kalah. Kalah jumlah, kalah juga kekuatan dan persenjataan. Banyak korban di pihak kita"

"Rana Wulung, kau beristirahatlah. Sampai lukamu membaik"

"Tidak apa kakang Sekartaji. Luka segini tidak akan terlalu merepotkan. Obat boreh dari dedaunan yang tadi telah kau buat sangat mujarab. Aku juga akan ikut dengan para senopati dan tumenggung untuk menghadap"

Rana Wulung segera memakai pakaiannya yang tadi dicampakkan di tanah.

"Baiklah kalau begitu. Ayo kita ke tenda Gusti Senopati"

Keempat senopati Mataram itu berjalan beriringan ke arah tenda besar yang berada di tengah-tengah pedataran. Senja semakin muram tanda sebentar lagi pekat malam akan menyelimuti pedataran itu. Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan kali ini sangat penting sekali karena akan membahas siasat pertempuran untuk besok pagi. Panembahan Senopati duduk dengan gagah di sebuah kursi panjang. Begitu lima orang prajurit pilihannya masuk di ambang pintu tenda. Raja Mataram ini segera mempersilahkan mereka duduk

"Silahkan duduk panglima-panglima kebanggaanku. Sekartaji, Pranajaya, Rana Wulung, Tubagus Mantri. Tadi siang aku melihat kalian dengan gagah berani berperang berjuang membela Mataram"

"Tapi sama sama kita ketahui bahwa kekuatan Pajang terlalu besar dan kuat untuk kita lawan"

Tubagus Mantri yang merupakan orang dari dataran Pasundan menghaturkan sembah sekali. Kemudian bertanya

"Apa maksud Gusti?"

Panembahan Senopati memandang lurus ke depan. Tatapan matanya tajam penuh wibawa.

"Kita harus memakai siasat di samping usaha batin yang terus menerus aku lakukan"

Tubagus Mantri kemudian berseru serasa mengangkat kepalan tangannya ke udara.

"Saya tidak mengerti maksud Gusti?"

"Kami semua sudah sepakat untk bertempur sampai mati demi Bumi Mataram"

"Terimakasih atas kesetiaan kalian kepadaku"

Keempat senopati Mataram itu di dalam hatinya masih bertanya-tanya. Apa langkah selanjutnya yang musti mereka jalankan untuk memenangkan peperangan dnegan Pajang. Sekartaji mengangkat tangannya. Senopati muda dari Mataram ini lalu bertanya

"Apa yang harus kita lakukan Gusti?"

Panembahan Senopati mengambil satu gelas yang berada di atas meja sebelah kakan tempat duduknya. Gelas itu kemudian di balik lalu di letakkan di lantai tenda.

"Disini candi Prambanan dimana semua pasukan Pajang di siagakan"

Diambilnya lagi satu gelas dan di letakkan di sebelah kiri gelas yang pertama.

"Dan disini kita"

"Betul?!"

"Betul Gusti"

Keempat senopati menjawab dengan serempak.

Diambilnya gelas ketiga lalu diletakkan disebelah kanan gelas yang pertama telah ditelungkupkan.

"Disini Gunung Merapi"

"Ini memang pekerjaan yang sangat berat. Besok malam pecah pasukan jadi tiga bagian. Lalu letakkan di bukit ini. Bukit ini. Dan terakhir di bukit ini"

Panembahan Senopati menunjuk dua gelas sebagai pengganti bukit yang mengapit gelas pertama sebagai gambaran candi Prambanan. Para narapati Mataram berpandang-pandangan satu sama lain lalu tersenyum. Dalam hati mereka mengagumi Panembaha Senopati yang pandai menyusun taktik perang.

"Kumpulkan kayu dan obor sebanyak-banyaknya. Besok malam secara serempak kayu-kayu itu dibakar. Dan seluruh prajurit bergerak terus menerus mondar mandir sehingga seperti terlihat gelombang penyerbuan"

Semua narapati yang ada di ruangan tenda itu menganggukan kepalanya tanda bahwa semua rencana telah dipahami dan tinggal dilakukan tatkala di medan perang. Panembahan Senopati kembali mengambil dua gelas sekaligus. Lalu diletakkan di belakang gelas pertama.

"Dan diantara bukit ini tempatkan prajurit hingga membentuk rantai yang mengepung Prambanan"

"Jadi besok pagi tidak ada pertempuran Gusti?"

Kali ini giliran Rana Wulung yang bertanya. Di hati orang ini terbersit rasa dendam untuk membalas sepucuk anak panah yang telah mampir di bahu kirinya tadi siang. Panembahan Senopati beranjak dan berdiri dari tempat duduknya.

"Bongkar tenda supaya kita terkesan mundur. Pasang beberapa prajurit untuk menjaga dari masuknya mata –mata Pajang atau kemungkinan masuknya pasukan penyusup. Dan yang lainnya siapkan obor dan kayu bakar"

Siasat perang Mataram telah tersusun dengan baik dan matang. Para narapati dan prajurit Mataram malam itu juga segera membongkar tenda dan mundur di suatu tempat yang telah direncanakan. Malam itu juga terlihat bayangan ratusan orang berjalan berpindah tempat menuju ke arah selatan.

***

LANGIT pagi itu terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah dari balik Candi Prambanan yang berdiri tegak bagaikan raksasa. Serombongan burung-burung pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Ribuan prajurit Pajang terlihat mendirikan tenda dan memusatkan kekuatan di pelataran candi. Di sisi lain barisan prajurit bersenjata lengkap berbaris berbanjar menunggu perintah penyerbuan.

Arya Pangiri, Arya Pamalat, Pangeran Benowo dan beberapa panglima perang perang dari Pajang duduk di sebuah permadani berwarna merah yang diletakkan di depan sebuah tenda besar. Dari dalam tanda munculah Sultan Hadiwijaya lengkap dengan baju perang. Keris Kyai Sengkelat terselip di pinggang kirinya. Sultan Pajang itu berdiri tegak memandang satu persatu orang di hadapannya. Serta merta orang-orang itu segera menghaturkan sembah.

"Ada apa Benowo?"

Sultan Hadiwijaya bertanya pada anak bungsunya itu. Pangeran Benowo segera menghaturkan sembah sebelum menjawab pertanyaan Ramandanya itu.

"Ampun, Romo Sultan kami melihat pasukan Mataram telah membongkar tenda-tenda mereka sejak tengah malam tadi"

Sultan Hadiwijaya terdiam. Lalu tiba-tiba Sultan Pajang itu berjalan dan berlalu meninggalkan para tumenggung, anak dan menantunya yang masih duduk di hadapannya. Seorang prajurit buru-buru mengambil payung berwarna merah dengan rumbai-rumbai benang emas di setiap sisinya. Dengan payung bertangkai lebih dari dua meter. Prajurit tadi berjalan tertatih-tatih di belakang Sultan Hadiwijaya memayungi orang nomor satu di Pajang itu. Melihat Sultan Hadiwijaya berlalu. Serta merta semua orang segera bangkit dan mengikuti langkah Sultan Pajang itu. Langkah Sultan Hadiwijaya berhenti tatkala telah sampai di dataran yang lebih tinggi. Padangan matanya lurus menatap ke depan. Ke arah pedataran temapat pasukan Mataram mendirikan tenda pertahanan. Pedataran itu sekarang telah bersih. Tidak ada secuilpun tenda terlihat disana. Hanya terlihat dibeberapa tempat kepulan asap bekas perapian tadi malam.

Arya Pangiri yang merupakan Adipati dari Demak dan sekaligus menantu Sultan Pajang itu tiba-tiba berbicara.

"Mungkin orang-orang Mataram itu mau menyerah Romo?"

"Jangan bergembira dulu. Bukan watak orang Selo mudah menyerah"

"Tapi korban dari pihak Mataram kemarin lebih banyak Romo" Tukas Arya Pamalat Adipati dari Tuban.

"Mereka lebih memilih gugur sebagai ksatria daripada menanggung malu sebagai orang kalah"

"Tapi buktinya mereka kabur Gusti?” Kali ini giliran Tumenggung Surakerti menyahut perkataan Sultan Hadiwijaya.

Pangeran Benowo berbicara lirih kepada ramandanya itu.

"Apa Romo melihat ini sebagai siasat perang orang-orang Mataram?"

Sultan Hadiwijaya hanya mengangguk. Tatapan matanya belum lepas ke arah bekas perkemahan prajurit Mataram. Sekian lama Sultan Pajang itu menatap lurus kedepan. Akhirnya ia berbicara.

"Kirimkan telik sandi dan pasukan penyusup ke jantung pertahanan. Kita harus tahu apa yang dilakukan oleh Mataram"
"Baik Romo"

"Tidak akan lebih baik kalau langsung saja kita gempur dengan kekuatan penuh Romo?" Arya Pangiri tampak terburu nafsu ingin menghancurkan Mataram dengan segera sehingga tindakannya bisa dikatakan tergesa-gesa.

Mendengar hal itu Sultan Hadiwijaya hanya menyeringai. Tatapan matanya terasa sinis.

"Itu tindakan gegabah. Siapa tahu itu jebakan untuk memancing kita supaya menyerbu. Grusa-grusu!Kau mau cepat menang ya?!"
Arya Pangiri lalu terdiam. Ditundukkannya kepalanya ke bawah.

"Ampun Romo, saya memang bodoh belum berpengalaman"

Sultan Hadiwijaya berdiri membusungkan dada. Wibawanya sebagai sultan masih sangat terlihat di parasnya yang sudah mulai menua.

"Dalam peperangan semua bisa saja terjadi. Untuk itu dari jaman dulu kala sudah ada telik sandi mata-mata agar supaya apa yang kita lakukan tidak akan keliru"

Pangeran Benowo menghaturkan sembah.

"Ampun, Romo Sultan saya akan kirimkan telik sandi dahulu. Setelah menerima laporan dari telik sandi itu barulah akan hamba kirimkan pasukan penyusup ke jantung pertahanan Mataram. Hamba sependapat dengan Romo. Bahwa ini, adalah sebagian siasat perang dari Mataram"

"Lakukan apa yang kau anggap benar. Tapi semua rencana laporkan kepadaku jangan bertindak sendiri-sendiri"

"Baik Romo"

Serempak mereka menjawab keinginan Sultan Pajang. Sultan Hadiwijaya lalu berbalik badan menuju ke arah tenda utama. Beberapa orang mengikutinya dari belakang.

***

BUKIT JATIPADANG hanya merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki penduduk yang tinggal sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak ada binatang buas, tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai bukit yang ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena mengejar rusa buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang. Namun binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk sekitarnya.

Akan tetapi siang itu tampak berbeda. Bukit yang biasanya sunyi senyap sekarang menjadi ramai. Puluhan orang berlalu lalang menggotong pokok pokok pohon dan ranting-ranting. Beberapa orang sibuk membelah dan memotong pokok batang pohon itu menjadi potongan kayu sepanjang lengan orang dewasa. Batang-batang kayu yang sudah dipotong dikumpulkan dan diikat menjadi satu menggunakan tali dari kulit bambu. Beberapa orang tengah melumuri ujung batang kayu yang sudah jadi menggunakan getah pohon hingga tebal. Orang-orang ini tidak lain prajurit-prajurit Mataram yang diberi tugas mengumpulkan kayu bakar dan membuat obor dalam jumlah yang sangat banyak. Terlihat Pranajaya nampak berjaga sekaligus mengawasi prajurit-prajurit Mataram yang sedang bekerja.

Dua puluh tombak jaraknya di balik sebuah rerimbunan semak belukar dan kerapatan pohon. Sepasang mata mengawasi dengan seksama kegiatan para prajurit Mataram itu. Sesosok tubuh ini seorang lelaki memakai baju putih dekil. Ikat kepala melilit erat dikeningnya. Tubuh itu rebah hingga badannya rata menyentuh tanah. Perlahan-lahan orang itu beranjak dan berjingkat-jingkat ke sebuah pohon sono keling seukuran rangkulan orang dewasa.

Gesit sekali orang itu memanjat dan melompat ke arah dahan pohon yang paling tinggi. Gerakannya yang enteng dan seperti tidak takut jatuh jelas menunjukkan orang ini bukan orang sembarangan. Ilmu meringankan tubuhnya tentu mumpuni. Setelah sampai pada dahan yang tinggi orang ini berjongkok. Matanya masih tidak lepas dari pemandangan di bawah sana. Dimana prajurit Mataram sedang sibuk membuat obor dan kayu bakar.

"Orang-orang Selo itu sedang merencanakan apa?"

"Kayu-kayu dan obor itu untuk apa?Mereka membuat dalam jumlah yang sangat banyak?!"

Desis orang ini berpikir untuk mengetahui siasat perang dari Mataram.

Tiba-tiba dari samping serangkum angin kencang melabrak tubuh orang yang sedang jongkok di atas pohon ini. Sosok misterius yang tengah mengawasi orang-orang yang sedang berkerja di bawahnya tercekat kaget. Serangan itu sangat cepat dan mendadak.
Sebuah tendangan melabrak tubuhnya. Sontak tubuhnya jatuh meluncur kebawah. Orang itu segera berjumpalitan agar tubuhnya tidak terbanting ke tanah. Di hadapannya sekitar tiga tombak berdiri seorang lelaki memegang keris yang mengeluarkan sinar biru kemerahan. Tidak lain dia adalah Rana Wulung.

"Baik, sedang apa kau di atas pohon sana? Kau pasti telik sandi dari Pajang. Aku akan menangkap mu dan akan kuserahkan kepada Gusti Senopati!"

Tidak ada jawaban sama sekali dari pengintai itu. Orang yang dicurigai sebagai telik sandi dari Pajang ini menggembor marah. Sembari menyerang dengan ganas. Satu tendangan keras diarahkan ke dada Rana Wulung. Senopati ini dengan gesit miringklan badan ke samping. Satu sabetan kerisnya dibabatkan ke arah punggung telik sandi Pajang.

Telik sandi itu segera menjatuhkan diri. Menghindari punggungnya kena sabetan mata keris Kelabang Sewu. Tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu dengan gesit melompat kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya. Melihat serangannya gagal dan bisa dihindarkan. Rana Wulung segera menyusul dengan serangan kedua. Sebuah serangan dahsyat. Kiblatan keris Kelabang Sewu.

Selarik sinar biru kemerahan berkiblat ke arah telik sandi Pajang. Keluarkan bentakan keras telik sandi itu melenting ke atas. Tapi apes, sebelum tubuhnya sampai ke tanah. Rana Wulung mengirimkan satu tendangan cepat ke arah pinggul. Tanpa bisa dihindari prajurit mata –mata ini terlabrak tendangan keras. Tubuhnya berguling-guling terpental masuk nyungsep di rerimbunan semak belukar. Baju dan mukanya beset-beset terkena onak duri.

Sebelum dia akan berdiri satu tendangan keras melabrak rahangnya. Tubuhnya kembali terbanting dan tidak berkutik lagi. Pingsan!
Rana Wulung menarik dan mencengkeram kedua tangan mata-mata Pajang ke belakang punggungnya. Tangan orang itu terikat erat dengan sebuah tali lawe. Diseretnya mata-mata ini sepanjang jalan menuju ke barisan pertahanan Mataram.

"Siapa itu Rana?"

Sekartaji menghentikan suapan makan siangnya begitu melihat Rana Wulung menyeret orang yang tidak dikenal.

"Dia mata-mata Pajang kakang"

Pincuk atau piring darurat dari daun pisang segera diletakkan di atas tikar pandan. Nampaknya Sekartaji sudah tidak bernafsu untuk melanjutkan makan siangnya. Dengan cepet dia berdiri di hadapan Rama Wulung.

"Katakan apakah kau benar mata-mata dari Pajang?"

"Saya hanya pemburu biasa tuan. Jadi tidak ada gunanya tuan-tuan ini menangkap dan menyeret saya seperti begal"

Plak!!

Satu tamparan keras melanda pipi telik sandi dari Pajang ini. Sudut bibirnya pecah. Darah keluar dari sela bibirnya.

"Sudah..sudah cukup Rana. Ikat dia di bawah pohon itu!"

Rana Wulung segera mengikat orang itu disebuah pohon kolang kaling yang tumbuh di sekitar tempat itu.

"Sebaiknya kita segera melaporkannya kepada Gusti Senopati"

Rana Wulung hanya mengangguk. Lalu kedua narapati Mataram itu berjalan beriringan menuju ke arah tenda Panembahan Senopati.

BERSAMBUNG
close