Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERANG PAJANG MATARAM BAGIAN 3


TENDA BESAR berwarna merah dan biru itu pintunya tertutup rapat. Disamping tenda besar itu terdapat hamparan permadani yang lebar. Satu meja ukir jati berwarna coklat tua ada ditengahnya. Di atas meja ukir itu terdapat lima gelas dari perak dan sebuah teko besar yang juga dari perak. Pada pegangan teko trdapat ukiran membentuk lilitan ular naga. Dua prajurit bersenjatakan tombak berjaga di sisi pintu tenda. Tatkala Sekartaji dan Rana Wulung sampai di depan pintu. Dua prajurit itu segera menghalangi dengan tombak yang mereka bawa.

"Ampun, Raden. Gusti Senopati tidak bisa diganggu untuk sementara ini. Mohon Ampun, Raden harus menunggu Gusti Senopati sampai beliau keluar dari tenda"

Sekartaji memandang Rana Wulung.

"Kita tunggu disini saja Rana. Biasanya Gusti Senopati tidak akan lama berada di dalam tenda"

"Baik Kakang kita tunggu di sini saja"

Kedua narapati Mataram ini duduk di sebuah pohon yang telah tumbang rebah di tanah. Matanya memandang ke arah pintu tenda. Berharap sesegera mungkin Panembahan Senopati muncul dari balik tirai itu.

Panembahan Senopati duduk di tanah beralaskan permadani berwarna hijau setengah bersandar pada sebuah balai -balai. Di sebelahnya seorang dara memakai pakaian serba hijau duduk sambil menyandarkan kepalanya di bahu Panembahan Senopati. Dara itu memiliki kecantikan yang luar biasa. Kulitnya kuning bersih seperti berkilau. Rambut panjang hitamnya terurai dihiasi oleh untain bunga melati yang menjela sampai ke punggung. Dikepalanya dihiasi dengan mahkota berwarna keemasan berbentuk ular di ketiga sisinya. Sepasang payudaranya menyembul tertekan kemben berwarna hijau yang dikenakannya.

"Ketika merah matahari di ufuk barat telah lenyap Gunung Merapi akan meletus. Sebelum itu semua pasukan kangmas sudah harus menyalakan api dan obor. Lalu tabuh apa saja yang bisa menghasilkan bunyi"

Nyai Roro Kidul masih menyandarkan kepalanya di bahu Panembahan Senopati, matanya yang tajam namun bening menatap mesra ke arah Panembahan Senopati.

"Kangmas mengerti maksud saya?"

"Pasukan Pajang akan kebingungan dan mundur ketakutan"

"Ketika itu Nimas Endang Cuwiri akan menggoyangkan Gunung Merapi"

Panembahan Senopati menghela nafas.

"Apakah tidak membahayakan pasukan Mataram Nyimas?"

"Tidak Kangmas, seluruh pasukan Mataram berada di tempat yang tinggi"

Ratu Penguasa Laut Selatan bangkit dari duduknya. Lalu berdiri dan duduk di balai-balai disamping kanan Panembahan Senopati. Dibelai-belainya rambut panjang tergerai penguasa Mataram itu dengan lembut dan penuh kasing sayang. Layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta memadu kasih.

"Tawaran untuk menghabisi Hadiwijaya masih tetap berlaku Kangmas"

Panembahan Senopati sontak berbalik badan. Dipandanginya dara cantik yang sedang duduk disampingnya itu. Hati Panembahan Senopati bimbang mendengar penuturan itu. Membunuh Hadiwijaya yang merupakan ayah angkatnya adalah sesuatu hal sangat berat. Dan dia sepertinya tidak akan tega unutk melakukan hal itu.

"Saya masih memikirkan baik buruknya Nyimas"

Nyi Roro Kidul tersenyum.

"Kangmas dalam peperangan biasanya segala perhitungan belas kasihan harus dibuang jauh-jauh.

Dielus-elusnya punggung tangan Panembahan Senopati. Dirasakannya tangan itu sangat halus. Beberapa saat lamanya pasangan beda alam itu berpandang-pandanga.

"Saya sudah harus pergi Kangmas"

Nyai Roro Kidul beranjak dari tempat duduknya dan berdiri tepat di depan penguasa Mataram itu yang masih duduk di bawah. Perlahan-lahan sosok Nyai Roro Kidul diselimuti asap tipis berwarna putih. Lama-lama asap itu bertambah tebal. Sehingga sosok penguasa Laut Selatan itu seperti ditelan dalam pekatnya asap. Tatkala asap menipis. Sosok dara berpakaian serba hijau itupun ikut lenyap.

***

Tirai penutup tenda besar berwarna merah dan kuning itu tersibak. Sesosok tubuh tegap memakai surjan dan kain jarik berwarna coklat muncul dari balik tirai itu. Rambutnya panjang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya menyapu di sekitar pedataran itu. Ratusan tenda berjejer seperti cendawan yang tumbuh subur di musim hujan.

Panembahan Senopati berdiri tegak di depan tendanya. Kedua tangannya di rentangkan kesamping. Perlahan kedua matanya dipejamkan. Lalu Raja Mataram ini menarik nafas panjang. Dikeluarkan perlahan-lahan melalui kedua lubang hidungnya.
Sekartaji dan Rana Wulung yang melihat Panembahan Senopati telah keluar dari tendanya segera berdiri dan mendekatinya. Melihat dua orang panglima perang kesayangannya itu. Panembahan Senopati melempar seulas senyum.

Kemudian ia bertanya.

"Ada apa Sekartaji, Rana Wulung?"

Kedua narapati Mataram ini menghaturkan sembah. Lalu menjawab.

"Kami menangkap mata-mata dari Pajang Gusti"

"Benar-benar cermat. Mereka rupanya mencurigai mundurnya pasukan kita"

"Apa ini bisa berakibat buruk pada rencana Gusti?"

Panembahan Senopati berjalan ke arah samping tenda. Dimana disitu terhampar permadani berwarna merah. Sulaman benang emas tampak memenuhi disetiap tepi permadani itu. Diambilnya sebiji buah jeruk yang ditumpuk dan disusun rapi diatas sebuah meja pendek.

"Tidak terlalu. Mereka pasti masih menunggu telik sandi yang mereka kirim"

Penembahan Senopati lalu merebahkan diri di atas permadani itu. Setengah rebahan dengan bertumpu pada lipatan tangan kanan yang dilipat menyangga kepala dan sekaligus badannya.

"Sementara kalian saat ini sudah menempatkan pasukan pada tempat yang sudah kuperintahkan kemarin"

Rana Wulung menghaturkan sembah.

"Semuanya sudah siap Gusti. Tinggal menunggu perintah kapan kami mulai membakar kayu dan menyalakan obor?"

"Begitu merah langit di ufuk hilang nyalakan semua api dan obor langsung gerakan obor kesana kemari. Satu prajurit membawa lima obor sehingga pasukan kita berjumlah berkali-kali lipat"

Perang besar Pajang Mataram akan berlangsung sore itu. Segala siasat Panembahan Senopati dengan dibantu oleh pasukan lelembut Laut Selatan beserta Gunung Merapi telah siap menggempur Pajang.

***

WALAU matahari telah sedari tadi terlelap di peraduan dan malam dengan segala kepekatannya telah menyelimuti bumi. Suasana sunyi senyap hanya kadang-kadang terdengar suara binatang malam. Itupun hanya sebentar. Seakan-akan binatang-binatang itu enggan bersuara. Udarapun seperti berhenti bertiup. Hawa malam itu terasa panas bukan main. Di pelataran Candi Prambanan ribuan prajurit Pajang masih hilir mudik berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Dimasing-masing barak utama para prajurit Pajang telah siap untuk berperang.

Pelataran Candi Prambanan yang tengah malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah selatan tampak kilatan-kilatan nyala api dikejauhan. Nyala api itu makin lama semakin banyak. Mungkin ribuan jumlahnya. Berputar-putar seperti hendak menyerbu ke arah pelataran Candi Prambanan.

Pecahlah kekagetan dari para Prajurit Pajang. Mereka tidak menyangka akan diserang mendadak dengan jumlah pasukan yang begitu besar. Di sebelah timur terdengar pekik jerit prajurit-prajurit Pajang. Lalu ada suara derap kaki kuda banyak sekali. Terdengar suara kentongan titir bersahutan beberapa kali. Di jurusan lain terengar teriakan-teriakan prajurit sambil berlarian menyiapkan keris, pedang, tombak dan segera merentangkan gandewa siap dengan anak panah yang akan berlomba mencari korban di peperangan malam itu.

Tumenggung dan para adipati berhamburan keluar dari tenda-tenda. Keris segera dihunus oleh masing-masing pemiliknya. Pangeran Benowo yang baru keluar dari tendanya terkejut bukan main. Lautan obor di selatan sana seperti ombak yang siap menghantam siapa saja yang berani menghalangi jalan. Anak bungsu Sultan Hadiwijaya itu segera berlari ke arah tenda besar tempat ramandanya berada. Ternyata di depan tenda Sultan Hadiwijaya telah berdiri tegak. Keris Kyai Sengkelat telah terhunus.Disitu juga telah ada Arya Pangiri, Arya Pamalat dan beberapa narapati Pajang.

"Itu yang saya khawatirkan dari orang-orang Selo. Akal mereka panjang dan cerdik rupanya mereka menghimpun pasukan. Tapi jangan takut. Pasukan Pajang juga tidak kalah hebatnya dengan Mataram. Siapkan pasukan! Kita sambut mereka di depan Candi ini!"

Segera para tumenggung Pajang menyiapkan pasukannya. Sultan Hadiwijaya duduk dengan gagah diatas gajah perang tunggangannya. Meskipun sudah berumur. Akan tetapi, Sultan Hadiwijaya yang masa mudanya bernama Mas Karebet suaranya masih sangat lantang dan keras untuk memberi aba -aba memimpin peperangan.

"Jangan takut. Kita sambut orang-orang Mataram di tempat ini. Maju......!!!"

"Serang .....!!!"

"Serbu .....!!!"

Ribuan pasukan berkuda berserabutan lari ke depan. Ribuan tombak dan keris teracung di udara. Pada saat itulah. Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung! Tanah yang dipijak para prajurit Pajang oleng keras seperti diaduk-aduk dengan cangkul raksasa.

Bangunan Candi Prambanan begetar hebat. Beberapa arca retak-retak. Ada juga yang berderak lalu jatuh di tanah. Banyak prajurit Pajang jatuh dari punggung kuda tubuh mereka tergilas kuda-kuda kawannya. Langsung mati seketika dengan kondisi patah tulang dan pecah batok kepala. Di ujung bagian utara. Gunung Merapi bergemuruh. Bunga api menyembur keluar dari perut gunung itu. Sinarnya merah berpendar nyaris menerangi bumi yang telah ditelan dalam pekatnya malam.

"Gunung Merapi meletus... Gunung Merapi meletus..."

"Gunung Merapi meletus... Gunung Merapi meletus..."

Prajurit-prajurit Pajang berteriak ketakutan. Lindu atau gempa masih belum surut ataupun reda. Bumi masih bergoncang dengan hebat. Keadaan di pelataran candi Prambanan tampak kacau balau. Ratusan orang terkapar bertindih-tindihan. Berlari-larian bagai anak ayam yang kehilangan induknya.

"Mundur-mundur cari tempat yang aman !"

Teriakan Hadiwijaya di atas gajah tungganggnya serasa ingin mengalahkan suara gemuruh letusan Gunung Merapi dan teriakan-teriakan pasukannya yang nampak ketakutan serta kebingungan.

***

Pada saat itulah gajah tunggangan Sultan Pajang itu nampak ketakutan. Beberapa kali bintang besar itu mengeluarkan suara keras bagai sangkakala. Badannya yang besar bergoyang-goyang dengan keras. Sultan Hadiwijaya yang duduk di punggung gajah itu berusaha menenangkan si Gajah. Setengah terlungkup diusap-usapnya leher bagian dalam dari binatang itu. Tampaknya hal itu sia-sia belaka.

Gajah itu masih saja ketakutan. Kedua kaki depannya dihentak-hentak kemudian secara mengejutkan tiba-tiba gajah besar itu mengangkat kedua kaki depannya ke udara. Kedua kaki yang masih terangkat itu lalu dihentakkan ke tanah. Tubuh Sultan Hadiwijaya yang di atas punggungnya tergontai-gontai. Sultan Pajang itu berusaha menyeimbangkan dirinya agar tidak jatuh terbanting ke tanah. Tatkala dia belum sepenuhnya menguasai diri. Gajah tunggangannya itu mengangkat kedua kaki depannya lebih tinggi ke udara. Malang nasib Sultan Pajang itu. Pegangan tangan pada leher binatang besar itu terlepas.Tubuhnya mencelat terbanting ke bawah. Tubuh itu tidak bergerak lagi. Pingsan!

Pangeran Benowo yang melihat ramandanya terjatuh dari gajah. Segera berteriak.

"Sultan Hadiwijaya terjatuh dari gajah. Tolong beri jalan!"

Suaranya lantang keras bercampur dengan kepanikan. Sontak beberapa adipati dan tumenggung segera berlari ke arah jatuhnya Sultan Pajang. Tubuh Sultan Hadiwijaya segera dinaikkan ke dalam tandu. Malam itu juga pasukan Pajang mundur dan kembali ke Pajang. Sultan Hadiwijaya masih belum sadar sepanjang perjalanan menuju Pajang. Melihat pasukan Pajang mundur. Pasukan Mataram sama sekali tidak mengejarnya. Teriakan dan pekikan kemenangan terdengar membahana ke delapan penjuru mata angin.

"Hidup Mataram!"

"Hidup Mataram!"

Sosok tubuh Panembahan Senopati terlihat berdiri di atas puncak bukit. Lengkap dengan pakaian perang. Tombak Kyai Pleret tergenggam erat di tangan kanannya. Rambutnya dibiarkan tergerai panjang. Berkibar-kibar dipermainkan angin malam. Pandangan matanya lurus melihat ke arah Gunung Merapi yang telah mereda getarannya. Dengan kesaktian yang dimilikinya orang nomor satu di Mataram itu dapat melihat dua sosok tubuh berdiri di atas puncak Merapi. Dua orang gadis yang luar biasa cantiknya. Sama-sama memakai baju tipis berwarna serba hijau. Dua gadis itu tidak lain adalah Nyai Roro Kidul dan adiknya yang bernama Endang Cuwiri. Sesosok siluman penguasa Gunung Merapi. Malam itu Mataram dengan siasatnya dapat keluar sebagai pemenang.

***

Lantunan Surat Yasin masih terdengar di ruangan itu. Ruangan kamar itu penuh orang. Permaisuri, para selir, anak-anak, tumenggung dan para Adipati duduk bersila. Dihadapan mereka sebuah ranjang besar. Sultan Hadiwijaya terbaring lemah. Matanya setengah terpejam. Bibirnya pucat. Disebelahnya permaisuri tidak henti-hentinya menangis. Mata perempuan setengah baya itu terlihat sembab. Pangeran Benowo duduk di tepi ranjang. Tangannya tidak sedetikpun lepas menggenggam jemari Sultah Hadiwijaya. Tangan itu sangat dingin seperti bongkahan es. Suara Sultan Hdiwijaya terdengar lemah dan bergetar. Sepertinya untuk mengucapkan sepatah kata memerlukan tenaga yang sangat besar.

"Kedaton ini sudah sumpek danyang dan keramatnya telah boyong semua ke Mataram"

Semua orang di ruangan itu terdiam. Beberpa selir dan anak-anak terlihat berkaca-kaca. Sebagian lagi tidak mampu menyembunyikan kesedihan yang bergelayutan di paras mereka.

"Benowo dan anak-anak ku yang lain aku tidak mau kalian menyimpan dendam pada Senopati. Sebagai ksatria kita harus mengakui kehebatan, kecerdikannya. Begitu cepat roda berputar, begitu cepat nasib beredar. Sepertinya baru kemarin aku menjadi punggawa Demak. Sepertinya baru kemarin Adipati Jipang ku kalahkan dengan bantuan saudra-saudaraku orang dari Selo. Seperti baru kemarin Sultan Trenggono mengangkatku sebagai Sultan disini"

Tiba-tiba air mata Sultan Hadiwijaya menetes membasahi pipinya yang sudah mulai keriput.

Suaranya tambah melemah.

"Gusti sungguh hamba melihat keadilan begitu gamblang di mata hamba. Duh, Gusti sungguh hamba orang yang merugi karena melihat kuasaMu. Pada saat-saat terakhir hidup hamba. Baru sekarang hamba tahu bahwa rencana manusia pasti kalah oleh rencana takdirMu"

Setelah berkata seperti itu. Sultan Hadiwijaya terpejam. Permaisuri mencoba memanggil-manggil namanya.

"Kakang Hadiwijaya...Kakang Hadiwijaya..."

Tidak ada sahutan sma sekali. Sultan Hadiwijaya tetap terpejam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Suara isak tangis permaisuri kini semakin santer terdengar. Pangeran Benowo tidak kuasa menahan kesedihannya. Anak bungsu Sultan Hadiwijaya itu menangis sedih. Seketika suasana di ruangan itu dirundung kesedihan. Sultan Hadiwijaya telah mangkat.

Malam yang pekat semakin kelam. Segala sesuatunya gelap, hitam Cumiat. Hujan turun dengan lebat, angin bertiup kencang menghantarkan dingin dan mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sesekali guntur menggeledek. Sepertinya alam ikut bersedih atas meninggalnya Sultan Pajang ini.

BERSAMBUNG
close