Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 74)


Aku baru saja hendak merebahkan badan ketika mendengar ada yang memanggil-manggil Bapak. Bapak yang masih duduk di sajadah langsung bangkit. Sementara Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir masih melanjutkan zikirnya.

“Assalamualaikum Kak, kakak Syahrial, ada di pondok?” Suara lelaki. Beliau memanggil Bapak dengan menyebut kakak Syahrial, nama kakak sulungku. Nampaknya beliau tidak sendiri. Itu terdengar obrolan kecil mereka sejak masih di jalan hingga pangkal tangga.

“Waalaikum salam, ada. Naik Hom…” Ibu menjawab sembari membuka pintu. Sebenarnya aku ingin bangkit, tapi tanganku diraih Nenek Kam. Akhirnya aku baring kembali.

“Kenapa, Nek. Itu ada Mang Homidi datang.” Ujarku menyebut saudara sepupu Ibu. Maksud hati ingin sekadar bersalaman, menampakkan hidung, terus basa-basi menanyakan kabar beliau dan bibik.

“Dengar saja obrolan mereka nanti. Soal akan bertemu beliau gampang. Besok pagi kau datangi dia di pondoknya sambil pergi ke pancuran, kan bisa…” Bisik Nenek Kam kembali.

Akhirnya aku mengatur nafas agar tidak terdengar memburu. Salah satu kebiasaan orang di kampungku jika ada orang jauh datang, maka mereka akan bertandang untuk bertemu. Kebetulan beliau tahu aku pulang dan ada kakek Haji Majani juga ada, makanya beliau bertandang sebagai wujud silaturahmi.

“Mana Dedek, katanya pulang? Mamak Kiaji Pengaringan juga, masih kan di sini?” Suara mang Hom lantang.

“Dedek sudah tidur berdua nenek Kam. Kalau Bapak Haji dua-duanya masih berzikir.” Ujar Ibu. Melihat Ibu hendak membangunkan aku Mang Hom melarang.

“Jangan, tidak usah dibangunkan. Kan Dedek masih lama ‘ngulang’?” Lanjut Mang Hom. Ngulang maksudnya pulang kembali ke Bengkulu. Dijawab Ibu masih lama. Akhirnya mereka kembali cerita -cerita berbagai macam topik.Aku dan Nenek Kam masih pura-pura tidur. Tangan Nenek Kam kugenggam dan kuletakkan di perutku. Setengah berbisik beliau mengatakan jika besok beliau mengajak pulang ke pondoknya. Aku hanya mengiyakan agar beliau senang. Padahal sudah terbaca, manalah Nenek Kam betah berdiam di pondoknya. Paling juga ngajak kelayapan ke alam lain, batinku.

“Aku melihat ada batin di rumah Ujang. Siapa tamu Ujang itu, Hom? Dari mana?” Samar aku mendengar ibu bertanya perihal tamu Mang Ujang. Ibu menyebutnya batin. Artinya lelaki dewasa. Mang Ujang itu orang yang bekerja di sawah Mang Sawaw sepupu Ibu. Beliau berasal dari Sumedang. Menurut Ibu, Mang Ujang merantau ke Besemah ini sejak beliau masih bujang kecil. Artinya dari usia belasan. Hingga sekarang sudah beranak pinak. Istrinya orang Besemah. Sebulan yang lalu kabarnya beliau ‘belanju’ (pulang) ke Sumedang setelah puluhan tahun tidak pulang dan berkabar. Terus ke mari bersama saudara Bapaknya.

“Kata Ujang, adik bungsu Bapaknya. Dia itu ‘dukun besak’ kata Ujang. Pandai mengobati orang” Jawab Mang Hom menyebutbyabdukun besak. Artinya orang yang berkemampuan tinggi. Dukun sakti.

“Iya, betul. Tadi aku melihat dia seperti orang kuntau di sudut sawah. Terus tiba-tiba muncul batu cincin sebesar ibu jari, lalu ada bugha kembuai. Keris” Jawab Mang Fajar.

“Apa? Dapat dapat dari mana?Kok bisa begitu?” Ujar ibu heran.

“Dapat dari alam gaib” Ujar Mang Fajar semangat sekali. Ibu terbengong-bengong. Penarikan pusaka dari alam gaib di kampungku tidaklah biasa. Makanya ketika ada orang yang menarik benda gaib langsung tersebar luas menjadi pokok pembicaran masyarakat. Sama halnya dengan Mang Fajar dan Mang Hom, mereka rela bermalam-malam ikut menyaksikan ritual penarikan benda di alam gaib itu. Mereka benar-benar kagum dan bangga menjadi saksi kesaktian dukun dari Sumedang itu.Aku makin tertarik mendengar cerita Mang Hom dan Mang Fajar. Mereka semangat sekali mengatakan adik Bapak Mang Ujang dukun hebat luar biasa. Sampai-sampai ikut membicarakan fisiknya juga saking kagumnya.

“Kalau melihat perawakannya, siapa sangka adik bapaknya Ujang itu dukun besak. Gerakaknya lembut, berbicara juga lembut,” kata Mang Fajar.

“Lah iyalah Jar, orang Sunda meski marah sekali pun tetap lembut. Berbeda dengan kita orang Sumatera. Sekali berbicara, persis seperti mau menelan orang. Suara besar, nadanya selalu tinggi, wajah garang, mata melotot. Itu ngobrol biasa. Apalagi kalau marah” Ujar Bapak disambut tawa semuanya.

“Nyelah nian, kalu ngicek bebentual” Sambung Ibu menambahkan.

Dalam sekejab, dukun besak itu jadi pembicaraan warga kampung. Beberapa warga ada yang berobat, meminta pakaian, maksudnya penjaga diri. Lalu penjaga kebun, dan segala macam yang berkaitan dengan hal mistis. Atau sekadar bertamu ingin melihat dukun besak. Demikianlah orang kampung, mereka akan cepat tahu jika ada yang orang asing datang, apalagi jika ada sesuatu hal yang menurut mereka aneh dan baru, maka akan menjadi buah bibir.

“Orangnya belum terlalu tua, Kak. Nampaknya jauh di bawah kita. Biasa orang Sumedang, pembawaannya lembut dan sopan. Bukan seperti kita ngobrol biasa saja seperti hendak saling makan saking kerasnya” Kata Mang Hom disambut tawa bersamaan Mang Fajar dan Bapak. Ibu menyuguhkan kopi dan makanan kecil. Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir sudah selesai zikir lalu ikut ngobrol. Obrolan masih seputar orang sakti. Akhirnya semua bercerita tentang keanehan-keanehan dan kelebihan -kelebihan yang dimiliki setiap orang baik yang mereka temui sendiri mau pun yang mereka dengar dari orang lain.

“Nek, ada orang sakti datang ke dusun kita rupanya” Ujarku. Nenek Kam mengangguk sambil merem.

Diam-diam aku terawang kebenaran yang disampaikam Mang Hom. Aku jadi tertarik seperti apa orang sakti itu. Apa tujuannya menarik-narik benda pusaka di sini? Apakah beliau punya misi hingga jauh-jauh datang ke kampung terkencil ini? Masyarakat Besemah, umumnya tidak pernah menarik-narik benda pusaka dari alam gaib. Pertama karena memang tidak membudaya menuntut ilmu-ilmu gaib, ritual kegaiban dan lain sebagainya. Apa yang dimiliki oleh sebagian orang tertentu rata-rata natural. Jarang yang berguru. Kalau bukan karena nasab, biasanya karena tergolong manusia pilihan yang dipercaya oleh bangsa gaib sebagai perpanjangan tangan. Berbeda dengan adik Bapaknya Mang Ujang. Nampaknya ilmu beliau karena dipelajari, menuntut ilmu.

“Waktu dia melatih Ujang di tengah laman (lapangan terbuka), latihan kebal. Diserang dengan gerahang, pangkur, kudok, tidak mempan!” Lanjut Mang Fajar semangat menceritakan kekebalan yang dimiliki Sang tamu. Tidak luka meski ditikan dengan berbagai senjata tajam. Akhirnya Kakek Haji Yasir jadi ikut bercerita jika Bapaknya juga tidak tembus ditembak peluru oleh tentara Belanda.

“Sampai beliau meninggal saya tidak tahu ilmu itu beliau dapat dari mana.” Ujar Kakek Haji Yasir mengenang orang tuanya sambil menyeruput kopi panas……Aku mulai mengintai ke rumah Mang Ujang yang terletak di sudut sawah. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kebun kakek Haji Yasir. Hanya di hilir sekitar satu kilo meter. Benar apa yang dikatakan Mang Fajar dan Mang Hom. Aku melihat lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, sedang melakukan ritual di sudut rumah Mang Ujang. Beliau tengah membaca mantera, entah apa yang akan dilakukannya. Lalu menyembah-nyembah sambil memegang gaharu. Oh! Rupanya beliau tengah berinteraksi dengan makhluk asral di kampung ini. Termasuk minta izin dengan leluhurku. Tapi yang kulihat jin fasik menyerupai beberapa orang leluhurku. Termasuk ada Puyang Ulu Bukit Selepah.

Demi melihat itu, aku makin tertarik apa yang hendak orang asing ini lakukan? Aku terus mengintai. Kuawasi makhluk yang menyerupai puyang Ulu Bukit Selepah. Kuberi tanda, aku tahu tempatnya. Dalam hati aku bergumam tunggulah kedatanganku. Aku akan buat perhitungan, berani sekali menyerupai puyang dan leluhurku. Aku memerhatikan sesajen yang terhidang di hadapannya. Ada kembang, ada punjung ayam bakar, telur, kopi, rokok, sirih, dan pisang. Beberapa benda pusaka ada di antara kembang. Asap kemenyan meliuk-liuk. Tangan kanannya menggenggam keris berukuran sedang. Ada sosok petapa di dalamnya. Kuakui godam itu memiliki energi yang cukup besar. Buktinya dia bisa menakhlukan bangsa jin dan memanggilnya.Bangsa jin yang disuguhi makanan bukan main bahagianya. Mereka pesta pora. Angin berhembus kencang. Raja-raja jin memanggil anak buahnya untuk ikut menikmati sajen yang disediakan. Sebenarnya aku sudah hendak bertindak. Namun kubiarkan dulu. Aku ingin melihat apa lagi yang hendak dilakukan oleh beliau.

Melihat gelagatnya, beliau memang seorang dukun. Selain benda pusaka, banyak sekali jimat di badannya. Setiap jimat memiliki godamnya masing-masing. Pantas beliau mengeluarkan keris, karena energi yang paling kuat ada pada kerisnya. Aku melihat sosok kembar tiga yang bekerja kompak sekali. Merekalah menjadi penakhluk jin-jin fasik yang dipanggilnya.

“Aku ingin kalian menuntunku untuk menunjukan benda-benda pusaka yang ada di daerah sini. Aku juga berharap kalian menjadi penguat pasukanku. Jika kalian patuh, kalian boleh ikut aku dan aku akan beri kalian makan. Tapi jika kalian tidak berjuang untukku, atau berkhianat, maka aku akan membunuh kalian. Bagaimana?” Interaksi Si dukun pada raja jin.

“Aku dan anak buahku butuh darah dan kembang. Apakah kau sanggup memenuhinya ketika aku butuh?” Jawab Raja Jin lalu disanggupi oleh dukun itu.

“Aku inginkan daging manusia, apakah kau sanggup memberiku tumbal ketika kuminta?” Ujar jin fasik satu lagi yang menyamar sosok puyangku. Sang dukun menyanggupi, asalkan yang menjadi tumbal untuknya bukan anggota keluarganya, tapi bisa diganti sesuai yang petunjuk dukun, lalu tidak mesti bayi, anak-anak, orang tua, laki-laki atau perempuan. Yang penting manusia.

“Aku hanya mau bekerja padamu, tapi aku minta “kupek” tiap kali tujuh purnama.” Ujar jin satu lagi.

Kupek itu bayi atau orok. Ternyata permintaan mereka berbeda-beda. Sang dukun menyanggupi itu semua. Sang dukun menambahkan kembali kemenyan di atas dupa. Asap menyebar mengundang semua makhluk asral mendekat. Pendek kata, semua jin menyampaikan keinginan mereka, dan sang dukun menyanggupinya semua syaratnya asal mereka mau bekerja dan sungguh-sungguh melaksanakan perintahnya. Dalam batin ingin sekali aku menghantam mereka menghalangi pekerjaan sang dukun saat ini juga. Namun lagi-lagi batinku berkata agar aku dapat menahan diri. Aku ingin melihat bagaimana mereka bekerja. Mereka jin-jin dari hutan gelap dan sebagian lagi dari kuburan. Sang dukun komat-kamit membaca mantera. Memperkuat perjanjian pada makhluk asral.

“Langkah pertama, aku ingin kalian bantu aku untuk menunjukkan benda pusaka di wilayah ini. Kita tarik benda itu bersama-sama.” Ujar sang dukun mulai berencana. Oh, rupanya beliau jauh-jauh datang ke mari hendak menarik benda pusaka?

Aku makin tertarik mengikuti. Usai ritual, bangsa jin yang menyamar ditarik sang dukun lalu diberikannya tempat di dalam keris. Ratusan raja jin dan ribuan pasukannya ada di dalam keris sang dukun.

“Sementara waktu, kalian tinggal di dalam keris ini saja dulu.” Ujar sang dukun. Pasukan jin seperti angin menyusup cepat ke dalam keris, membangun kehidupan baru mereka. Sebagian mereka dengan bangga menepuk dada karena menurut mereka sudah menakhlukan bangsa manusia. Kelak manusia-manusia yang tidak nerima ini akan menjadi teman mereka, yang jelas pengikutnya dan budaknya. Selain makhluk-makhluk asral panggilan, ternyata Sang dukun dijaga juga oleh sosok harimau belang yang bertubuh besar dan gagah. Nampaknya dia juga memiliki energi yang besar sama dengan makhluk asral kembar tiga yang ada di dalam kerisnya. Yang di dalam keris tak hanya pandai memanggil, namun juga petarung. Sementara sosok harimau jawarah, pandai bertarung.

Usai mengintai aktivitas Sang dukun, aku kembali pulang. Kusentuh-sentuh tangan Nenek Kam yang sudah tertidur.

“Mau bilang apa? Aku tahu kau ke sana memperhatikan aktivitas dukun itu bukan?” Ujar Nenek Kam masih dengan mata terpejam. Aku tersenyum sendiri. Nenekku ini kapan tidurnya kok tahu semua gerakkan orang.

“Iya, Nek. Aku malam ini akan mengikuti aktivitas dukun itu. Dia hendak menarik pusaka-pusaka yang ada di dusun kita ini kulihat sudah ada banyak pusaka yang diambilnya dalam bentuk macam-macam. Ada permata, keris, mangkuk belantan, lambang kerajaan, cuntang emas dan lain-lain. Berarti beliau sudah lama di dusun kita ini, Nek?” Ujarku setengah berbisik.

“Baru dua minggu. Sudah banyak pula orang dusun kita yang minta pagar kebun dan sawahnya pada beliau. Padahal katanya pagar itu dijaga jin. Penduduk dusun tidak tahu jika yang menjadi pagar itu bangsa jin. Mereka diminta menanam telur angsa ‘beghukal’ di empat sudut maksudnya agar terhindar dari niat orang jahat yang mau mencuri dan gangguan hama.

Penduduk kampung tidak tahu jika jin-jin itu tidak hanya sekadar mau menjaga, tapi dia harus diberi imbalan, bergantung perjanjiannya dengan dukun. Bisa jadi yang punya kebun akan sakit, keluarganya mati dan lain sebagainya karena jin-jin itu menagih janji, mereka lapar. Sementara orang awam tidak tahu menahu tentang hal itu. Apalagi masyarakat dusun kita. Nenek sudah mengawasinya sejak dia datang,” urai nenek Kam masih sambil menutup mata mirip orang ngantuk bicaranya pelan dan setengah tidak jelas.

“Mengapa nenek tidak bicara sejak awal? Tidak memberi tahu aku?” Aku menggoyang-goyang tangannya.

“Hmm…kau kira Hom dan Fajar main ke sini karena maunya mereka saja? Akulah yang menggiring mereka agar mereka bercerita dan kau tahu.” Ujar Nenek. Mendengar itu nenek Kam langsung kupeluk. Nenekku satu ini, masih saja diam-diam mengajari aku. Aku saja yang banyak tidak pahamnya.

“Malam ini aku akan kembali mengintai dukun itu, Nek,” ujarku lagi.

“Dia itu dukun serba jadi, Dek. Ketika ada yg sakit, orang minta diobati, maka akan diobatinya dengan syarat membawa sesajen. Dia akan menyuruh jinnya mengobati. Apalagi jika ada yang minta guna-guna, dengan cepat dia akan melakukannya,” sambung Nenek Kam lagi. Aku kaget dibuatnya. Di kampungku, jarang sekali terdengar dukun asli Besemah berprofesi dukun guna-guna. Dan memang tidak membudaya tradisi guna-guna ini. Umumnya yang membawa ilmu guna-guna, dukun susuk dan lain sebagainya adalah dukun-dukun datangan. Bukan penduduk asli Besemah. Pernah juga terdengar ada dukun susuk, lalu beberapa daerah terkenal dengan ilmu pengasihan dengan minyak kucur (pelet).

Orang Besemah umumnya tidak lazim menuntut ilmu hitam. Kebanyakan ilmu mereka karena faktor keturunan. Tapi tidak menutup kemungkinan berkat berkembangnya transportasi ke beberapa daerah terdengar juga ada orang Besemah yang datang ke luar daerah untuk menuntut ilmu hitam ini. Aku merunut beberapa peristiwa yang pernah terjadi berkaitan dengan hal gaib. Ketika aku masih kecil, Pagaralam adalah kota kecil yang terkenal jahat. Pembunuhan, perampokan, kerap kali terjadi. Waktu itu ada kelompok perampok yang cukup ditakuti dan terkenal kejam dan licik. Konon bosnya bisa menghilang tiap kali usai merampok. Katanya dia mempunyai ilmu belut putih. Jadi ketika dikejar polisi, selalu lolos tidak pernah tertangkap. Dia juga mempunyai ilmu saipi angin, ketika dikejar maka larinya sangat kencang seperti kilat. Sayang aku masih terlalu kecil ketika itu. Baru mendengar cerita orang saja. Yang kutahu, Pagaralam kota kecil imagenya jelek di mata banyak orang. Kota mistis karena banyak manusia harimau. Maling, rampok, copet, berkeliaran seperti nyamuk di musim kemarau.

Pernah suatu kali Bapak dan kak Yudikat kakakku yang CPM ke kantor Polisi. Waktu itu aku juga masih kecil. Dari cerita yang kudengar, rupanya mereka mengurus kakak sepupuku yang ditahan polisi. Beliau anak saudara Bapak dua beradik Ayah. Aku memanggilnya Winar. Sebenarnya waktu itu aku sudah bosan mendengar Bakwo demikian aku memanggil Bapaknya, sebentar-sebentar ke rumah menemui Bapak, ngadu perihal Winar ini. Pekerjaannya kalau tidak merampok, mencuri. Mencuri pun tidak tanggung-tanggung, kalau mencuri kopi berton-ton, merampok nasabah bank, merampok tokoh emas, tokoh bangunan, mobil, dan lain sebagainya. Beliau tidak segan melukai dan membunuh korban. Rupanya, Bapak dan Kak Yudikat ke kantor Polisi, bukan mebezuk Winar yang ditahan. Selama ini Bapak swlalu dijadikannya andalan agar dirinya segera diproses.

Rupanya kedatangan Bapak dan Kak Yudikat ke kantor polisi minta sebaliknya agar Winar tidak usah diproses cepat-cepat, mau dikasih makan atau tidak terserah, mau dikasih racun pun silakan. Bapak dan semua keluarga mengharapkan Winar mati di tahanan. Setelah kupikir sekarang, wajar saja Bapak dan keluarga besar marah pada Winar, karena beliau telah mengotori nama keluarga besar.Itu dulu, setelah dua puluh tahun dipenjara, menurutku hukuman terberat Winar. Keluarga memang tidak ada yang menengoknya. Kecuali Bakwo diam-diam sesekali tetap saja menengok Winar tanpa diketahui keluarga.

Pernah suatu hari ketika beliau sudah ke luar dari tahanan, sedikit takut Winar memberanikan diri datang ke rumah hendak bertemu dengan Bapak. Aku ingat betul bagaimana berjam-jam Bapak menatap Winar yang duduk pucat di hadapannya.

“Kalau sudah bosan hidup, ini tali. Bekujutlah! Keluarga besar kita mengharapkan kau mati segera dari pada membuat malu keluarga besar kita. Puluhan kali aku menjadi jaminan gara-gara kelakuanmu. Beratus kali telingaku ini mendengar tobat dan janjimu tidak akan mengulangi lagi. Tapi masih saja kau lakukan, mencuri mobil, mencuri motor, merampok tokoh dan lain sebagainya.” Nada Bapak tinggi sambil melemparkan tali tambang ke tubuh Winar. Waktu itu aku ikut marah dengan Bapak karena menurutku Bapak sangat kejam dan tega berucap kasar dengan Winar keponakannya sendiri. Herannya, di depan. Bapak Winar hanya diam dan menunduk. Tubuh kecilnya meringkuk seperti tak bertulang. Melihat fisiknya, aku tidak percaya jika Winar perampok.

“Harusnya kakimu ini dipotong saja habis ditembak Polisi tempohari. Biar kapok, tidak bisa berjalan” Lanjut Bapak lagi. Waktu itu aku memang melihat bekas jahitan di pergelangan dan mata kaki Winar. Kata Ibu waktu itu mata kakinya pecah. Betis dan pahanya juga pernah ditembak. Ke luar masuk penjara sudah biasa. Namun kulihat Winar biasa-biasanya saja. Tidak cacat. Berjalan pun biasa meski bekas luka masih terlihat.

Satu kesempatan pernah kutanya mengapa dia tidak kapok-kapok? Trus ratusan kali lolos dari kejaran polisi padahal sudah dikepung. Bagaimana caranya? Terus beliau cerita kalau dia punya ajian panglimunan yaitu ilmu halimun. Jadi ketika ada yang mengejarnya tiba-tiba dihalangi kabut sehingga sang pengejar kehilangan jejak. Lalu beliau juga punya ilmu belut putih, ilmu gedam, dan sederet ilmu lainnya yang digunakannya untuk melancarkan kejahatan. Suatu kali pernah jin godam pendampingnya yang berujud singa dan boto ijo kutangkap dan kukurung. Ternyata Winar tahu, dia datang dan minta-minta ampun agar dilepaskan. Akhirnya kulepaskan, dan dari beliau juga aku tahu kalau beliau berguru di Jawa selama tujuh tahun lamanya. Sejak godamnya kutangkap, Winar menghilang tak tahu kemana. Keluarga besar kami bersyukur lega karena Winar tak terlihat batang hidungnya. Tidak satu pun yang mengetahui keberadaannya.

Suatu malam tiba-tiba Winar datang ke rumahku, maksudnya ingin bertemu Ibu karena rindu. Memang dari sekian banyak keponakan Bapak, beliau termasuk dekat dengan Ibu. Mengetahui Winar yang datang, Bapak marah. Winar langsung diusirnya malam itu juga. Di sinilah aku melihat ilmu yang dimiliki Winar. Ternyata beliau buronan Polisi kasus perampokan dengan kekerasan di Palembang. Belum lagi perampokan yang dilakukan kelompoknya di Batu Raja, Lampung, lahat, Muara Enim, Prabumulih, Jambi, dan sederet kota lainnya. Dari pertama beliau masuk rumah, ternyata telah diikuti Polisi. Dalam waktu singkat rumah kami dikepung Polisi. Tidak ada ekspresi cemas di wajahnya meski sudah dikepung sedemikian rupa. Yang jantungan justru Ibu melihat banyak anggota Polisi. Tanpa babibu lagi, Polisi langsung masuk, sigap dengan senjata, lalu berteriak semua disuruh tiarap dan Winar di suruh angkat tangan menyerah. Aku melihat Winar lari ke kamar mandi, lalu dikejar Polisi dan Winar menghilang seketika. Se-kota Pagaralam tahu kelicikan Winar yang selalu lolos dari kejaran aparat waktu itu. Sekali lagi dia bilang memperoleh ilmu itu hasil berguru di pulau seberang. Bahkan dengan gamblangnya dia bercerira padaku bagaimana dia digembleng gurunya, berdiam di hutan cukup lama. Waktu itu, aku kagum karena Sinar kuanggap sakti. Sama halnya dengan dukun Sumedang yang baru datang itu. Semua masyarakat mengatakan beliau dukun besak. Artinya dukun sakti.

***

Suara mendengkur Nenek Kam terdengar turun naik teratur. Dalam hati, meski mendengkur seperti ini, Nenek Kam tahu saja apa yang kulakukan. Diajak bicara pun pasti nyambung. Di ruang tengah, mang Hom dan Mang Fajar masih asyik bercerita. Meski kulihat Kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani sudah rebahan berdua. Mereka masih asyik ngobrol masalah hadist dan cerita nabi-nabi sambil sesekali mengulas tentang ceramah dan kotbah. Kakek Haji Majani lebih banyak menyampaikan pendapat, karena beliau memang tokoh agama di kampungnya dan beliau banyak membaca.

Aku memandang jam tanganku. Sudah pukul sebelas malam. Saatnya aku kembali mengintai dukun besak tersebut. Pelan-pelan aku membaca doa dan mantra untuk meninggalkan jasadku di samping Nenek Kam.

“Hati-hati ya Cung. Jangan gegabah.” Ujar Nenek Kam tiba-tiba. Sekilas aku memandang wajah beliau.

“Ngintip ya..tahu saja Nenek kalau orang mau bergerak” Aku mendekat ke wajahnya. Nenek Kam masih seperti tadi, tidur nyenyak.

“Hmmm..untung bukan Ibu. Kalau Ibu mendapati model Nenek Kam seperti ini pasti takut dan pingsan.” Bisikku dalam hati. Aku segera mencium tangan Nenek Kam lalu berlalu.

Udara dingin dan gelap. Pekat sekali. Untung aku tidak terlambat. Sampai di rumah Mang Ujang, aku melihat ramai orang. Lelaki muda dan tua banyak yang nongkrong-nongkrong tidak jelas. Beberapa orang kukenal dekat. Selebihnya aku hanya tahu jika mereka orang kampungku. Rupanya mereka menunggu Sang dukun. Keburu kagum dengan kehebatannya.

Aku melihat gaya dukun besak dan Mang Ujang seperti pendekar. Selama ini Mang Ujang tidak pernah memakai ikat kepala khas Sunda, kali ini beliau pakai. Bajunya pun mirip-mirip dukun besak itu. Berwarna hitam, kakinya sebatas betis, memakai baju koko hitam dengan dalaman kaos hitam juga. Mang Ujang kulihat sedikit asing karena beliau tidak pernah kulihat seperti ini. Yang mengiring pun terlihat ikut-ikutan gagah. Mereka sangat bangga karena diajak bergabung dengan dukun besak. Orang-orang kampung tersebut dengan ikhlas membawa senter masing-masing, lampu petromak, kayu bakar, dan sesajen. Beberapa kali Mang Ujang memerintahkan ini dan itu pada orang kampung yang mengiring, lagaknya seperti asisten sang Dukun. Orang kampung dengan senang hati melakukannya. Mang Ujang berubah delapan puluh lima derajad dari biasanya.

Melihat gayanya yang berlebihan, muncul ideku untuk mengerjai Sang dukun. Dengan kekuatan yang kupunya, aku mengaum seperti harimau tidak jauh dari mereka berjalan. Sontak rombongan orang kampung kaget dan mengkeret. Mang Ujang pun demikian. Kakinya gemetar. Sang Dukun Besak menenangkan lalu membaca-baca mantera. Aku senyum-senyu sendiri ketika orang kampung langsung duduk terus berkata-kata

“Maaf Nek, anak cucung numpang lalu.” Maksudnya minta maaf dengan nenek gunung, lalu menyebut dirinya cucu minta izin numpang lewat. Tak lama mereka melanjutkan kembali perjalanan dengan kaki gemetaran.

Hup hup hup!!

Sang dukun besak mengayunkan tangan seperti memagari. Aku melihat beliau memang memagari rombongannya. Lagi-lagi aku iseng. Kuambil segenggam tanah kering lalu kumantrai, selanjutnya kulemparkan ke arah mereka. Pagar gaib Sang dukun besak koyak. Sebagian besar mereka kaget dan kembali mengkeret menoleh kiri-kanan terkena lemparan tanah. Termasuk juga Sang dukun. Dia heran mengapa dirinya dan rombongan bisa kena lemparan tanah kering? Padahal sudah beliau pagar. Kulihat beliau sedikit was-was dan mencoba lebih waspada. Mantra-mantra kembali dilakukan. Kali ini jin pendampingnya bekerja. Mereka menjaga ketat sang majikan.

Langkah mereka seperti akan maju dan mundur, ketika mendapatkan dua hal yang dianggap masyarakat dusun sangat ganjil. Suara nenek gunung yang mengaum, lalu lemparan tanah kering. Sebagian besar masyarakat percaya itu pertanda akan ada bahaya. Sang dukun Besak kembali menampakkan kemampuannya. Kali ini keris di keluarkannya lalu beliau seperti melakukan gerakkan menyembah. Tak lama aku melihat sosok tinggi besar hadir. Mereka pun melakukan interaksi batin. Rupanya sang dukun besak menyuruh jin melakukan penjagaan juga pada mereka. Sang jin pun menjalankan tugasnya dengan baik bersama jin sebelumnya.

Aku terus mengawasi mereka. Rupanya mereka berjalan menuju hutan tidak jauh dari dusun Ibu. Hutan itu di sebut dusun Baghi. Dulu kata Ibu, hutan itu adalah dusun nenek moyangnya. Lama kelamaan karena zaman sudah berubah, banyak penduduk yang pergi merantau, akhirnya dusun itu menjadi dusun tinggal dan berubah menjadi belantara. Tidak heran jika di hutan itu banyak sekali macam-macam pohon buah-buahan yang sudah sangat tua. Ada bacang, kemang, durian, nangka, manggis, telempesi, rambai, jeruk bali, sali, pauh, dan lain-lain. Semua itu ditanam oleh nenek moyang dan bisa dinikmati hingga kini.

Sejak dusun Baghi ini menjadi belantara, sering sekali orang kampung melihat nenek gunung melintas ke luar masuk dari sana. Akibatnya banyak masyarakat yang takut jika melintas di jalan itu sendiri, meski siang hari. Aku memaklumi memang di dalamnya sering berdiam beberapa nenek gunung. Sebenarnya hanya pelintasannya saja. Kadang -kadang penjaga dusun dan penjaga tebat puyang di seberang jalan menampakkan wujud mereka sosok nenek gunung dan dua mata sebesar cahaya lampu petromak. Sosok itu seakan-akan memberitahu keberadaannya pada masyarakat bahwa mereka ada hingga kini.

Rombongan dukun besak sudah sampai di sudut dusun Baghi. Sudut dusun Baghi ditandai dengan pohon bacang keghak. Entah bagaimana mulanya disebut bacang keghak. Namun yang jelas, di tempat inilah orang banyak melihat beberapa penampakan. Termasuk sosok nenek gunung yang lalu lalang, atau sedang tidur-tiduran menunggu matahari terbit. Kata Nenek Kam, sebagian mereka adalah peliharaan nenek moyang dulu. Jadi sesekali mereka pulang melihat dusun laman. Artinya melihat kampung halaman.

Aku mengikuti rombongan yang mulai masuk ke semak belukar, menyibakkan batang bengkuang dan kerinyu yang tumbuh liar. Lalu menyibak rumpun buluh yang berjumbun-jumbun. Gemeretak ranting dan daun buluh kapal seperti gelisah melihat banyak sosok asing yang datang. Benar saja, rombongan dukun besak itu baru masuk ke dusun Baghi beberapa langkah, sudah disambut penghuninya dengan tatapan marah. Beberapa sosok harimau berusaha mengusir mereka. Demikian juga sosok-sosok yang lainnya. Kehadiran dukun besak dan pasukannya membuat semua penghuni dusun Baghi gelisah.

Sang dukun meminta Mang Ujang membuat api. Dibantu beberapa orang kampung, Mang Ujang menyalahkan api kecil. Sang dukun duduk membakar kemenyan dan menyiapkan kembang di hadapannya. Beliau duduk bersila, bersemedi.

Angin bertiup kencang pertanda makhluk gaib yang ada di lingkungan sini hadir dan menyaksikan. Sang dukun membuka salam dengan bahasa Sunda. Selanjutnya beliau membatin mendeteksi benda-benda gaib yang ada di dusun Baghi. Setelah ditaksirnya tempat-tempat benda pusaka, selanjutnya beliau melakukan interaksi dengan penjaga masing-masing benda tersebut. Kulihat Sang dukun dengan angkuh mengancam makhluk-makhluk penunggu pusaka.

“Jika kalian tidak mau menyerahkan benda-benda itu, artinya kalian mengajak aku bertarung. Ingat, jika kalian kalah, maka bukan benda ini saja yang akan kuambil, tapi kalian juga siap menjadi pasukanku.” Ujar Si dukun. Oh, rupanya begini bentuk perjanjian mereka.

Kulihat tidak satu pun makhluk halus di dusun ini dengan ikhlas menyerahkan diri. Meski aku tahu batas kemampuan mereka, namun mereka tetap menantang berani.

“Kami tidak akan mengizinkan satu pun pusaka di sini kalian ambil hai orang asing. Kalian jangan sombong. Ini tanah Besemah, tanah betuah.” Ujar salah satu sosok gaib di sana. Nampaknya hanya dia yang bisa berinteraksi dengan bahasa Indonesia. Selebihnya mereka menggunakan bahasa Besemah. Dia adalah sosok lelaki tua tanpa baju. Beliau hanya menggunakan celana sebatas betis, lalu pinggangnya dililit dengan kain sarung. Ikat kepalanya dari akar. Melihat tampilannya beliau seorang jawarah. Atau pemimpin di dusun Baghi ini? Dadanya yang bidang, mempertegas karakter beliau, jika beliau bukan sosok penakut.

Aku masih melihat gelagat mereka. Secara fisik, Sang dukun besak duduk seperti orang semedi. Sesekali tangannya di angkat ke atas. Secara batin maka akan terlihat gelombang energinya menarik beberapa sosok untuk mendekat. Kuakui, energinya besar sekali. Apalagi dibantu oleh beberapa khodam pendampingnya. Mang Ujang turut duduk bersilah di belakangnya. Sesekali tangannya seperti menarik sesuatu dari depan. Padahal di hadapannya sosok Si dukun besak yang sedang mengerahkan kekuatan gaibnya. Aku tidak melihat energi apa-apa pada Mang Ujang kecuali gerakan -gerakan kosong. Lagi-lagi Mang Ujang ingin pamer dengan rombongan yang ikut dengannya. Ingin menunjukkan jika dia juga memiliki ilmu kesaktian. Aku senyum-senyum melihatnya. Rasanya ingin kusentil saat itu juga.

Dari interaksi Sang dukun dengan makhluk asral yang berada di dusun Baghi, mereka tetap bertahan tidak mau menyerahkan apa pun bentuknya benda pusaka yang mereka naungi.

“Apa keperluanmu sampai ke ranah Besemah ini! Mengapa kamu mengacak-ngacak kedamaian dusun kami. Yang bisa dan kami izinkan mengambil benda-benda pusaka ini hanya anak cucu kami. Yang berdarah Puyang Kedum Tengah Laman. Karena ini pesan beliau pada kami. Itupun kalau cucunya menghendaki” Ujar sosok jawarah dengan gagah. Dia berada paling depan. Beberapa sosok lain sudah siap-siap melakukan perlawanan. Nampaknya Sang dukun besak tidak menghiraukan pernyataan sosok jawarah tersebut. Ini terlihat dari gerakan-gerakannya hendak menyerang.

Melihat tuannya hendak menyerang, para jin pengikutnya pun melakukan hal yang sama. Jumlah mereka cukup banyak. Sebentar lagi aku yakin akan terjadi peretempuran. Jantungku berdegup kencang ikut emosi melihat pertarungan yang tidak seimbang tersebut. Pasukan Si dukun besak ribuan jumlahnya. Sementara penghuni dusun Baghi hanya beberapa orang saja.

Hiiiaaat!!

Suara Sang dukun mengisi ruang hutan mengerahkan kemampuan ilmu gaibnya. Ternyata, penjaga pusaka dusun Baghi tidak bisa dianggap enteng. Beliau melakukan perlawanan dan berhasil mendorong Sang dukun. Tubuh dukun besak terjungkal. Namun tidak lama, beliau bangkit lagi. Kali ini beliau menyuruh khodam dalam kerisnya melawan penjaga pusaka dusun Baghi, sementara dirinya mencoba menarik benda-benda pusaka.

Pertarungan tidak bisa dielakan. Makhluk gaib itu saling serang dan mengeluarkan ajian masing-masing. Melihat gelagat itu diam-diam aku pagari benda-benda yang hendak di tarik sang dukun. Beberapa kali dia hendak menarik, selalu gagal dan terpental. Aku mengalihkan perhatian pada pertarungan dua jawarah. Ajian-ajian pamungkas keduanya terlihat luar biasa. Aku melihat beberapa ajian makhluk gaib Sang dukun mirip-mirip dengan yang dimiliki oleh tiga dukun dari pulau Jawa di perbatasan Lampung tempo dulu. Kadang dirinya berubah menjadi api yang menyalah, melesat ke sana kemari. Kekuatan yang dimilikinya ikut menarik energi sekitarnya. Dan hawa panasnya membuat kulit terasa terbakar.

Lama kelamaan aku melihat penjaga dusun Baghi sudah mulai kelelahan. Tubuhnya beberapa kali sempoyongan. Sang dukun dan pasukannya bukan lawan seimbang. Sementara yang lain juga tengah bertempur dengan pasukan Sang dukun. Melihat kondisi itu aku tidak tinggal diam. Sambil berzikir kuhantamkan kakiku ke bumi sembari mendorong angin kencang ke depan. Pihak lawan terjerengkang seperti disapu. Termasuk jawara yang sedang bertarung melawan penjaga dusun Baghi. Aku melompat ke tengah arena, menyingkirkan semua makhluk dari dusun Baghi agar berdiri di belakangku. Mereka makhluk-makhluk asral dari golongan yang tidak mengganggu bangsa manusia. Berbeda dengan lawannya ini, bangsa jin yang kerap dipakai sang dukun untuk menyakiti bangsa manusia. Wajar jika mereka sangat ganas.

“Sontoloyo! Siapa kau perempuan? Berani sekali kau menghalangi kami” Makhluk tinggi besar itu menudingku ketika ajiannya sempat kudorong dan gagal.

“Kau yang sontoloyo. Datang kemari membuat kekacauan. Ini tanah nenek moyangku. Tak kuizinkan sejengkal pun kalian rusak. Apalagi jika hendak mengambil harta yang berada di sini. Apa pun bentuknya, tidak akan kuizinkan.” Ujarku balik menudingnya. Mereka tertawa terkekeh-kekeh. Mungkin karena merasa pasukannya sakti semua, membuat sang khodam besar kepala. Mereka menatapku seperti melihat mangsa. Wajah buas dan lapar nampak terpancar setiap wajah mereka.

Aku mulai membaca mantra dan terus melantunkan zikir di batin. Semua pasukan dari dusun Baghi kupagari agar mereka tidak diserang tiba-tiba.

“Jangan ikut mencampuri urusan kami, anak manusia” Ujar khodam itu kembali.

“Ini urusanku, karena kalian sudah berani membuat keonaran di kampungku. Kalian yang harusnya tahu diri bagaimana tata krama masuk ke wilayah orang. Tuanmu menginginkan pusaka yang ada di dusun ini bukan? Jangankan memilikinya, menyentuhnya saja tidak akan aku izinkan! Camkan itu!” Ujarku tak kalah gertak.

Selanjutnya dia mengajakku bertarung. Katanya ingin menjajal ilmu perempuan kampung. Kulihat sekujur tubuhnya berubah menjadi api. Aku makin waspada.

“Hati-hati, Cung. Lawanmu sangat kuat… ” Ujar penjaga dusun Baghi sedikit berbisik dengan menggunakan bahasa Besemah. Kujawab agar beliau mendoakan aku.

Apa yang dikatakan penjaga dusun Baghi memang benar. Aku bisa menakar kemampuan makhluk di hadapanku. Nampaknya memang beliau petarung yang tidak terkalahkan. Aku mencoba menyerap semua energi. Energi bumi, langit, angin, dan energi matahari. Semua energi itu kuhimpun jadi satu. Serangan demi serangan seperti peluru menghantamku. Sebagian serangan itu kutahan, sebagian lagi kukembalikan. Aku mulai serius melakukan perlawanan. Apalagi ketika kibasan apinya menyambar-nyambar.

Sang dukun besak masih berusaha menembus pagar yang kubuat. Berkali-kali beliau mengerahkan kekuatannya untuk mengambil benda – benda yang dia inginkan. Aku ingatkan pada penghuninya agar diam tidak usah melakukan perlawanan. Istana-istana mereka dalam keadaan aman meski beberapa makhluk yang mendampinginya turut membantu.

Hiiiiiaaaat!! Hap! Hap!

Aku menghantam lawan dengan selendang. Api tubuhnya membentuk percikan dan nyalanya semakin membumbung. Segera kuputar kekuatan ke atas. Aku menghimpun kekuatan halimun dan es. Kabut bergulung bersama bola es yang kuhimpun. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam, kudorong bola dan halimun ke arah lawan.

Caasssss!!

Desis api terkena air seperti petir yang merambat. Aku melakukan kekuatan dua kali lipat dari semula dan kembali menghantamnya. Luar biasa, makhluk itu tetap bisa bangkit meski tubuhnya tidak menyala lagi.

Ketika aku sibuk menghadapi para khodam Sang dukun, ternyata beberapa benda pusaka berhasil ditarik oleh Sang dukun besak. Pagar yang telah kupasang ada yang jebol. Aku melihat Sang dukun sedang menetralisir tombak tangan berukuran sedang. Selanjutnya ada guci emas yang sering kami sebut ‘guren’. Beliau juga berhasil pula menarik cuntang (uang kuno), keris kecil, piring kecil seperti tatakan air terbuat dari keramik bergambar naga, andarun berbungkus kotak berwarna emas, tongkat kecil terbuat dari kuningan. Melihat kenyataan itu pikiranku menjadi bercabang. Antara melakukan perlawanan dengan khodam Sang dukun, dengan melindungi benda-benda pusaka yang hendak ditariknya. Aku segera membaca mantera memecah diri menjadi dua. Kusuruh bayanganku melindungi benda-benda pusaka yang lain. Tarik menarik terjadi kembali. Beberapa kali kulihat Sang dukun dan khodamnya terjungkal. peluh sudah membasahai wajah Sang dukun. Nafasnya terdengar sedikit memburu.

Angin kembali mendesau kencang. Aku melihat ada kekuatan baru yang mereka gabungkan. Beberapa sosok dalam keris ke luar siap menyerang. Melihat itu, aku kembali mempersiapkan diri dengan jurus baru. Sementara kekuatan bumi, langit, angin dan matahari masih kutancapkan untuk menghalangi dan menghantam lawan. Aku memutar selendang, dan mengayunkannya ke atas. Tak lama suara dengungannya seperti ribuan lebah. Kuisi tiap desau anginnya dengan zikir hingga membentuk seperti lingkaran putih. Sosok-sosok yang semula hendak menyerang semuanya menyingkir tidak mampu mendekat. Terakhir, selendangku seperti tangan menangkapi mereka lalu kukunci. Melihat kawan-kawannya dengan mudah kupatahkan, Sang dukun mulai naik pitam.

“Wujudkan sosokmu kemari perempuan sundel. Aku tidak suka melawan manusia dalam bentuk halus. Rupanya kau yang menakut-nakuti kami sejak awal” Ujarnya. Rupanya beliau baru sadar jika ada yang mengikutinya sejak tadi. Aku pun segera hadir di hadapannya. Kulihat ekspresinya berubah, kaget dan pucat. Beliau mungkin tidak menyangka akan berhadapan dengan wujud manusia beneran. Apalagi wajah Mang Ujang yang kenal denganku. Wajahnya pucat pasi. Demikian juga yang lain. Mungkin mereka tidak menyangka juga jika dihadapannya adalah aku. Aku segera memagari mereka agar tidak bisa kabur. Kusuruh penghuni dusun Baghi berdiri di tiap sudut menjaga agar tidak ada yang ke luar dari arena dusun. Mereka patuh melakukan tugas yang kuberikan meski kami tidak kenal satu sama lain.

“Dedek” mulut Mang Ujang menganga tidak percaya. Aku tidak menghiraukannya dan kawannya yang lain pun menyebut-nyebut nama Bapak, Kakek Haji Yasir dan Nenek Kam. Aku tetap fokus pada Sang dukun yang tengah siap-siap mengeluarkan ajian-ajiannya.

“Apa yang engkau inginkan dari tanah Besemah ini, Pak Dukun? Ingin menguasai benda-benda pusaka dari tanah kami?” Ujarku sedikit lunak.

“Iya, aku akan ambil semua benda pusaka di sini. Jagan kau halangi kami” Ujarnya dengan nada keras.

“Silakan jika sanggup. Tapi jika tidak sanggup, maka pusaka yang sudah Bapak ambil, akan kuambil kembali.” Ujarku masih datar. Sang dukun dan khodamnya menatapku marah.

Aku mulai memasang kuda-kuda. Kuhimpun energi. Kali ini aku panggil badai. Tak lama angin bergulung menderu seakan mau merobohkan semua pohon di dusun Baghi ini. Sang dukun terhuyung-huyung ditahan oleh beberapa khodamnya. Mereka serentak menyerang dengan berbagai kekuatan. Dengan Bismillah kuhantam dengan angin badai, selanjutnya kekuatan mendorong gunung. Sang dukun dan khodamnya kembali terpental. Bahkan Sang dukun muntah darah.

Melihat tuannya nyaris tak berdaya, para khodam pengisi keris kembali ke luar. Termasuk jin Besemah yang baru dikurung Sang dukun beberapa waktu lalu. Mereka kuberi dua pilihan, jika ingin lepas dari Sang dukun, menyingkir dari arena, namun jika mau mati mereka boleh maju melawanku. Ternyata mereka memilih menyingkir. Tinggallah khodam bawaan Sang dukun. Termasuk kembar tiga pun hadir bersama seekor harimau besar dan gagah.

Di tanah Besemah sebenarnya tidak kenal istilah siluman. Namun yang hadir saat ini orang seberang menyebutnya siluman. Siluman ular, siluman harimau, silamunan naga, siluman kera. Belum lagi sosok besar hitam, yaitu genderowo. Makhluk-makhluk sakti itu membentuk kekuatan baru. Beberapa sosok penjaga dusun Baghi hendak menolong ingin ikut bertarung. Sekali lagi aku halangi mereka. Meski beberapa di antara mereka petarung, tapi aku takut mereka cidera.

Hiiiiaaaat!

DuaRR! DuaaRR!!

Hantaman petirku menyambar-nyambar lawan. Sejenak mereka kewalahan. Entah siapa yang mengomando, aku mendengar zikir pelan-pelan mengalun membuat lawan semakin emosi. Tiba-tiba harimau besar dengan taring mengaum melangkah maju menghampiriku. Pukulan petirku tidak berefeks sama sekali padanya.

“Kau terlalu sombong anak manusia. Lawan aku Ki Aji Saka. Aku harimau prajurit Prabu Siliwingi. Raja terkuat dari seberang” Suara berat harimau mengaku prajurit Prabu Siliwangi. Sejenak aku membaca pikirannya. Ah! Makhluk ini berdusta. Mengaku-ngaku harimau Prabu Siliwangi. Selama ini Sang dukun sangat percaya dengan bualannya. Padahal dia adalah jin fasik yang sebelumya liar dan nakal. Kubiarkan dia menggeram. Langkahnya berat membuat bumi bergetar.

Hiiat! Hap! Hap!

Aku segera membaca mantra. Segera diriku berubah menjadi harimau putih. Aku mengaum sembari mencakar bumi menerima tantangannya. Sang Dukun dan rombongan semakin terbelalak ketika melihat diriku berubah menjadi nenek gunung berwarna putih. Aku maju menghampiri harimau yang mengaku prajurit Prabu Siliwangi.

“Siapa pun kamu, aku tidak takut! Jangan kau mengaku-ngaku prajurit Prabu Siliwangi. Kau adalah siluman liar yang lapar, mengabdi pada dukun itu” Ujarku membuatnya makin marah. Dalam hitungan detik harimau itu melompat ke arahku. Namun aku sudah siap dengan cakar langitku. Ketika tubuhnya melompat tinggi, aku membanting diri sembari mengirimkan cakaran ke perutnya. Ternyata cakaranku tidak berefeks sama sekali. Dia kebal meski cakaranku bukan cakaran biasa.

Aku mundur beberapa langkah. Tubuh harimau mulai berputar-putar seperti hendak mencari mangsa. Aku meningkatkan ajianku. Percuma aku menggunakan kemampuan cakar dan taring, makhluk ini tidak bisa dilukai. Kupanggil halimun, lalu kuhimpun di mulutku.

Sekarang aku harus berhadapan langsung dengannya. Kami sama-sama maju. Tatapan matanya tajam dan bengis. Aku tak mau kalah. Kutatap matanya dalam-dalam. Setelah dekat dia angkat kaki depannya untuk mencakar wajahku. Dengan cepat kuelakkan tangannya sembari menghembuskan halimun ke wajahnya. Saat itu juga matanya rabun karena halimun yang telah kumantrai. Cakar dan harimau mulai ngawur meski masih terus melakukan perlawanan dengan ajian-ajiannya. Dia tidak dapat melihat karena perih. Aku segera mengeluarkan selendangku lalu kupukul ke tubuhnya dengan keras

Das! Das! Tubuh harimau terpental setelah dua pukulan telak mengenai kepala dan perutnya. Lama kutunggu, tidak bergerak. Mungkin pingsan.

Wajah Sang dukun semakin cemas melihat harimau tersungkur. Matanya menatapku tajam, ingin marah namun merasa takut juga.

Belum sempurna terasa lega menarik nafas, tiba-tiba Sang dukun memerintahkan naganya menyerangku. Sang naga seperti terbang langsung menyerangku dengan kekuatan dasyat pula.

Semburan dan sabetan ekornya yang mematikan menghantamku berkali-kali. Aku segera mengubah diriku menjadi sosok manusia kembali. Bagiku melawan naga lebih leluasa menjadi sosok manusia. Aku akan lebih asyik bermain dengan senjata. Kali ini selain melawan naga dengan cahaya biru permata untuk menyedot energinya ke telapak tanganku, kupikir aku juga bisa menggunakan senjata lainnya. Hantaman ekornya yang keras kulawan dengan pedang. Sang naga menggeram makin ganas merasa kepanasan dan kesakitan. Beberapa kali pula sabetan ekor dan jilatan api dari mulutnya bisa kuelakkan.

Pertempuran terasa begitu sengit. Tidak mudah menghadapi naga yang sakti ini. Meski bertubuh besar dan meliuk-liuk namun dia tetap lincah. Apalagi diiringi dengan ilmunya yang luar biasa. Aku menahan sakit luar biasa ketika ekornya menghantam pundak kananku. Rasa nyeri membuat aku rasa tak mampu mengangkatnya.

Dengan cepat kuambil sabukku, lalu kuubah menjadi ular naga pula untuk melawan sang naga yang ganas itu. Pertempuran mereka berlangsung di udara. Aku menarik nafas panjang. Sedikit banyak aku bisa memulihkan energiku yang sudah terkuras banyak lebih awal. Begitu juga sosok bayanganku, pun ikut lelah melawan Sang dukun besak itu.

Baru saja aku hendak semedi, tiba-tiba pukulan keras menghantamku dari belakang. Aku tidak sempat mengelak. Pukulan itu cepat sekali. Nyaris tidak terdengar angin pukulannya. Aku merasakan tubuhku remuk. Aku jatuh tertelungkup. Nafasku terasa sesak. Aku tak mampu bangkit. Kupejamkan mata. Padanganku menjadi gelap dan berkunang-kunang. Belum sempat aku menarik nafasku yang tinggal satu-satu, sekali lagi pukulan keras menghantam kepalaku. Tubuhku seperti dihimpit benda yang sangat berat. Aku pasrah ketika dadaku terasa dihimpit. Kali ini aku tidak bisa menarik nafas. Hanya hatiku saja tidak henti berzikir meski aku merasakan seperti sudah kehilangan detak jantung.

“Bangun, Cung!” Tiba-tiba ubun-ubunku ada yang menghembus pelan. Aku merasakan energi baru masuk ke dalam tubuhku. Aku berusaha bangkit dan membuka mata. Entah dari mana datangnya, aku melihat sosok ular besar bergelung di pohon besar melakukan perlawanan pada beberapa sosok asral yang mirip hewan. Sejenak aku memperhatikannya. Semua berjalan begitu cepat. Tiba-tiba hadir makhluk yang tidak kulihat sebelumnya. Aku mengira-ngira yang mana pihak lawan dan yang mana kawan. Oh ternyata ular besar itu yang membantuku. Aku dipukul puluhan makhluk asral milik Sang dukun bersamaan. Siluman harimau itu siuman, bangkit, dan kembali menyerang. Dialah yang menghantam kepala dan punggungku terakhir. Lalu si harimau balik dihantam oleh ular hitam yang bergelung itu.

Aku baru saja hendak bangkit menghimpun kembali energi untuk membantu ular besar hitam. Baru separuh berdiri tiba-tiba dadaku sesak kembali. Rupanya Sang dukun melakukan penyerangan kembali sebelum aku bangkit. Aku kembali muntah darah. Aku menahan sakit dengan terus melafazkan asma Allah. Hanya ini yang dapat kulakukan. Sementara erangan makhluk halus yang dihantam ular dan terluka seperti suara gempa menggetarkan.

Di antara waktu yang kembali genting. Kukeluarkan cemeti dari tanganku. Demikian juga dengan pedang yang ke luar tiba-tiba. Keduanya berubah bentuk menjadi sosok menyerang Sang dukun. Hanya satu kali hentakan, Sang dukun terkapar. Selanjutnya cemeti dan pedangku mengejar para penyerang ular besar hitam, gerakan cemeti dan pedangku sangat cepat. Makhluk-makhluk asral itu dengan mudah mereka takhlukkan. Ada yang terkapar dengan kepala pecah, ada yang tubuhnya terpotong-potong. Aku mencoba memulihkan diri. Tiba-tiba aku merasakan punggungku di pegang lalu hawa hangat pelan-pelan mengalir. Kepalaku dipegang dan ditotok beberapa bagian. Rasa sesak yang sangat, pelan-pelan hilang. Dalam sekejap aku merasa segar kembali meski punggungku dipukul-pukul dan kembali memuntahkan darah segar.

“Tarik nafas” Suara halus di telingaku. Aku melakukannya sembari berusaha memulihkan diri sendiri. Setelah kutoleh sosok perempuan tua tersenyum padaku.

“Terimakasih, Nek” Ujarku meraih tangannya. Sejenak aku berpikir, aku belum pernah bertemu perempuan ini sebelumnya tapi mengapa aku merasa sangat mengenalnya? Aku tidak sempat untuk berpikir lama-lama. Pihak lawan masih ada beberapa sosok lagi.

Hiiiat!

Aku mengembangkan selendangku. Sekali sabet pihak lawan kuikat erat dan kukunci.

Angin berhembus tenang. Perempuan dan ular hitam masih terpaku di tempatnya. Aku menghampiri Sang dukun besak yang tertelentang tak mampu bergerak. Benda pusaka di tangan Mang Ujang kuminta baik-baik.

“Sini, Mang. Benda ini bukan milik kita. Apalagi dukun Sumedang ini. Mamang telah menjembataninya merusak dan mengajak beliau memporakporandakan alam gaib di dusun ini” Aku mengambil semua benda pusaka di tangan mang Ujang. Sambil membaca mantra, aku kembalikan benda-benda itu ke tempatnya semula. Demikian juga benda yang sudah ditarik Sang dukun lebih dulu, kuambil dan kukembalikan pula ke alam gaib. Bangsa gaib dan penunggunya bermai-ramai sujud dan mengucapkan terimakasih lalu menyerahkan diri padaku.

“Tidak usah berlebih-lebihan Nenek dan Puyang. Ini kewajibanku. Aku juga tidak ingin dusun kita porak -poranda. Kembalilah, dan jagalah kembali benda-benda itu sebaik-baiknya. Maafkan jika aku tidak ingin memiliki benda-benda itu. Biarlah dia jadi kekayaan di alam kalian, tempat tinggal kalian. Dusun kita, dusun moyangku” Ujarku pelan. Akhirnya para jin penjaga pusaka kembali ke tempat masing-masing. Hutan dusun Baghi kembali hening.

Melihat tingkahku, Mang Ujang tidak bisa berkata-kata. Kakinya gemetaran dengan wajah pucat pasi.

“Silakan pulang, Mang. Bawalah dukun besak ini.” Ujarku lagi. Sambil menunjuk Pamannya yang tidak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Beliau hanya bisa merintih menahan sakit. Bahkan mau berbicara minta tolong pun sudah tidak bisa. Ilmunya kutarik, dan khodamnya sebagian mati, sebagian lagi kukurung.

Mang Ujang dan rombongan buru-buru meninggalkan hutan. Sang dukun mereka gotong ramai-ramai. Sepeninggal mereka, perempuan yang mengobati aku dan sosok ular hitam mendekat.

“Aku ular Puyang, Selasih. Aku tinggal di tebat Puyang seberang dusun ini. Aku terpanggil membantu anak cucung. Apalagi melihat dirimu yang bertarung” Ujar sosok ular hitam. Selanjutnya perempuan tua yang membantuku turut berkata.

“Aku Nenek Bakek, Cung. Salah satu puyangmu” Ujarnya mengelus wajahku.

Mendengar Nenek Bakek, aku langsung sujud padanya. Perempuan bertubuh mungil ini adalah puyangku. Beliau adik ibu Kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani. Wajar saja aku seperti kenal walau belum pernah bertemu sebelumnya. Selama ini aku hanya mendengar cerita tentang beliau dari Ibu, Nenek Kam, dan Kakek. Kemampuan beliau lebih tinggi setingkat tinimbang Nenek Kam. Beliau juga disebut manusia damai, karena sangat dekat dengan nenek gunung. Bedanya, nenek Kam masih banyak bersosialisasi dengan bangsa manusia, tetapi kalau Puyang Bakek lebih banyak berdiam bersama nenek gunung-nenek gunung baik di hutan belantara maupun di gunung Dempu. Pada masanya, sesekali saja beliau ke luar, menampakkan diri di kampung.

Menurut ibu beliau sudah meninggal, namun menurut nenek Kam beliau pulang ke alam gaib dan menjadi betapa di dusun silam, bukit Mercawang.

“Maafkan aku, Puyang. Aku tidak mengenal Puyang. Namun batinku mengatakan kita sangat dekat. Terimakasih sudah membantuku” Ujarku memegang tangannya. Meski sudah keriput, namun Puyang Bakek terlihat bersih. Kulitnya putih, rambutnya pun juga sudah putih. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda. Beliau tidak penyirih seperti Nenek Kam.

“Aku senang melihatmu, Cung. Meski baru kali ini bertatap muka. Tapi aku tahu siapa dirimu. Aku sudah sangat lama meninggalkan bumi yang bercahaya. Aku lebih senang bertapa, makanya aku jarang muncul. Tapi mendengar kegaduhan di dusun laman, hati Puyang terpanggil pulang. Makanya Puyang ada di sini,” lanjut beliau lagi. Ketika beliau tengah menciumku, angin pelan berhembus menandakan hadirnya sosok-sosok lain. Aku mendongak. Ternyata kakek Andun, Kakek Njajau, Nenek Kam, Eyang Kuda, Macan Kumbang, dan Putri Bulan berdiri di sudut dusun memandang pertemuan kami. Ular hitam penunggu tebat puyang pamit kembali ke tempatnya. Tinggallah aku dan puyang Bakek, bertatapan sambil tersenyum bahagia. Kembali aku dipeluknya.

Bersambung…
close