Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 31) - Kisah Nyata


JEJAKMISTERI - Kakak iparku Abdullah menelpon.

“Ada kesibukan apa di rumah?” tanya Abdullah.

“Ya nganggur, ndak ada kesibukan apa-apa.” jawabku.

“Bagaimana kalau bekerja di Saudi Arabia? ya itung-itung bisa hajian,” kata dia.

“Ya ndak papa, karena kalau di rumah terus kok kayaknya gak banyak pengalaman, lalu bagaimana sistimnya?” tanyaku yang memang awam soal kerja di Saudi.

“Besok datang saja ke PT, karena besok ada manager dari sana yang langsung melakukan survei.” jelas Abdullah.

“Baik nanti malam aku berangkat dengan travel.”

Malamnya aku berangkat ke PJTKI untuk ikut wawancara. Sampai di PJTKI aku ketemu Macan, yang menjadi bapak asuh penjaga semua TKI.

“Ngapain ke sini?” tanya Macan.

“Bekerja di Saudi.” jawabku.

“Hahaha, kamu mau kerja di Saudi?”

“Apanya yang salah, kodok itu harus keluar dari tempurung Can, biar tak mengira kalau dunia itu hanya dalam tempurung.” kataku berdalih membela kepentinganku.

“Ya kau memang paling bisa membuat alasan.”

“Tapi kenyataannya kan kayak gitu…, kalau mau ikut jangan malu-malu..”

“Byuh aku ini kalau pisah sama istri seminggu saja nekak nekuk gak karuan, kalau setahun apa ndak nanti pulang dari Saudi ndak dalam keadaan setres?”

“Ya kalau gitu jangan ikut, daripada kamu setres, aku juga yang ngurus…”

Di PJTKI aku berkenalan dengan seorang TKI suami istri yang sudah lama bolak-balik kerja di Saudi, namanya Najib. Dia dan istrinya ketemunya juga di Saudi, dan pulang ke Indonesia kemudian menikah. Najib dari Ciamis dan istrinya orang Makasar.

“Mas ini ya yang katanya adiknya pak Abdullah..?” tanya Najib.

“Iya… ada apa mas?”

“Maaf, kenalkan dulu mas, namaku Najib,” kata Najib memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya.

“Namaku Febrian,” ku jabat tangannya.

“Lagi main ke PJTKI ya mas?” tanya dia.

“Oo tidak, aku mau ikut wawancara kerja di Saudi.”

“Wah kerja di sana berat mas.” jelasnya, “Saya ini sudah 6 kali bolak-balik ke Saudi, jadi tiap dua tahun pulang, jadi di sana sudah 12 tahun mas.”

“Wah lama juga ya. Berarti sudah banyak dong uangnya.”

“Uangnya habis di jalan mas.”

“Lho kok bisa gitu?”

“Ya uang dari sana itu kayak ndak berkah mas, mudah habis, tak tau kenapa kok gitu, ya uang kayak menguap begitu aja.”

“Trus kamu sama istri kerja di sana ini kerjanya apa?”

“Saya jadi sopir, dan istriku jadi pembantu rumah tangga mas, ini menunggu dapat Visa yang butuh suami-istri dalam satu majikan, la mas sendiri kerja apa?”

“Aku juga belum tau kerjanya apa, dan di mana, katanya denger-denger kerja di pabrik semen, kurang tau pasnya.” jelasku yang memang kurang tau.

Tiba-tiba Najib mengeluarkan kertas dari tasnya, “Maaf mas, ini kertas perjanjian kerja saya, saya juga belum tau ini majikannya baik atau tidak, entah bagaimana orangnya, saya minta mas mau meniup kertas ini, biar saya mendapat majikan yang baik.” kata Najib menyerahkan kertas perjanjian kerja padaku.

“Maksudnya niup itu bagaimana?” tanyaku tak mengerti.

“Istriku tau dari banyak TKW, kalau mas sering dimintai do’a kalau ada TKW mau berangkat ke Saudi, supaya diberi keselamatan, mendapat majikan yang baik, dan pulang dengan selamat.”

“Ooo itu, iya sih memang banyak yang minta ke rumah, dan memang kebetulan juga kabarnya selalu mendapat majikan yang baik.”

“Makanya saya minta ini ditiup mas…, biar saya juga dapat majikan yang baik.” jelasnya.

Kertas ku ambil lalu ku tiup, dan sebentar kemudian aku telah berpisah dengan Najib, karena dia dipanggil, sebab pesawat keberangkatannya jamnya sudah sampai.

Malam pertama, setelah sholat isya’ aku memilih nongkrong di pos penjagaan, tidak kumpul dengan para TKL, tempat TKL ada di penampungan bagian depan, di samping ada penampungan lain, di daerah Cipinang, sementara penampungan belakang diisi para TKW, jadi ingat waktu di pondok ramai wanita, kalau ini ingin merubah jalan hidupnya, merubah ekonominya, sementara di pesantren para santri ingin mendapat ilmu. Tiba-tiba seorang pegawai kantor menemuiku dengan tergopoh-gopoh.

“Mas… mas Ian ada TKW yang yang kerasukan…!” kata petugas itu.

“Di mana?” tanyaku.

“Ya di penampungan putri.” jawab dia sambil tangannya menunjuk penampungan putri.

“La si Macan kemana?” tanyaku.

“Mas Macan keluar.., tolong mas kasihan.”

“Aku pun ke dalam penampungan putri, diiringi satpam dan petugas kantor yang jaga.”

Masuk ke dalam, di dalam ramai sekali perempuan dengan berbagai macam, ribut mengerungi yang kerasukan. Tapi baru sekitar jarakku dengan yang kerasukan masih lima meteran, yang kerasukan sudah tersadar.

“Permisi-permisi, tolong dikasih jalan, biar yang kerasukan ku lihat.” kataku meminta agar perempuan yang mengerubuti menyingkir, bau khas perempuan amat pekat.

Ku lihat yang kerasukan, ku dekati, sudah tak ku rasakan getaran jin, ku pagar tubuhnya.

“Sudah-sudah ndak papa, ayo dibawa ke kamar.” kataku, kepada yang mengerubuti, dan tubuh perempuan itupun dibawa masuk ke kamar.

Sementara aku kembali ke depan, ke pos satpam, ngobrol sama yang lain yang ikut nongkrong di pos.

“Apa sering terjadi kerasukan kayak gitu? ” tanyaku pada satpam.

“Sering juga mas…, ” jawab satpam.

“Harusnya Macan memagar tempat ini, jangan dibiarkan angker, soalnya ini kan tempat kumpul para orang yang punya latar belakang beda-beda, ada yang setres, ada yang punya kasus di rumah, jadi akan amat mudah kerasukan.” jelasku.

“Mas mau besok membersihkan tempat penampungan yang satunya, soalnya di sana juga banyak yang menampakkan diri hantunya.”

“Ndak papa, nanti dibersihkan, tentunya kalau aku ada waktu.”

Malam makin larut, sudah sekitar jam 12 malam, aku memilih sholat isya’ dan kemudian dzikir di dalam ruang tidur pos satpam, yang terletak di belakang pos penjagaan.

Hujan rintik-rintik, baru setengah jam duduk dzikir, pintu gerbang penampungan ada yang mengetuk, aku tetap dalam dzikirku, tak tau tamu mana yang masuk, baru seperempat jam tamu masuk, tiba-tiba petugas dari dalam mendatangiku.

“Mas-mas tolong mas, ada TKW ngamuk…” kata petugas itu.

“Lhoh apa yang kerasukan tadi?” tanyaku.

“Bukan mas, ini yang baru datang tadi…” kata satpam yang menyertai.

“Ngamuknya kenapa?” tanyaku. Wah kok malah aku yang ngurusi TKW…

“Dia di dalam mas, sedang dipegangi orang banyak, soalnya kepalanya dibentur-benturkan ke tembok, sampai berdarah-darah, katanya mau bunuh diri.” jelas satpam.

Aku segera beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dari dalam ada perempuan yang berlari, dikejar sama TKW lain. Semua segera berusaha menangkap, seperti mau menangkap kambing kurban yang lepas, karena ogah disembelih, aku melihat saja, sampai TKW itu ditangkap.

“Coba bawa ke pos satpam.” kataku.

Lalu TKW itu pun dibawa ke pos satpam, dan tetap berusaha berontak. Ku tempelkan tanganku ke kepalanya, dan ku salurkan hawa penenang ke pikirannya. Perlahan perempuan muda itu mulai tenang. Lalu nangis sesenggukan.

“Ya Alloh berdosanya aku, aku perempuan kotor, bagaimana suamiku, bagaimana dia mau menerima aku, ya Alloh…!” kata perempuan itu meracau, nampak di jidatnya berdarah. Mungkin jidatnya itu yang dibentur-benturkan ke tembok.

“Aku mati saja…, mati saja.. huuu..huu..” kata perempuan itu berulang-ulang, di antara tangisnya sampai tubuhnya terguncang.

“Ada apa to mbak, ada masalah bisa diselesaikan, apa mati itu bisa menyelesaikan masalah? Apalagi kalau mati bunuh diri, bisa jadi di sana akan disiksa sampai hari kiamat, apapun masalah itu, maka ada jalan menyelesaikannya.” hiburku masih tetap menempelkan tanganku ke kepalanya, agar tenaga prana menenangkan pikirannya dan memang perlahan tapi pasti dia mulai berhenti menangis.

“Kau tak ikut merasakan yang aku alami di Saudi mas… jadi tak merasa sedih.” katanya yang mulai tenang, sementara beberapa lelaki di pos satpam tetap berjaga, takutnya perempuan itu kabur.

“Ya aku mungkin tak ikut mengalami, tapi kalau mbak mungkin punya pengalaman pahit dan tak tahan memendamnya sendiri, bisa diceritakan padaku, jika aku sanggup membantu mencarikan solusinya, maka akan ku bantu dengan sekuat tenagaku.” kataku, dengan nada datar takut mengejutkan kejiwaannya yang terguncang, pasti tak ringan yang dialaminya di sana.

“Aku ini baru berangkat ke Saudi sebulan kemaren mas, dan sampai di majikanku, dan mas tau aku di sana cuma dijadikan pelampiasan nafsu digilir tiap hari oleh, ayah, anak, paman dan keluarga mereka, yang aku tak tau, aku selalu disekap, dipegangi, diperkosa ramai-ramai, huuu… huuu… betapa malangnya nasibku… cabutlah nyawaku ya Alloh.. bagaimana dengan suamiku, dengan kekotoranku ini…”

Aku ikut menitikkan air mata, tak terbayangkan akan yang dialami oleh perempuan di depanku, wajar bila jiwanya terguncang.

“Ya tenangkan diri mbak, mbak mengalami itu bukan karena keinginan sendiri, jadi mbak orang yang didzolimi, bukan orang yang dengan sengaja melakukan perbuata keji, lalu bagaimana mbak bisa pulang?”

“Aku kabur mas, kabur melewati jendela, ini lihat tanganku bekas diikat.” katanya sambil menunjukkan tangannya, dan memang ada bekas luka ikatan.

“Lalu sampai di Indo?”

“Aku kabur ke kedutaan mas, dan dipulangkan.” jelasnya.

“Sudah sekarang tenangkan diri, yang menimpa nanti diurus.” kataku menenangkan.

“Aku ingin ganti baju mas.” katanya, memang tadi bajunya kotor karena lari-larian jatuh bangun. Seorang TKW segera menyerahkan tas berisi baju pada perempuan itu, dan perempuan itu diantar ke kamar mandi yang ada di belakang pos satpam.

Aku masuk lagi ke dalam kamar satpam.

Sepuluh menit berlalu, seperempat jam berlalu, di luar adem ayem saja. Aku keluar kamar, dan ku lihat satpam juga petugas PJTKI masih ngobrol.

“Lhoh mana perempuan tadi?” tanyaku.

“Ya masih di kamar mandi mas.” jawab satpam.

“Lhoh, gimana to, yaaa kabur pasti, ” kataku memperingatkan.

Kamar mandi segera digedor, tapi tak ada sahutan.

“Udah didobrak saja.” kataku.

Kamar mandi pun didobrak, dan dalam keadaan kosong, nampak jejak di dinding, pertanda perempuan itu telah kabur.

Aku hanya geleng-geleng kepala, tak taulah, apa yang terjadi, padahal sudah jam 2 dini hari.

Paginya wawancara dengan manager pabrik semen berjalan lancar, aku dites membuat aneka motif aliran kaligrafi dan aku dinyatakan lulus, aku tinggal ikut medical, BAP, dan menunggu terbang.

“Ayo ke penampungan lama mas.” kata seorang pegawai PJTKI.

“Jadi mau dipindah di penampungan baru ya?” tanyaku.

“Wah mas Ian lupa, kan mas mau bersihkan tempat itu dari gangguan jin?” kata pegawai yang bernama Arif Rahman.

“Di penampungan itu kosong kok mas, ndak ada penghuninya, cuma ada sopir suami istri, juga yang mau berangkat ke Saudi.” jelas Arif rahman.

“Oo kirain mau dipindah…”

“Mari mas, berangkatnya ku bonceng motor.” ajak Arif.

Akupun dibonceng Arif, meliak liuk di antara mobil yang terjebak kemacetan Jakarta, kadang harus masuk gang sempit, dan becek, juga menyerempet tong sampah, memang begitulah Jakarta, kebersihannya dan tak macetnya terlanjur menempel di lidah para gubernur dan walikotanya, sehingga mengurainya harus mengelupasnya dari lidah mereka.

Dua jam perjalanan akhirnya sampai, mungkin sebenarnya jika ditarik garis lurus, dari awal perjalanan yang ku tempuh dengan tujuan yang ku tuju, paling berjarak 1 km, tapi jadi jauh, karena kemacetan.

Sampai di penampungan sudah sore, memang di penampungan ada penghuni suami istri saja, selain penjaga penampungan, karena penampungan ini penampungan lama, yang sudah tidak dipakai lagi.

Sedang TKL yang bertemu denganku bernama Tejo, aku tak tau nama istrinya.

“Katanya mau membersihkan penampungan ini dari pengaruh jahat ya mas?” tanya Tejo yang duduk bicara denganku setelah magrib.

“Iya..”

“Wah kebetulan.” kata Tejo.

“Kebetulan kenapa?”

“Ya kebetulan ketemu orang pinter.”

“Wah orang pinter mana? Ketemu di mana?” tanyaku heran.

“La mas ini kan orang pinternya…” jelas dia sambil tertawa, Tejo orangnya kurus kekar, ku lihat dia biasa bekerja keras, dan bicaranya juga ceplas ceplos.

“Wah saya ndak punya kelebihan apa-apa, jika ada ilmu itu juga anugerah dari Alloh, saya cuma dititipi, jadi bisa kapan saja diambil.” jelasku.

“Maaf mas, mbok saya ini dilihat kenapa,”

“Kenapa apanya?”

“Begini mas… sejak saya remaja, saya ini sudah bekerja sebagai sopir truk kontainer, awalnya sih saya kenek, tapi lama-lama saya belajar dan bisa, kemudian saya jadi sopir, sudah sekian tahun, sampai saya punya istri, kok ndak ada sama sekali rizqi yang nyantol, saya malah miskin ndak punya apa-apa, padahal sekali kirim barang, uang 4 ratus ribuan pasti saya dapat, tapi kok ya seperti hilang gak tau kemana, trus kalau sama istri saya selalu bertengkar, kalau sudah bertengkar, apa-apa bisa saya banting, sepertinya saya merasa hilang kendali.” jelas Tejo panjang lebar.

Ku raba tubuhnya indraku…

“Sampean habis bacok orang ya di kampung?” tanyaku.

“Kok sampean tau?” tanya Tejo balik.

“Iya apa enggak?” tanyaku.

“Iya mas… ceritanya begini, di kampung ada maling yang dikejar-kejar orang kampung, waktu itu aku lagi di sawah, ee kok malingnya lari ke arahku, mau ku tangkap ngelawan, ya terpaksa ku bacok kakinya.” cerita Tejo.

“Kamu pernah Nyupang di Laut Selatan ya?” tanyaku lagi.

“Kok tau juga mas…”

“La iya apa ndak?”

“Iya mas…, tapi awalnya aku cuma nganter orang, yang mau nyupang ngambil pesugihan di pantai laut selatan, ceritanya begini.” kata Tejo mulai berccerita.

“Saat itu aku karena sopir travel, aku mendapat rombongan penumpang mengantar rombongan orang yang mau mengambil pesugihan ke laut selatan, ya aku awalnya ndak tau, ku kira orang yang mau rekreasi, aku mengantar mereka, sampai di pantai kok aku diminta mengantar ke juru kuncinya, dan aku antar, ya aku pengen tau juga apa sebenarnya yang mereka lakukan, maka sekalian aku ikuti, sampai kemudian semua pada melakukan sesaji di laut selatan, di Parangtritis, malam-malam, aku juga ikut, nah dalam melakukan sesaji dan persembahan itulah, dari laut muncul ular besar sekali.” cerita Tejo.

“Kamu melihat ularnya.?” tanyaku.

“Ya melihat mas., ular besar sekali dan anehnya wajahnya wajah nenek-nenek, dia menggigit sesuatu benda, lalu benda itu dilepas, ternyata berupa bambu yang diikat, banyaknya sesuai banyaknya kami yang hadir, lalu sama juru kunci bambunya diterima dan dibagikan pada kami, lalu kami disuruh berjanji untuk mempersembahkan bayi sebagai ganti permintaan kami jika sudah berhasil, ya aku ndak mau mas, tapi bambu tanda permintaan kami sudah diberikan, setelah ular besar berkepala nenek-nenek itu memberi pesan kepada kami, maka ular itu masuk lagi ke dalam air, dan kami semua pulang, dan bambu milikku ku buang, ya walaupun aku bukan orang yang beragama, tapi aku ndak mau masuk neraka, mempersembahkan bayi, lalu sampai rumah bambu sebesar jari itu ku buang, nah sejak saat itu hidupku amat susah, keluarga selalu cekcok, malah aku seperti sering hilang kendali, juga istriku hilang kendali, rizqiku juga sama sulit, sementara orang yang ku antar itu semuanya menjadi orang yang kaya raya.” Tejo mengakhiri kisahnya.

“Kamu pernah menjalankan amalan kejawen?” tanyaku lagi.

“Waduh mas kok tau semua to…”

“Ya dijawab, iya apa enggak.” kataku.

“Iya mas, ceritanya begini mas, aku ini kan sopir, sopir kontainer, mas tau sendiri, kontainer itu membawa barang kadang berharga, la tak jarang kami itu dihadang bajing loncat, belum lagi kami sering dimintai polisi-polisi nakal di jalan, sehingga pendapatanku sering tinggal seratus ribu, karena diminta polisi-polisi itu, kami kan juga punya keluarga, anak yang perlu dihidupi, pada suatu hari temanku bilang biar tidak dihadang bajing loncat, atau polisi nakal, maka aku disarankan meminta keselamatan pada seorang yang linuweh di daerah dekat Alas Roban, maka aku diantar ke sana, dan aku diberi isi dan amalan, lalu ku amalkan, memang dalam perjalanan kami selalu aman, teman-teman yang lain dihadang bajing loncat, tapi aku tak pernah dihadang, juga tak pernah dimintai polisi-polisi nakal, sehingga uangku utuh.”

“Hm gitu…”

“Iya mas itu kisahnya.”

“Kalau ilmu kejawen, jin yang dari pantai selatan itu semua ku ambil dari tubuhmu, dan nanti kamu tobat, terus menjalankan hidup yang islami mau?” tanyaku.

“Mau-mau mas, asal hidupku tentram… Alhamdulillah aku dipertemukan dengan mas, Alloh telah mengirimkan mas padaku.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan mas?” tanya Tejo dengan wajah senang, dan bersemangat.

“Sekarang ambil air wudhu,” kataku.

“Oo baik-baik mas…” kata Tejo segera beranjak menuju kamar mandi.

Bagiku di manapun tempat, kalau kita bisa, maka berbuat baik, dan selalu berusaha berbuat baik, belajar selalu mengikhlaskan segala perbuatan.

Sebab menurut hematku, jika amal baik itu menyandarkan pada amal baik diri sendiri, aku ragu jika amalku bersih, suci dari penyakit, dan lolos bisa tembus langit tujuh, dan diterima oleh Alloh mendapat ACC, kalau amalku itu akan pantas mendapat balasan, mungkin amalku baru sampai di langit 1 atau 2, telak tertahan oleh malaikat penjaga pintu langit, karena aku yang penuh dosa dan kotor, maka aku perlu amal yang dengan sisitim tanam modal, aku mengajak orang lain untuk melakukan laku ibadah, dan dengan sendirinya aku akan mendapatkan bagian jika orang yang ku ajak menjalankan ajakanku. Semakin banyak orang yang kita ajak, maka akan makin banyak pahala yang kita peroleh, malah bagian kita pasti langsung kita terima utuh, entah ikhlas atau tak ikhlas orang yang kita ajak dalam menjalankan ibadah, dan tentu saja tanpa mengurangi pahala orang yang kita ajak.

Teori ini tak bedanya dengan seseorang yang mendirikan pabrik, misal pabrik pakaian, jika dia menjalankan pabrik itu sendiri, maka bisa jadi 1 baju bisanya terjual 1 bulan ke depan, beli bahan sendiri, diukur sendiri, dipotong sendiri, dijahit sendiri, dan dipasarkan sendiri. Maka akan lama prosesnya, tapi jika dia mengajak banyak orang menjadi karyawannya, mengerjakan rancangannya, dan ada yang mengukur, ada yang tukang memotong, ada yang tukang menjahit, ada yang bagian pemasaran, bisa dipastikan pabrik itu akan maju dan banyak omsetnya.

Nah itulah yang selalu ku lakukan, membangun perusahaan, mempunyai banyak karyawan, yang akan mengamalkan motif yang ku arahkan, jika ingin melesat cepat dalam kesuksesan, maka hal itu bisa diterapkan siapa saja, dan rasakan buah manisnya amal.

Jika mengandalkan amal perbuatan sendiri, maka kita akan lama sekali berkembang, dan amal kita mungkin bertahun-tahun baru menuai hasil.

“Sudah mas, saya sudah wudhu,” kata Tejo.

“Coba duduk membelakangiku.” kataku.

Tejo pun duduk membelakangiku, lalu ku tempelkan tangan di punggungnya, dan ku salurkan hawa murni ku padukan dengan do’a dan dzikir, semua kekuatan yang ada di tubuhnya ku sedot semua, lalu ku buang.

“Wah rasanya ada yang keluar dari tubuhku mas…” kata Tejo.

“Wah sedang pada ngapain ini?” tanya Arif Rahman yang tiba-tiba muncul.

“Ini mas lagi membereskan masalahnya kang Tejo.” jelasku.

“Gimana mas, apa bisa dimulai membersihkan penampungan?” tanya Arif.

“Udah dari sini juga bisa, biar ku tariknya dan kumpulkan di sini, nanti ku omonginnya biar pada pergi.” kataku, yang saat itu duduk di tempat duduk depan penampungan.

“Harus dengan sarat apa mas?” tanya Arif.

“Nggak pakai sarat apa-apa, cuma supaya jangan ribut, biar saya konsentrasi.”

“Ooo silahkan-silahkan mas…” kata mereka berdua.

Aku segera duduk bersila dan berkonsentrasi, menarik semua jin yang ada di dalam rumah, hawa gelap menggulung, makin pekat, dan rasa merinding mulai menjalari tubuh, pertanda mereka yang tertarik mulai mendekat.

Ku rasakan ada beberapa jin berkumpul kebingungan di depanku, lalu ku beritahu semua, agar meninggalkan tempat penampungan itu.

“Mereka semua di sini, di depan sini.” kataku pada Arif dan Tejo.

“Iya mas kami merinding, tapi ndak melihat.” kata Tejo.

“Coba kamu berjalan ke depan.” kataku pada Tejo, dan Tejo pun berjalan, lalu jatuh menggrasuk kayak ada yang menghalangi kakinya.

“Waduh…!” kata Tejo yang segera ketakutan.

Aku katakan pada semua jin yang ada enam jin itu untuk keluar dari penampungan, ku persilahkan mau menempati pohon atau apapun, asal jangan mengganggu penampungan, dan semua mau pindah, tanpa syarat.

Setelah semua beres, kami mengobrol sampai malam.

——————————————

Paginya setelah sholat subuh berjama’ah dengan Arif dan Tejo, kami sarapan pagi bareng.

“Alhamdulillah badan saya enak banget mas, semalam tidur juga enak, bangun rasanya enteng, biasanya saya kalau mau tidur resah banget, biasanya bolak-balik ada dua jam an baru bisa tidur, alhamdulillah sekarang enak banget.” kata Tejo yang wajahnya kelihatan sudah tidak ada aura hitamnya.

“Ya syukur kalau begitu, jangan lupa sholat lima waktunya dijaga, soalnya itu juga menjadi modal rizqinya akan lancar berkah atau akan susah, sebab orang yang rajin sholat akan berkah rizqinya.” kataku.

“Iya mas, do’akan saya, biar bisa hidup dengan islami.” kata Tejo.

“Ya jangan do’a-do’a aja, seseorang itu harus punya keinginan kuat untuk merubah jalan hidupnya, menempuh rel jalan yang diridhoi Alloh, orang tak ada ceritanya bisa bahagia jika tidak menempuh jalan yang diridhoi Alloh, diterima atau tak diterima kita ini ciptaan Alloh, maka jika ingin bahagia maka tempuhlah jalan yang sudah ditunjukkan Alloh.” jelasku dengan perlahan.

“Maaf mas, bisa kami minta diberi pegangan dzikir, untuk kami istiqomahkan, agar kami bisa membiasakan menggantungkan diri pada Alloh.” kata Arif, yang memberesi piring kami.

“Ada kertas gak biar ku tuliskan amalan, ingat diistiqomahkan,” kataku yang segera diambilkan kertas oleh Arif Rahman.

“Oh ya mas, nanti ku anter pakai motor untuk ikut medical.” kata Arif sambil menyerahkan pena dan kertas. Segera ku tulis amalan.

“Nanti setelah medical balik ke sini atau ke penampungan pusat.” tanyaku sambil nulis amalan.

“Ke penampungan pusat aja mas, soalnya pak Daud sama pak Amir ingin juga dilihat rumahnya.” jelas Arif.

——————————————-

Tempat medical suasana ramai sekali, tapi kebanyakan TKW, aku ditinggal oleh Arif setelah didaftarkan dan menerima nomer urut, tes urin, ditimbang, diambil darah sudah, tinggal difoto sinar x, sama pengecekan badan, itu saja sudah seharian, setelah selesai sholat asar aku ke warung tegal, di dalam ada dua orang lelaki.

“Makan bu…” ku bilang pada penjaga warung, lalu memilih lauk, dan mulai makan.

“Mari pak…” kataku menawari orang yang juga makan di dalam warung.

“Silahkan…” jawab mereka berdua.

“Bapak ini juga ikut medical?” tanyaku pada dua orang yang keduanya sudah umur, ku perkirakan yang satu berumur 50 an tahun, yang satu berumur 45 tahun.

“Iya…” kata mereka berdua hampir serempak.

“Mas ini juga ikut medical?” tanya yang tua.

“Iya pak.. la bapak ini mau kerja di mana?” tanyaku.

“Kerja di Saudi, di pabrik semen.” jawab yang muda.

“Lhoh kok sama, aku juga di pabrik semen, trus bapak ini dari mana asalnya?” tanyaku.

“Kami dari Tuban.” jawab yang muda.

“Lhoh kok sama, aku juga dari Tuban, Tubannya mana?” tanyaku.

“Wah pasti ini anaknya pak Mustofa…, aku sudah mengira,” kata yang tua.

“Iya aku anak pak Mustofa, wah bapak kok bisa tau, bapak ini dari mana?” tanyaku makin heran.

“Aku ini iparnya mak Mudi, yang rumahnya di belakang rumahmu.” jelas orang yang tua.

“Wah aku kurang paham… gak tau kalau kang Mudi punya ipar yang sudah tua kayak sampean, hahah.” kataku bercanda.

Kami segera akrab dan bicara ngalor ngidul, karena ketemu orang sedesa. Kami jadi bareng medical, dan bareng pulang ke tempat penampungan bersama.

Besoknya kabar medical sudah bisa diterima, tapi aku belum bisa dibilang fit, karena ternyata foto sinar x ku tidak ada kelihatan gambarnya, jadi harus difoto ulang, tapi setelah difoto ulang, tetap saja tak bisa, tak ada bentuk gambarannya sama sekali.

Sebenarnya aku juga tau, cahaya yang ada di dadaku berusaha menutup dadaku, karena memang aku punya penyakit asma, yang sudah lumayan akut, karena sering mengecat dengan kompresor jadi plak cat menempel di jalur pernapasanku, apalagi kalau nyemprot vernis, rasanya jalur napasku lengket. Wah bisa gak jadi berangkat ke Saudi. Aku akhirnya dirujuk ke tempat medical lain. Dan Alhamdulillah setelah otot-ototan karena foto sinar x ndak ada gambarnya juga, akhirnya diluluskan.

Karena wira-wiri, terpaksa waktuku habis, sehingga masa terbang dan jeda istirahat sangat pendek. Menunggu panggilan, aku terbang pada pemberangkatan pertama rombonganku yang ada 30an orang, disuruh siap-siap besok akan ke Bandara.

Akupun menyiapkan semua barang yang akan kubawa, malam sudah tak bisa tidur karena membayangkan di pesawat, tapi esoknya waktu di absen, namaku tak tercantum, aku jadi bingung. Tapi ya udahlah.

Tapi malam jam 10 malam, ada kabar pesawat terbakar satu sayapnya, dan terpaksa turun di bandara Singapura, dan semua penumpang diinapkan di hotel.

Wah ternyata ada maksudnya juga Alloh menahanku tak ikut terbang, baru paginya aku mendapat panggilan bersama TKI yang tersisa untuk terbang.

Ketika memasuki bandara Soekarno Hatta Cengkareng, rasanya seperti mimpi, setelah boking tiket, maka kami menunggu di ruang tunggu, dan jam 3 siang pesawat diberangkatkan.

Semoga selamat sampai tujuan. Dan pesawat tinggal landas, menuju dunia baru yang tak ketahui bagaimana nasibku di sana, tapi Alloh selalu di hatiku, sebaik-baik penjagaku.

Sampai Bandara Riad rombonganku transit ke penerbangan domestik, menuju Jijan. Sampai di bandara Jijan, turun dari pesawat, panas langsung menampar wajah, keluar dari bandara sudah ada mobil penjemput dari Perusahaan, dan kami diantar ke perusahaan, sampai di perusahaan semen kami ditempatkan di Barak yang ada 60 kamar, setiap kamar ditempati satu orang, tapi karena kami baru datang, dan rencana sebagian akan dioper ke pabrik baru, maka satu kamar diisi dua orang, aku dengan orang yang tak ku kanal, walau sama-sama dari Indonesia.

Badan lelah, tapi pagi jam sepuluh kami datang, kami harus cepat menghadap ke kantor pabrik, untuk mengurus administrasi, dan besok langsung kerja, langsung mendapat pakaian seragam.

Urusan administrasi selesai, kami tetap harus masuk kerja, walau belum kerja, hanya berkenalan dengan para pekerja lain. Dan bagusnya berarti langsung di catat gaji.

Jam 4 sore pulang kerja, kamis – jum’at libur, jika masuk maka dihitung overtime.

Malam, aku memilih tidur sore, sebab badan rasanya lelah setelah perjalanan jauh belum istirahat. Di malam aku tidur lampu ku matikan, dan lampu dari kamar mandi menyorot. Temanku sekamarku tidur di ranjang lain di sampingku, karena memang ada dua ranjang dalam kamar.

Di saat aku tidur, aku merasa ada yang mengawasi di atasku, aku membuka mata, dan aku kaget, karena ada kepala dengan pengikat kepala putih, dan berambut panjang, tengah melayang di atasku.

“He… siapa kau…!” dalam kagetku.

Dia juga kaget, mungkin kaget karena aku bisa melihat dia, dia langung melesat kabur dan menabrak pintu.. “jedak…!” dan kepalanya mental, menengokku yang bangun dengan pandangan panik dan takut, lalu melesat lagi menembus pintu.

Aku membetulkan selimutku, karena kamar serasa dingin sebab ber AC, heran juga baru pertama sampai sudah ada arwah orang mati penasaran yang mendatangiku. Sepertinya akan ada kejadian yang lain yang akan menjadi kisah panjangku di Saudi Arabia.

Hari kedua, ternyata pabrik ini sangat besar, mungkin luasnya di Indonesia, seluas satu kecamatan lebih, dan banyak dikelilingi gunung, yang kerja di bagian peledakan gunung untuk diambil batunya harus diantar jemput bus, karena jauhnya, dalam hitungan ini hari pertama aku bekerja, asalnya salah aku dikirim bekerja sebagai cleaning servis tapi kemudian dipindah ke tempat kerjaku sendiri sebagai penulis kaligrafi.

Aku punya ruangan sendiri, berupa gudang, ah pokoknya dijalani aja, dan tetangga kerjaku servise jok kursi, ada juga orang Indonesianya, aku kaget ketika melihat orang Indo yang kerja di sebelahku, karena aku sudah pernah secara tak sengaja menolong orang itu.

Memang garis taqdir itu melintang-lintang kadang kita tanpa sadar bertemu dengan garis taqdir orang lain.

Ketika menolong orang ini yang bernama Sarno, saat itu tak sengaja aku meraga sukma, dan terseret pada tarikan kekuatan, sampai ke suatu daerah Malang, tepatnya Gondang Legi, aku melihat Sarno yang waktu itu belum ku kenal, Sarno memasuki sebuah rumah mewah, dan di dalam rumah mewah itu ada dua orang perempuan ibu dan anak, yang sedang membicarakan kalau Sarno akan dikorbankan kepada Nyai Blorong, aku heran kok aku ketarik ke rumah itu,

“Ah aku tak mau bu… wong Sarno itu orangnya jelek.” kata si anak gadisnya.

“Udah jangan mikir soal itu, yang penting kamu pura-pura saja nikah sama dia, nanti kan dia cuma dijadikan tumbal.” jelas ibunya.

Aku heran mendengar percakapan mereka. Dan Sarno masuk lalu aku keluar melayang ke suatu tempat, tempat itu adalah warung nasi, yang di depannya ada pohon mangga, aku berdiri di atas pohon mangga, dan melihat ke warung tak mengerti. Di dalam warung ada dua orang gadis sedang makan nasi sambil ngobrol.

“Apa kamu suka sama kang Sarno?” tanya gadis satunya.

“Iya…, aku terlanjur berbuat dengannya, jika aku tak nikah dengannya aku akan dukunkan dia,” jawab perempuan satunya.

Aku heran kok balik-balik Sarno. Tiba-tiba aku terseret lagi ke sebuah rumah, di dekat tikungan nampak Sarno berlarian, menggedor-gedor rumah, aku masih kebingungan karena tarikan yang tak bisa ku lawan. Aku ikut masuk ke rumah, di mana seorang lelaki setengah tua membukakan pintu dan Sarno diajak masuk ke dalam, dan di dalam ku lihat berbagai sesaji.

“Musuhmu sekarang No..,” kata lelaki setengah tua itu.

“Iya saya tau mbah kyai.” jawab Sarno. “Makanya saya minta tolong ke mbah kyai.”

“Aku mau saja menolongmu no…, tapi taruhannya nyawa, apa kamu mau menjaga dan menikahi anakku.” kata orang setengah tua itu, “Soalnya bisa saja aku kalah dan taruhannya nyawaku.”

“Iya mbah, saya akan berusaha.” kata Sarno.

Tiba-tiba di luar terdengar suara mendesis, dan suara kook.. kok.., aku segera melesat keluar, dan melayang di udara,

“Sudah No, kamu lari dari pintu belakang.” kata lelaki setengah tua, dan dia sendiri keluar rumah sambil membawa keris.

Sementara di luar rumah, seekor ular sebesar manusia, tengah melata di tanah, anehnya tubuhnya cuma sepanjang tubuh manusia, dan gerak geriknya seperti sudah berjalan, dan dia berhadapan dengan lelaki setengah tua itu, aku melayang di atas pohon tebu, tegang juga karena ingin tau apa yang akan terjadi, ular itu mulutnya yang besar tiba-tiba memakan tanah, dikunyahnya dan disemburkan, berupa bola api yang meluncur mengarah pada lelaki tua yang memegang keris. Lelaki itu melompat, dan bola api lewat, tapi ular itu bertubi-tubi menyerang dengan api, maka ada satu dua bola api menghantam lelaki tua itu sehingga tubuhnya terjengkang.

Ular sebesar manusia itu yang di tengah kepalanya ada satu tanduk di antara rambutnya yang kemerahan, mau mendekati si orang tua yang mungkin sudah mati, aku segera melesat, dan ku hantamkan kakiku ke kepalanya, ular itu bergulingan menjerit, suaranya suara perempuan, dan dia mencorong matanya menatapku heran, lalu mulutnya memakan tanah dan tanah disemburkan ke arahku berbentuk bola, aku melompat dan pohon besar di belakangku segera terhantam dan terbakar, ganas juga serangannya, serasa udara sangat panas, aku mundur, sekali waktu ku serang dia dari udara dengan hantaman petir dari tanganku, dia menjerit, sisiknya sangat tebal, sehingga seranganku walau bisa melemparkannya tapi sama sekali tak bisa melukainya, hanya tubuhnya sekedar berasap. Aku terus mundur, dan terbang, dia berusaha mengejar, aku melesat ke arah lebih tinggi, di kejauhan ku lihat sebuah bendungan, aku turun lagi memancing ular itu ke arah bendungan, sampai di tepi bendungan yang lumayan berkedalaman, ku hantam tubuhnya kuat-kuat dengan beberapa kali hantaman petir, yang membuat ular itu menjerit dan melengking, dan terlempar ke udara, aku hantam lagi dengan beberapa kali hantaman tangan kanan kiri, dan ular itu jatuh ke dalam bendungan.

Alhamdulillah, aku segera kembali, tubuh rasanya penat, pertarunganku dengan ular itu cukup menguras tenaga.

“Aku bernama Sarno.” kata mas Sarno.

“Sampean jadi kimpoi sama anak orang yang menolong sampean,” kataku langsung.

“Lhoh kok sampean tau?” tanya dia heran.

“Hehehe, ya tau saja,” “Ooo jadi perempuan yang wajahnya seperti ini dan ini itu istri pertama?” kataku menggambarkan istri pertamanya.

“Iya itu istri pertama, sedang anak orang yang menolongku itu istri kedua.”

“Ooo begitu rupanya ceritanya…”

“Rumah istri sampean kan di depan ada pohon besar yang terbakar kan?”

“Iya..”

“Jadi akhirnya mertua sampean itu meninggal?” tanyaku.

“Iya waktu dia menolongku meninggal.” jawab mas Sarno bengong karena aku tau detail keadaannya.

“Kok sampean bisa tau saya semuanya to?”

“Ya kebetulan saja.” jawabku.

“Wah sampean ini dukun apa gimana kok bisa tau semua.” tanyanya.

“Ndak, cuma kebetulan.”

“Kalau ku bilang, misal kalau ke rumah istri sampean harus melewati pasar, habis itu jembatan, lalu pertigaan, lalu ada masjid yang berpagar besi, lalu jalaaan terus melewati tikungan yang banyak pohon bambunya, lalu kalau masuk ke arah depan rumah istri sampean maka harus belok kanan, di depan rumah istri sampean ada pohon tebu, di belakang ada sungai kecil yang airnya sering kering, ada pohon pisang dan pepaya, bagaimana detail gak?”

“Wah aneh banget bisa tepat semua…, aku jadi takut.”

“Ya kebetulan saja Alloh menunjukkan padaku.” kataku.

“Wah.. aku tak habis pikir, sungguh aneh banget.” kata mas Sarno sambil ketawa dan kebingungan.

“Nanti main ke kamar ya mas, aku mau curhat, nanti malam atau nanti setelah pulang kerja.” kata mas Sarno.

“Iya insaAlloh.” kataku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close