Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 32) - Kisah Nyata


JEJAKMISTERI - Setelah pulang kerja, aku ke kamar mas Sarno, sebelum kami datang ada 8 orang Indonesia yang bekerja di pabrik itu, semua orang yang sudah bekerja lama, ada yang sudah 16 tahun dan bahkan ada yang sudah 20 tahun.

Di tempat tinggal pabrik ada terbagi menjadi A, B, C, D, misal A ada dalam kelompok rumah manager, B kelompok rumah mandor dan insinyur, C barak , D juga barak, dan misal D1, ada 60 kamar, D saja sampai ada beberapa nomer, jadi untuk hafal daerah-daerah itu harus diingat-ingat, agar tak salah, aku mencari kamar mas Sarno di barak yang ditempati kebanyakan orang Filipin, memang setiap barak biasanya ditempati kelompok negara tertentu, ada yang kebanyakan ditempati orang Filipin, ada yang kebanyakan ditempati orang Pakistan, India, Arab, Sudan, Yaman, Banglades, Maroko, jadi kebanyakan membuat komunitas tempat tinggal, dan Indonesia yang belum punya komunitas, sehingga orangnya masih terpisah-pisah tempat tinggalnya.

Maklum masih baru, aku heran juga sebab bahasa Arab yang ku dengar sama sekali bukan bahasa Arab yang aku ketahui di pesantren, tapi bahasa Arab pasaran, kayak orang luar yang belajar bahasa Indo, ‘kamu sedang apa?’ bareng datang ke Indo ditanya ‘lu ngapain?’, jadi bingung karena tak ada di kata yang selama ini dipelajari, kalau bahasa Arab, khoir jadi khois, khaifa khaluka jadi kaif hal, jadi harus belajar dan tau kata seperti orang yang belajar pertama bahasa Arab, aku malah lebih cocok kalau bicara dengan bukan orang Arab tapi memakai bahasa baku, atau bahasa Al-qur’an, misal dengan orang Mesir, Maroko, atau Yaman, yang orangnya memakai kata baku, atau kata lebih asli, jadi aku cukup mengucapkan kata dari bahasa kitab kuning yang selama ini aku pelajari.

Sebab kalau orang Arab asli, malah bahasanya yang tak karu-karuan, karena orang Arab sendiri yang oleh pemerintah semua orang miskin memperoleh jatah bulanan oleh pemerintah, menjadikan orang Arab malas sekolah, sampai-sampai nulis nama sendiri kebanyakan tak bisa karena buta huruf, yang buta huruf amat menyeluruh dari yang tua sampai yang muda, ironis memang ketika Raja sangat kasih sayang pada rakyatnya, korupsi tidak ada, sekolah semua gratis, orang miskin mendapat jatah bulanan, dan bahkan orang mau nikah pemerintah berapa tahun sekali membagikan uang, menjadikan orang malas sekolah, la miskin saja mendapat jatah, untuk apa sekolah, biasanya orang sekolah kan punya alasan atau tujuan, agar mudah mendapat kerja, atau agar mudah mencari kehidupan, tapi kalau sudah kehidupan mudah, dan bukankah akan membuat orang malas, untuk apa repot-repot menjadi pinter, kalau bodoh, miskin, juga sudah bisa hidup berlebih karena ada jatah dari pemerintah, maka jadinya negaranya jadi negara bodoh, memang kadang kayak di Indonesia misal negara bisa memberi jatah kehidupan layak, orang miskin mendapat jatah tiap bulan dari pemerintah, belum tentu akan baik kedepannya, karena orang jadi malas mengejar cita-cita, orang jadi lebih memilih hidup ongkang-ongkang kaki, wong tidur tiap hari sudah dapat jatah dari pemerintah, jadi kadang yang kelihatannya baik, belum tentu jika dipraktekkan akan menjadi baik pada akhirnya.

Juga orang Arab itu kebanyakan bisa membaca Qur’an bukan karena belajar membaca, tapi dari kaset yang diputar berulang-ulang, sehingga lama-lama mendengar beberapa kali maka akan hafal, soal tajwid atau tanda baca ya asal-asalan, namanya juga hafalan karena mendengar dari kaset, makanya jarang yang menjadi imam Masjidil Haram itu orang Arab asli, kebanyakan dari Mesir, jebolan Al Azhar, atau dari Pakistan, dan tak sedikit yang dari Indonesia, yang seumur-umur menjadi imam Masjidil Haram, seperti Syaikh Sambas, Syaikh Karim, Syaikh Nawawi, yang selama hidupnya menjadi imam Masjidil Haram.

Kalau yang ngimami orang Arab kebanyakan bacaannya acak-acakan, ya maklum hafalan qur’annya bukan dari belajar tapi dari mendengar kaset diputar, sehingga kalau lupa ya ndak bisa melanjutkan.

Arab itu bagusnya mungkin kalau jama’ah sholat lima waktu, diwajibkan, sehingga pas waktu sholat berjama’ah, ada polisi yang patroli di jalan-jalan, jika ada orang pas waktu sholat jama’ah kok terlihat berkeliaran di jalan, lalu ditanya polisi, ternyata agamanya Islam, maka akan ditangkap, dibawa ke kantor polisi, kayak naik motor tak pakai helm, jadi ada razia sholat berjama’ah.

Tapi ada juga jadinya menjadi kekurangan, orang sholat jadinya karena takut kena razia, makanya kalau sholatnya jadi asal-asalan, misal kalau lagi sholat suka malah sibuk sendiri nyari upil di hidung, maklum di Arab kan berdebu, jangankan upil hidung, telinga saja kalau tak sering dibersihkan akan jadi budeg karena banyak debu yang masuk ke telinga.

Jadi orang sholat pada sibuk mencongkeli upil itu amat biasa, atau bawa hp, kalau hpnya bunyi ya sempat-sempatnya hp diangkat.

Kalau sholat di samping orang Arab jadi was-was, takutnya upilnya di oleskan ke kita, hehehe…

Kelebihan orang Arab lagi, suka bicara kayak perempuan, ngrumpi gak ada ujung pangkalnya, soalnya kan orang lelaki yang belanja, orang perempuan ngendon aja di rumah, karena yang tukang belanja, ya tak heran juga, jadinya suka ngerumpi.

Setelah mencari kesana-kesini ketemu juga kamar mas Sarno, aku ketuk dan dia membukakan, mas Sarno di Arab mungkin sudah 16 tahunan, di pabrik ini, tiap tahun karyawan naik gajinya, kalau gajinya sudah 16 tahun bisa dibayangkan berapa ribu dalam real Arab, dan otomatis kalau sudah lama gajinya mungkin di Indonesia sama dengan gaji DPRD, ya akibatnya kalau sudah lama bekerja di Arab, akan sangat berat meninggalkan Arab, karena gaji sudah besar, dan kalau di Indonesia juga mendapat gaji segitu juga belum tentu bisa, ujung-ujungnya di Arab sampai tua, jika ijin tinggal habis ya memperbaharuinya.

Semua barak, kamarnya sama, tempat tidur, dan kamar mandi ada di dalam,

“Ayo-ayo, silahkan duduk,” kata mas Sarno sambil menuangkan minuman jus buah.

Di Pabrik semen yang ku tempati itu, semua kebun ada, dari kebun pisang, jeruk, jambu, mangga, dan buahnya juga lebat, karena ada bagian perkebunan yang merawat, sebenarnya Arab itu kalau penduduknya tak malas dan mau mengolah tanahnya, tanahnya juga tak tandus amat, malah tak ada kisahnya kalau Arab itu padang pasir, aku malah berpikiran kalau Arab jarang ada pohon dan tandus itu bukan karena asli tandus, tapi karena penduduk miskin yang miskin sekalipun mendapat jatah dari pemerintah, maka untuk merawat tanah jadi malas, ya jadinya tanah jadi tandus, karena tak ada tumbuhan yang di tanam, hujan sekalipun tak ada serapan air, karena tak ada pohon.

Di manapun jika kita membawa kebeningan hati, maka orang lain akan merasa nyaman dan tenang di samping kita, kecuali orang yang takut bayangan buruknya terlihat di kebeningan air yang tenang.

Hati dan kebeningannya itu bisa melihat segala sesuatu dengan jelas, sejelas orang yang berkaca di air yang jernih, dan air hati yang jernih itu akan dikeruhkan oleh kemauan-kemauan yang berlapis-lapis, keinginan yang bertumpuk-tumpuk, seperti kopi, jahe, teh, bakso, santan, itu seperti keinginan baik, yang dimasukkan ke air yang jernih, dan oli, tinta, comberan, dan segala kekotoran, yang dicampurkan ke air jernih itu seperti air yang kotor.

Kesederhanaan cara pandang itulah yang selalu ku pakai di manapun aku berada, dan berusaha ku lekatkan setiap gerak-gerik.

Tapi ada yang kadangkala di luar perhitunganku yang amat dangkal, kadangkala karena suatu kejadian membuat anugerah yang diberikan Alloh padaku tercabut, juga kadangkala yang telah jelas kita ikhlaskan melakukan, tapi dijadikan orang lain mengambil kesempatan, untuk mengambil keuntungan kesenangan nafsunya, sehingga tak jarang membuatku yang berusaha mengalir seperti air jernih, malah masuk dalam ruang lingkup air comberan, dan suatu nilai air jernih yang bermanfaat pun hilang, itu menjadikanku semakin berhati-hati melangkah, segala sesuatu kadang harus matang dipertimbangkan, sebab yang menurut kita baik, belum tentu akan baik kita terapkan kepada orang lain.

Golok yang mungkin bagi kita sangat berguna untuk memotong kambing, tapi ternyata dipegang orang lain malah dipakai memotong leher manusia.

Jadi tak cukup kita punya niat berbuat baik, sebab baik menurut kita, belum tentu akan baik bagi orang lain, setiap hati itu beda, dan hati yang kadang telah pernah dijadikan perang, ditanami ranjau, dipagar kawat berduri, dan banyak ditumbuhi pohon beracun, maka akan mengalirkan perbuatan dan ucapan keji, juga niat keji yang tak segan-segan dibungkus dengan tingkah yang baik.

Tapi di dalam pepatah jawa ada istilah: becik ketitik olo ketoro, perbuatan baik akan tertandai, dan perbuatan buruk akan terlihat walau disembunyikan.

Wamaiya’mal mitsqola dzarrotin khiro yaroh, wamaiya’mal mitsqola dzarrotin sarroiyaroh.

Siapa yang melakukan perbuatan baik, walau seberat semut pudak maka Alloh akan melihatnya, dan barang siapa berbuat keburukan seberat semut pudak maka Alloh akan melihatnya.

Berbuat baik tak usah takut tak akan terbalas, hanya keikhlasan kita yang menentukan kita ini menjalankan segala gerak tanpa beban, tenang dengan segala tindakan, karena tak punya maksud tersembunyi.

Semua berlaku dengan kewajaran, dan keikhlasan itu harus teruji dan diuji. Agar diketahui suatu perbuatan itu ada nilai dan tidaknya jelas terlihat.

“Ada apa to mas…? Mau share masalah apa?” tanyaku,

“Ini masalah istriku di rumah mas…” kata mas Sarno.

“Memangnya istrinya kenapa mas?” tanyaku.

“Ndak tau mas, aku ini kan sudah lama to di Saudi, tiap setahun juga pulang, la orang lelaki pulang kan tentunya yang paling utama kan urusan kasur sama istri.” jelas mas Sarno.

“Apa istrinya di rumah jualan kasur mas?” tanyaku setengah melucu.

“Halah masak ndak tau..”

“Iya… iya tau.”

“Terus masalahnya apa mas?” tanyaku.

“Ini masalahnya istriku ndak bisa ku kumpuli.” kata Sarno.

“Wah kayak istri dari bangsa lelembut aja ndak bisa dikumpuli, apa istrinya lari kalau mau diajak kumpul?” gurauku.

“Bukan, tapi…..( Sarno membisikiku: pakai password )”

“Ooo itu…, ” kataku paham.

“Apa itu dibikin orang? Soalnya sebelum nikah sama diriku, dia juga sudah punya pacar, juga aku sendiri juga sudah pernah punya istri.” jelas Sarno.

“Bisa jadi, dikerjai orang, tapi bisa jadi mungkin punya penyakit tertentu, baiknya kita mengedepankan berbaik sangka.”

“Trus bagaimana? Bisa dibantu tidak?” tanya Sarno menatapku dengan tatapan harap.

“insaAlloh bisa, dengan ijin Alloh tak ada yang tak bisa.” kataku meyakinkannya.

“Terus apa yang aku lanjutkan mas?” tanya Sarno.

“Bisa tidak istrinya diminta menyediakan air? Nanti malam atau kapan bisa sedia airnya, nanti ku transfer obatnya.”

“Oo kalau gitu biar ku hubungi dulu.” kata Sarno.

Sarno berbicara dengan istrinya, aku santai memakan cemilan kripik kentang yang ada di atas meja, sampai Sarno selesai bicara dengan istrinya.

“Bagaimana mas?” tanyaku kepada Sarno yang sudah selesai bicara dengan istrinya.

“Wah di sana sedang diobati orang.” jelas Sarno.

“Oo ya kalau begitu biar diobati sama orang itu dulu.”

——————————————-

Pulang dari kamar Sarno aku mampir ke kamar-kamar orang-orang yang sudah lebih dulu tinggal di Saudi, rupanya kebanyakan adalah orang tetangga desaku, sehingga kami lebih mudah akrab, karena sama-sama merasa senasib di negeri orang.

Jam sembilan pagi, ada istirahat sebentar dan para pekerja menyebutnya dengan SAE, atau ngeteh, orang Arab biasanya berangkat kerja membawa sarapan pagi, roti kubus, kubus terbuat dari tepung diuleni dengan air dan garam, lalu dipipihkan dan ditempel ke tembikar tanah, makannya disobek dan dicocolkan ke kare, rasanya? ya kalau aku gak doyan.
Jam 9 aku menghadap manager administrasi, soalnya waktu berangkat dari Indo aku dijanjikan mau dinaikkan gajiku kalau sudah di Saudi. Sebenarnya sudah sering ku dengar kata-kata JANGAN PERCAYA DENGAN UCAPAN ORANG SAUDI, kata itu sering ku dengar dari teman-temanku yang pernah bekerja di Saudi, selalu bilang, JANGAN PERCAYA UCAPAN ORANG SAUDI, JANGAN MAU DIBERI JANJI TANPA ADA HITAM DI ATAS PUTIH, JANGAN MAU DISURUH KERJA YANG BUKAN TERMASUK YANG TELAH DISEPAKATI WALAU DIJANJIKAN UPAH LEBIH.

Tapi aku langgar semua kata itu, pertama aku percaya pada manager yang mengatakan : nanti setelah di Saudi gaji ku naikkan.

Dan jam 9 itu aku menghadap ke manager untuk mengkonfirmasi janjinya. Tapi dia bilang, sekarang masa training, nanti setelah 3 bulan, setelah masa training, gaji ku naikkan. Begitu katanya meyakinkan.

Setelah 3 bulan aku menghadap lagi, dan ternyata dia bilang: kenaikan gaji itu bukan hakku, itu hak kantor pusat di ABHA, jadi aku tak bisa memberi kenaikan.

Aku geleng-geleng kepala, ah dia telah salah memilih orang untuk didzolimi.

Ku katakan pada Muhsin, “Managermu telah salah memilih orang untuk didzolimi, ini ingat kata-kataku sebentar lagi pabrik akan mengalami kebangkrutan, perlahan akan hancur,”

Dan belum sampai setahun, pabrik benar-benar mengalami kebangkrutan, export ditutup pemerintah, biasanya yang beli semen sampai ngantri berkilo meter, jadi sepi, karyawan mulai dipecati, yang tua dipulangkan, lembur diwajibkan tapi tak dibayar, manager sudah kayak orang setres, tukang kayu disuruh jadi tukang kebun, tukang kebun disuruh jadi tukang kayu, apalagi ditambah perang yang terjadi di sekitar pabrik antara pemberontak kuti Yaman, dengan tentara Saudi, keadaan pabrik makin merosot.

Profesionalisme memang bukan sifat orang Saudi, maka jangan percaya dengan kata orang Saudi.

——————————————-

“Katanya sudah menghadap manager soal kenaikan gaji, bagaimana hasilnya?” tanya Muhsin.

“Ya dia janjikan nanti setelah masa training.” jawabku.

“Ya nanti ditunggu saja, lalu bagaimana syaratnya menjadi muridnya mas?”

“Tak ada syaratnya, harus ikhlas saja menjalankan amalan yang ku berikan, ini amalannya sudah ku tuliskan.” kataku sambil menyodorkan kertas bertuliskan amalan.

“Ini hitungannya 10 ribu ya mas?” tanya Muhsin.

“Iya.”

“Apa ndak salah nulis nolnya?”

“Salah di mananya? Nolnya empat kan?” tanyaku.

“Iya empat.”

“Kalau empat berarti benar, kan sepuluh ribu enolnya empat,” jelasku.

“Iya kali saja tiga aja nolnya…, “

“Lhoh itu wirid sepuluh ribu, wirid paling ringan.” tekanku.

“Kan sudah ku katakan menjadi muridku itu berat, kalau mau menjadi orang ampuh ya harus kuat duduk, itu kan melawan kehendak nafsu, menyelesaikan dzikir, seseorang itu diijabah atau tidak diijabah do’anya hanya melewati lapisan nafsunya, dibuka hijab tutup makrifatnya sehingga diberi pengetahuan ilmu-ilmu Alloh, ya hanya melewati lapisan nafsunya, semakin seseorang itu sibuk meladeni nafsunya, maka makin jauh orang dengan Alloh, artinya orang itu menjadikan nafsunya sebagai Tuhannya, ILAHAHU HAWAHU, segala macam amaliyah itu hanya dengan maksud kita bisa menundukkan nafsu dan menempatkannya pada kerangkeng yang bernama mutma’inah, nafsu menjadi tenang, tidak bergejolak ingin dipenuhi, orang itu jika masih punya keinginan mulia di sisi manusia, jangan harap punya pangkat di sisi Alloh, orang itu kalau masih mengharap pada manusia dan kebendaan maka jangan harap do’anya diijabah Alloh, karena sebenarnya dia tidak meminta kepada Alloh, tapi meminta kepada ketakutan dan harapannya sendiri, kadang seseorang merasa telah benar ibadahnya, dan tanpa disadari ibadahnya telah melenceng jauh, sehingga bukan fadhilah atau anugerah buah ibadah yang diterima, tapi yang dirasakan adalah kesesakan hati, suntuk dan makin jauh dari Alloh, lalu berlari ke kubur-kuburan, mencari jawab atas kemandekan ibadah yang selama ini dilakukan tidak mendapat apa-apa.”

“Iya mas…”

“Sebenarnya ibadah yang menghasilkan buah ibadah itu tak sulit, amat simpel, dan tak bertele-tele, tapi manusia punya nafsu, dan manusia harus menaklukkan nafsunya, Nabi saja mengatakan perang uhud itu perang kecil, kita akan pergi dari perang kecil ke perang besar, dan perang besar itu adalah memerangi hawa nafsu, dikatakan besar karena kita memerangi diri sendiri, dan umumnya tak ada orang yang mau menahan keinginan yang menggebu-gebu, yang ada manusia yang selalu ingin keinginannya dipuaskan.

Padahal kepuasan, ketamakan itu tak ada ujung pangkalnya, puasnya ya MATI, orang punya istri satu, pengen dua, punya dua ingin tiga, orang punya rumah satu ingin punya dua, punya dua ingin punya tiga, dan terus berkelanjutan, punya sapi satu ingin dua, punya dua ingin tiga, punya mobil satu ingin punya yang paling mewah dua, dan seterusnya, kalaupun punya pulau satu, maka ingin dua pulau, punya dua pulau ingin punya tiga pulau, makanya sejak dulu kerajaan saling ingin menguasai yang lain,

Dan tak ada cara mencegah berkobarnya nafsu kecuali dengan memperkecil nyalanya, bukan memadamkan tapi menyalakan di tempat yang semestinya, kalau nafsu sahwat padam, kasihan istri kalau istrinya impoten, jadi keinginan atau nyalanya nafsu itu ditempatkan sesuai tempatnya, seperti api ditempatkan di lilin atau kompor, sehingga bisa dimanfaatkan, nafsu sahwat ditumpahkan pada istri, dan nafsu itu hanya bisa ditenangkan dengan mengenali jalur-jalur keluarnya, jalur keluarnya nafsu itu dinamakan latifah, kelembutan sumber keluarnya nafsu, dan sumber itu kita sumbat perlahan dengan dzikir, ala bi dzikrillahi tatma’inul qulub, ingatlah hanya dengan mengingat Alloh lah hati itu bisa tenang. Bagaimana siap tidak menjalankan?”

“Ya mas saya siap..”

“Tidak ada manusia, wali, Nabi sekalipun, jin, juga malaikat atau setan itu hebat, kecuali Alloh mengijini dan menganugerahkan kehebatan, maka jangan sekali-kali menyandarkan pada selain Alloh, orang alim, kyai, nabi, jin, malaikat, semua itu ciptaan sama dengan kita, kalau kita menyandarkan pada sama-sama ciptaan yang punya kekurangan, maka jelas salah kita, bertawakal dan bersandarlah hanya pada Alloh, semua ciptaan selain kita, itu tidak bisa memberi manfaat dan bahaya, kecuali Alloh mengijinkan menjadikannya memberi manfaat, dan bahaya.”

“Hm… mumet mas…”

“Hehehe ya ndak papa, besok dilanjut lagi.” kataku,

Setiap gerak, setiap kejadian, dan setiap apapun yang bergerak dan berhenti itu tak lepas dari kehendak dan taqdir berlaku di dalamnya, mungkin aku akan terlihat lebih diam dari pohon mati dan lebih tak bergerak dari batu yang keras, karena aku sering tenggelam dalam penyelaman dunia hatiku, di saat orang bercanda dan tertawa-tawa, aku mungkin akan seperti manusia yang tak ada, tak terseret oleh candaan siapapun, dan lebih suka menyendiri menyelami tentang ilmu Alloh, rasanya setiap waktu ku gunakan kepahaman walau telah berhari-hari aku menyelam, namun dasar kepahaman tak juga ku capai, hanya keheningan tanpa aksara, dan aku mencoba menghindari menyalahkan siapapun manusia, sebab aku amat yakin semua telah diprogram menempati taqdir-taqdirnya, seperti layangan yang ditarik benang, dan diterbangkan dengan arah angin yang dikehendaki kemana hembusannya.

Bahkan aku mendapat teman sekamar, karena kunci hanya satu, dan dibawa temanku, sehingga hampir tiap hari aku harus masuk kamar lewat jendela atau aku harus sering ketinggalan kerja karena teman yang mandinya berjam-jam, semua adalah proses, semua manusia punya sisi buruk, dan pasti tak jarang orang tak suka denganku, karena sisi burukku yang mengemuka, dan cenderung aku tak menyadari keburukan diri sendiri.

Alloh selalu menciptakan orang lain bisa jadi untuk melatih kesabaran orang lainnya, seperti menciptakan syaitan, guna dijadikan penguji bagi manusia, agar keimanan tertempa, agar keteguhan teruji, dan siapa yang pantas dan tak pantas mendapat anugerah dan pahala akan terlihat jelas.

Kerja di pabrik semen mungkin sama dengan kerja di pabrik lain, soalnya aku tak pernah kerja di pabrik manapun. Di pabrik semen yang ku tempati, ada sistim kerja yang namanya drama, lhoh kok bisa? Aku sendiri pertama kaget ada kerja model kayak gitu, tau kan drama? Drama berarti ya gak bekerja beneran, pura-pura kerja tapi tak menghasilkan apa-apa tapi kelihatan paling sibuk.

Contoh, misal nancepkan paku, paku ditancepkan separo, lalu sibuk mukul, tapi yang dipukul kanan kiri paku, jadi tak dikenakan pakunya, sebentar istrirahat, nanti kalau ada mandor datang, pakunya dipukul beneran, tapi juga jangan sampai ambles, ya satu paku jatahnya satu hari lah, malah bisa juga diambil lemburan dalam rangka menancapkan satu paku itu.

Aku sendiri kaget, aku penulis kaligrafi, dalam menyelesaikan kaligrafi ya menurutku sih santai saja, ee ternyata di Arab yang ku selesaikan dalam sehari itu bisa diselesaikan oleh penulis sebelumnya dalam masa sebulan, jadi karena pabrik membuat ukuran sebelumnya, jadi aku diberi tugas menyelesaikan tugas tulisan untuk satu bulan, ya aku selesaikan dalam sehari, karena tak tau, akhirnya dalam masa sebulan aku nganggur, berangkat kerja, cuma ngisi absen, dan duduk seharian waktu dzuhur pulang, jam satu balik kerja, lalu duduk sampai jam 4 sore, dan pulang, lama-lama jenuh juga, maka mulai itulah tulisan SANG KYAI ku tulis, apalagi aku bisa menjadikan internet Saudi gratis, walau dengan hp tulisan sang kyai mulai ku tulis sedikit demi sedikit, padahal di Saudi internet amat mahal, sekali masuk 4 real, satu real sama dengan dua ribu empat ratus rupiah, untung aku bisa menjadikan internet gratis, semua teman menganggap aku gila, ngayal, karena mengatakan internet bisa gratis, padahal aku katakan ke yang lain, aku sendiri telah menggunakan gratisan ada setengah tahunan, tapi setelah semua ku ajari caranya, maka semua mengikuti.

Drama, ya memang sudah jadi kebiasaan kerja drama, aku tidak ikutan drama maka disalahkan yang lain, padahal jelas itu amat tak sesuai dengan nuraniku, uang itu ku makan, dimakan anak istriku, menjadi darah, mencuci hati, menjadi daging, aku membayangkan, jika anak istriku ku beri makan dari hasil kerja mendrama, yang tak halal, aku membayangkan anakku akan susah ku nasehati, istriku akan jadi orang keras kepala, ah tak sanggup aku membayangkannya, dan rasanya ingin pulang saja.

Tapi aku sudah di Saudi, belum hajian lagi, apalagi keberangkatan ke Saudi uangnya harus ku ganti, karena biaya keberangkatanku di tanggung PJTKI.

Hari kamis, libur, paling enak tidur, di hari biasa saja di tempatku sudah tak ada kerjaan, maka jangan harap aku mendapat lembur, sementara yang lain pada lembur.

Setelah sarapan pagi, siap-siap untuk tidur, hp bunyi.

“Lagi apa mas?” suara Muhsin.

“Ya biasa tidur.” jawabku malas karena sudah setengah tidur.

“Gak lembur?”

“Ah mana ada lembur, apa yang mau dilemburkan?”

“Umroh yuuk..”

“Umroh? Ah ndak punya uang, mau umroh pakai apa?” jawabku.

Bagaimana mau umroh, gaji saja belum diterima, ah ada-ada aja si Muhsin. Aku melanjutkan tidur lagi, tapi sebentar hp bunyi lagi, ku angkat.

“Mas aku sudah di depan kamar.” suara Muhsin.

“Iya sebentar ku bukain.” karena kamar ku kunci, aku telah pindah kamar dari sekamar dengan orang yang cuma punya satu kunci, pindah ke kamar yang punya dua kunci, barengan orang Madura. Kamar ku buka.

“Ayo mas umroh…, masih tidur?” tanya Muhsin.

“Iya…” jawabku dengan mata memicing, karena silau oleh cahaya masuk ke kamar, maklum di Saudi itu kalau pagi matahari sudah terik kayak di Indonesia di waktu siang tengah hari.

“Ayo siap-siap.” ajaknya.

“Aku ndak punya uang..” kataku.

“Tinggal berangkat aja kok mas.., itu taksinya sudah nunggu di depan.”

“Wah ini serius.?” tanyaku.

“Ya iyalah..”

“Tapi aku ndak punya pakaian umroh.”

“Udah ku sedia’in semua, tinggal bawa pakaian ganti.”

“Ya kalau gitu aku ambil pakaian ganti.” kataku sembari berjalan ke lemari, ambil tas dan memasukan pakaian ganti, sabun dan pasta gigi.

“Trus besok sabtu kerja bagaimana itu?” tanyaku.

“Kan berangkat dari sini pagi, besok jam segini sampai di Makkah, lalu siang hari jum’at berangkat ke Mekkah, malam jam tigaan kan sudah sampai di sini, sebentar kan sabtunya sudah bisa kerja.” jelas Muhsin.

Ternyata taksi sudah ada di luar, dan di dalam taksi sudah ada Munif, orang Indo dan sopir Raju, sopir taksi juga pekerja pabrik, yang juga mau umroh.

-SEKIAN DULU-

close