Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 29) - Kisah Nyata



JEJAKMISTERI - Perjalanan manusia untuk mendekatkan diri pada Alloh sebagai Robbnya, sebenarnya tak jauh, menjadi jauh karena semakin beragamnya keinginan nafsu, semakin banyak lagi yang diinginkan oleh nafsu, kesenangan-kesenangan yang bersifat kepuasan, entah kepuasan dzahir atau kepuasan batin, maka makin jauh perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Alloh.

Sekian tahun, yang dilewati oleh manusia itu gelora samudra kepuasannya, yang dilewati manusia itu padang gersang ketamakannya akan kesenangan. Andai saja manusia itu mau melepaskan segala macam keinginan, ingin dipuji, ingin diagungkan, ingin dihormati, ingin punya kedudukan dan pangkat, pangkat di hadapan manusia, maupun pangkat di hadapan Alloh, maka jika semua telah tak ada yang bersemayam segala macam keinginan, ketika Nur makrifat itu melintas di lapangan hati manusia yang bersih dari keinginan, maka cahaya itu akan menumbuhkan aneka macam tetumbuhan ilmu dan hikmah.

Tak perlu manusia itu menjadi sakti, atau belajar agar sakti, Alloh itu lebih sakti dari semua yang Dia ciptakan, dan wafadholallohu ba’dokum ala ba’din, Alloh itu akan memberikan berbagai anugerah keutamaan, kepada hamba yang satu dari hamba yang lain, sesuai kadar ketaqwaannya, dan ketaqwaan itu terukur sesuai kadar keikhlasannya, dan keikhlasan itu ada karena paham dan tau, jika dia tidak ikhlas itu maka tak ada nilainya suatu kadar bobotnya ibadah, dan untuk menjadi mukhlisin atau orang yang ikhlas itu tidak cukup sehari dua hari hati digosok, karena kecenderungan nafsu menguasai hati, dan ditambah dengan khotir atau bisikan-bisikan syaitan yang menanamkan bibit virus, akan subur berkembang, jika apa yang dimakan manusia kemudian adalah sesuatu yang diharamkan.

Tak ada seorangpun yang ma’sum dan terjaga dari tipu daya, kecuali Nabi Muhammad SAW. dan kita sebagai manusia biasa, seringkali mudah tertipu.

Tertipu oleh prasangka dan ketidakpastian.

Seperti Nabi Muhammad ketika ditemui Jibril dalam berbagai bentuk, lalu Nabi tak tertipu dengan perubahan bentuk yang satu pada bentuk yang lain.

Sementara kadang kita jika ditemui oleh bayangan di dalam mimpi, seorang yang memakai jubah, lalu kita menyangka itu seorang wali, padahal syaitan amat mudah menyerupai dalam bentuk apapun, untuk menipu daya manusia, agar kita kemudian menjalankan amaliyah bukan lagi karena mencari ridho Alloh, tapi karena menuruti orang yang berjubah itu.

Malam itu aku meraga sukma lagi, kali ini arah ke utara dari desaku.

Melayang-layang di atas kota, lalu aku lihat seperti sesuatu aura amat hitam menggantung di udara, melingkupi suatu daerah, aku coba mendekat, dan aku masuk ke rumah itu ternyata sebuah rumah sakit, sebab banyak sekali pasien, yang aku heran banyak sekali hantu bergentayangan di rumah sakit itu, dari gambar salib yang tergantung di dinding, aku menyangka ini pasti rumah sakit kristen.

Aku lewati lorong demi lorong rumah sakit, dan setiap hantu yang bertemu denganku menjerit lalu kabur, ada perempuan berbaju putih, ada hanya kepala, ada orang yang tubuhnya penuh darah, dan lain-lain, jika ku sebut satu persatu rasanya tak akan selesai seharian.

Tiba-tiba seorang hantu berpakaian pastur jaman dulu atau jaman sekarang aku tak tau, yang jelas dia berpakaian hitam, dengan selempang di pundak, dan ada kerah putih di lehernya.

Dia menghadangku.

“Berhenti, enyah dari sini, kau membuat penghuni sini semua kepanasan.” ujarnya, sambil mengacungkan batang salib kearahku.

“Aku hanya lewat disini, bagaimana kau anggap aku membuat penghuni sini kepanasan?” tanyaku.

“Nyatanya seperti itu.” bentaknya.

“Bagaimana mungkin aku menjadikan kalian menjadi kepanasan?” kataku masih heran.

“Kenyataannya seperti itu, aku juga tak tau, apakah kau ini arwah orang mati?” tanya pastur itu.

“Aku? Aku belum mati.” kataku.

“Lalu kenapa kau bisa masuk alam kami? ” tanyanya.

“Aku melepas sukma.” jelasku.

“Sudah sekarang kau pergi, kau membuat seluruh tempat ini seperti terbakar.” katanya seperti menahan sakit.

“Jika aku tak mau?”

“Maka aku akan mengusirmu.” katanya sambil jari telunjuknya terangkat.

Dan aneh dari jari telunjuknya keluar kilatan listrik seperti kilat kecil, menyerangku, untung aku ingat aku ini sukma, aku pun melompat melayang menghindari serangannya, yang menghantam dinding dan menimbulkan dentuman dahsyad.

Wah sakti juga pastur ini, aku jadi ingat, kata Kyaiku, kalau di alam gaib itu jika ingin mengeluarkan apa maka tinggal mendzikirkan salah satu dzikir dan membayangkan apa yang kita inginkan keluar dari tangan.

Maka aku pun melakukan itu dan membayangkan petir keluar dari tanganku, dan subhanalloh, benar-benar petir yang menyilaukan mata keluar dari tanganku, melesat seperti pijaran kilat di langit menerjang ke arah pastur itu, dia menghindar sampai bergulingan di lantai, dan ujung bajunya tersambar segera menjadi bubuk debu.

Aku terheran-heran, dan melihat tengah tapak tanganku yang mengeluarkan asap.

Tiba-tiba beberapa pastur datang, ada sekitar tujuh orang, dan serempak menyerangku..

Aku terdesak sampai ke pintu besi dan tempat penjagaan satpam.

Aku masih melakukan adu kekuatan, dan saling serang dengan petir, sampai aku akhirnya terdesak keluar pagar.

Ah percuma juga ku lawan, tak ada manfaatnya, lebih baik aku pergi.

Aku pun pergi, melesat ke udara, dan melayang-layang pelan meninggalkan tempat itu, sambil melihat kota dari atas.

Sampailah aku di persawahan, di mana banyak pohon pisang, dan kembang krokot, aku berhenti sebab mendengar ada yang mengucap salam.

“Assalamu alaikum..” ku dengar suaranya serak seperti suara perempuan tua.

“Wa alaikum salam…, siapa ya..?” tanyaku sambil berhenti berdiri di atas daun pisang.

“Aku Ibu Dewi… aku minta kalau tuan mengirim fatekhah, aku dikirimi juga.” katanya…

Aku tak sempat menanyakan lebih lanjut, karena adzan subuh sudah berkumandang, dan aku harus segera pulang untuk mengimami sholat subuh di masjid.

Siangnya aku berpikir, siapa gerangan perempuan itu yang memintaku mengirimi fatekhah? Aku hanya melihat sebuah rumah, berundak-undak, dindingnya dari kayu, tanpa cat. Rumah siapa? Kok dia tau keberadaan sukmaku, bahkan dari dalam rumah, tentu dia jika seorang manusia, maka pasti manusia yang mempunyai ilmu tinggi, sebab jarang-jarang aku menemukan seseorang yang bisa melihatku ketika meraga sukma, jika dia bisa melihat sungguh berarti bukan orang sembarangan.

Baiknya nanti malam aku datangi dia, mungkin bisa ku perjelas siapa sesungguhnya dia.

Maka malamnya lagi aku meraga sukma lagi, dan langsung menuju rumah itu. Rumah yang di depannya ada bunga kerokot.

Aku langsung turun di pekarangan rumah yang diratakan dengan kerikil, dan ditumbuhi rumput di sela-sela kerikil.

“Assalamualaikum…” ucapku dari luar rumah.

“Waalaikum salam,” terdengar jawaban dari dalam tapi kenapa suaranya seperti suara seorang perempuan muda, padahal kemaren seperti suara perempuan tua yang serak.

“Maaf, kemaren ada yang ingin dikirimi fatekhah, tapi aku kurang jelas siapa namanya? Maaf jika saya ingin memperjelas biar tak salah alamat.” kataku dengan sopan.

Lalu dari dalam rumah, keluar seorang perempuan, memakai cadar penutup wajah, tubuhnya tinggi langsing, dan semua pakaiannya memakai warna biru.

“Iya saya yang minta dikirimi fatekhah, namaku Dewi, dan orang sering menyebutku Dewi Lanjar.” jelasnya.

“Dewi Lanjar?” aku heran, aku sendiri tak tau siapa itu Dewi Lanjar.

“Maaf Nyai saya bukan orang asli Pekalongan, jadi saya tak tau Dewi Lanjar.” kataku jujur.

“Aku penguasa Laut Utara.” jelasnya.

“Ooo…”

“Mari ku ajak ke tempat kekuasaanku.” katanya, sambil menggandeng tanganku. Dan kami membumbung cepat ke arah utara, ke tengah laut, aku lihat aku melayang di tengah laut, sampai pada suatu pulau kecil, lalu melintasi jembatan, aku heran karena jembatan itu dari manusia yang dijejer seperti ikan asin, dan ku lihat banyak orang ramai bekerja, yang membuatku heran, ada orang yang berkepala ikan dan bertubuh manusia, juga ada manusia yang berkepala manusia tapi bertubuh ikan, ada juga orang yang memukul-mukul mereka dengan cambuk.

“Maaf Nyai, yang berkepala ikan, bertubuh nabusia, juga sebaliknya itu bangsa jin atau bangsa manusia?” tanyaku.

“Itu bangsa manusia.”

“Lhoh kok aneh, apa ada bangsa manusia seperti itu?”

“Lalu yang melintang di jembatan itu apa juga manusia? Juga yang bekerja sambil dicambuki itu?” tanyaku.

“Iya itu juga bangsa manusia.” jawab Dewi Lanjar.

“Wah kok aneh sekali Nyai…, bagaimana bisa terjadi seperti itu?” tanyaku tak mengerti.

“Mereka itu orang-orang yang menjadi wadal atau tumbal, juga orang-orang yang melakukan perjanjian meminta kekayaan pada bangsa jin.” jelas Dewi Lanjar.

“Berarti panjenengan menerima perjanjian dengan mereka begitu Nyi..?”

“Sama sekali bukan, itu hanya jin-jin yang mengaku-aku diriku, aku sendiri seorang mukminah, hal seperti itu sirik, haram,” jelas Dewi Lanjar.

“Tapi nyatanya ada yang menjadi tumbal begitu?”

“Itu hanya perbuatan jin-jin yang mengaku-aku diriku.”

“Maaf Nyai… sebaiknya aku memanggil apa padamu?”

“Panggil saja Ibu, ibu Dewi..” katanya sambil menatapku dengan pandangan sayu.

“Mari ngger.. mari masuk ke kerajaanku..” kata Dewi Lanjar.

Dan aku mengikuti di sampingnya, di setiap jalan banyak sekali taman-taman dan perempuan-perempuan yang menjadi dayang, semua menunduk ketika kami berdua lewat.

“Itu perempuan dari bangsa jin apa dari bangsa manusia bu…?” tanyaku, sambil berjalan di sampingnya.

“Itu dari bangsa jin.”

“Oh ya kalau orang yang melakukan pesugihan itu, jika bukan perbuatan ibu, dan itu perbuatan para jin, kenapa ibu tak melarangnya?”

“Aku ini siapa to ngger, itu kan kemauan manusia itu sendiri, yang mau diperbudak syaitan, yang tamak, dan rakus terhadap harta.” jelas Dewi Lanjar.

“Lalu ibu ini sebenarnya bangsa manusia atau jin ?” tanyaku.

“Aku ini manusia anakku..” jawabnya yang mengejutkanku.

“Lhoh kok bisa ibu sebagai manusia lalu menjadi orang yang menguasai laut dan membawahi para jin?” tanyaku heran.

Dan kami berdua duduk di sebuah meja dari kayu tai, yang mengkilap, di dalam ruangan yang indah dan megah, ramai dengan berbagai ornamen dan lukisan, dengan pencahayaan yang serasi, beberapa pelayan menatakan makanan.

“Rumah tempat ananda ketemu denganku itulah rumah asliku…” jelas Dewi Lanjar.

“Ooo, lalu kok sampai ibu menjadi penguasa laut utara, bolehkah anak tau ceritanya.?” kataku berhati-hati bicara.

Dewi lanjar menerawang, seperti mengingat kenangan lama.

“Dulu aku ini seorang yang bersuami, tetapi aku tak mau dikumpuli suamiku, maka setiap malam dari magrib sampai malam aku tak mau tidur dalam rumah, jadi selalu di luar rumah.

Pada suatu malam aku didatangi perempuan, wewe gombel aku menyebutnya, dia mengajakku, sampai di Alas Roban, waktu itu zaman peralihan kekuasaan dari Pajang ke Mataram, sampai di tengah hutan, aku disuruh duduk bertapa di sebuah batu, akupun menuruti, duduk bertapa di atas batu, sampai aku sendiri sudah tak tau sudah berapa lama aku duduk di atas batu itu, dan Ibu Nyai Roro Kidul penguasa laut selatan mendatangiku, lalu mengangkatku sebagai anak angkatnya, dan menyerahiku kekuasaan laut utara.” jelasnya.

“Beginilah nasibku…”

“Lalu apa ini tidak menyalahi kodrat manusia?” tanyaku.

“Walau seperti ini juga adalah sudah tertulis di taqdir yang Alloh Yang Maha Kuasa ngger…, jangan menanyakan kodrat manusia, ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, hal itu terjadi, dan tidak menunggu akal agar percaya, baru hal itu terjadi, sekalipun akal tak percaya maka itu tetap terjadi.”

“Memang ibu, saya di sini, di kerajaan ibu ini, saya juga tak percaya jika telah berada di sini, walau saya jelas-jelas berada di sini, tapi akal saya tetap menolak, karena keterbatasan akal saya.” kataku yang memang tak percaya dengan apa yang aku alami.

“Ngger, kalau angger mau, biar ku bantu berjuang, memperjuangkan agama, dan biar aku dukung dengan segenap bala tentaraku, dan segenap harta bendaku.” kata ibu Dewi.

Aku terdiam, terlintas di pikiranku, ingat ketika Nabi Muhammad ditawari Alloh, gunung Uhud dan pasir tanah Mekkah dijadikan emas, untuk memperjuangkan agama, tapi Nabi menolak, dan bagiku Nabi adalah sebaik-baiknya tauladan, tak ada tauladan yang melebihi Nabi.

“Maaf bu…, aku amat berterima kasih, atas perhatian ibu, tapi sesuai ajaran Nabiku, dalam perjuangan itu ada sulitnya menjalankan proses perjuangan, dan ada berbagai pengorbanan, dan di dalamnya tersimpan kesabaran penempaan diri, sehingga diri kukuh kuat, tak tergoyahkan, dan semuanya ada pahalanya, jadi atas tawaran ibu, terpaksa dengan berat hati saya menolaknya…, sekali lagi maafkan saya bu..” kataku ku ucapkan dengan hati-hati agar tidak menyinggung.

“Ya tak apa-apa, kebersihan hati manusia itu tercermin pada sikapnya, tapi jika nanda ingin aku membantu, entah tentara atau harta benda, maka aku siap selalu membantu, kirim saja fatekhah padaku satu kali tahan nafas, dan minta yang anak maui, maka aku akan memerintahkan anak buahku segera melaksanakan.”

“Sekali lagi terima kasih ibu.. atas kebaikan hati ibu, anak hanya berharap jika suatu kali anak ingin main ke sini, ketempat ibu, ibu menyambut saya dengan terbuka.” kataku.

“Oh tentu-tentu… kapanpun anak mau, kerajaanku ini terbuka seluasnya.”

“Terima kasih bu.. sebaiknya aku mohon diri.” kataku sambil beranjak dari kursi.

“Mari ku antar sampai pintu gerbang.” kata Dewi Lanjar.

Dan akupun diantar, sampai pintu gerbang, dan ternyata kerajaan itu telah tak nampak, aku telah ada di jembatan besi, di bagian arah utara kota Pekalongan, aku segera melesat pulang.

Aku merasa pengalamanku itu suatu proses, dalam pikiran dan penilaianku, jika kita mau menguasai atau menjadi suatu penguasa suatu daerah, dalam artian menaklukkan dzahirnya, maka taklukkan dulu batinnya, dan aku sangat berterima kasih dengan Kyaiku, yang telah membekaliku dengan ilmu raga sukma, yang ku rasakan amat banyak manfaat yang dapat ku ambil.

Malam mendekati pagi, baru saja aku masuk lagi ke tubuhku, setelah ngeraga sukma, ada mobil travel berhenti di depan rumah, sedang menurunkan penumpang. Ternyata adalah kakak perempuan Husna, istriku. Dia baru sampai pulang dari Saudi Arabia, bekerja sebagai TKW, namanya Asrifah. Aku tak begitu perduli, rumah Asrifah tepat di samping rumah yang ku tinggali, sebelumnya jelas aku tak kenal ada kakak perempuan Husna, yang bekerja di Saudi.

Setelah ku tau ternyata Mbak Asrifah telah berkali-kali menikah dan cerai, entah sudah berapa kali, selalu tak cocok dengan suaminya, yang jelas saat itu sedang menjanda. Aku bukan orang yang perduli dengan urusan orang lain, sekalipun itu adalah saudara istriku. Dan juga urusan mbak Asrifah, aku juga tak perduli. Sampai suatu hari ku lihat kok sering ada lelaki yang keluar masuk rumahnya, padahal dia hidup sendiri, maka aku pun mulai risih, lalu aku datang ke rumahnya ketika ada lelaki di rumahnya.

Ku peringatkan agar jangan membuat aib keluarga, dan jika saling suka supaya cepat menikah, jangan sampai digrebek orang kampung. Aku tak perduli lelakinya marah, atau mbak Asrifah tersinggung, jangan sampai sesuatu sudah terlambat, sementara aku diam saja.

“Mbak, mbok sampean jangan sampai membuat hal yang memalukan keluarga, jika memang niat nikah, menikahlah dengan baik-baik, niatkan mengikuti sunnah Nabi, dan mencari ridho Alloh..” kataku setelah yang lelaki pulang.

“Ah itu urusanku…, kau ini kan adikku, tak sopan menasehati aku sebagai kakakmu.” katanya sinis.

“Yo ndak papa sampean tak mau ku peringatkan, aku kan cuma menyampaikan, ingat segala sesuatu yang menyalahi aturan itu pasti akan membuat diri susah.” kataku mencoba sabar dan sehalus mungkin.

“Sudah kamu urusi keluargamu, jangan mengurusi diriku, jangan sok pinter, aku ini lebih tua, lebih mengerti hidup, daripada kamu yang anak kemaren sore.” katanya masih sinis.

Ternyata walau sudah ku peringatkan tapi Mbak Asrifah tetap dengan lelaki itu tapi tidak bersama di rumah, seringnya janjian di luar rumah, dengan meminjam motorku, tapi dengan alasan lain.

Hari itu seperti biasa, meminjam motor, lalu pergi, tapi baru setengah jam pergi, dia sudah kembali, dalam keadaan motor dan orangnya diangkut becak, karena kecelakaan, kakinya kesleo dan luka-luka, tapi ada baiknya juga akhirnya dia tak pergi-pergi lagi.

Sampai pada suatu malam, tiba-tiba Mbak Asrifah menjerit-jerit kesakitan, jeritannya sampai keras sekali, kira-kira jam 3 dini hari, semua tetangga kaget, termasuk aku yang dekat dengan rumahnya.

“Haduuuh..! haduuh..! aku ini kenapa!? aku ini kenapa? aduuh..!” begitu berulang-ulang.

Aku yang sedang dzikir, tenang-tenang saja, Husna dan saudara yang lain menengok, sebentar kemudian Husna memanggilku.

“Mas.., itu mbak Asrifah dilihat kenapa..!” katanya kelihatan panik.

“La kenapa?”

“Ndak tau…”

“Ya sudah, disuruh diam saja, jangan teriak-teriak, besok dibawa ke rumah sakit, wong besok rumah sakitnya juga belum pindah.” kataku, yang memang agak dongkol karena tingkah lakunya.

Aku tak menengok, sampai besoknya dibawa ke rumah sakit, aku juga males menjenguk, apalagi aku ini lelaki dan mbak Asrifah itu perempuan, cukup Husna yang menengok, dan menunggui di rumah sakit.

“Mas.. kok dirontgen tidak ada penyakitnya?” kata Husna waktu pulang dari rumah sakit.

“Ya mungkin rumah sakitnya kurang canggih..” jawabku sekenanya.

“Iya memang ini juga disuruh ke Semarang…” jelas Husna.

“Ya sudah dibawa saja…” kataku.

Akhirnya mbak Asrifah dirujuk ke Semarang, di Semarang katanya penyakitnya tumor kelenjar, dan harus disinar x agar tumornya hilang. Dan saran dokter pun dijalankan, tapi ternyata setelah melewati tahapan itu tetap saja Mbak Asrifah tidak sembuh, dua minggu di rumah sakit, lalu pulang tetap saja kesakitan mengaduh-aduh, membuat tetangga pada mengeluh karena kerasnya suara mengaduhnya. Karena tidak bisa diobati di rumah sakit dan keadaannya makin mengaduh-aduh, maka keluarga pun mengusahakan lewat penyembuhan alternatif, sementara aku hanya melihat saja.

Didatangkan berbagai paranormal, dengan berbagai cara menyembuhkan, ada seorang wanita tua, yang menyembuhkannya dengan menggigit punggung dan bagian yang sakit, disaksikan banyak orang, perempuan tua itu membuka mulutnya, sebelum mengobati.

“Kalian lihat semua, lihat mulutku ini, tak ada apa-apanya,” kata perempuan tua itu, sambil membuka lebar-lebar mulutnya.

Setelah dia rasa semua orang melihat, dia lalu menggigit tubuh mbak Asrifah, dan dia membuka mulutnya, maka dari mulutnya perempuan tua itu keluar kerikil sebesar kelereng. Begitu berulang-ulang, gigit sana-gigit sini, dan ada sekitar 6 batu kerikil dikeluarkan. Aku ndak mengerti pengobatan seaneh itu, ya aku diam saja, tapi Mbak Asrifah setelah diobati tetap saja masih menjerit-jerit kesakitan. Semua orang jadi bingung.

Tiap hari selalu datang orang yang mengobati Asrifah, tapi semua tak ada yang membuahkan hasil, tetap saja Asrifah menjerit-jerit kesakitan, memang ku lihat juga kenyataannya amat kesakitan, sampai rambutnya pada rontok, jika sakit sampai seperti itu tentu amat sakit sekali.

Didatangkan lagi seorang paranormal tua, dari Jogja, mengakunya dia masih anak angkat Nyai Roro Kidul. Orangnya tinggi, umurnya mungkin 80an tahun, ketika mengobati aku disuruh menemani.

“Bagaimana penyakitnya mbah?” tanyaku.

“Ini memang disantet orang,” kata lelaki tua itu.

Aku yang saat itu sama sekali awam dengan ilmu santet, hanya berharap Asrifah bisa sembuh. Lalu lelaki itu mengeluarkan cambuk dari emas, sepanjang setengah meter, tubuh mbak Asrifah dicambuki, setelah itu tangannya disuruh mengulurkan, dan dari setiap jari mbak Asrifah dikeluarkan paku, juga jari kaki dikeluarkan paku. Aku tak kaget, juga tidak heran, cuma ku lihat saja paku dikeluarkan, lalu paku diberikan padaku.

“Ini nanti ditanam di pekuburan.” katanya memerintahku.

“Baik nanti ku tanam.” jawabku.

Lalu pengobatan pun selesai, dia mengatakan besok akan mengambil jin-jin yang dikirim seseorang. Aku hanya mangiyakan, dan mengucapkan terima kasih.

Besoknya, kakek yang kemarin mengobati datang lagi, kali ini datangnya malam hari, dia membawa kendil, aku merasa aneh juga, anehnya waktu sebelum kakek itu datang, aura di rumah Asrifah pekat sekali, bahkan lampu rumah kelihatan dilapisi kabut hitam, sehingga cahayanya gelap seperti kalau waktu siang, mendung di langit amat pekat. Tapi aku tak memperdulikan itu, sepertinya ada serombongan jin yang mendatangi rumah Asrifah, yang aku tak tau ini jin dari mana?

Kakek itu telah memulai pengobatan, dia membakar kemenyan, bau kemenyan membumbung memenuhi udara, lalu dia membaca mantra minta jin supaya masuk ke kendil dan seketika warna gelap seperti menyatu membentuk asap, lalu meluncur masuk ke dalam kendil, dan kendil pun ditutup, dan pengobatan selesai, kemudian kendil dibawa untuk dibuang ke laut.

Berbagai macam keanehan dalam mengobati. Tapi Asrifah tak ada perubahan sama sekali, atau sebentar kelihatan tenang tak mengaduh-aduh, tapi sebentar kemudian sudah mengaduh-aduh lagi.

Aku memutuskan menghadap Kyaiku, di Banten, tapi aku bukan mau meminta obat, sebab aku sendiri tak ingin membebani Kyai, karena apapun yang terjadi dan ku alami, aku berusaha mencari solusi pada apapun yang ku hadapi. Aku menghadap Kyai.

“Kyai… bagaimana cara mengobati orang yang terkena santet?” tanyaku.

“Nanti kalau sudah saatnya bisa, kamu akan bisa sendiri.” jawab Kyai, dan aku mengiyakan.

Aku pulang lagi, dan beberapa hari kemudian aku berangkat ke Jawa Timur, di desaku ada orang yang biasa mengobati sakit kena santet, dengan metode dipindah penyakitnya ke kambing. Kebetulan yang mengobati itu ayahnya temanku waktu di pesantren Sarang Rembang.

Aku pun kesana, walau dulu mbak Asrifah tak baik denganku, menolong orang kalau bisa melepaskan diri dari ego pribadi yang pernah kecewa, aku yakin setiap amal perbuatan walau sebesar biji sawi, akan diberi balasan sebesar keikhlasan orang yang melakukan amaliyah, semakin seorang itu ikhlas, akan makin tak terbatas balasan pahala yang diterima.

Sampai di tempat yang ku tuju, yang menemui temanku yang di pesantren itu.

“Bagaimana kabarmu Yan..? Ku dengar-dengar kamu sekarang di Pekalongan.” tanya temanku itu, setelah dia mempersilahkanku duduk.

“Alhamdulillah baik Lil…, iya aku mukim di Pekalongan.” kataku kepada temanku yang bernama Kholilulloh.

“Ada apa Yan.. kok tak biasanya kamu main ke rumahku.” tanya Kholil.

“Maaf aku merepotkan.” kataku

“Ah kamu ini tak biasa-biasanya basa-basi, ada apa?”

“Anu Lil, aku mau minta obat kepada ayahmu untuk mbak istriku yang sakit.” jelasku.

“Sakitnya apa Yan?”

“Ndak tau juga Lil, kata dokter sih sakit tumor kelenjar, kata dukun sakit kena santet, jadi ndak tau mana yang benar.” jelasku.

“Tunggu aku panggilkan ayah..” kata Kholilulloh masuk ke dalam.

Ayahnya kemudian keluar, bernama pak Mahrus, perawakannya pendek kecil, pak Mahrus termasuk idolaku, waktu kecil jika aku menelusuri kisah pak Mahrus sangat memotifasiku dalam menjalankan suatu amaliyah.

Dulu pak Mahrus ini orang teramat miskin, bisa dikatakan untuk makan sehari-hari pun sangat kekurangan, padahal saudara-saudaranya adalah orang kaya, pernah karena sudah dua hari tak makan, istrinya pak Mahrus, yang bernama Ibu Zulaikhah pergi ke rumah saudaranya untuk meminjam beras, tapi oleh saudaranya tak diberi hutangan, malah diberi beras segenggam yang di taburkan ke lantai.

“Itu beras ambil di lantai, itu ku berikan cuma-cuma, jika ku hutangkan maka kau pasti tak akan sanggup membayar, jadi ku berikan cuma-cuma, maka usaha dikumpulkan, orang ingin enak makan itu harus usaha, jangan asal minta-minta.” kata saudaranya.

Ibu Zulaikhah pun pulang dengan beras segenggam yang dia terima, dan menangis di depan pak Mahrus, dan menceritakan yang dialami.

“Sabar… Sabar, dalam sabar itu ada pahalanya..” kata pak Mahrus menghibur istrinya.

Salah satu amalan pak Mahrus adalah membaca sholawat pada Nabi sebanyak sepuluh ribu, entah bagaimana awalnya, Alloh selalu memberi anugerah pada hamba yang disayanginya. Dan pak Mahrus mempunyai kelebihan bisa mengobati orang dengan memindah penyakit ke kambing.

Perlahan tapi pasti Pak Mahrus makin terkenal, dan pasiennya dari segala penjuru, sampai jalan jarak satu kilo meter macet jika hari minggu, karena banyaknya orang yang datang berobat, dan cepat sekali pak Mahrus menjadi kaya raya, rumahnya yang kecil pun dibangun seperti hotel, tamu-tamu yang menginap pun bisa mendapatkan kamar yang nyaman. Dan dia tak pernah memakai tarif dalam mengobati pasiennya, berapa pun dia diberi maka akan diterima, jika seseorang berpenyakit parah, dan orangnya kaya, lalu sembuh, tak jarang yang diberikan adalah mobil mewah sebagai rasa terima kasih.

Aku segera menceritakan tentang keadaan Asrifah, pak Mahrus pun memberikan air dan kalung dari bundelan rajah.

“Dik… nanti kamu beli kambing di rumah, kalung ini kalungkan ke kambing, dan nanti setelah 3 hari dikalungi, kambingnya kamu potong, dan kamu kuliti dan kamu lihat apa saja di dalamnya itu ada luka atau hal aneh apa, nanti kamu datang kesini lagi, guna melaporkan.” jelas Pak Mahrus.

“Lalu air ini untuk apa pak?” tanyaku menunjukkan air yang di jerigen lima liter.

“Itu untuk minum mandi si sakit.” jelas pak Mahrus.

“Oh ya pak, terima kasih.” kataku sambil memberikan amplop berisi uang.

Dan aku pamit pulang, sampai di Pekalongan akupun segera membeli kambing, dan mengalungkan rajah ke kambing itu. Sehari tak apa-apa, wajar wajar saja kambing itu keadaannya. Tapi saat malamnya, kambing menjerit-jerit, sampai suaranya serak, ku lihat tak ada apa-apa, tapi kambing terus mbak-mbek tak henti-henti dan tak jemu-jemu, hehehe jadi kayak lagu.

Esoknya ku lihat bulu-bulu kambing pada rontok, di saat tertentu juga begitu kambing menjerit-jerit, jika dia dapat bicara mungkin masalahnya akan lebih mudah, dan kambing bisa ditanya, apa masalahnya, sampai ia menjerit-jerit, tapi kambing ya tetap kambing, tetap tak bisa bicara.

Aku sebenarnya kasihan juga sama kambingnya, sampai bulunya semua rontok, itu menunjukkan kalau sakitnya tidak main-main, masak kambing pura-pura sakit juga ndak mungkin, tapi pesen pak Mahrus kambing harus dipotong setelah tiga hari memakai kalung, jadi aku tetap menunggu sampai hari ketiga.

Sampai aku sering mendekati kambing dan ku elus kepalanya, ku bilang agar sabar, sebentar lagi kalau nyampai tiga hari akan ku potong dan dia bisa bernafas lega, karena pasti tak akan merasakan sakit lagi.

Anehnya Asrifah sudah tidak menjerit-jerit lagi, hanya kambing yang menjerit dengan suara itu-itu saja sampai suaranya serak.

Sampai hari ke tiga, pagi-pagi sekali cepat-cepat kambing ku potong, dan ku kuliti. Dan sungguh mencengangkan, perut kambing telah bocor, ada lubang sebesar jari di segala tempat, sehingga isi perut keluar dari penampungannya, dan di dalam perut kambing berisi gedebong pisang yang dicacah, aneh kayaknya kambing tak makan gedebong pisang, juga ada rambut manusia, ada taring sebesar jempol tangan orang dewasa, ada irisan ban mobil dan ada banyak kerikil sebesar telur puyuh, kayaknya barang-barang itu tak mungkin ada di dalam perutnya kambing, pantesan kalau kambingnya kesakitan.

Barang-barang itu ku masukkan plastik, rencananya ku bawa ke rumah pak Mahrus. Kalau organ, paru-paru dan hati kambing telah membusuk, bahkan telah berbau tak sedap.

Aku hanya geleng-geleng kepala, merasa amat aneh. Dan barang yang ada di dalam tubuh kambing itu ku bawa ke rumah pak Mahrus, dan aku kembali diberi air untuk diberikan pada Asrifah.

Aku bersukur Asrifah sudah tidak mengaduh-aduh lagi, tapi rasa senangku dan anggapanku akan kesembuhan Asrifah hanya tinggal harapan, hanya seminggu Asrifah tenang, dan setelah itu menjerit-jerit kesakitan lagi. Ah aku sudah kehabisan akal, mau bagaimana lagi, terpaksa akhirnya ku diamkan.

Sebulan – setahun sudah, pas genap Mbak Asrifah sakit, dia pun meninggal dunia. Awalnya ketika akan meninggal susah sekali, maka aku mengambil Al-qur’an dan ku bacakan surah Yasin, belum sampai surah Yasin selesai Mbak Asrifah telah pulang ke rahmatulloh. Rasanya seperti melepas beban di pundak, mungkin meninggal lebih baik daripada berlarut-larut merasakan sakit yang tak berkesudahan.

Semoga kisahnya bisa menjadi orang yang membaca menjadi sadar, dan seseorang hati-hati dalam bertindak, sebab tak ada manusia itu tidak sakit, tak ada manusia itu tidak mati, sekalipun saat sehat bisa membanggakan diri dan merasa punya uang kemudian merasa bisa melakukan apa saja, jika diberi sakit sama sekali tak berdaya.

Tak ada manusia hebat, selama masih sebagai manusia, kecuali dia telah menjadi Tuhan, yang tak pernah sakit, tak lemah, tak menyandarkan pada sesuatu selain pada dirinya.

Jika manusia itu sudah tak butuh lagi makan, tak butuh lagi minum, tak butuh udara untuk bernafas, di mana mana tempat ruang dan waktu tak menghalangi gerak geriknya, dimana keterbatasan-keterbatasan itu tak membatasinya, selalu kekal dan abadi, maka manusia telah pantas untuk membanggakan diri, tapi nyatanya manusia tak ada yang seperti itu, maka jelas manusia tak ada yang pantas untuk membanggakan diri.

Seminggu telah berlalu, setelah pemakaman mbak Asrifah, aku sendiri telah beraktifitas seperti biasa. Dan malam ku isi dengan dzikir. Saat itu jam dua dini hari, aku masih duduk memutar tasbih malam terasa amat sepi, sekali waktu terdengar gerimis, dalam suasana yang sepi, lamat-lamat ku dengar suara memanggil.

“Maaak…!, maak..!” begitu suara itu, tapi suaranya seperti suara mbak Asrifah.

Apa aku yang salah dengar, dan suara itu berulang-ulang. Tapi aku masih merasa seperti mendengar itu dari halusinasiku sendiri, tapi aku bukan berhalusinasi, memang mata rasanya ngantuk, jadi sampai berulang kali aku tidur sambil duduk.

Aku benar-benar merasa aneh dengan suara Mbak Asrifah, tapi aku benar-benar bukan mimpi,

“Siapa itu?” tanyaku dari tempat aku duduk dzikir.

Tiba-tiba terdengar suara cring-krincing… seperti suara besi yang diseret, dan berdiri di hadapanku Mbak Asrifah, yang wajah dan rambutnya dipenuhi tanah, wajahnya menghitam, dan pakaian mori yang dipakainya compang-camping seperti bekas cambukan yang sampai membekas di mori, tangan dan kakinya dirantai dengan rantai hitam.

“Setan dari mana kau…!?” bentakku.

“Aku kakakmu Yan.. Asrifah, aku ndak diterima di sana, tolong aku Yaaan… aduh panaaas…” katanya memelas dan kepanasan karena aku dalam keadaan dzikir.

“Benar kau mbak Asrifah? Jangan-jangan kau setan yang menyaru-nyaru belaka?” kataku dengan pertanyaan yang bernada tinggi.

“Benar Yaan aku Asrifah, maafkan kesalahanku padamu, aku tak mengindahkan nasehatmu.., sekarang aku tak diterima, lihat aku disiksa seperti ini, dirantai, apa kau tak kasihan padaku..?”

Terus terang aku sendiri takut setengah mati, melihat perwujudan yang amat menyeramkan, rambutnya yang tinggal sedikit dan acak-acakan, pipinya yang seperti habis ditampar, dan bau tanah kuburan berbaur dengan bau bangkai sangat kuat tercium, tapi aku berusaha bertahan, sebagai orang yang yakin pada Alloh, la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wala fissama’, tak ada yang berbahaya jika kita berpegang teguh pada Alloh, apapun yang di bumi dan di langit.

Seperti ada yang membisikiku, agar memutuskan rantai dengan akhir surrah Taubah.

“Kesinikan rantainya.” kataku.

Lalu dia menyeret rantai dan menyodorkan rantai kepadaku, lalu ku pegang rantai dengan membaca akhir surrah Taubah, Alhamdulillah rantai lepas, lalu rantai di kakinya, dan sama seperti ku lakukan pada rantai di tangannya, dan rantai pun lepas.

“Lalu bagaimana nasibku Yaan…!, Aku tak diterima, bagaimana ini?” katanya memelas.

“Sudah tak usah banyak ribut, besok akan ku coba menolong, sekarang pergilah.”

“Tak bolehkah aku tinggal di rumahmu… aku di sana dipukuli..”

“Tak boleh, nanti kau menakutkan keluargaku, sudah sana pergi, besok aku tolong.” kataku.

Lalu dia pergi tersaruk-saruk, tubuhnya membungkuk-bungkuk menahan sakit. Aku meneteskan air mata karena kasihan dengan nasibnya, manusia tetap hanya mampu berusaha, hidayah itu bulat-bulat milik Alloh.

Paginya Jum’at aku kirimi mbak Asrifah, ku bacakan sholawat nabi 10 ribu kali, ku mintakan pada Alloh agar ruhnya diterima dan dibebaskan dari siksaan. Aku yakin dengan apa yang ku kirimkan pasti sampai.

Malam aku sengaja menunggu, aku dzikir duduk di kursi ruang tamu, kira-kira jam 1 dini hari, terdengar suara pintu rumah diketuk dan suara salam.

“Waalaikum salam, masuk saja tidak dikunci.” kataku.

Ternyata mbak Asrifah, di belakangnya ku lihat empat anak kecil mengiring, sekarang pakaiannya pakaian seorang penganten. Dan wajahnya yang kemaren menghitam seperti bekas tempelengan, sekarang warna hitam itu sudah tak ada, tapi ada bekas kayak kulit mengelupas bekas terbakar, rambutnya tersisir rapi, dan bau wewangian semerbak.

“Bagaimana mbak?” tanyaku.

“Alhamdulillah Yan, terima kasih atas segala pertolongannya, sekarang aku akan berangkat ke alam sana, aku mau pamitan, aku benar-benar berterima kasih, jika tau kau orang seperti itu, sungguh dulu aku melayanimu pun mau…”

“Sudah mbak…, semoga engkau mendapat tempat yang enak di sana.”

“Terima kasih Yan…, aku mohon diri, wassalamualaikum.” kata mbak Asrifah melangkah pergi diiringi ke empat anak kecil.

Setelah berbagai kejadian, aku merasa betapa masih banyak yang di luar pengetahuanku, dan rasa ingin menuntut ilmu makin menggebu. Ku putuskan untuk ke pesantren lagi dan menuntut ilmu lagi.

Di pesantren, santri-santri lama sudah tak ada lagi, memang selalu begitu di tempat kyai, tahun ini dan tahun besok santri sudah lain, apalagi ini aku sudah lama tak kembali ke pesantren, kembali kemaren juga sebentar hanya menanyakan soal cara mengobati orang yang terkena santet.

Cara yang ku lakukan dalam mencari ilmu tidak sama dengan cara orang lain mencari ilmu, dan cara yang ku lakukan itu secara lahirnya tidak seperti orang yang mencari ilmu, tapi hasil yang dicapai, mencari ilmu sebulan maka akan sama saja dengan mencari ilmunya orang umum dalam masa sepuluh tahun. Makanya aku selalu di manapun tak pernah mencari ilmu atau mondok dalam jangka waktu lama, hanya butuh masa beberapa bulan, dan ilmu kyainya sudah ku serap semua.

Cara yang ku lakukan pertama adalah, aku berusaha memberi makan pada semua santri, dengan uangku, dan tenagaku sendiri, disamping aku ikut menyerap ilmu, maka tanpa disadari santri yang lain, aku meminjam tenaga mereka untuk diriku mendapat pahala.

Semua santri yang puasa, aku beri makan, maka disamping puasaku sendiri, maka aku akan mendapat pahala semua santri, bahkan aku memasaknya dengan tanganku sendiri, dengan penuh kerelaan, sebab aku mau mengambil pahala mereka kenapa harus malu dan risih, aku sama sekali tak malu, bahkan jika masakanku matang aku bangunkan satu persatu, untuk makan sahur, dan di saat aku buka, ku tatakan dengan rapi makanan, tempat cuci tangan dan minumnya, kan mereka tak tau kalau sebenarnya aku mengambil bagian pahala mereka, siapa yang memberi makan orang puasa, dzikir, beribadah, maka akan mendapatkan pahala sama seperti pahala yang didapat yang puasa, tanpa mengurangi pahala yang diberi makan.

Bahkan aku rela mencari pekerjaan di luar, kalau nanti mendapatkan uang maka santri lain ku masakkan lagi, begitu berulang-ulang. Sehingga aku seperti orang satu tapi memakai akal orang banyak dalam menyerap ilmu.

Yang ku lakukan kedua, aku selalu berusaha mempunyai apapun peninggalan di majlis dzikir, atau apapun yang dapat dipakai orang banyak, sehingga jika aku pergi sekalipun, maka aku tetap mendapat bagian jika apa yang ku tinggalkan di pakai dzikir. Sehingga sekalipun aku sudah tak di pesantren itu, maka aku tetap seperti orang yang selalu hadir.

Jadi waktuku tak aku sibukkan hanya melakukan dzikir, atau menjalankan amaliyah, tapi lebih banyak berusaha melakukan sesuatu yang mempunyai nilai ganda.

Yang ketiga aku akan berusaha menyenangkan Kyaiku, apapun yang membuat kyaiku senang dan ridho maka akan ku lakukan, karena ilmu itu dari guruku, jika guruku senang, dan ridho, maka berbagai macam ilmu akan dengan senang hati diturunkan guruku kepadaku, dan guruku tak merasa rugi atau enggan menurunkan ilmu itu, sekaligus jika ilmu itu diturunkan maka aku dengan semangat menjalankannya, agar guruku melihat aku ini orang yang seperti orang yang diberi pakaian lalu hanya dibuang sebagai kain usang. Tapi aku akan menunjukkan penghargaanku pada ilmu itu, agar guruku merasa ridho pada ilmu yang diberikan.

Tak masalah bagiku waktuku habis ku pakai menyenangkan guru, sebab di pesantren itu waktunya menimba, bukan waktunya mandi, waktunya menimba ilmu bukan waktunya memakai ilmu. Di situlah penyerapan-penyerapan lebih yang ku peroleh. Karena cara aku mencari ilmu itu beda dengan orang lain.

Memang kadang diriku akan direndahkan dan diremehkan oleh santri lain, santri lain merasa diriku ini pelayannya, melayani mereka, dan dipandang sekilas seperti orang yang tak punya derajad, jika seandainya semua tau apa yang ku peroleh, pasti berebutan ingin menempati posisiku, tapi kebanyakan orang kan tidak berpikiran sejauh itu, yah tak apa-apalah direndahkan, bagiku yang penting nantinya, aku memetik ilmu paling banyak lebih banyak seratus kali lipat dari santri lain.

Apalagi tawadhu’ dan keta’atan pada guru, aku sangat mengutamakan itu, bahkan lebih utama dari santri manapun, sampai aku sendiri karena tawadhu’nya pada guru, maka tak pernah meminta apapun dari guru, dan bahkan tak pernah sms atau telpon, takut guruku pas lagi tak mau diganggu maka aku malah mengganggu, jadi selamanya tak pernah menghubungi guruku, sampai tak pernah menyampaikan maksud hatiku pada guru, kecuali yang berhubungan dengan kepentingan guruku atau jama’ah, tak pernah sekalipun berhubungan dengan keperluanku, yang ada di kamusku adalah sami’na wa ato’na, mendengar dan menta’ati.

Sedang santri lain minta ini minta itu, maka aku malah tak pernah sekalipun minta apa-apa, aku tak mau membebani guru, bagiku guru telah memberikan ilmu, maka aku tak pantas meminta yang lain.

Dan tak sekalipun aku mengeluhkan amalan, jika aku di beri amalan 1 maka akan ku amalkan 5 x, sebagai bukti keseriusanku, dan tak sekalipun aku meminta amalan baru, sampai kyaiku memberi amalan padaku.

Maka aku tak pernah butuh waktu lama di manapun aku mesantren, sebab cara mesantren yang aku jalani tidak sama dengan cara yang dipakai orang lain.

Di Banten aku diminta kyai selama 9 bulan, dan selama sembilan bulan itu ku habiskan waktu untuk memperbagus majlis, dan melakukan amaliyah yang telah ku sebutkan, dan selama sembilan bulan berlalu dengan cepat.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close