HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 10)
Tiba-tiba aku merasakan angin dingin mendesir menyentuh wajahku. Lama-lama tubuhku menggigil. Peluh terasa mengucur deras keluar dari pori-pori. Padahal hari tidak panas. Meski berdesak-desak dalam ruangan tanpa kipas angin, namun udara tetap sejuk. Tapi aku berpeluh?
Semakin lama tubuhku semakin bergetar. Aku merasakan tubuh Kakek Haji Majani pun ikut bergoyang. Kucoba untuk melawan getaran itu namun aku tidak bisa. Aku tak mampu menghentikannya. Tiba-tiba sedikit samar aku melihat sosok wanita muda, barkaos merah, celana deril berwarna cream, bertali pinggang kecil, berdiri kaku di hadapanku. Kulitnya kuning langsat, bertubuh semampai, rambut lurus sebahu. Sangat ideal.
Tapi melihat wajahnya yang tersibak angin, aku kaget, ada lebam di mata dan pipi kirinya, darah mengalir dari leher membuat bajunya terlihat basah. Aku tak bisa berkata apa-apa kecuali menatapnya dengan perasaan perih.
“Namaku Ratih, adik kecil. Aku berasal dari seberang. Aku mati dibunuh oleh kawanan perampok di Surulangon Bangko. Keluargaku tidak tahu kalau aku telah mati. Aku disekap dalam mobil perampok, bersama dua orang kawanku. Kami tidak tahu akan dibawa kemana. Dari pembicaraan mereka yang kami tangkap, kami akan dijadikan tumbal jembatan yang minta tiga kepala perempuan muda.
Di jalan, aku memberontak ketika mereka hendak memperkosaku. Aku berhasil keluar dan melompat dari mobil. Aku tidak sadar diri ketika itu. Mereka lalu menggorok leher dan memasukan kepalaku ke dalam karung.
Aku tidak tahu kemana kepalaku mereka bawa. Dari percakapan mereka, kami akan diserahkan ke perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung. Hingga sekarang, aku masih mencari kepalaku” Ujar sosok itu dengan tangis yang menyayat.
“Adik, tolong aku” Rintihnya.
“Apa yang bisa kubantu, Yuk” Ujarku ikut menangis.
“Doakan aku, Dik. Bantu aku agar aku mati sempurna. Terima kasih adikku. Lama sekali aku ingin menyampaikan ini. Tapi tidak tahu dengan siapa. Nama Ayahku Kartino, Ibuku Sumijah, keduanya berasal dari Pacitan. Aku merindukan mereka Dik. Mereka pasti sangat risau memikirkan aku. Mereka tidak tahu jika aku telah lama mati” Ujarnya lagi.
“Iya, Yuk” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Lalu pelan-pelan bayangannya samar. Semakin lama, semakin samar lalu lenyap sama sekali. Aku terkejut ketika tangan dingin nenek Kam mengusapkan air ke wajahku lalu menyuruhku minum. Kupandangi wajah-wajah tegang tampak tertuju padaku.
“Ada apa denganmu Cung? Apa perasaanmu?” Tanya Kakek Haji Majani mengguncang-guncang tubuhku. Nampak sekali kecemasannya. Aku hanya ingat tubuhku menggigil lalu ada ayuk Ratih di hadapanku minta tolong. Kutatap nenek Kam yang tersenyum simpul padaku.
“Ceritakanlah” Ujarnya sedikit mengganguk. Akhirnya aku menarik nafas panjang sebelum bercerita. Dadaku masih terasa sesak.
“Aku tadi didatangi oleh ayuk berbaju merah yang jenazahnya ditemukan beberapa tahun lalu di pangkal jerambah Endikat itu. Namanya Ratih” Tiba-tiba suaraku bergertar. Aku serasa tidak sanggup menceritakan kesedihannya. Wajah pilu Ratih kembali terbayang. Tapi aku sudah berjanji untuk menolongnya.
Akhirnya kuhimpun tenaga agar aku kuat menyampaikan tentang siapa Ratih meski dengan perasaan sedih.
“Ayuk Ratih berasal dari seberang, Pacitan nama kotanya. Ibunya Sumijah. Ayahnya Kartino. Hingga sekarang, Bapak ibunya tidak tahu kalau Ratih sudah meninggal. Ratih ditawan persampok dari Surulangon Bangko, bersama dua orang kawannya. Di tengah jalan, mereka hendak diperkosa. Ratih berhasil keluar dari mobil dan melompat. Ratih pingsan. Dalam keadaan pingsan itulah Ratih digorok lehernya lalu kepalanya mereka bawa. Sementara tubuhnya dibiarkannya di pangkal jerambah itu. Hingga saat ini, Ratih mencari-cari kepalanya. Dia minta tolong untuk disempurnakan kematiannya. Dia minta didoakan” Ujarku sedikit lega.
Suara orang yang berbisik-bisik tetap saja terdengar olehku. Ada yang mengatakan, pada waktu-waktu tertentu ketika melintas di jembatan itu, mereka melihat tubuh berbaju merah tanpa kepala berdiri di pinggir jalan. Persis di tempat jenazah Ratih ditemukan. Ada juga yang menyebutkan pernah melihat perempuan berbaju merah berjalan di tengah jembatan.
“Astagahfirullahal adziim…” Kakek Haji Majani ikut terharu.
“Benar, Ratih itu anak yang baik. Dia bekerja di Jambi demi menghidupi ayah Ibunya. Kasihan akhir hidupnya tragis seperti itu.” Ujar Nenek Kam sambil berlalu.
“UaaagahgRR” Aku terkejut mendengar suara menguap dekat sekali dengan telingaku. Ternyata di sampingku macan kumbang tunggangan Nenek Kam.
“Aaah! Bikin kaget saja! Kok harus terlihat sih? Jangan dekat-dekat, aku takut” Ujarku agak kesal.
Seketika nenek Kam menoleh padaku. Macan kumbang seakan paham melihat tatapan mata nenek Kam. Sekali lompat, macan kumbang sudah berada di tumpukan kopi paling atas seperti mengawasi semua aktivitas manusia di dalam rumah. Aku berlari mendekati nenek Kam, berusaha mendamaikan degup jantung.
“Baiklah, silakan yang mau ikutan sholat silakan wudu, kita sholat ghaib untuk almarhumah Ratih binti…” Kakek Haji Majadi mengingat-ingat.
“Kartino” jawab orang-orang hampir serentak.
“Iya, Ratih binti Kartino” Ujar kakek Haji Majani bangkit dari duduk. Beberapa orang yang hadir segera mengikuti Kakek Haji Majani berwudu. Beliau memang tokoh agama di kampungnya, rajin mengisi pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak di desa. Jadi wajar saja ketika mendengar penuturanku beliau langsung terketuk hatinya untuk menyolatkan dan mendoakan Ayuk Ratih.
Dalam sekejap aku melihat rumahku mirip seperti mushalah. Ada tiga syaf laki-laki di belakang Kakek Haji Majani, di tambah satu syaf perempuan. Dari balik tubuh orang yang berdiri, aku melihat ada sosok aneh yang ikut solat. Posisinya pinggir syaf nomor dua. Kutatap dalam-dalam. Kuperhatikan gerakan salat gaibnya. Ketika dia mengucapkan salam sekilas wajahnya seperti macan kumbang. Aku melemparkan pandang ke tumpukan karung biji kopi Bapakku, tempat terakhir macan kumbang bertengger. Tidak ada. Akhirnya aku mencoba naik tangga yang sengaja dibuat mirip jembatan dari sekeping papan tebal yang biasa digunakan oleh anak buah bapakku untuk menyusun karung biji kopi hingga hingga mendekati atap gudang.
Sampai di atas, aku mencari-cari. Tidak ada macan kumbang. Kapan dia turun dan berubah? Lalu ambil wudu dimana? Batinku. Rupanya makhluk kesayangan nenek Kam ini ikut salat juga? Dari atas aku melihat jamah salat ghaib masih menengadahkan tangan berdoa yang diimami kakekku. Belum sempat aku menarik nafas kedua kali, tiba-tiba wajahku nyaris mencium hidung yang mendengus pelan. Aku terpekik. Ternyata Macan Kumbang persis di hadapanku.
“Nakal!” Spontan tanganku menepuk wajahnya. Makhluk ini sepertinya sengaja menggodaku. Kuplototi matanya yang berwarna biru berkilap-kilap. Kembali aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Kepalanya digeleng-gelengkannya mengingatkan aku agar jangan memukulnya. Lalu mengganguk-angguk. Tanda minta maaf. Sekilas aku melihat lelaki muda yang gagah tersenyum manis padaku. Ah, benar kata nenek Kam, adik bujang tunggangannya dalam bentuk macan kumbang ini seorang lelaki yang gagah dan tampan. Baru kali ini aku melihat sosok lainnya. Selama ini hanya terlihat sekilas macan yang berbulu hitam pekat. Timbul penyesalanku telah memukul wajahnya. Dalam hati aku menyumpahi diri sendiri. Sungguh aku tidak sopan!
Tiba-tiba aku merasakan kaki depan Macan Kumbang merangkulku. Lalu menarik wajahku mendekat padanya. Aku menahan geli ketika lidahnya yang kasap mengelus-ngelus pipiku. Ajaib! Tidak basah sama sekali. Tak ada air liurnya menempel di pipi.
Ketika rangkulannya agak merenggang, aku berbalik badan, berusaha turun. Kulihat di bawah nenek Kam tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Aku berhenti sejenak di tengah-tengah jembatan tangga, menoleh ke belakang macan kumbang duduk santai. Aku tersenyum sendiri melihat betapa keduanya sangat kompak. Adik kakak, Nenek Kam dan macan kumbang.
Usai makan siang, para tetamu masih juga asyik duduk-duduk. Kali ini mereka nampak berkelompok-kelompok melanjutkan cerita tentang bayak hal sambil melanjutkan minum kopi dan merokok.
Di kampungku kopi bukan diminum dalam waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pagi, petang, atau malam. Tapi kopi seperti air putih yang diseruput kapan saja dan kapan suka. Di lantai atas, beberapa perempuan juga duduk-duduk sambil bercerita ngalur ngidul. Hanya saja topiknya berbeda, mereka lebih banyak bercerita seputar rumah tangga. Tentang anak yang susah bangun pagi, malas mandi, bermain tak henti, pekerjaan di kebun atau di sawah yang kerap terbengkalai karena curah hujan yang tinggi, tentang pekerjaan di rumah yang tidak ada habisnya.
“Ah, kita yang perempuan ini, persis gasing. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Mulai dari pertama melek sampai ke melek lagi selalu dihadapkan dengan pekerjaan yang sama. Sibuk di dapur, ngurus rumah, mulai dari menyapu, pengepel, belanja sayur-mayur, masak dan lainya. Kadang-kadang pekerjaan kita belum selesai, sarapan saja kadang tak sempat, eh anak dan bapaknya sudah pulang. Jelas minta disiapkan makan siang. Lalu kita lagi yang nyuci piring, nyetrika.
Makanya aku heran kalau melihat ada emak-emak, masih pagi sudah duduk santai, pakai baju anyar, berbedak tebal. Kok Bisa?” Ujar salah satu perempuan. “Iya, itu kayak Bik Biharul. Pagi-pagi sudah berbedak tebal, bibir merah, rambut keriting, sisiran rapi terus. Hampir setiap hari ke salon, takut sekali kalau rambutnya berubah lurus” Timpal perempuan satu lagi.
“Iya, ya. Padahal tiga anaknya masih kecil dan tidak ada yang merawat anaknya di rumah. Saya lihat kadang tiga anaknya yang masih kecil-kecil itu seharian tidak mandi. Bahkan sampai beberapa hari bajunya tidak ganti. Basah kering di badan sudah biasa. Tidak jarang anak-anak itu diberi makan oleh tetangga, karena kasihan Bisa jadi di dapurnya tidak ada yang bisa dimakan. Kadang anak-anak ini menangis saja tidak ada lagi suara. Sementara Emak mereka entah pergi ke mana.” Nada ibu satu lagi nampak kesal.
Gosip para kerbai ternyata lebih seru. Mereka mirip seperti aktris, bercerita sembari dipraktikan. “Katanya, Bik Biharul itu sering nongkrong-nongkrong di warung kopi di pasar bersama kawan-kawannya. Sementara suaminya setiap hari pergi mencari nafkah membawa mobil, mengangkut pasir atau batu dari sungai Lematang ke pelanggan. Beliau pulang memang selalu petang. Nyaris tiap hari seperti itu. Jadi dia tidak tahu kelakuan bininya” Kata Bik Dartik tetangga Bik Biharul menambahkan. Perempuan ini ternyata lebih bayak tahu perihal tetangganya itu. Sebab rumah mereka hanya di skat dinding papan. Apa yang terjadi di rumah tangga Bik Biharul beliau tahu semuanya. Beliaulah yang kerap memberi makan anak Bik Biharul, bahkan kadang memandikannya karena kasihan. Kadang anak-anak itu tertidur di teras, atau pinggir jalan. Mungkin juga menahan lapar. Bik Darti lah yang sering mengangkatnya ke atas tikar di rumahnya. Mengenaskan! Sebenarnya, Bik Biharul dan Bik Darti beserta ibu-ibu yang lain ini adalah tetangga kami ketika kami masih tinggal di Talang Jeruk. Mereka ada yang berasal dari suku Minang, Jawa, Lintang, Meranjat, Ogan, Besemah, Batak dan daerah lainnya.
Meski kami sudah pindah ke ruko, dekat gudang Bapakku di pusat pasar namun hubungan baik dengan mereka tetap terjalin. Buktinya ketika tahu peristiwa di pasar hari ini dan menyebut-nyebut nama Bapakku, mereka datang berduyun-duyun ke rumahku. Tidak hanya sekadar datang namun ikut membantu pekerjaan rumah, makan minum dan bercerita panjang lebar seperti di rumah saudara sendiri. Mereka betah berlama-lama. Sementara bibik Sahrum, adik sepupu Bapakku asyik memijat-mijat kaki nenek Kam sambil bercerita. Nenek Kam nampak magut-magut meram melek. Entah mendengar atau tidak.
Di tangannya besi penumbuk sirih dari tadi masih digenggam. Sepertinya beliau tidak terusik dengan cerita para kerbai yang tidak ada habisnya itu.
“Bik, yakin Nenek tidur?” tanyaku pada Bibik Sahrum. Tangannya masih asyik memijit-mijit dengan lembut. Sepintas dilihatnya wajah nenek Kam. Lalu mengangguk padaku. Aku tersenyum demi melihat Bibik yang menganguk dan yakin kalau nenek Kam tertidur. Kudekati bibik Sahrum, kubisikan sesuatu ke telinganya.
“Ah. Nggak mungkin! Jangan nakut-nakuti Bibik, Dek!” bibik Sahrum mendorong kaki nenek Kam. Semua mata tertuju pada Bibik Sahrum yang sedikit pucat. Matanya melotot.
“Ada apa ipagh ” Ujar salah satu ibu-ibu itu ikutan kaget.
“Ini loh, nenek Kam. Kata Dedek yang dihadapan kita ini pohon pisang. Bukan nenek Kam. Lalu kemana nenek Kam-nya? Ah, ada saja Dedek buat bibik takut!” Aku terpingkal melihat wajah bibik Sahrum yang lucu. Alisnya sampai berkerut, mulutnya jadi naik, bahu meninggi, kaki sudah pasang kuda-kuda siap kabur ke belakang. Tapi akhirnya menunduk dan mendekati nenek Kam kembali.
“Nek…Nek..bangun!” Kali ini bibik Sahrum menggoyang-goyang bahu nenek Kam.
“Oii…ngape ?” mata nenek Kam terbuka berat sekali. Tangannya menggoyang-goyang besi penumbuk sirih sangat pelan seperti tidak ada tenaga.
“Nenek ngantuk, mau tidur ya, Nek?” dijawab nenek Kam dengan anggukan. Bibik Sahrum memandang padaku sedikit melotot. Aku tahu, beliau ingin marah. Beliau kira aku menggodanya. Aku hanya cekikikan sambil berlari mendekati tangga. Padahal aku tidak melihat nenek Kam tertidur. Tapi nenek Kam pergi bersama macan kumbang entah kemana. Yang dipijat bibik Sahrum cuma sebatang pohon pisang. Tapi apa boleh buat, mata-mata kerbai itu tidak bisa menembus dimensi lain.
Aku kembali mendekati kekek Haji Majani yang duduk selonjor menahan kantuk. Aku langsung duduk di pangkuannya lalu kubuka-buka matanya. Kakek Haji Majani tidak kubolehkan tidur. Benar saja, akhirya beliau terjaga dan membuka matanya lebar-lebar.
“Kek, nenek Kam pergi bersama macan kumbangnya. Kemana ya, Kek?” Tanyaku.
“Tidak usah tanyakan kemana nenek Kam pergi, Cung. Dia itu manusia damai. Kapan dan dimana saja dia bisa pergi tanpa kita ketahu itu sudah biasa. Kalau dulu banyak orang yang takut dekat dengan nenek Kam. Karena dianggap aneh. Tapi sekarang tidak, Biasa saja. Apalagi bagi orang-orang yang dekat dengan beliau. Meski tidak punya panca indera ke enam tapi kadang terlihat juga nenek Kam berubah bentuk menjadi nenek gunung.” Jelas kakek Haji Majani.
“Kakek pernah lihat seperti itu?” Tanyaku. “Kalau saya sih tidak pernah, Kakek hanya mendengarkan cerita dari orang-orang yang dekat beliau saja, terutama dari kakek Haji Yasir, kakekmu itu” Sambungnya lagi. Mendengar itu tiba-tiba aku rindu dengan kakekku, Haji Yasir. Mengapa beliau tidak pulang ke Pagaralam seperti kakek Haji Majani? Aku ingin bertemu. Sedang asyik bercengkrama dengan Kakek Haji Majani, tiba-tiba ada benda jatuh menimpa kepalaku. Aku langsung melihat dan mengambilnya. Setangkai kayu panjang umur ? Aku mendongak memandang darimana jatuhnya benda ini. Ternyata di atas gundukan kopi macan kumbang berdiri memandangku. Di mulutnya masih ada setangkai lagi siap dia lemparkan padaku. Aku siap-siap menangkapnya. “Hup!!” benar saja macan kumbang menjatuhkannya. Dengan cepat kutangkap agar tak patah. Demi melihat itu, kakek Haji Majani kaget. Beliau pun ikut memandang ke atas. Lalu memandang padaku, mengambil kayu panjang umur dari tanganku, lalu mengamatinya lama-lama. Kembali matanya memandang ke atas. Aku paham, sebenarnya beliau ingin bertanya dari mana kayu panjang umur ini.
“Kakek tahu apa nama kayu ini?” Tanyaku. “Iya, ini kayu panjang umur namanya” Ujar kakek.
“Benar kek, kayu panjang umur ini adanya di puncak gunung. Tumbuh di dataran yang suhunya dingin” Lanjutku.
Aku terbayang ketika di bawa nenek Kam ke perkampungan gunung Dempu beberapa waktu lalu. Hampir sepanjang jalan pagar-pagar hidup rumah panggung itu ditumbuhi kayu panjang umur.
“Lalu darimana kayu ini? Mengapa masih terlihat segar? Masih basah? Siapa yang membawanya?” Kakek menyelidik. Aku menunjuk ke atas, pada macan kumbang yang menatap ramah padaku. Kalau selama ini aku hanya melihatnya sekilas dan enggan memandangnya lama-lama, kali ini aku berani menatapnya lama bahkan ingin pula naik di punggungnya. Firasatku pasti benar, nenek Kam dan macan kumbang ke puncak Dempu. Tapi dalam rangka apa?
“Siapa yang kamu tunjuk di atas? Tidak ada siapa-siapa di sana?” Kakek Haji Majani berdiri dan menjijitkan kaki mencari-cari siapa yang kutunjuk. Aku lupa, kalau beliau tidak bisa melihat sosok macan kumbang tunggangan sekaligus adik nenek Kam itu dengan kasat mata. Sekilas aku berpikir, apa perlu kujelaskan dengan kakek? Tapi bagaimana kalau beliau takut? Atau dianggap mengada-ada? Kakek orangnya tidak mudah percaya dengan hal-hal seperti ini, meski banyak orang yang bercerita tentang macan kumbang dan nenek Kam. Alasannya sederhana, beliau belum pernah melihat dan membuktikannya dengan mata dan kepala sendiri.
“Kakek nggak takut kan kalau aku cerita?” Tanyaku yang dijawabnya dengan anggukkan.
“Kayu panjang umur ini, dibawa macan kumbang dengan nenek Kam dari puncak Dempu. Mereka ke sana tadi. Entah dalam rangka apa. Kok Nenek Kam tidak mengajak aku ya” Ujarku.
“Husss…..jangan berharap ikut nenek Kam. Nanti kamu menghilang-hilang terus. Bikin susah orang” Ujar Kakek dengan wajah sungguh-sungguh.
“Eh, Nenek Kam kan ada di atas? Tidak ke luar. Tidak mungkin kita tidak tahu kalau beliau lewat sini?” Bantah Kakek.
“Kakek lupa ya? Kakek bilang, nenek Kam bisa menghilang kapan saja beliau mau.” Kakek Haji Majani manggut-manggut.
“Selama ini kakek hanya mendengar cerita orang” Ujarnya seperti berpikir.
“Di atas karung kopi itu, ada macan kumbang. Tuuu sedang menatap kita.” Aku melambaikan tangan padanya. Kening kakek Haji Majani berkerut sambil memicing berusaha mengamati tempat yang kutunjuk. Aku tertawa memerhatikan tingkahnya. Gaya kakek Haji Majani persis seperti mengintai maling. Entah mengapa aku sangat senang melihat tingkahnya. Sengaja bertingkah seperti itu atau karena dorongan ingin melihat macan kumbang yang sebenarnya? Entahlah. Tapi aku terpingkal-pingkal melihatnya. Kakek juga tertawa sampai matanya cipitnya seperti garis.
“Ah, lama-lama, kakek bisa jadi pelawak dekat kamu!” Kakek menangkap tubuhku lalu menggendongku masuk ke dalam rumah. Kami berdua berlalu meninggalkan para tamu yang masih asyik bincang-bindang di ruang depan.
Bersambung...