Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 28) - Kisah Nyata


JEJAKMISTERI - “Aku kembali dulu ke tempat kerjaku ya… dan terimakasih atas makan siangnya.” kataku sambil bangkit dari kursi.

Lina mencium tanganku, ku biarkan saja dan menempelkan tanganku ke pipinya. Aku segera beranjak kembali ke tempatku bekerja.

***

Pulang kerja, aku dan kedua temanku mampir di warung bubur kacang hijau,

“Aku besok jadi pulang.” kataku.

“Pulang? La trus kerjaanmu di toko sepatu bata bagaimana?” tanya Edy.

“Aku sudah keluar, tadi waktu tutup toko.” jelasku.

“Wah jadi besok pulang betul? Sudah pasti?” yakin Ikrom.

“Ya sudah pasti.” jelasku.

“Trus Mbak Lina bagaimana?” tanya Edy.

“Bagaimana apanya?” tanyaku balik.

“Apa kamu sudah pamit dengannya?” tanya Edy lagi.

“Ya nanti kan kamu yang pamitkan kan bisa, ya itu juga kalau dia nanya, kalau tidak nanya ya ndak usah, kan aku ndak ada hubungan apa-apa sama dia.” kataku menjelaskan.

“Ya udah nanti aku yang omong.” sela Ikrom.

“Aku minta maaf, jika aku menyulitkan kalian selama ini, juga terima kasih atas kebaikan kalian berdua padaku, aku amat berhutang budi pada kalian berdua.” kataku ketika kami sudah masuk gang menuju tempat kami berdua tinggal.

Tiba-tiba kedua temanku itu memelukku dan menangis,

“Tidak Yan.. kami yang merasa berhutang budi amat banyak, selama ini kami telah kamu bimbing tanpa kamu pernah memerintahkan kami melakukan suatu ibadah apapun, tapi kamu mencontohkan, bagaimana berbudi pekerti, sehingga kami melihat hasil, bukan sekedar bicara omong kosong, kami selama hidup belum pernah menemui teman sebaik dirimu, aku yang biasanya males sholat, sekarang sudah tak pernah ku tinggalkan, kami berterima kasih sekali Ian.” kata Edy.

“Iya bener, kamu telah memberi contoh, bagaimana kami harus berbuat, sehingga manusia disayangi manusia lain.” tambah Ikrom sambil sekali-kali menyedot ingusnya yang mbeler.

“Sudah-sudah, pemuda gagah macam kalian masak nangis, tuh gak enak dilihat orang yang lewat.” kataku segera berjalan duluan melepas pelukan mereka berdua.

Esoknya setelah sholat subuh, aku naik bus jurusan Surabaya-Gresik, turun di Terminal Osowilangun, dadi terminal Osowilangun ganti bus jurusan Bojonegoro, sampai rumah sudah hampir magrib.

Pagi esoknya, Karim mencariku, Karim adalah pegawainya pak Abdullah.

“Sudah seminggu aku mencarimu yan…, semalem tau kabar kamu pulang, jadi aku langsung ke sini.” jelas Karim.

“Wah sampai seminggu, memangnya ada apa, kayak penting banget?” tanyaku heran.

“Aku disuruh pak Abdullah, ini ku bel kan,” kata Karim menyerahkan Hp nya kepadaku.

“Assalamualaikum, bagaimana kabarnya nih?” suara Pak Abdullah di Hp.

“Waalaikum salam Pak, Alhamdulillah baik.” jawabku.

“Ku dengar baru pulang dari Surabaya? Sedang apa di sana?” tanya Pak Abdullah.

“Ah biasa nyari-nyari yang belum dapat.” jawabku sekenanya.

“Kenapa masih nyari-nyari juga, itu adikku mbok dinikah.”

“Hm gimana ya…”

“Kok gimana- gimana, wah jangan-jangan tak bisa bangun.” kata pak Abdullah, memang kalau bercanda suka omong apa adanya.

“Weh kata siapa gak bisa bangun?” celetukku.

“Ya siapa tahu, nyatanya gak berani nikahi adikku.”

“Siapa yang bilang gak berani?”

“La buktinya..” wah kayaknya aku mau dipojokkan.

“Jangan-jangan sudah jadi ikan asin, mengering, hahaha…”

“Udah-udah… mana adikknya biar ku nikahin.” kataku terpancing dengan pancingannya.

“Ya datang aja ke Jakarta.”

“Ya kapan?”

“Besok biar diantar Karim.”

“Baik, siapa takut?”

“Udah kasihkan Hp nya ke Karim biar aku omongi dia.”

Hp ku kasihkan Karim, dan sebentar dia bicara.

“Besok disuruh mengantermu ke tempat Pak Abdullah.”

“Iya.. aku siap.” jawabku.

Esoknya aku berangkat dengan Karim ke Jakarta, naik mobilnya Karim, sampai di Jakarta menginap di kontrakannya Karim, di daerah Cipinang Indah, malamnya Pak Abdullah menjemputku untuk sowan dan minta ijin ke Kyai, sampai di pesantren jam 3 dini hari, hanya sebentar ketemu kyai, meminta do’a kelancaran pernikahan, dan setelah sholat subuh, aku dan pak Abdullah, yang saat itu disopiri Macan, kembali ke Jakarta. Sampai di Jakarta rasanya penat sekali, aku tidur, sampai waktu asar ada kakak perempuannya Karim main ke kontrakan.

“Denger-denger kamu mau nikah sama adiknya Pak Abdullah ya Yan?” tanya Mbak Ainun, nama kakaknya Karim.

“Belum pasti mbak, aku juga belum pernah lihat orangnya.” jawabku santai.

Kakaknya Karim mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya, lalu meletakkan di meja depanku.

“Apa ini mbak?” tanyaku heran melihat bungkusan kecil.

“Itu dua cincin emas, ku hadiahkan padamu..” kata mbak Ainun menjelaskan.

“Wah apa ndak salah mbak?” tanyaku heran.

“Salah bagaimana? La kamu kan mau nikah? Kan bisa kamu jadikan mas kimpoi.”

“Nikahnya belum pasti kok mbak, la ketemu dan melihat orang yang mau ku nikahi saja belum.”

“Ya ndak papa, ini udah ku berikan padamu, siapa tau nanti ada gunanya.” paksa mbak Ainun.

“Aku yang seharusnya berterimakasih, adikku Karim sejak berteman denganmu, sholatnya jadi rajin.”

“Itu kan hidayah dari Alloh mbak, tak ada hubungannya denganku,” elakku.

“Tapi kan semua ada sababiahnya to, sudah, itu cincin diterima.”

“Terimakasih sekali mbak, semoga Alloh membalasnya, dengan balasan beribu kali lipat.”

“Amiin.., udah aku pamit dulu, moga pernikahannya lancar.” kata mbak Ainun beranjak dari tempat duduk.

Malamnya, malam rabu, kami berlima, aku, Pak Abdullah, Macan sebagai sopirnya, dan Karim, berangkat ke Pekalongan, dalam mobilnya pak Abdullah sudah ada perempuan, katanya dia kakak dari perempuan yang akan ku nikahi, ku lirik perempuan yang ada di sampingku, mencari gambaran gadis yang akan kunikahi, tapi mobil lampunya tak dinyalakan sehingga gambaran tak ku dapat.

Ah sudahlah pasrah saja, dari pada mencari gambaran yang tak jelas, aku sudah dari awal pasrah, bahkan uang 1 perak pun tak ada di sakuku, segala kebendaan malah menakutkanku, membuat hatiku bercabang dari ketawakalanku pada Alloh, tapi yang jelas aku memang tak gableg duwit.

Jika dibilang nekad, maka aku lebih pantas dibilang nekad.

Tapi dalam hatiku, aku hanya ingin membuktikan gerak gerik kehendak dan perbuatan Alloh mengarahkan dan menempatkanku, jika harus gagal, maka biarlah gagal, berarti aku harus belajar bertawakal lagi, tawakalku, kepasrahanku berarti hanya omong kosong belaka.

Sampai di Pekalongan sudah subuh, kami sholat subuh di masjid di luar kota Pekalongan, dan sarapan pagi di pasar Banyu Urip, tak ada perasaan apa-apa mau sampai di tempat tujuanku, daerah Bligo, sampai di Bligo kami berbicara sekedarnya, dan aku dipertemukan dengan gadis yang dijodohkan denganku.

Dia terdiam, wajahnya biasa, bukan perempuan berjilbab, juga tak ada yang istimewa.

“Sudah tau kalau kita ini dijodohkan?” tanyaku simpel.

Dia manggut, dan menatapku sesaat, padahal dia ini semalaman kabur dari rumah, karena menolak perjodohan ini, dan mati-matian tak mau dijodohkan, tapi setelah dibujuk dengan berbagai hal juga diberi pengertian kalau menolak kan boleh-boleh saja, jadi tidak harga mati, baru dia mau pulang.

Dan sekarang duduk di depanku. Tentunya aku tak tau kisah itu. Dan tau setelah kami menikah.

“Lalu bagaimana? Kamu mau dijodohkan denganku?” tanyaku langsung ke poin masalah.

Aku itu selalu ke poin masalah, kalau mau omong lain nanti itu bisa menyusul, kalau mau bercanda juga kan bisa dilakukan kapan saja, jadi pokok masalah harus selesai dulu, jadi orang yang berhadapan denganku kadang kabet, karena selalu seperti itu, yang ku tanyakan tanpa basa-basi, baru kalau mau bercanda belakangan kan bisa.

“Aku terserah saja, jika masnya menerimaku, ya aku nurut saja.” jawab Husna calon istriku itu.

Mendapat jawaban seperti itu sama sekali tidak membuatku bahagia, atau sedih, la ditolak sekalipun aku tidak kecewa, sebab tujuanku bukan soal ditolak atau diterima, tapi aku melihat bagaimana Alloh itu menggerakkan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Dan aku bisa melihat segala gerak gerikNya terhadap segala sesuatu.

Kejadian baik buruk adalah proses, seperti membuat roti, kadang adonannya dikocok, kadang juga dibakar dioven, jadi menuju kenikmatan itu kadang kita harus dibakar dengan diberi ujian yang meluluh lantakkan hati, lalu tercapai kesabaran yang lembut.

Setelah mendapat jawaban, maka aku diajak Pak Abdullah ke Tuban untuk mengurus surat numpang nikah, ke tempat Lurah dan ke tempat sekertaris KUA, semua dilakukan secara marathon, dan anehnya juga semua mendukung, jadi pengurusan surat amat cepat, lalu kembali ke Pekalongan, malah ketika Ibuku nanya, aku tak memberitahu, hanya ku bilang lagi usaha.

Seorang lelaki tak butuh wali, maka aku tak perlu memberitahu mereka, aku tak ingin mereka disibukkan dengan pernikahanku.

Jum’at pagi diadakan acara ijab qobul, anehnya yang diriku tanpa ada persiapan sama sekali, bahkan masih tak memegang uang sama sekali, kecuali dua cincin yang akan ku jadikan mas kimpoi, itu saja pemberian dari orang, dari jas untuk pengantin, sampai peci hitam, soalnya aku biasa memakai peci putih, jadi peci hitam jelas tak punya, semua tersedia tinggal pakai, acara dilakukan dengan sederhana, dan semua berjalan lancar.

Dan setelahnya dilakukan walimatul ursyi, aku mau didandani sebagai penganten pria.

Aku diminta buka sarung untuk diganti dengan kain perlengkapan yang dibawa perias penganten, aku bilang tak memakai celana panjang, si perias penganten terkejut.

“La bagaimana ini..?” kata dia sambil mondar mandir kayak orang bingung.

Lalu dia keluar sebentar, dan menemui seseorang, sebab aku dirias jauh dari rumah tempat acara, karena rencananya akan diiring hadroh,

Perias penganten masuk membawa celana panjang selutut.

“Untung di sini ada yang jual celana, ini dikasih sama yang jual celana.” katanya perias penganten menyerahkan celana kepadaku, dan ku pakai.

Acara walimah semua lancar tanpa halangan apapun.

***

Seminggu selesai pernikahan, ku ajak istriku ke Tuban ke rumah orang tuaku, semua merasa heran dengan perempuan asing yang ku bawa.

“Ini siapa nang, kok bawa anak perempuan orang? Nanti kalau hamil kan jadi urusan, mempermalukan keluarga.” tekan ayahku.

“Ini istriku” jawabku santai.

“Jangan sembarangan, perempuan diakui istri, itu ndak boleh dalam agama, namanya kumpul kebo.” kata ayahku yang memang orangnya keras dalam memegang syare’at.

Ku keluarkan surat nikah,

“Kalau memakai ini dibilang kumpul kebo tidak pak?” kataku sambil meletakkan surat nikah di meja.

Ayahku memeriksa dengan teliti.

“Kapan nikahnya, kenapa tidak memberitahu orang tua?”

“Ya aku ndak mau membuat orang tua repot.” kataku,

***

Beberapa hari di Tuban, aku kembali ke Pekalongan, baru beberapa hari, para kyai sepuh desaku semua datang ke rumahku,

“Maaf… ini ada keperluan apa, kok pada ramai-ramai datang ke rumah?” tanyaku pada orang-orang tua.

“Begini pak ustadz, kami sudah bermufakat, kalau pak ustadz menjadi imam masjid, dan kami minta memberi pengajian setiap selesai sholat subuh.” jelas Pak Sodiqin, yang biasa menjadi ta’mir masjid.

“Wah apa tidak salah, saya ini bukan orang ngerti soal agama.” jelasku.

“Hehehehe…” semua tertawa.

“Lhoh kok pada tertawa to..?” tanyaku.

“Orang pinter itu kan terlihat di pancaran wajahnya, kelembutan sikapnya, dan segala sesuatunya mengalir tidak dibuat-buat.” jelas pak Sodiqin lagi.

“Bagaimana ya…? Ini berat bagiku, soalnya aku sendiri belum punya pekerjaan tetap, jadi masih mencari maisyah kehidupan untuk anak istri.” kilahku.

“Tapi mbok kami diberi ilmunya to pak kyai.” kata salah seorang lagi. Waduh malah dipanggil kyai segala.

“Ya nanti saya coba, semoga Alloh mengijinkan dan meridhoi, tapi saya ndak janji, soalnya saya belum istiqomah, juga masih mencari rizqi.” kataku.

“Iya kami maklum.” kata mereka dan setelah semua beres, mereka meminta diri.

Dari acara penganten, dan sisa uang dari tamu, istriku cuma memegang uang 300 ribu, sungguh uang yang minim.

“Gimana mas, kita usaha apa?” tanya Husna.

“Bagaimana kalau membuka toko?” tanyaku balik.

“Zaman sekarang uang segitu dibelikan juga akan dapat apa?” kata Husna mengutarakan logisnya.

“Ya kita jangan membuat ukuran yang logika dulu, sebab itu tak mungkin, melihat keterbatasan kita, aku yang tanpa modal, kita menjalankan saja dulu dengan kesungguhan.” jelasku.

“Ya kalau tidak diakal lalu kita memakai apa? Segala sesuatu kan harus dirancang dengan akal.” bantah Husna.

Memang tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak bisa dilogika manusia, yaitu gerak gerik Alloh dalam mengatur hambaNya, satu penggalan ayat sedikit saja sulit mengimaninya, kalau manusia masih membuat sandaran akalnya.

WAMA MIN DABBATIN ILLA ‘ALALLOHI RIZQOHA.

Semua apa yang melata dan hidup di bumi itu rizqinya di tangan Alloh, kalau menurut hemat pemikiran dangkalku, maka karena yang membagi rizqi itu Alloh di samping usaha, maka kita juga berupaya untuk meminta pada Alloh, dan kalau meminta itu agar cepat terijabah maka mendekatkan diri pada Alloh.

Dan pemikiran itu ku tanamkan pada istriku, teramat sulit. Sesulit menancapkan tonggak tumpul pada sepotong batu, sehingga malah yang sering terjadi percekcokan.

“Begini saja daripada kita berdebat tak ada ujung pangkalnya, bagaimana kalau kita buktikan, kita jualan, apa juga boleh, asal barang halal, lalu aku berdo’a bagaimana, kalau nanti tak laku, ya berarti tentang teoriku itu salah kaprah, bagaimana?” tanyaku yang lelah meyakinkan.

“Ya kita buktikan.” jawabnya, karena ingin membuktikan apa yang ku utarakan itu salah.

Maka kami membuka toko kecil bekas toko keluarganya, dan diisi dari uang yang cuma 300 ribu, ya isinya bisa dibayangkan, cuma apa. Dengan kesungguhan hati, aku pun mulai menjalankan permintaanku pada Alloh, dan sungguh di luar dugaan, toko berkembang amat pesat, setiap hari penuh orang membeli, dan tak sampai sebulan isi toko penuh isinya.

Istriku mulai senang, tapi tetap dia merasa itu kebetulan.

“Bagaimana dik, apa yang ku katakan benar kan?” tanyaku.

“Ah itu hanya kebetulan saja.” katanya.

“Begini saja, biar ketahuan ini kebetulan atau tidak, besok aku tidak minta rizqi pada Alloh, bagaimana keadaan toko kita, lalu besok besoknya lagi aku minta, bagaimana perbedaannya. bagaimana?”

“Ya ndak papa dibuktikan.” otot istriku.

Dan aku malamnya tidak minta lagi supaya Alloh memberi rizqi, dan esoknya toko sepi sekali, mungkin sehari cuma ada 2 orang yang beli. Dan malam setelahnya aku meminta rizqi, dan toko ramai lagi.

“Bagaimana dik? Kan sudah lihat sendiri?”

“Wah itu masih belum membuktikan, sebab pas sehari itu mungkin sedang ada apa sehingga toko sepi.” bantahnya.

Hmm.. aku memang harus pelan-pelan menanamkan keyakinan yang sebelumnya tak diketahui dan tidak dipahami Husna.

Gak papa. Seseorang itu pertama yang harus dibimbing adalah keluarganya, kalau membimbing keluarganya saja gagal, maka bagaimana mau membimbing orang lain???

“Biar aku meminta modal pada Kak Abdullah, sepuluh juta juga gak besar bagi mereka yang kaya raya.” kata Husna.

“Ingat…! Jangan sampai kita punya sandaran pada manusia, apalagi kakakmu, dia itu manusia, manusia itu lupa, sakit, mati, dan penuh keterbatasan, kalau Alloh itu tidak mati, tidak lupa, tidak sakit, tak terhalang oleh apapun, jadi jangan menyandarkan diri pada manusia, bahkan setengah rupiahpun, karena kalau diri menyandarkan pada manusia maka Alloh akan menyerahkan nasib kita pada manusia tersebut.” jelasku panjang lebar.

“Ya apa kita tak bisa seperti orang pada umumnya? Ya kalau ndak minta, minjam kan juga gak papa.” kilah Husna tak mau kalah.

“Cobalah menghilangkan pikiran dan harapan kepada manusia, dan berusaha sekali saja menggantungkan diri pada Alloh, fatawakkalu Alallohi, waman yatawakal ‘alallohi fahua khasbuhu. Bertawakallah pada Alloh, siapa yang bertawakal pada Alloh maka Dia yang akan mencukupi.” kataku menjelaskan.

“Tak taulah.”

“Ya jangan tak tau gitu, sekarang kita buktikan lagi bagaimana, biar selama seminggu toko tak ku do’akan, lalu seminggu ku do’akan, masak kebetulan kok seminggu.” kataku menekankan.

“Ya kita buktikan.” katanya lagi. Karena apa yang ku bicarakan itu dia ingin hanya omongan kosongku saja.

Maka selama seminggu, aku sama sekali tidak minta supaya diberi rizqi, dan selama seminggu benar-benar toko sepi, sampai apa yang jadi isinya toko menyusut kembali, karena tak ada uang untuk membeli barang.

“Sudah-sudah dido’akan, semua barang sudah mau habis untuk makan.” katanya.

“Ya ndak bisa, perjanjiannya kan seminggu,”

“Iya aku sudah percaya, sana dido’akan.”

“Ya tak bisa harus selesai seminggu, mau habis juga gak papa, makanya jadi orang mbok jangan ngeyel, coba mana logika yang kau banggakan itu?” kataku menuntut.

Setidaknya aku telah menyelesaikan mengarahkan Husna dalam satu langkah.

Sementara hariannya aku mulai menjadi imam masjid, dan mengisi pengajian waktu subuh.

Sementara hidupku amat santai, dan semua lancar-lancar saja.

DITAKLUKI SEMUA JIN PENGUASA PEKALONGAN.

Taqdir itu adalah ketentuan Alloh, telah digariskan dan tak siapa mampu mengelak, dan siapa saja tak tau taqdirnya, bahkan jika ditaqdirkan buruk, tak ada yang tau, tapi perlu diingat taqdir itu Alloh yang membuat, maka Alloh juga yang mampu merubah, kita manusia jika tidak menyandarkan diri pada Alloh, bagaimana jika kita ternyata ditaqdirkan buruk, maka do’a kita, permintaan kita supaya Alloh menjadikan yang buruk menjadi baik.

Do’a itu pedangnya orang Islam, Addu’a’u syaiful muslimin, coba kita bayangkan pedang yang belum jadi, pedang itu kalau ingin dijadikan pedang, maka dipilih besi yang unggul, kuwalitas terbaik, lalu besi dibakar agar mudah dibentuk, dipukuli sampai besi menjadi bentuk yang diinginkan. Jika besi itu tak dibakar tentu akan susah dibentuk, dan jika sudah dibentuk maka diasah berulang-ulang, agar besi menjadi pedang yang bila dipakai memotong apapun akan dengan mudah terpotong.

Antara kita yang pedang sendiri, dengan kita memegang pedang tentu beda, manusia yang telah menjadi pedang, maka pandangan matanya adalah pedang, hatinya pedang, tangannya pedang dan kehendaknya adalah pedang.

Kita ini pedang, kitalah yang akan dipakai berdo’a, bukan orang yang membaca do’a,

“Berdo’alah pada-KU”, kata perintah berdo’a dan do’a seperti satu kesatuan yang tak terpisah.

Jadi kita inilah yang seharusnya dibentuk menjadi do’a yang tajam.

Nafsu kita dibakar, nafsu keinginan yang menyala-nyala pada apa yang kita inginkan, itu dibakar, agar keinginan hati itu bisa diarahkan pada yang bukan keinginan nafsu, kita bakar dengan lelaku, kita tempa dengan ibadah tiada henti, agar kepribadian yang terarah pada kehendak Sang Khaliq itu terwujud pada segala gerak dan tingkah laku, sehingga orang telah tak bisa membedakan lagi, kita ibadah atau bukan sedang menjalankan ibadah, sebab setiap gerak telah semuanya ibadah, seperti orang sudah tak melihat bentuk besi, semua telah menjadi bentuk pedang.

Pembentukan diri menjadi sebuah pedang yang mumpuni, maka diserahkan pada empu yang mumpuni, jangan diserahkan pada tukang membuat roti, bisa jadi nanti menjadi pedang yang lembek.

Diri dibentuk menjadi do’a ruh dan jasadnya, maka diri diserahkan kepada guru yang matang di bidangnya.

Sehingga pembentukan diri dicapai dengan maksimal, setelah diri menjadi do’a, kemudian diasah, melihat kan orang yang mengasah pedang, tangannya maju mundur, sama diri melakukan istiqomah, dzikir dilakukan berulang-ulang, jika cuma digerenda maka pedang walau tajamnya cepat, juga akan menjadi besi muda, mudah patah, tapi jika diasah, maka akan terjadi penumpukan elemen, menjadi pedang yang kuat dan tajam.

Jika diri diasah dengan amaliah yang berulang-ulang ikhlas, maka diri akan setajam pedang dalam berdo’a.

Teori itulah yang ku praktekkan, dan tak henti, siang malam menjalankan laku. Suatu lelaku maka tidak berarti tidak berimbas pada sekeliling kita, amat besar imbasnya.

Pertama, mulai ada khodam dari benda bertuah yang mulai datang ada yang lewat mimpi, ada juga yang langsung datang dengan perwujudan seperti manusia.

Sampai aku hafal di mana saja letak berbagai wesi aji, atau batu bertuah, bahkan jika aku lewat, ada saja yang jatuh biar aku ambil, tapi sayangnya aku orangnya sama sekali tak tertarik dengan hal-hal seperti itu, sekalipun keris paling ampuh diberikan padaku, maka tak sedikitpun ada ketertarikan di hatiku, bagiku cukup Alloh menjadi penolongku.

Segala jin, malaikat, itu semua sama mahluq-Nya, ciptaan-Nya, semua terbatas oleh keterbatasan, tapi kalau Alloh tak terbatas dan tak berhalangan.

Sehingga semua khodam yang mendatangi ku tolak, sampai pada suatu malam aku mencoba mengitari daerah Pekalongan.

Baru saja keluar dari daerahku, dalam meraga sukma, aku dihadang oleh seorang perempuan bercadar biru, dengan perut terbuka, mirip penari perut Mesir.

Aku tau betul dia bangsa jin,

“Jangan lewat daerahku.” katanya menghadang.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kau tau, karena kedatanganmu, semua anak buahku kepanasan,” jelasnya sambil marah.

“Kepanasan itu kan bukan urusanku, jika tak ingin kepanasan, kenapa tak menyingkir?”

“Aku dan semua kaumku telah ratusan tahun tinggal di sini, dan tak terganggu, tapi setelah kau datang, kami amat tersiksa.” tandasnya.

“Hm… jadi maumu apa?”

“Kau harus meninggalkan daerah ini.”

“Mana boleh begitu..!”

“Kalau tak mau pergi maka kau akan ku hancurkan.”

“Kalau memang mampu silahkan.” kataku.

Lalu dia menyerangku dengan kibasan selendangnya, tapi entah tak tau selalu saja selendangnya mental, dan selalu dia menjerit, padahal aku tak berbuat apa-apa.

“Kau rupanya punya ilmu, tunggu akan ku panggil ayahku.” katanya.

“Ya silahkan, aku akan tunggu di sini.” kataku tenang.

Dia pergi… dan sebentar kemudian datang lagi, bersama lelaki pendek, berkepala gundul, dan hanya bercawat, sementara dadanya telanjang.

“Ini ayah, lelaki yang membuat daerah kita menjadi panas.” jelas perempuan yang sebelumnya menyerangku.

“Ini orangnya?” kata lelaki tua itu, tiba-tiba, dunia seperti gelap gulita, seperti matahari padam.

Dan aku mengucap dzikir, maka dunia nyala kembali.

“Hm memang dia lumayan berilmu.” kata lelaki itu pada anaknya,

“Kau menyingkir, biar bopo yang menaklukannya.” kata lelaki tua itu, sementara aku diam menunggu.

“Anak muda, kau tau, keberadaanmu di daerah ini telah membuat panas daerahku, maka kau akan ku tawan dan ku bawa ke penjara duniaku.” kata pak tua itu yang belakangan ku ketahui bernama Kyai Cempli.

Kyai Cempli itu panggilan penguasa Desa di sebelah desaku, jaraknya kira-kira dari desaku satu kilo meter, di batas sawah.

Tiba-tiba kyai Cempli menyerangku dengan serangan yang aneh, tangannya seperti mulur memanjang, dan menangkap tanganku, lalu tubuhnya sekejap telah ada di belakangku, sehingga tanganku tertarik ke belakang bersilangan antara tangan kiri dan tangan kanan. Juga kakiku berpalitan tertarik ke belakang.

Anehnya ragaku juga dalam kamar seperti itu, sehingga Husna berusaha membetulkan letak tangan dan kakiku yang menekuk-nekuk.

Sementara aku berusaha melakukan perlawanan sebisaku, namun berbagai dzikir yang biasa ku lafadzkan tak juga bisa membebaskanku, bagaimanapun aku berusaha melepaskan diri tetap tangan dan kakiku terkunci, sampai ku rasakan bisikan dari Kyaiku, aku harus melafadzkan satu dzikir.

Dan akupun mengikuti anjuran, ku lafadzkan dzikir itu, dan seketika pegangan Kyai Cempli terlepas, dan dia bergulingan di tanah minta ampun, dan berulang kali jika ku lafadzkan lafadz itu maka kyai Cempli menjerit-jerit minta ampun,

“Ampuuuun…! Jangan dilafadzkan asma a’dzom itu aku tak kuat, ampuuun..!” kata kyai Cempli menjerit-jerit.

“Kau menyerah tidak?” tanyaku.

“Iya aku menyerah, kalah, takluk.” jawabnya sambil bersujud.

“Biasanya bangsamu suka menipu, suka mengambil kesempatan, di saat aku lena maka kau akan memanfaatkan kesempatan.”

“Ampuuun…! saya tak berani tuan..”

“Apa janjimu?” kataku mencari kepastian, sebab yang ku tau bangsa jin sejak jaman Nabi Sulaiman tak bisa dipercaya, selalu mengambil kesempatan bila manusia lena.

“Tuan minta apa, akan ku berikan, aku punya Jala sutra, wesi aji, batu bertuah, harta benda, emas perak, Tuan minta apa?” tanya Jin penguasa Desa itu mencoba mencari kelemahan hatiku.

“Kau kira aku tertarik dengan aneka benda macam itu?”

“Lalu tuan minta apa?”

“Aku tak minta apa-apa, aku hanya minta kau beserta bangsamu takluk padaku.”

“Iya saya siap… jika tuan membutuhkan bantuan, maka saya akan siap diperintah.”

“Aku juga ingin kau tak mengganggu manusia.” kataku.

“Ya saya siap tuan.”

“Sekarang apa di daerah sini ada tidak yang angker?” tanyaku.

“Ada tuan…”

“Di mana itu?”

“Di daerah bernama Secino,”

“Di mana itu?”

“Di daerah sebelah timur desa.”

“Kenapa kok bisa angker?” tanyaku.

“Karena di sana ada isi keris pusaka yang lepas,”

“Apa bentuknya?”

“Bentuknya macan loreng tuan.”

“Kenapa kau biarkan, tidak kau perintahkan agar tak mengganggu manusia?” tanyaku.

“Kekuasaanku tak meliputi sampai ke situ.”

“Dimana tempatnya, tunjukkan padaku.” kataku memerintah.

“Silahkan tuan mengikutiku.” katanya sambil berjalan mendahuluiku disertai anak perempuannya.

“Apa yang dilakukan oleh macan itu?”

“Dia sering meminta korban manusia, dan sering kadang manusia disesatkan, kadang manusia dimasukkan ke tengah gerumbul bambu, sehingga akan sulit keluar.” jelas Kyai Cempli.

“Lalu sekarang kerisnya di mana?” tanyaku sambil jalan di belakang Kyai Cempli.

“Ada di rumah seseorang.” jawab kyai Cempli.

Di dekat barisan gerumbul bambu nampak seekor macan sebesar anak kerbau tengah berdiri menatapku, kubuat lingkaran tangan di udara, lalu ku tepukkan tangan dengan tenaga menyedot, jin yang berbentuk macan itu seperti gambar yang tersedot mesin penyedot debu, mengecil dan masuk dalam genggamanku.

“Di mana keris tempat jin macan ini?” tanyaku pada Kyai Cempli.

Kyai cempli melangkah mendahuluiku, menuju satu rumah, dan masuk ke dalam kamar, lalu membuka lemari kuno, di mana tergeletak keris tua. Ku masukkan jin berbentuk macan itu ke keris, dan ku ikat dengan kekuatan gaib.

Terus terang hal seperti itu sama sekali aku awam dan tak tau, segalanya seperti ada yang menuntun, apa yang ku lakukan aku sendiri sama sekali tak mengerti, hal yang ku lakukan berurutan itu seperti sudah ada yang merancang, dan aku cuma menjadi wayang, sedang tanganku terikat oleh yang menggerakkan, hatiku mendapat petunjuk apa yang harus aku lakukan.

Tugasku ku rasa selesai, “Ku rasa aku sudah cukup di sini, sekarang aku akan kembali ke tempatku, lalu bagaimana jika aku ingin memerintah membantu keperluanku, aku memanggilmu apa?” kataku.

“Hamba kyai Cempli, siap diperintah, jika dibutuhkan.” jawab pak tua itu sambil membungkuk.

Aku segera kembali ke ragaku dan bangun, dimana Husna istriku bercerita kalau dalam tidur telah terjadi badanku menekuk-nekuk, dan menggereng-gereng, dikembalikan susah, kok akhirnya kembali sendiri.

Aku masih berusaha mengitari daerah Pekalongan dengan Raga Sukma.

Dalam kehidupan sehari-hari, aku bukan termasuk orang yang suka kumpul sama tetangga, bahkan aku kumpul sama orang hanya saat mengisi pengajian, mengimami masjid, dan kalau tetangga ada hajadan, selain itu aku sama sekali tak kumpul dengan orang, karena waktuku habis untuk menjalankan lelaku.

Biji itu kalau ingin menjadi besar, maka tanamlah dengan dipendam yang dalam di dalam tanah, jika dia tumbuh, maka akarnya akan jauh tertanam di dalam tanah, sehingga kuat mencengkeram, jika telah menjadi pohon yang rindang, dan dapat ditempati berteduh, jika diterjang angin, pohon tak tergoyahkan, karena kuatnya akar tertanam di dalam tanah.

Begitu juga manusia, jika manusia tidak menyembunyikan dulu, untuk menguatkan akar diri, maka untuk menjadi dipakai orang berteduh tak akan kuat bila diterpa angin cobaan, orang-orang yang besar itu tak akan sibuk nongkrong di gang-gang, dan ngomong ngalor ngidul membicarakan sesuatu yang tak ada manfaatnya.

Sebagaimana Nabi kita sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rosul, beliau menyepi di gua Hiro’ selama lima tahun.

Karena menyembunyikan diri, dan tak jarang kumpul dengan masyarakat, maka bertahun-tahun secara pribadi tak ada yang mengenal diriku.

Pada suatu hari aku mengantar istri ke dukun pijat di Desa yang pernah ku datangi lewat ngeraga sukma untuk mengurutkan perutnya, biasa orang desa kalau mengandung selalu ditata perutnya agar pas.

Dukun itu dukun perempuan tua yang sudah amat terkenal sehingga pasiennya dari mana-mana, sampai ada memakai nomer antrian, untuk mendapatkan pelayanan, waktu aku datang dengan Husna, nampak dari luar rumah Dukun urut itu ramai sekali orang sudah mengantri, padahal aku berusaha datang pas selesai sholat magrib.

Tapi tiba-tiba mbah Dukun keluar rumah menyibak antrian.

“Hari ini pijat ditutup, tidak melayani tamu..” kata mbah Dukun bernama Nyai Sari.

Orang-orang yang asalnya antri pun bubaran, termasuk aku mau balik pulang.

“Wah mungkin lagi tak untungnya kita mas, baru datang malah mbah Sari tak melayani tamu.” kata Husna.

“Ya ndak papa, besok-besok kan bisa.” kataku menghibur, dan ku putar motor untuk kembali.

Tapi mbah Sari malah menghampiriku lalu menggandeng tanganku, dan berbisik di telingaku.

“Ngger mari masuk…” kata mbah Sari, menggandeng tanganku.

“Lhoh bukannya pijitnya diliburkan to mbah?” tanya Husna.

“Oo itu untuk orang lain nduk, bukan untuk suamimu.” jelas Mbah Sari.

Aku dan Husna pun mengikuti masuk ke rumah Mbah sari.

Nyi Sari umurnya 60 tahun, orangnya setengah pendek, dan gerak geriknya cekatan, sudah terkenal di mana-mana soal kandungan, bahkan mungkin sudah sangat terbiasa soal kandungan, dia sering pas jika seseorang itu kapan pasnya melahirkan, jika sudah menginjak kandungan tua.

Masuk rumah mbah Sari, rumahnya sederhana, terbuat dari bangunan kayu yang lama, tanpa cat berwarna, hanya dilapis kapur, jika masuk orang akan mendapat kesan yang punya rumah amat sederhana, walau Mbah Sari ini sudah berangkat haji ke tanah suci, tapi secara penampilan hanya biasa-biasa.

“Mari-mari ngger bagus.. mari duduk.” kata Mbah Sari sambil membersihkan tempat yang akan ku duduki. Aku amat rikuh dihormati seperti itu.

“Sudahlah nyai… tak usah repot-repot.” kataku.

“Ndak kok… ndak repot, ini sudah selayaknya, malah saya minta maaf, kalau pelayanan saya tidak berkenan di hati panjenengan.” katanya yang membuatku makin bingung.

“Mbah.. sebenarnya ada apa to mbah, kok panjenengan jadi bingung gitu, aku ini orang biasa.” jelasku, soalnya aku orangnya tak suka dihormati.

“Orang biasa? Panjenengan itu kok pinter menyembunyikan diri.”

“Menyembunyikan apa to mbah, la ndak ada yang aku sembunyikan kok.”

“Aku ini tau ngger, semua penguasa desa ini mengiringmu dari belakang, sekarang semua berbaris ta’dzim di belakang rumahku, bahkan Kyai Cempli yang penguasa desa juga ada, jadi saya itu tak bisa dibohongi.”

“Ooo soal itu to mbah??”

“Iya.. juga karena panjenengan desa ini yang sebelumnya angker, sekarang adem ayem, saya sangat berterima kasih, walau panjenengan menyambunyikan diri, tapi mata batin saya tak bisa dibohongi.”

“Ya sudah kalau gitu mbah, ndak usah disebar luaskan, jadikan rahasia panjenengan wae, monggo istri saya ini dipijit.” kataku menentramkan suasana.

“Ooo nggih-nggih, monggo nduk, saya pijit, besok-besok kalau mau dipijit, mbok manggil saja, pasti saya datang.” jelas mbah Sri.

“Yo tak bisa begitu to mbah, panjenengan yang tua, sudah selayaknya yang butuh, yang muda datang.”

“Ya tak bisa seperti itu, itu namanya saya ndak punya unggah ungguh, la panjenengan penguasa Desa saya, masak saya yang andahan, rakyatnya didatangi pemimpin desanya. Ya namanya tak takdzim, ndak hormat.” jelas mbah Sri sambil tangannya lincah memijit Husna.

Repot juga, aku terdiam.

Memang sejak sa’at itu Mbah Sri sering datang ke rumah, menawarkan diri memijit keluargaku, dan kadang datang membawa pisang satu tandan. Sudah ku larang, tapi tetap saja datang.

Pernah lama dia tak datang, dan aku mau memijitkan Husna, aku pun datang ke rumahnya, ternyata dia sakit, sudah ada dua bulan terbaring saja di ranjang, melihat aku datang dia langsung bangun, lalu berkata. “Obatku sudah datang, monggo ngger, saya pijit.” katanya.

“Ndak aku yang mau dipijit, yang mau ku pijitkan istriku,”

“Ndak kok ngger, ini untukku, aku sakit, dan obatnya itu mijit panjenengan,” kata mbah Sri.

“La kok aneh mbah?” tanyaku heran.

“Apa njenengan tak melihat, saya sudah dua bulan tak bisa bangun dari ranjang karena sakit, ini panjenengan datang, saya langsung brigas.” jelas Mbah Sri sambil menunjukan badannya.

“Wah kok aneh begitu?” heranku tak habis pikir. Aku terpaksa mau dipijit, walau tak masuk logikaku, tapi memang setelah itu mbah Sri sehat segar bugar.

Dia sering meminta diijinkan memijitku, agar dia sehat, ya aku turuti saja, asal aku bisa bermanfaat untuk menolong orang lain, dipijiti juga enak.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close