Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 81)


Sudah dua hari ini aku di tanah Besemah, pulang ke Seberang Endikat dijemput Puyang Pekik Nyaring dan Macan Kumbang. Aku pulang dulu untuk sementara. Masa liburanku sudah mau habis. Bagaimana pun aku rindu Bapak, Ibu dan Kakek. Berbeda dengan mereka, perasaan mereka aku tidak ke mana-mana, karena ada nenek gunung yang menggantikan peranku selama aku di pulau Jawa.

Baru dua hari, namun sudah muncul rasa rindu pada istana kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Meski berkali-kali Puyang Purwataka mengingatkan, istana tidak akan apa-apa, termasuk juga Nini Ratu dan Eyang Putih, mereka akan ikut mengawasi kerajaan. Di tambah dengan Nyi Ratih dan beberapa tokoh kepercayaan kerajaan, nampaknya mereka adalah golongan makhluk-makhluk yang setia.

Sebelum pulang ke Besemah, berkali-kali aku mengecek pagar gaib untuk melindungi kerajaan. Semuanya kuyakini aman. Hanya beberapa sosok tertentu saja yang dapat membuka pintu gerbang untuk ke luar masuk. Selebihnya tidak ada yang bisa masuk mau pun ke luar tanpa seizinku atau Nyi Ratih.

Kerajaan Timur Laut Banyuwangi memang kubuat tersembunyi. Bagaimana pun aku khawatir akan ada kerajaan-kerajaan lain berniat memiliki kerajaanku. Apalagi hukum yang berlaku di alam gaib ini adalah hukum rimba. Tidak sedikit mereka ingin mencoba mengalahkan aku. Lalu menjadikan kerajaan Timur Laut Banyuwangi sebagai wilayah kekuasaannya. Jika kerajaan Timur Laut Banyuwangin di bawah kekuasaan salah satu kerajaan gaib itu, maka kerajaan Timur Laut Banyuwangi harus menyerahkan upeti dalam waktu tertentu. Seperti beberapa kerajaan di sekitar tepi laut, setiap tahun mereka mempersembahkan manusia sebagai upeti pada kerajaan yang menakhlukannya. Berbagai macam cara mereka lakukan untuk memperoleh manusia tersebut. Dengan cara membuat manusia kecelakaan, baik di darat mau pun di air, lalu mati. Atau mati tiba-tiba tanpa sebab, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan, jika kerajaan Timur Laut Banyuwangi yang diperlukan seperti itu, bisa jadi akan muncul perang besar-besaran.

Beberapa hari lagi aku akan pulang ke Bengkulu. Liburan sudah akan berakhir. Namun beberapa minggu lagi aku akan kembali ke Timur Laut Banyuwangi untuk memenuhi permintaan Nini Ratu. Aku diminta menemui beliau di gua pertapaannya. Meski melalui dialog batin masih terus kulakukan, namun hingga saat ini, Nini masih saja menolak untuk ke luar dari gua pertapaannya.

Kabar dari Nyi Ratih pagi ini sungguh menyenangkan. Katanya ada beberapa warga usai bersyahadat dibimbing Kyai di masjid istana. Artinya umat muslim di kerajaanku semakin bertambah. Yang penting bagiku adalah, wargaku tidak ada paksaan harus memeluk Islam, tapi semua rakyatku harus memeluk agama, lalu mengamalkannya sesuai kepercayaan masing-masing. Masih menurut Nyi Ratih, mereka yang bersyahadat tergugah karena mendengar azan tiap waktu solat. Lalu melihat aktivitas santri yang buru-buru membasuh diri, berwudu, lalau beribadah. Kukatakan pada Nyi Ratih, seseorang yang mendapatkan hidayah, tidak ada yang tahu dari pintu mana. Banyak cara Sang Maha Khalik untuk menyentuh hamba-hamba yang Dia kehendaki.

Berita ke dua yang tak kalah gembira adalah kabar dari Puyang Purwataka. Beliau mengatakan dua makhluk asral yang berhasil kuobati tempohari pun meminta Puyang mesyahadatkan mereka. Kasusnya nyaris sama, karena melihat aktivitas santri yang tekun ibadah menggugah hati mereka. Ternyata sikap taat dan lembah lembut para santri dapat melemahkan keegoan makhluk asral yang ganas itu.

“Kenapa senyum-senyum sendiri, Dek. Melihat apa?” Kakek Haji Yasir mengagetkanku setelah melihat aku senyum-senyum sendiri. Aku jadi kaget juga. Terutama sebutan nama kecilku yang sudah lama sekali tidak kudegar. Selama ini aku hanya mendengar sapaan Putri Selasih, Kanjeng Ratu. Dengan dipanggil Dedek, aku serasa kembali ke alam nyata yang lama kutinggalkan. Terasa baru melek! Inilah duniaku sebenarnya. Alam manusia!

“Tidak apa-apa, Kek. Aku bahagia sekali bisa lama di dusun kita. Apalagi melihat kakek brsama Haji Majani, masih terlihat gagagah” Alasanku.

Sambil membantu kakek menggulung tembakau pada daun nipah sebelum beliau menyalahkannya, sesekali menyeruput kopi. Kami berdua duduk di garang menghadapi halaman pondok yang lantang. Buah kopi yang masih di tumpuk-tumpuk sebentar lagi akan digerai untuk dijemur. Bapak sesekali menatap ke timur untuk memastikan apakah matahari akan muncul terang atau tidak. Jika cuaca bagus, maka buah kopi itu akan dijemur, tapi jika mendung, tentu akan ditutup kembali dengan terpal dan plastik rapat-rapat.

Aroma uap kopi yang dibekap terpal seperti aroma permentasi sedikit asam. Tapi aku suka aromanya. Aroma lemban ini kerap membuatku rindu karena hanya akan kutemui jika aku pulang kampung dan berada di kebun kopi. Begitu juga bunga kopi yang tengah melar, harum wanginya semerbak menyegarkan.

Seperti biasa aku dan kakek akan terlibat obrolan panjang. Kakek paling senang bernostalgia. Meski yang diceritakannya kerap kali diulang-ulang. Sebagai pendengar aku bahagia-bahagia saja mendengarkannya. Bagiku mendengarkan cerita beliau membuatku bisa kembali ke masa lalunya yang luar biasa. Apalagi jika kakek menyebutkan nama-nama teman seperjuangannya, komandan, atau orang-orang yang beliau anggap berjasa ikut memanggul senjata sebelum kemerdekaan. Melihat aku semangat bertanya, maka Kakek akan semakin semangat bercerita. Bahkan soal cara memasak dan makan kawannya yang nyeleneh pun beliau ceritakan. Biasanya kami akan tertawa terbahak-bahak. Aku akan sangat senang melihat wajah cerah kakekku.

Lain halnya jika bercerita dengan kakek Haji Majani, beliau akan berkisah tentang perjuangan nabi.

Nyaris semua kisah nabi ada di benaknya. Atau ketika mereka berdua ngobrol maka keduanya akan membicarakan hadist, sejarah muculanya surat-surat dalam Al quran. Mengupas tentang fiqih dan lain sebagainya. Yang lebih serem lagi kalau keduanya memperebutkan minta duluan mati. Kata kakek Haji Yasir biarlah dia duluan yang meninggal, sebab kalau dia meninggal duluan maka kakek Haji Majani bertugas mendoakannya setiap waktu. Sebaliknya, Kakek Haji Majani minta supaya beliau saja yang meninggal duluan. Alasannya sebagai kakak harus mengalah dan menyayangi adiknya. Maka dialah yang harus banyak berdoa untuknya.

Melihat candaan seperti ini kadang aku suruh keduanya suit beberapa kali, siapa yang menang dialah yang boleh duluan menghadap yang kuasa. Biasanya dengan lugunya kedua kakekku ini patuh saja. Mereka suit beberapa kali dan yang menang selalu Kakek Haji Majani. Meski ditengah canda tawa, namun kerap kali membekas di batin. Bagaimana jika hal ini benar terjadi? Duh! Aku takut membayangkannya. Karena aku rasanya belum sanggup ditinggalkan kesua kakekku ini. Aku masih sangat menyayangi mereka.

Sedang asyik menyeruput kopi, tiba-tiba terdengar suara gemerisik daun kering dari tengah kebun seperti diinjak-injak. Aku segera menoleh. Ternyata Macan Kumbang.

“Dari mana Bujang Lapuk” Sapaku. Mendengar aku menyebut Bujang Lapuk, Kakek Haji Majani menatapku.

“Siapa Dek yang kamu sebut Bujang Lapuk?” Ujar Kakek Haji Yasir. Aku kaget. Lupa jika Kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani tidak dapat melihat apa yang aku lihat.

“Macan Kumbang, Kek. Itu dia baru turun gunung” Ujarku menunjuk ke bawah pondok. Kusampaikan saja dengan jujur pada kakek. Sebab untuk apa pula mau ditutup-tutupi. Kakek hanya mengangguk-angguk sambil melihat-lihat ke sana ke mari ingin memastikan bisa melihat sosok Macan Kumbang atau tidak.

“Kalau Si Kumbang nampak, nanti Kakek tidak kuat” Bisikku. Akhirnya Kekek menahan tawa.

“Bukan tidak kuat, kekek khawatir terkencing-kencing kalau terlalu dekat” Ujarnya. Aku ikut tertawa lebar. Sementara Macan Kumbang hanya senyum-senyum.

“Dek, ayo turun.” Ujar Macan Kumbang. Mendengar nadanya, nampaknya beliau tergesah-gesah. Aku pamit dengan Kakek seakan-akan masuk ke kebun kopi.

“Ayo naik, ikut aku. Ada tugas dari Puyang untukmu.” Kata Macan Kumbang. Tanpa berpikir panjang, aku segera melompat ke punggungnya. Tak lama seperti angin aku dan Macan Kumbang melesat melewati kebun, hutan, bukit dan sungai. Di belakang aku melihat ada juga yang berlari kencang. Nampaknya nenek gunung juga. Tapi siapa mereka. Bukankah tadi yang kulihat hanya Macan Kumbang sendiri? Akhirnya aku tidak peduli siapa yang mengiring di belakang kami. Aku lebih fokus ke arah mana Macan Kumbang membawaku.

Usai menyeberangi sungai yang cukup luas dan bercabang-cabang, akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan. Sekeliling kampung kebun sawit yang sudah cukup tua. Aku bingung berada di mana. Sementara tidak ada tulisan nama dusun kecil ini.

“Di dusun ini ada sepasang nenek gunung berkeliaran membuat masyarakat takut. Namun bahaya bagi nenek gunung itu. Nenek gunung itu tersesat ke mari gara-gara diburu. Puyang menyuruh kita menggiringnya kembali ke hutan Jambi” Ujar Macan Kumbang setelah aku turun dari punggungnya.

Aku kaget, ketika melihat penduduk dusun semuanya memegang senjata. Mereka adalah petani sawit dan sebagian lagi menjadi buruh di perusahan swasta yang mengelolah perkebunan.

“Ei, kah kemane, Gadis. Ade setue kulagh kiligh di daerah kamini. Kele dengah sengute (Ei, mau ke mana Gadis, ada nenek gunung kular-kilir di daerah ini. Nanti dirimu diterkamnya)” Ujar seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tombak di tangan.

Aku segera menghampiri beliau. Mendengar bahasanya meski mirip bahasa Besemah, namun mereka bukan dari suku Besemah. Dialek mereka berbeda.

“Apa yang terjadi, Mang. Mengapa sampai nenek gunung turun ke mari? Kulihat semua lelaki di dusun ini bersiaga seperti hendak perang” Ujarku. Beliau mengatakan mereka dalam keadaan terancam, ternak mereka, kambing, ayam, dimakan harimau. Harimaunya juga sering masuk sampai ke pemukiman. Akibatnya penduduk tidak ada yang berani bekerja di kebun sawit.

“Hati-hati gadis, mengapa kamu ke mari? Apa kamu tidak takut dimangsa harimau. Sudah seminggu ini mereka mengganggu pemukiman kami. Mereka juga memakan ternak-ternak kami” Ujar seorang bapak masih muda dengan lancar. Ingin rasanya aku menarik mulutnya. Dia pikir harimau-harimau itu turun bukit tanpa alasan? Ingin sekali aku mendebat apa yang beliau sampaikan. Tapi percuma. Manusia seperti ini mana akan berpikir tentang pelestarian alam. Yang ada dibenaknya bagaimana bisa makan, hidup enak, hasil sawit melimpah, harga meningkat.

“Mang, sadar tidak! Paham tidak kalian dengan kehidupan nenek gunung itu. Hewan itu tidak akan pernah mengganggu jika habitatnya tidak diganggu. Hutan rumah mereka telah jadi kebun sawit seperti ini. Kemana lagi mereka tinggal? Mereka makan apa? Belum lagi mereka kalian buru. Dengan alasan membela diri, demi keselamatan agar tidak terancam, kalian tega membunuh mereka. Pikiran kalian terbalik!” Aku mulai emosi ketika salah satu Bapak yang mendekati aku mengatakan, jika terlihat sedikit saja bayangan harimau, maka akan kubantai. Dengan sombongnya sambil menggenggam kecepek. Kalau bukan dihalangi Macan Kumbang, sudah kuubah diriku menjadi harimau lalu mengobrak-abrik mereka.

“Jangan, Selasih. Mereka adalah orang bodoh yang hanya memiliki pikiran sejengkal” Kata Macan Kumbang. Akhirnya kuredam emosiku.

Akhirnya aku pamit, tanpa menghiraukan peringatan berisi ancaman mereka. Aku tidak menoleh-noleh mereka lagi. Salah satu mereka berteriak-teriak melarangku masuk ke wilayah kebun sawit yang sedikit bersemak. Mereka riuh mengatakan pasti akan dimakan harimau liar.

Di sudut dusun ada semacam tempat pengintaian, terbuat dari kayu kurang lebih lima belas meter tingginya. Di sana ada beberapa orang mengarahkan senampang angin ke seluruh penjuru. Melihat kondisi ini bisa dipastikan kampung terpencil ini memang dalam keadaan gawat. Aku tidak mau berlama-lama. Setelah agak jauh masuk ke dalam kebun sawit aku duduk sejenak. Memanggil dan berusaha mengetahui keberadaan nenek gunung tersebut. Setelah ada signal, aku dan Macan Kumbang menuju keberadaan mereka. Ternyata mereka sedang duduk-duduk di semak-semak tidak jauh dari pelintasan yang sering digunakan oleh perusahaan membawa hasil kebun.

Aku menghampiri keduanya, lalu sejenak kuajak berkomunikasi jika jiwa mereka terancam kalu tetap bertahan di sini. Karena manusia akan takut bertemu mereka lalu nekat melumpuhkan mereka. Mereka menyatakan justru mereka merasa takut karena diburu manusia. Hal ini terlihat ekspresi mereka berubah ketika melihat ada orang yang melintas di atas motor sambil memanggul senjata. Aku mengingatkannya agar tenang. Demikian juga Macan Kumbang mengatakan akan mengantar mereka kembali ke hutan belantara Jambi.

Akhirnya, aku dan macam kumbang mengawal keduanya ke luar dari perkebunan sawit. Kami memilih jalan yang tidak ada manusianya. Sepasang nenek gunung ikut berlari kencang di sampingku. Perjalanan menuju belantara Jambi cukup jauh. Beberapa pelintasan aku melihat kampung gaib dan beberapa penduduknya ikut-ikutan berlari bersama kami. Kuingatkan mereka jika aku hendak mengantarkan nenek gunung ini ke hutannya. Ternyata mereka senang saja ikut di belakang kami seperti pengawal. Macan Kumbang tersenyum melihat mereka. Mereka adalah makhluk-makhluk asral berbentuk harimau yang tinggal di hutan, rawa, bukit perkebunan sawit Musi Rawas.

Setelah jauh masuk ke hutan belantara, harimau mulai mengandalkann penciumannya mencari arah wilayah kekuasaan pemimpinnya. Ternyata mereka memberi isyarat ke arah barat. Kami pun melanjutkan perjalanan ke sana. Setelah sampai di hutan yang dimaksud ke dua harimau duduk dan sujud padaku. Hal ini adalah cara mereka mengucapkan terimakasih. Aku mengelus-ngelus mereka dengan sayang. Meski baru saja bertemu tapi aku terasa begitu akrab. Mereka adalah sepasang anak muda. Ibarat di alam nyata, maka mereka adalah anak muda yang masih memiliki emosional tinggi dan selalu ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Aku bersyukur, bisa mengembalikan mereka pada habitatanya.

Tak berapa lama kami kembali memutar haluan untuk pulang ke tanah Besemah. Harimau gaib yang mengiring kami pun dengan gembira ikut memutar haluan. Mereka bahkan meminta kami mengantarkannya pulang. Mendengar itu, aku mengangguk pada Macan Kumbang untuk mengantar mereka kembali ke hutan rawa Musi Rawas. Makhluk yang seperti ini baru pertama kali ini kutemui memiliki karakter yang lembut. Biasanya harimau jadian seperti ini ganas dan memusuhi. Tapi mereka nampak familier seakan kami adalah sahabat lamanya.

.....

Aku menarik nafas lega ketika sampai di kebun kakek Haji Yasir kembali. Kulihat Bapak sudah menghamparkan kopi di halaman karena matahari memang sudah muncul. Aku berniat membantu ketika ibu berteriak memyatakan banyak bunga rumput menepel di bajuku.

“Dari mana si Dek, kok bajumu penuh kembang rumput? Loh! Ini kan rumput yang hanya tumbuh di belantara. Tidak ada rumput ini tumbuh di sekitar kebun” Ujar Ibu mengambil beberapa kembang yang menempel di bajuku. Bapak juga ikut-ikutan memerhatikan. Aku menatap beliau sembari mengedipkan mata. Bapak hanya tersenyum lalu kembali meratakan buah kopi. Tinggallah ibu menatap bengong merasa tidak dapat dukungan dari Bapak.

“Pak, lihat ini!” Ujar Ibu bernada tinggi.

“Sudah lihat, Bu. Paling juga anakmu dari belantara bersama Macam Kumbang. Apa yang harus di khawatirkan” Ujar Bapak setengah acuh sambil masih senyum-senyum. Mendengar Macan Kumbang, Ibu yang semula antusias ingin meyakinkan Bapak, jadi batal. Ibu malah naik pondok dengan cepat.

Sepeninggal Ibu, aku dengan cepat meratakan gundukan kopi yang masih basah. Untung Bapak tidak banyak tanya. Kalau beliau banyak tanya, beliau juga mungkin tidak percaya jika aku dan Mavan Kumbang baru saja ke hutan belantara Jambi mengantarkan dua harimau Sumatera yang tersesat di kebun sawit Kabupaten Lahat.

Bus yang membawaku ke Bengkulu terasa sangat pelan. Pagi ini aku berangkat ke Bengkulu bersama Bapak dan Ibu. Kami berpisah di terminal dengan Kakek Haji Majani. Beliau sengaja mau ke pasar terlebih dahulu mau membeli keperluan sehari-hari katanya. Bersyukur sekarang sudah ada kendaraan menuju dusun Pengaringan meski jalannya masih berbatu. Paling tidak bisa meringankan Kakek Haji Majani, tidak berjalan kaki lagi.

Sebenarnya aku mengantuk sekali. Beberapa kali mataku terpejam dan rasa hampir jatuh tersungkur ke depan. Beberapa kali kepalaku terbentur sandaran kursi di hadapanku. Lalu terjaga lagi. Jalan lintas yang berlubang-lubang, tidak bisa tidak membuat bus kadang miring ke kanan, kadang miring ke kiri.

Sebenarnya bisa saja aku lelap sejenak dengan membaca mantra dan doa sekejab. Tapi kapan lagi aku bisa menikmati layaknya manusia biasa. Naik bus berhimpit-himpit seperti ini, jarang-jarang kualami. Pe galaman seperti inu bisa kurasakan ketika pulang dari Bengkulu ke Pagaralam, atau sebaliknya.

Sebenarnya malam tadi nyaris aku tidak memejamkan mata meski sekejab. Aku bersama nenek Kam berkunjung ke gunung Dempu berjumpa leluhurku, Paman Raksasa dan A Fung adik gaibku. Pulang dari sana, bukannya istirahat, malah Nenek Kam mengajakku bercerita dan bertanya tentang banyak hal. Terutama perihal karakter guru-guruku di pulau Jawa dan kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Aku bercerita panjang lebar perihal siapa Eyang Putih sebenarnya, lalu siapa Puyang Purwataka. Selanjutnya aku bercerita tentang kerajaan dan berbagai peristiwa di dalamnya. Tidak terasa, ternyata kami bercerita sampai subuh. Sementara pukul enam pagi , mobil Pardi satu-satunya angkutan ke kota Pagaralam sudah menjemput. Tanpa mandi lagi, usai solat subuh aku langsung ganti pakaian. Untuk pertama kalinya menikmati kendaraan dari Seberang Endikat menuju kota Pagaralam.

Kulihat tubuh Bapak dan ibu terguncang-guncang. Beliau berdua kebetulan duduk di samping sopir. Lebih nyaman dibandingkan duduk di bagian belakang. Di belakang, jika tidak duduk di sisi jendela, alamat seperti duduk dalam kotak, pengap dan berisik. Bus yang sudah tua ini meraung meniti jalan-jalan lintas yang berlubang.

Penumpang bus ke Bengkulu lumayan padat. Apalagi bus yang kutumpangi ini berangkat paling pagi. Sampai Bengkulu diperkirakan pukul tiga petang. Perjalanan memang terasa sangat lama. Bagiku tidak masalah. Ini kesempatan bagiku melihat langsung kehidupan di terminal bus hingga keberangkatan.Banyaknhalnyang bisa dipelajari. Di samping dapat menguji kesabaran, sekalian belajar memperhatikan karakter dan kehidupan para kernet, sopir, dan penumpang. Contohnya tadi sebelum keberangkatan, ada seorang ibu ngamuk-ngamuk minta duduk di kursi paling depan dengan alasan dia pemabok lalu mau mengusir Bapak. Tentu saja Bapak menolak, karena sesui tiket duduk di samping supir. Sang sopir juga tidak mengizinkan karena tempat duduk sesui dengan pesanan tertera di tiket. Si ibu masih ngeyel. Akibatnya keberangkatan jadi tertunda. Akhirnya ibu itu mengancam kalau mabok, maka muntahnya akan dia tumpahkannya di kursi atau di lantai. Melihat kenyataan seperti ini, aku ingin tertawa. Ternyata usia tidak menjamin seseorang bisa bijak, dewasa, sabar, dan punya malu. Contohnya si Ibu tingkahnya tidak lebih seperti anak-anak bawah lima tahun.

“Bengkulu? Yooo… kiri…kiri…kiri” Kernet yang menjolorkan kepala di jendela pintu kiri berteriak sambil memukulkan koin ke kaca. Bus menepi. Ternyata ada satu penumpang baru yang menunggu di tepi jalan. Padahal tempat duduk sudah penuh. Tidak ada lagi tempat kosong. Kursi serep pun sudah tidak ada. Lalu akan disuruh duduk di mana? Gumamku dalam hati melihat kondisi bus padat. Ternyata ada satu keluarga ibu dan satu anak duduk di tiga kursi. Anaknya disuruh kernet pangku, lalu penumpang yang baru naik di suruh duduk di situ. Terjadi keributan lagi, karena si Bapak protes. Mereka membeli tiga tiket otomatis tiga kursi. Tapi kernet dan supir tidak peduli meski penumpang sudah marah-marah. Melihat kenyataan seperti ini, supir dan kernet menurutku sudah tidak manusiawi. Kuhentakkan kaki, tiba-tiba bus berhenti. Berulang kali sopir menstater mobilnya tapi tidak nyala juga. Penumpang sudah kegerahan, sesak dan panas. Sebagian sudah membuka pintu dan turun sekadar mencari udara segar. Sang supir mencari-cari penyebab bus mati. Kernetnya dimarah-marah sambil mengucapkan kata-kata kotor ketika minta diambilkan alat.

“Cepatlah kaput! Ambil kunci delapan” Sang kernet buru-buru mencari kunci yang diminta. Belum lagi selesai perintah satu, sudah ada lagi perintah ke dua. Itupun menyapa kernet dengan sebutan anjing, kaput, keduroh. Telingaku terasa panas mendengar sumpah serapanya. Semua penumpang diam. Ingin rasanya memutar rahang supir agar mulutnya minimal miring. Tapi mengingat tidaknadsa supir serap, para penumpang alamat gagal sampai Bengkulu batinku. Akhirnya kubatalkan.

“Mang, lain kali kalau mau naik bus, lihat-lihat dulu tempat duduk masih ada apa tidak. Kalau sudah penuh, artinya semua tempat sudah dibayar. Tidak ada hak Mamang untuk menyingkirkan orang yang naik lebih dulu” Ujarku pada penumpang yang baru naik ketika kudekati.

“Bukan salahku, kernetnya yang nyuruh aku duduk di sana. Kalau aku maksa duduk sana iya, aku salah” Ujarnya ngeles.

“Tapi Mamang kan sudah tahu, Bapak itu sudah mempeelihatkan jika belia membeli tiga tiket. Tapi Mamang pura-pura tidak mendengar, pura-pura tidak tahu” Ujarku. Dia kehabisan kata, sehingga terakhir mengatakan, bukan cuma kalian ingin sampai tujuan, aku juga. Lagi pula aku naik kan tidak gratis, bayar. Mendengar itu, iseng kubuat telinganya tuli. Nampak si Mamang kaget. Berkali-kali dia menepuk-nepuk dan mengorek-ngorek telinganya. Kadang mengepalkan tangan, lalu meniupnya, berharap telinganya yang budek mendengar kembali.

“Mang supir, coba nyalahkan lagi mobilnya. Insya Allah nyala. Tapi dengan syarat mamang yang itu jangan suruh naik lagi, dan jangan menaikan penumpang di jalan lagi” Ujarku. Si sopir sejurus tertegun menatapku. Kucoba meyakinkannya lewat matanya. Aku mencoba mempengaruhinya. Beliau patuh dan mencoba menyalahkan mobilnya. Melihat mobil kembali nyala, semua penumpang naik kembali. Ketika penumpang yang baru mau naik, tiba-tiba bus mati lagi.

“Kan sudah saya bilang, Mang. Jangan dinaikan lagi penumpang satu itu” Kataku lagi. Akhirnya si supir patuh, disuruhnya kernet menurunkan penumpang yang baru naik. Benar saja, ketika dia turun bus nyala kembali. Akhirnya bus kembali melaju tanpa penumpang baru.

Aku senyum-senyum sendiri melihat sopir keheranan.

“Hebat nian anakmu, Mak. Cak dukun bae” Kata supir berbicara pada Bapak. Bapak hanya tersenyum menanggapi supir. Mungkin Bapak juga kesal melihat supir bermulut kasar.

Aku belum mengembalikan pendengaran penumpang yang gagal naik tadi. Biarlah untuk beberapa saat dia risau dengan kondisi barunya. Sebab beliau baru saja mencuri uang hasil menjual lada adik perempuannya yang janda. Padahal jumlahnya tidak seberapa. Tidak hanya itu, subang emas yang hanya setengah gram pun dia ambil di telinga keponakannya. Suami adiknya meninggal beberapa bulan lalu meninggalkan dua anak, perempuan dan laki-laki yang masih balita. Mereka hanya punya setengah hektar kebun lada warisan bapak suaminya. Lelaki itu bukan membantu adiknya, malah mencuri apa yang dimilikinya. Dia naik bus, rencananya mau kabur.

Ketika bus melaju di jalan mulus, aku menarik nafas panjang. Artinya bus sudah masuk wilayah peebatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan. Semua penumpang tidak lagi seperti ditimang-timang sepanjang jalan. Kulihat beberapa penumpang mulai mengatur posisi untuk tidur. Perjalanan memang masih cukup jauh. Ada sekitar dua sampai tiga jam lagi. Aku pun ikut memejamkan mata, meski pikiranku jauh ke mana-mana.

Lusa sudah mulai masuk sekolah. Aku akan bertemu dengan sahabat-sahabatku. Rasanya sudah sangat rindu sekali berjumpa mereka. Duduk di kelas tiga, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Selanjutnya akan Ujian Nasional. Rasanya waktu sangat singkat.

Selama menjelang Ujian Nasional, rencanaku akan fokus persiapan diri untuk menentukan masa depanku saja. Aku ingin kuliah. Tapi ketika ingat tanggungjawabku pada Timur Laut Banyuwangi, pikiranku berubah kembali. Akhirnya aku pasrah, berserah diri saja, biarlah Sang pembuat skenario hidup akan mengarahkan aku kemana.

***

Bengkulu sedang kemarau. Ini terlihat pohon jambu dan belimbing di depan rumah daunnya banyak yang gugur. Berjam-jam aku bersama ibu membersihkan halaman dan membakar sampahnya. Jalan gang tanah berbatu kerikil nampak kering. Sesekali debu melambung ketika dilalui kendaraan roda empat meski berjalan pelan. Air parit serupa sungai kecil depan rumah pun kering.

Aku dan Ibu masih mengumpulkan daun kering. Rencana daun-daun ini akan dibakar. Ketika ibu hendak membakar sampah, seorang anak jin yang tidur-tiduran di atas tumpukan sampah nyaris terbakar ketika ibu menyalahkan api. Melihat anaknya nyaris terbakar, induknya marah dan hendak menghantam ibu. Untung aku melihatnya, dengan cepat kuhalangi. Melihat aku menghalangi, dia balik marah padaku. Kukatakan jika ibu tidak bisa melihat makhluk halus. Jadi beliau tidak tahu jika ada anaknya tidur di tumpukan sampah. Sang makhluk asral masih saja tidak bisa menerima.

“Mengapa kamu bisa melihat kami sedangkan ibumu tidak?” Lanjutnya tidak percaya.

“Bangsa kami, sama dengan bangsamu. Ada yang diberi kelebihan ada yang tidak. Ada yang mampu menenbus alam manusia, ada yang tidak. Nah ibuku manusia yang tidak bisa menembus alam bangsa kalian. Seperti kalian yang tidak bisa menembus alam kami. Kalian hanya bisa mengganggu dan balas dendam pada kami dengan cara menyakiti tak kasat mata. Padahal kami tidak tahu menahu kesalahan apa yang kami perbuat. Nah jangan marah-marah lagi. Anakmu tidak apa-apa kan? Lain kali jangan ada bangsamu tidur di atas sampah. Bisa terbakar benaran nanti” Ujarku menegaskan.

Meski masih dengan tatapan marah pada ibu, akhirnya makhluk ini menyingkir juga setelah kujelaskan dengan nada datar. Dia membentak-bentak dengan buas tetap kulayani dengan nada biasa. Bahkan beberapa kali melalukan pemukulan namun tak pernah sampai. Menyadari aku tidak bisa dia sakiti nampaknya dia mengalah. Bersama keluarganya mereka menjauh dari tumpukan sampah yang sudah mulai menyala.

Aku mandang ibu yang masih serius mengatur api. Beliau tidak tahu sama sekali jika dirinya baru saja terancam. Makhluk asral yang hidupnya di sampah ini bentuknya mirip beruang dan serigala. Berbulu, bertaring, dan berjalan memang mirip hewan. Aku tidak bisa bayangkan jika anaknya terbakar. Pasti makhluk ini akan meneror manusia. Makanya dari dulu kakek dan Bapak selalu melarang membakar sampah dengan tiba-tiba, atau menyiram rata sampah dengan bahan bakar, apakah dengan minyak tanah, solar, atau bensin. Menurut Bapak dan Kakek Haji Yasir, sebaiknya sampah-sampah dikumpulkan, lalu bakarlah mulai dari api kecil terlebih dahulu. Maksudnya, jika ada makhluk tak kasat mata ada di sekitar itu, ada kesempatan mereka untuk menyingkir terlebih dahulu sebelum api menyala. Meski aku tahu banyak golongan manusia yang tidak percaya dan menganggap saran Kakek dan Bapak tahayul, dan mitos.

Usai sholat magrib, aku baru bisa duduk dan meluruskan kaki. Rasanya capek juga melakukan perjalanan dibanting-banting dalam bus. Jadi manusia susah juga, aku membatin. Mataku mulai terasa panas. Aku ingin tidur. Bapak dengan Ibu nampaknya masih asyik ngobrol sambil makan malam. Entah apa yang mereka obrolkan. Kadang tertawa berderai berdua. Kadang senyap.

Aku sudah tidak tahan lagi. Antara sadar dan tidak aku membaca doa tidur. Entah selesai apa tidak doaku, aku tidak tahu. Yang jelas rasa kantukku yang luar biasa ini kurasakan sejak pagi. Akhirnya aku terlelap. Mendekap lelah yang sangat. Lampu kamar yang sengaja kubuat remang seperti ikut meninabobokan.

Pukul dua dini hari aku terjaga. Aku segera bangkit karena belum solat isya. Aku terpekik, kaget ketika turun dari dipan. Nyaris kepala Macan Kumbang terinjak. Sejak kapan Si Kumbang datang? Mengapa terlelap di lantai? Akhirnya aku melangkah pelan-pelan. Kuambil ambal yang terlipat di sudut kamar, lalu kubentang untuk alas tubuhnya yang terlelap. Adik bujang Nenek Kam satu ini masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil. Padahal aku sudah tumbuh menjadi seorang gadis, tapi Macan Kumbang masih memanjakan aku seperti ketika aku kanak-kanak. Contohnya sekarang. Masih saja menemani aku tidur. Biasanya dia akan bergelung di ujung kakiku dengan wujud harimau hitam.

Aku segera wudhu, lalu sholat di sampingnya. Rupanya Bapak dan Ibu juga ikut terbangun. Nampaknya mereka hendak menunaikan sholat malam juga. Merasa tidurku sudah cukup, rasa kantukku hilang sama sekali. Aku sengaja berzikir agak lama.

“Kau sudah bangun, Nduk” Suara Eyang Kuda. Aku segera membatin, jika aku usai menunaikan sholat setelah tertidur bakda magrib. Tawa kecil Eyang Kuda terdengar jelas.

“Nampaknya Kanjeng Ratu lelah sekali. Mengapa tidak menyembunyikan diri saja. Suruh bayanganmu yang melakukan perjalanan” Godanya. Aku tertawa mendengar candaannya. Selanjutnya beliau menanyakan kabar istanaku, siapa yang ikut menjaganya sepeninggalku. Dalam hati aku bahagia sekali, Eyang Kuda ikut memikirkan kelangsungan Timur Laut Banyuwangi.

“Eyang, aku boleh bertanya?” Ujarku tiba-tiba ketika teringat Nyi Roro Kidul ketika di gunung Slamet aku melihat pasukannya melintas di hadapan kami.

“Bertanya soal apa?” Ujar Eyang Kuda.

“Tentang Nyi Roro Kidul, Eyang. Apakah Eyang pernah berjumpa dengan beliau?” Tanyaku.

“Oh, kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul. Iya, Eyang pernah beberapa kali berjumpa beliau. Beliau makhluk asral yang akrab dengan kaum manusia tertentu. Tidak mudah untuk berjumpa dengan beliau. Pengawalnya berlapis-lapis. Beliau sangat selektif untuk bertemu dengan siapa saja. Baik dari golongan manusia, mau pun golongan tak kasat mata. Jika beliau tidak berkenan, maka beliau mengutus pengawalnya saja. Beliau memiliki kerajaan yang megah di bawah laut, Nduk” Jelas Eyang Kuda.

Aku percaya apa yang disampaikan Eyang Kuda. Melihat pasukannya saja nampak gagah dan istimewa. Apalagi jika beliau yang melintas.

“Banyak golongan manusia memuja beliau, Eyang?” Tanyaku lagi. Eyang Kuda membenarkan. Sebenarnya masih bayak hal yang ingin kutanyakan pada Eyang Kuda. Bagaimana kedekatan tokoh-tokoh zaman dulu. Apakah mereka melakukan ritual khusus seperti layaknya ketika manusia bersekutu dengan jin, iblis, dan setan? Atau seperti ritual-ritual yang dilakukan oleh para praktisi supranatural? Rasa ingin tahuku sangat dalam. Sebenarnya ada keinginan batinku untuk sampai kekerajaannya. Bagaimana bisa, nyaris Selatan laut Indonesia ini beliau kuasai? Dan masih banyak hal yang berjejal di pikiranku. Konon ada hotel yang menyediakan kamar khusus untuk Nyi Roro Kidul. Apalah ruang itu, kamar pemujaan atau apa aku tidak paham. Hal itu sudah menjadi rahasia umum.

Akhirnya, obrolanku bersama Eyang berakhir karena beliau hendak melanjutkan zikirnya kembali. Aku menoleh pada Macan Kumbang yang masih tidur nyenyak. Nampaknya adik Nenek Kam satu ini juga sangat lelah. Terlihat dari cara tidurnya tidak bergerak-gerak, suara ngoroknya seperti sapi disembelih.

Aku meraih satu buku yang lama tak tersentuh. Catatan harianku. Ketika aku baru hendak membukanya, ada selembar kertas menyelip di dalamnya. Aku segera menarik dan membacanya. Tulisan A Fung! Aku terbelalak. Kapan anak kecil itu ke mari? Aku jadi gemas sendiri. Ketika bertemu dua hari lalu A Fung masih saja bergelayut di tanganku. Anak kecil tapi tua itu sikapnya masih seperti dulu, manja dan takut sekali jika aku tidak sayang padanya.

“Kakak, aku sayang kakak selalu” Secarik kertas kudekap. Aku merasakan ketulusan adik gaibku ini. Kertas kecil itu kucium lalu kembali kuselipkan di dalam buku.

Baru saja hendak merebahkan badan, tiba-tiba Macan Kumbang bangun.

“Uf!! Jangan tidur lagi. Ikut aku yuk. Kita ke gunung Bungkuk” Ujar Macan Kumbang bangkit. Aku kaget mendengar gunung Bungkuk. Pasti Macan Kumbang mau bertemu Putri Bulan. Mengapa tidak pergi sendiri saja, aku membatin. Bukannya mereka sudah bertunangan? Pasti tidak akan asing lagi bagi Putri Bulan sekeluarga.

“Tidak mau ah! Ngantuk” Jawabku pura-pura menarik selimut. Benar saja dugaanku. Selimutku langsung di tarik, tanganku langsung diraihnya supaya bangkit. Aku sedikit mengelak pura-pura mau tidur lagi. Rupanya Macan Kumbang serius, kali ini tubuhku langsung diangkatnya. Akhirnya aku mengalah dan menjawab siap ikut setelah kupukul punggungnya lebih dulu.

Kami berdua melintas sekejap di perumahan kampung dan kebun. Tidak ada lagi hutan yang kami lintasi. Pembangunan di wilayah ini sangat pesat. Hutan-hutan sudah berubah jadi perkebunan sawit, ladang dan perkampungan penduduk, diselingi semak belukar dan rawa-rawa. Sebagian lagi tanah dibiarkan tandus, ditumbuhi ilalang. Kami berdua langsung ke sisi barat gunung Bungkuk. Berjalan sekejap, sampailah kami di halaman rumah Putri Bulan. Di sisi kiri kanan aku melihat beberapa orang tua tengah menganyam bakul dari bambu kapal. Rumpun bambu berukuran kecil dan tipis dibuat setangkup. Biasanya bakul-bakul itu untuk wadah dodol atau gelamai antar-antaran pengantin. Apakah mungkin mereka tengah melakukan persiapan untuk pernikahan Putri Bulan dan Macan Kumbang?

Ketika baru mengijakkan kaki di pintu pagar halaman rumah Putri Bulan, kami berdua sudah disambut oleh ibunya. Dengan antusias Ibu Putri Bulan menyambut kami. Wanita yang masih terlihat cantik dan energik ini senyumnya selalu mekar melihat Macan Kumbang. Nampak sekali jika beliau sangat bahagia menyambut calon menantunya.

Ternyata Putri Bulan tidak ada di rumah. Sang Ibu mengatakan Putri Bulan masih di istana Datuk Ratu Agung. Tak lama beberapa perempuan menyuguhkan minuman untuk kami. Sembari menunggu Putri Bulan aku memandang-mandang ke lembah dari jendela. Dulu aku masih melihat semak dan kebun sawit serta rawa-rawa. Sekarang sepertinya sudah menjadi perkampungan semua. Tanah merah terlihat jelas dari puncak gunung Bungkuk.

Aku melempar pandang ke barat. Dari jauh liukan ombak terlihat seperti selendang putih meliuk-liuk. Meski tidak terdengar deburnya, namun terlihat jelas saling kejar. Pantai panjang hingga pantai ke arah Sungai Suci, Pasar Pedati terlihat jelas. Pantai yang landai berpasir putih itu seperti tengah bernyanyi.

“Selasih, mari turunlah. Di lembah bagian selatan ada pertarungan makhluk asral. Mereka bertarung sudah ratusan tahun lamanya. Lerailah mereka” Suara gaib yang tak kutahu asalnya dari mana. Memang dari tadi aku mendengar suara menggeram. Suara nenek gunung. tapi aku tidak terpikir kalau suara itu adalah suara makhluk yang bertarung. Demi mendengar pertarungan sudah ratusan tahun itu, aku kaget juga. Artinya ini tidak main-main. Aku jadi tertarik untuk membuktikan pesan suara itu.

Aku langsung meluncur ke lembah setelah minta izin Macan Kumbang dan Ibu. Ternyata cukup jauh dari puncak gunung Bungkuk. Sampai di lembah, ternyata ada sepasang makhluk asral sosok nenek gunung sedang bertarung. Aku mendekati keduanya.

“Assalamualaika…” Salamku. Keduanya serentak menatap padaku.

“Mengapa kau ke mari anak manusia? Jangan ikut urusan kami” Ujar salah satu nenek gunung yang punggungnya dominan loreng hitam. Matanya berwarna jingga tajam mematapku.

“Akulah yang menghendaki dia datang ke mari! Dari pada jatuh di tangan jahatmu, lebih baik kuberikan pada golongan manusia. Dari manusia, kembali ke manusia” Ujar sosok yang satu lagi.

Mereka adalah jawarah bersosok nenek gunung, penghuni hutan wilayah gunung jalan lintas Bengkulu ini. Aku masih bingung penyebab mereka bertarung.

“Mengapa kalian bertarung? Apa penyebabnya?” Tanyaku pada yang mengatakan dialah yang menghendaki kehadiranku di sini.

“Kami telah bertarung ratusan tahun lamanya. Dia ingin merebut senjata itu dariku. Senjata untuk keadigjayaan itu, benda yang dititipkan oleh raja Selibar padaku. Tapi dia ingin merebutnya” Ujar nenek gunung.

“Mengapa bisa dititipkan padamu?” Tanyaku. Aku heran mengapa bisa manusia menitipkan benda pusaka pada bangsa jin ini?

“Zaman dulu, ketika kerajaan Selibar sedang jaya, dipimpin tuanku Depati Payung Negara, tiba-tiba beliau jatuh sakit. Sakitnya cukup lama. Sehingga lambat laun kepemimpinan kerajaan mulai goya. Ditambah lagi muncul keinginan-keinginan kerabatnya diam-diam ingin menggantikan beliau. Oleh sebab itulah beliau menitipkan pusakanya agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Sebab banyak yang menghendakinya” Ujarnya. Aku sedikit heran juga, setahuku kerajaan Semibar ada di Jenggalu dekat dengan laut menghadapi ke. Samudera Hindia. Sedangkan keberadaan nenek gunung ini posisinya ada di lembah gunung Bungkuk. Sebuah jarak yang cukup jauh.

“Jadi zaman dulu, benda pusaka ini nyata, lalu kamu gaibkan?” Ujarku. Nenek gunung mengiyakan.

“Mengapa sampai jauh sekali dengan Jenggalu?” Tanyaku lagi. Lalu katanya sengaja dibawahnya pergi jauh, karena di Jenggalu banyak sekali yang menghendaki pusaka ini. Untuk menghindari itulah makanya dia simpan di salah satu rumpun bambu, menyimpannya dengan rapi, dan menjaganya hingga kini.

Mendengar penuturannya, aku percaya. Makhluk asral ini menjaga amanah. Dia menaruhkan nyawa demi menjaga amanah tersebut.

“Putri Selasih, ambillah benda itu. Aku serahkan padamu. Aku percaya padamu. Sebab, selagi benda itu aku yang menjaganya, maka usaha untuk merebutnya tidak akan henti hingga nanti” Ujar Nenek gunung itu sambil tetap mengawasi lawannya. Pahamlah aku persoalan mengapa sampai makhluk ini bertarung hingga ratusan tahun lamanya.

Ketika aku bersama nenek gunung penjaga pusaka kerajaan Selibar berhadap-hadapan, beberapa sosok seperti api ikut juga mengintai pusaka itu. Jika dilihat dari kasat mata, tempat ini biasa-biasa saja. Jika di alam tak kasat mata, ternyata luar biasa. Energi penjaga pustaka luar biasa. Makanya hingga kini belum ada yang mampu melumpuhkannya.

Aku terperangah ketika melihat harimau belang hitam dengan berani melompat ke rumpun bambu berusaha menarik pusaka tersebut.

“Ambillah jika kau sanggup, Jangga. Kau terlalu bernafsu ingin menguasai Bengkulu Selatan itu” Ujar nenek gunung yang berdiri di sampingku. Ternyata, benar. Nenek gunung yang bernama Jangga tidak peduli. Tubuhnya terpental beberapa kali. Sosok seperti api pun tak kalah gesitnya. Dia pun melakukan hal yang sama ingin mengambil pusaka itu juga. Belum lagi sosok hitam berbulu, dengan mata menyala dari tadi kulihat berdiri dekat rumpun bambu. Dia pun melakukan gerakan hendak merebut pusaka itu juga.

Melihat mereka seperti anjing berebut tulang, aku tidak ambil diam. Meski kulihat nenek gunung di sampingku tetap waspada, takut pusaka yang dijaganya itu ditarik makhluk-makhluk asral yang memperebutkannya. Aku melompat lalu menghentak makhluk-makhluk yang berusaha mengeluarkan kemampuan mereka masing-masing

“Minggir!” Bentakku. Beberapa sosok terpental jauh.

“Kalian makhluk-makhluk yang sangat bernafsu ingin menguasai benda ini. Kalian tidak puas dengan jabatan yang kalian miliki? Bukankah kalian adalah raja-raja pada golongan kalian?” Ujarku sembari kembali menghadang makhluk-makhluk asral tersebut. Ternyata mereka ingin juga menjadi pemimpin yang karismatik, disegani, lalu kerajaannya bisa berkembang, banyak yang tunduk dan takhluk dan lain sebagainya. Melihat aku menghalangi, mereka serentak menyerang. Aku balik membalas serangan mereka. Sejenak wilayah ini seperti gulungan debu dan api. Meski menyerangku, namun konsentrasi mereka fokus pada benda pusaka. Aku kembali menghentak mereka hingga terpental jauh.

Makhluk-makhluk asral itu kuusir agar tidak mendekat dan tidak mencoba untuk mengambil pusaka itu lagi. Kutambahkan kekuatan pada pusaka agar tidak ada yang bisa mengambilnya. Rupanya tidak hanya makhluk asral yang ingin memiliki benda ini, tapi tak sedikit para dukun berusaha hendak memilikinya.

“Putri Selasih, sengaja aku mengundangmu ke mari. Ambillah pusaka itu. Kuberikan untukmu. Aku sudah lelah menjaganya. Aku percaya kau mampu menjaganya, dan amanah” Ujar Nenek Gunung itu kembali.

Mendengar tawarannya, aku tersenyum. Padahal aku telah membantu memberikan kekuatan penjagaan. Maksudnya agar beliau tidak lelah lagi menjaganya. Pusaka itu berupa keris kuno bercincin emas, kepalanya dari kayu kemuning tua. Demikian juga sarungnya, coklat tua dan mengkilap. Ukurannya hanya sejengkal.

Keris pusaka itu disimpan nenek gunung dalam ruas bambu yang tidak berlubang. Manusia biasa tidak tahu jika di antara rumpun bambu ini ada satu pohon yang tidak memiliki lubang. Saat tertentu, bambu itu akan mengeluarkan cahaya, namun ketika dicari, maka dia akan melenyapkan diri. Begitu seterusnya.

“Maafkan aku, Paman. Terimakasih atas kepercayaan Paman. Biarlah pusaka itu tetap di sana, tidak perlu Paman jaga. Insya Allah pusaka itu tidak akan hilang. Siapa pun yang hendak mengambilnya, dia akan berhadapan dengan kita berdua, Paman. Dengan demikian, Paman tetap amanah sesuai dengan keinginan tuan Depati Payung Negara” Ujarku lagi.

Bagaimana pun aku tidak ingin nenek gunung satu ini menjadi penghianat. Ratusan tahun beliau memertahankan benda pusaka ini dengan mempertaruhkan nyawa. Ratusan tahun pula beliau bertahan hingga akhirnya bertemu denganku.

Mendengar apa yang kusampaikan, nenek gunung sesegukan menangis. Aku bingung, mengapa beliau menangis? Apakah karena penolakanku, atau apa aku tidak tahu.

“Ratusan tahun aku mempertahankan pusaka ini karena cintaku pada baginda Depati Payung Negara. Ratusan pula golongan manusia dan bangsaku yang berniat memilikinya. Namun tiba padamu, ketika aku dengan ikhlas memberikannya untuk melanjutkan amanah Depati Payung Negara, tapi justru kau menyadarkan aku agar tetap amanah menjaga pusaka ini. Hal ini membuatku haru, Putri Selasih. Tidak salah jika namamu sangat terkenal di alam gaib tanah Sumatera ini. Ternyata kau bukan manusia tamak, pandai memanfaatkan kesempatan. Justru kau memperkuat aku untuk sama-sama menjaganya dan tetap amanah” Lanjutnya menyusut air mata. Aku tak mampu berkata-kata. Aku memang bukan tipe yang ingin menggunakan kesempatan atau aku mumpung. Aku sangat menghargai pengorbanan nenek gunung satu ini.

Setelah cukup lama berbincang, aku berniat hendak memutar badan, kembali ke gunung Bungkuk. Baru saja memutar badan, aku dikagetkan dengan kehadiran Putri Bulan dan Macan Kumbang.

“Hei!” Ujarku kaget. Putri Bulan tersenyum manis. Perempuan berwajah lembut itu berjalan menghampiriku dan nenek gunung.

“Tindakan yang bijak Selasih. Semoga jadi pembelajaran makhluk di semesta ini, sebagai makhluk kita wajib mengukur diri dan tahu diri. Tindakanmu sudah benar. Membantu, turut menjaga pusaka itu adalah pilihan bijak. Paman, yakinlah, bila Putri Selasih mengatakan akan turut menjaga pusaka itu, maka pekerjaan Paman akan lebih ringan. Paman tidak perlu selalu berjaga di sini. Putri Selasih telah membuat penjagaan di sini akan kontak dengan dirinya dan Paman. Jadi jika ada yang jahil hendak mengambil paksa benda itu, Paman dan Putri akan segera tahu.” Ujar Putri Bulan. Sekali lagi nenek gunung penjaga pusaka mengucapkan terimakasih.

Akhirnya aku bersama Macan Kumbang dan Putri Bulan kembali ke gunung Bungkuk. Suasana hening gunung Bungkuk membuat langkah kami makin ringan. Aku merasa lepas dari beban di pundak. Rasanya seperti baru selesai melaksanakan tugas besar saja. Kekuasaan Depati Payung Negara, raja kerajaan Semibar yang kerap dituturkan oleh masyarakat Panjalu tentang kejayaannya, energi itu kurasakan pada pusaka yang dimilikinya. Perjalanan malam ini sungguh di luar dugaanku. Semuanya serba tiba-tiba. Kembali aku yakin, betapa skenario perjalanan hidup telah diatur Sang Maha Khalik sedemikian rupa. Allahu Akbar!

Bersambung…
close