Semboja Kedhung Jati (Part 12)
JEJAKMISTERI - "Kau...! Bebaskan sukma ibuku! Atau akan ku obrak abrik istanamu ini!" Ningrum maju beberapa langkah, mendekat ke arah perempuan siluman.
"Hihihi...! Kau, anak kemaren sore bisa apa hah?!" perempuan siluman itu terkekeh mendengar ancaman yang dilontarkan oleh Ningrum.
"Kau ingin melihat apa yang bisa kulakukan?" Ningrum menyingsingkan lengan gaunnya, kedua tangannya terkepal siap menyerang si perempuan siluman.
"Coba saja kalau kau ingin...."
"Grooaaarrr....!" Kyai Jambrong kembali menggeram dahsyat, membuat kedua perempuan yang sudah siap saling menyerang itu mundur beberapa tindak. "Cukup! Jangan ada keributan lagi! Kalian tidak menganggap kehadiranku disini hah?!"
Dinding dinding istana itu bergetar, memantulkan suara Kyai Jambrong yang begitu keras. Ningrum menunduk. Si perempuan siluman merungut. Dan aku hanya bisa bengong menyaksikan kejadian itu. Entah apa jadinya kalau tadi Ningrum benar benar nekat menyerang siluman itu. Kemampuan gadis itu jelas jelas jauh berada dibawah kemapuan si perempuan siluman.
"Kau Kedhasih, benar apa yang dikatakan oleh gadis itu. Perempuan yang kau pasung itu, dia sama sekali tak tahu menahu soal perjanjianmu dengan si dukun yang dulu menjebaknya. Jadi bebaskan saja dia."
"Tidak semudah itu Jambrong! Perjanjian yang telah dibuat, tidak serta merta bisa bisa dibatalkan begitu saja, kecuali oleh si pembuat perjanjian. Dalam hal ini si dukun itu. Jadi kalau gadis itu ingin memutuskan perjanjian ini, dia harus menemui dukun itu dan memintanya untuk memutuskan perjanjian itu. Dan itu mustahil. Karena gadis itu sudah mati. Itu berarti sukma perempuan tua itu memang selamanya akan menjadi budakku hahaha.....!"
"Kau lupa kalau aku berada disini Kedhasih?" geram Kyai Jambrong.
"Kau mau mengurusi hal sepele seperti ini? Sangat memalukan Jambrong, kalau kau sampai mempertaruhkan..."
"Bukan aku Kedhasih, tapi dia!" Kyai Jambrong menoleh ke arahku, membuatku melengak seketika.
"Aku?!" tanpa sadar aku menggumam.
"Jangan setengah setengah kalau mau menolong orang," desisi Kyai Jambrong, lalu kembali menatap ke arah si perempuan siluman. "Momonganku ini yang akan menyelesaikan semuanya. Kurasa kalau hanya sekedar mengintimidasi seorang dukun tua dia cukup bisa diandalkan."
"Hahaha...! Tak kusangka kau begitu membanggakan anak ingusan itu Jambrong. Baiklah, kuberi kau tantangan anak muda. Kalau kau berhasil memaksa dukun itu memutuskan perjanjian, maka akan kubebaskan perempuan tua itu. Tapi kalau gagal, bukan hanya perempuan tua itu yang akan menjadi budakku untuk selamanya, tapi juga sukma gadis ini, dan kamu juga kemungkinan akan ikut celaka. Dukun itu akan mati jika nekat memutuskan perjanjian, jadi jangan harap kau akan mudah untuk memaksanya."
"Jadi, urusan kita sudah selesai disini. Kau, naiklah kembali ke punggungku. Kita pulang sekarang. Dan kau Ningrum, urusanmu juga sudah selesai. Kau sudah bertemu dengan ibumu. Jadi sekarang, kembalilah ke tempat dimana seharusnya kau berada." kata Kyai Jambrong. Akupun segera naik ke punggung harimau itu, sedang Ningrum, nampaknya masih sedikit ragu. Bukannya pergi, gadis itu justru ikut naik ke punggung Kyai Jambrong.
"Aku tak akan pergi tanpa ibu. Jadi selama ibu belum bebas dan bisa pergi bersama sama denganku, aku akan terus mengikuti laki laki ini!" tegas Ningrum.
"Dasar keras kepala!" dengus Kyai Jambrong. "Kedhasih! Aku pamit. Dan ingat, urusan di dunia manusia, biar diselesaikan oleh manusia yang masih hidup. Jika sampai kau berani ikut campur, apalagi membantu dukun itu, maka aku juga akan ikut turun tangan! Camkan itu baik baik!"
Selesai mengucapkan kata kata itu, Kyai Jambrong segera melesat meninggalkan istana perempuan siluman itu. Gerakan yang begitu cepat dan dilakukan dengan tiba tiba, sampai nyaris membuatku terjengkang kebelakang. Beruntung aku segera menyambar pinggang Ningrum dan menjadikannya pegangan. Sedang Ningrum yang duduk di hadapanku juga buru buru mencengkeram leher harimau jadi jadian itu.
Sama seperti saat datang tadi, kali inipun aku memejamkan kedua mataku, dan merasakan tubuhku melayang dengan sangat cepatnya, lalu jatuh mendarat entah dimana.
"Buka matamu! Kita sudah sampai!" kudengar Kyai Jambrong berbisik.
Pelan pelan akupun membuka mataku. Hal pertama yang aku sadari adalah, aku sedang duduk diatas kursi, dengan sebelah tangan menggenggam jemari tangan Ningrum, dan sebelah tanganku menempel di dahi Bu Nengsih yang terbaring tak berdaya diatas ranjang.
"Gimana Mas?" kudengar suara Slamet dari arah sebelah kiriku. Akupun segera menoleh ke arah asal suara itu. Nampak di sudut ruangan kamar Slamet berdiri sambil memeluk Ambar yang masih terlihat ketakutan, menyembunyikan wajah pucatnya di dada Slamet. Wah, dapat rejeki nomplok nih si Slamet, batinku.
"Gimana apanya Met?" tanyaku, masih belum mengerti arah pertanyaannya
"Ya keadaan Bu Nengsih itu lho! Udah nggak kesurupan lagi kan?" Slamet membujuk Ambar agar melepaskan pelukannya, lalu mendekat ke arahku.
"Kesurupan?" kembali aku bertanya heran. Entah apa yang dialami Slamet saat kutinggal berkelana ke alam gaib tadi.
"Sampeyan ini gimana to? Kan tadi Bu Nengsih kesurupan dan mengamuk, sampai kamar jadi berantakan begini. Beruntung sampeyan bisa menenangkannya. Sekarang gimana? Sudah nggak kesurupan lagi kan?" sedikit takut Slamet melirik ke arah Bu Nengsih yang kini terbaring diam dengan mata nyalang menatap langit langit kamar. Posisi yang sama dengan saat kami baru datang tadi.
"Oh, jadi seperti itu ya," gumamku pelan. Dari ucapan Slamet barusan aku bisa sedikit menduga dan meraba apa yang sebenarnya terjadi di kamar ini barusan. "Bu Nengsih sudah ndak papa Met, cuma..."
"Cuma kenapa Mas?" Ambar ikut mendekat dan bertanya.
"Emmm, anu Mbar, ibumu ini, kodisinya sudah sangat lemah. Dan..."
"Mas, aku mohon, tolong bantulah ibuku. Aku sudah nggak sanggup lagi menyaksikan ibu terus terusan menderita seperti ini," ujar Ambar dengan mata berkaca kaca. Jelas terlihat kalau gadis ini sudah nyaris putus asa.
"Insya Allah Mbar, aku akan berusaha semampuku. Tapi sebelumnya, ada yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kamu sudah benar benar bisa ikhlas kalau seandainya ada hal yang buruk yang menimpa ibumu?"
Ambar menunduk mendengar pertanyaanku itu. Aku tau, dan aku bisa memahami apa yang dirasakan oleh gadis itu. Sebuah dilema, dua pilihan yang sama sama sulit. Ibarat pepatah bagai makan buah simalakama. Jika menjawab iya, itu berarti ia akan mendapati kenyataan yang mungkin saja buruk. Tapi kalau menjawab tidak, itu berarti selamanya ia akan melihat sang ibu berada dalam keadaan yang sangat mengenaskan itu.
"Kita semua berharap yang terbaik disini Mbar. Tapi kita hanya bisa berusaha. Soal hasilnya nanti seperti apa, Dia juga yang menentukan. Jadi keputusan sekarang ada ditanganmu." ujarku pelan.
"Insya Allah aku siap Mas," jawab Ambar pelan, nyaris tak terdengar. "Benar katamu, kita hanya bisa berusaha, Tuhan juga yang menentukan hasilnya. San lebih baik kita berusaha meski harus menanggung resiko, daripada harus diam saja tanpa berusaha."
"Baiklah kalau begitu. Met, bisa tolong kau bantu Ambar untuk mengumpulkan beberapa tetangga disekitar sini?" ujarku pada Slamet.
"Untuk apa Mas?" tanya Slamet heran.
"Untuk membaca doa. Syukur syukur kalau bisa panggil ustad atau kyai yang bisa memimpin pembacaan Yassin untuk Bu Nengsih." jawabku.
"Biar kusuruh Mbok Darmi saja Mas, kebetulan suaminya guru ngaji disini. Mboookkk...!!!" Ambar segera memanggil pembantu setianya itu. Mbok Darmi datang dengan tergopoh gopoh. Ambar segera menceritakan apa yang kukatakan tadi kepada perempuan tua itu, yang segera kembali turun ke lantai bawah sambil menelepon suaminya.
"Sudah Mas, habis maghrib nanti suami Mbok Darmi akan datang mengajak beberapa orang warga," ujar Ambar.
"Alhamdulillah kalau begitu. Kamu nggak papa kan kalau kami tinggal sebentar?" tanyaku lagi.
"Lho, sampeyan mau kemana Mas?" heran Ambar balik bertanya.
"Menemui seseorang yang menjadi sumber dari semua masalah yang dihadapi ibumu ini. Nggak lama kok, paling..." sejenak aku melihat arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah hampir maghrib. "Paling sebelum tengah malam aku sudah kembali. Ini, simpan nomor ponselku. Apapun yang terjadi nanti disini, sebisa mungkin kabarkan kepadaku."
"Baiklah Mas," Ambar segera mencatat nomorku di ponselnya. "Sampeyan hati hati ya, kalau ada apa apa juga tolong kabari aku."
"Ya. Kalau begitu aku pamit ya. Jaga ibumu baik baik, dan jangan lupa untuk terus berdoa. Dan kau Met, kau ikut aku." ujarku.
"Aku juga ikut," Ningrum tak mau ketinggalan. "Aku ingin melihat seperti apa tampang dukun sialan itu."
"Terserah kamu sajalah!" jawabku.
"Kita mau kemana Mas?" tanya Slamet saat kami telah berjalan menuruni tangga.
"Kita jalan jalan sebentar, sambil bersenang senang. Kau masih ingat kan caranya nggebukin orang?" jawabku asal.
"Wah, kalau soal itu serahkan saja padaku Mas. Kebetulan sudah lama tanganku ini ndak makan korban."
Senja menjelang. Rona jingga di ufuk barat mengiringi perjalanan kami ke arah timur, tempat dimana desa tempat tinggal dukun itu berada.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya