Semboja Kedhung Jati (Part 13)
JEJAKMISTERI - "Bener ini rumahnya Mas?" tanya Slamet setengah berbisik, saat aku membelokkan motor tua Slamet ke halaman rumah besar dengan plang bertuliskan 'KLINIK PENGOBATAN ALTERNATIF KI JANTUR' itu. Sepanjang perjalanan tadi secara singkat aku telah menceritakan kepada Slamet, apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Bu Nengsih, serta tujuanku mengajaknya ke tempat ini.
"Kata Ningrum sih begitu Met," jawabku setelah menoleh ke arah Ningrum dan gadis itu mengangguk mengiyakan.
"Sampeyan juga yakin kalau orang itu ndak berbahaya Mas?" tanya Slamet lagi.
"Kenapa? Kamu takut Met?" aku balik bertanya.
"Bukannya gitu Mas, tapi yang namanya dukun kan..."
"Halah! Dukun juga manusia Met, sama seperti kita. Kenapa harus takut? Ingat kata pepatah Met, berani karena benar, takut karena salah. Dan kita saat ini berada di pihak yang benar." ujarku sengaja mengompori.
"Bukan masalah benar atau salah Mas, tapi yang namanya dukun kan biasanya punya 'piaraan'. Nah, piaraannya itu yang berbahaya Mas."
"Sudah, soal piaraannya serahkan saja padaku. Kamu cukup urus dukunnya saja!" tukasku cepat, karena sekilas aku melihat pintu rumah itu pelan pelan terbuka, lalu disusul dengan kemunculan seorang perempuan muda berkerudung putih.
"Weh, itu dukunnya Mas? Cantik banget Mas," bisik Slamet.
"Hush! Ngawur kamu! Sudah jelas disitu tertulis namanya Ki Jantur! Berarti dukunnya laki laki Met!"
"Lha terus itu?"
"Mungkin itu piaraannya Met."
"Edan sampeyan Mas. Cantik cantik gitu kok dibilang piaraan dukun."
"Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya perempuan itu ramah.
"Mau konsultasi dengan Ki Jantur Mbak, bisa kan?" jawabku asal.
"Oh, iya. Bisa Mas. Kebetulan kami buka praktek duapuluhempat jam. Mari, silahkan masuk," ujar perempuan itu mempersilahkan. Kamipun mengikuti langkah perempuan itu, memasuki rumah besar yang terlihat lumayan megah itu. Ruang tamu rumah itu lumayan luas, dengan perabotan yang juga terkesan mewah. Seperangkat meja dan sofa tersusun rapi di tengah tengah, tempat dimana seorang laki laki muda berbaju koko dan berkopiah putih tengah duduk menunggu kedatangan kami. Ah, pantas saja. Penampilannya sok alim gitu, tak heran kalau orang sekelas Bu Nengsihpun bisa tertipu.
"Silahkan Mas, ada yang bisa saya bantu?" sambutan laki laki itu tak kalah ramah dengan perempuan yang menyambut kami di teras tadi. Luar biasa! Selain penampilan, cara bicaranyapun benar benar sangat meyakinkan.
"Ah, iya, perkenalkan, saya Indra, dan ini teman saya Slamet. Kami dari desa Kedhung Jati." sedikit berbasa basi aku memperkenalkan diri.
"Kedhung Jati ya? Lumayan jauh juga," gumam laki laki itu. "Lalu, ada perlu apa sampai sampeyan berdua ini jauh jauh datang kemari? Tak perlu sungkan, apapun masalah yang sampeyan hadapi, katakan saja, saya siap membantu. Sudah banyak kok orang orang yang datang kesini dengan membawa berbagai masalah, dan semua bisa saya atasi. Jadi jangan ragu dan bimbang lagi. Semua masalah, pasti ada jalan keluarnya."
Cih! Aku mendecih dalam hati. Belum apa apa sudah keluar sombongnya!
"Jadi begini Ki," aku mulai mengutarakan maksud kedatanganku ke tempat ini. "Sebenarnya kami memang sedikit ada masalah. Salah seorang kerabat kami sedang sakit keras. Sudah berobat kemana mana namun tak kunjung sembuh juga. Lalu atas saran dari seseorang yang bernama...., siapa Met, aku lupa namanya?"
"Nyai Kedhasih Mas," Slamet dengan cepat menanggapi sandiwaraku.
"Ah, iya. Seseorang bernama Nyai Kedhasih menyarankan untuk datang kemari. Katanya hanya Ki Jantur yang bisa menyembuhkan penyakit kerabat kami itu!"
Ningrum yang melihat wajah laki laki itu berubah menjadi pucat pasi begitu nama Nyai Kedhasih kusebut, tak mampu menahan tawanya. Sedangkan aku dan Slamet hanya bisa tersenyum simpul.
"Nyai Kedhasih? Siapa itu Nyai Kedhasih?" laki laki itu bertanya dengan nada yang dibuat setenang mungkin, meski ia tak bisa menyembunyikan wajahmya yang sudah sepucat mayat.
"Halah! Ndak usah pura pura deh Mas! Kami sudah tau semuanya! Jadi saya minta baik baik, tolong sampeyan cabut perjanjian sampeyan dengan siluman bernama Nyai Kedhasih itu. Perjanjian yang berkaitan dengan pasien sampeyan yang bernama Bu Nengsih dari desa Karang*****! Sampeyan masih ingat to?" tegasku.
"Maaf ya Mas. Saya benar benar tak mengerti dengan maksud sampeyan berdua ini. Perjanjian apa? Dan siapa itu Nyai Kedhasih? Mungkin sampeyan salah orang Mas. Saya benar benar tak tahu menahu soal yang sampeyan sebutkan itu. Sampeyan lihat sendiri to, dengan penampilan seperti ini, masa iya saya sampai membuat perjanjian dengan siluman."
"Oalah Mas mas, ndak semua orang bisa sampeyan kelabuhi dengan penampilan sampeyan itu. Semua orang juga bisa pakai baju koko dan kopiah lalu mengaku sebagai orang suci. Tapi kami bukan orang bodoh ya Mas. Jadi lebih baik sampeyan ngaku saja, daripada...."
"Mas! Tolong jaga sikap sampeyan ya," nada bicara laki laki itu mulai meninggi. "Sampeyan tamu disini. Dan saya sudah menyambut sampeyan dengan baik baik. Tapi kalau kedatangan sampeyan kesini cuma mau bikin masalah, lebih baik sampeyan segera pergi dari tempat ini, sebelum...."
"Sebelum apa? Sampeyan mau mengusir kami? Jangan harap Mas. Kami ndak akan pergi sebelum apa yang menjadi tujuan kami kesini terlaksana!"
"Kalian...!!! Bowo...!!! Karno...!!! Usir kedua orang tak tau diuntung ini!" amarah laki laki itupun meledak. Dan dari arah ruang dalam muncul dua orang laki laki berbadan kekar yang segera menghampiri kami.
"Met, bagianmu Met!" kodeku pada Slamet, yang segera bangkit dan menyongsong kedua laki laki barbadan kekar itu.
Tak perlu menunggu lama, ruang tamu itupun berubah menjadi ajang perkelahian. Slamet mengamuk sejadi jadinya. Meski tubuhnya kecil dan kerempeng, namun dalam urusan berkelahi Slamet cukup bisa diandalkan. Suasana menjadi kacau. Meja dan kursi bergelimpangan. Guci guci antik hancur berserakan. Dan teriakan si perempuan cantik yang tadi menemui kami di teras menambah riuh suasana.
Aku sendiri segera mengejar si dukun yang berlari ke ruang belakang, masuk ke sebuah kamar gelap dan berusaha menutup dan mengunci pintunya. Namun terlambat. Dengan sekuat tenaga kulayangkan tendangan ke arah pintu yang sudah nyaris tertutup itu hingga terhempas dan melemparkan si dukun terjengkang ke tengah ruangan, menghantam meja yang penuh dengan beraneka sesajen dan dupa yang masih mengepulkan asap, hingga terhumbalang dan hancur berantakan.
"Kurang ajar!" dukun itu menyambar sebilah keris yang sepertinya tadi menjadi pelengkap sesajen diatas mejanya, lalu ujung keris itu ia tempelkan si dahinya sambil mulutnya komat kamit dan mata terpejam.
"Nyai Kedhasih! Datanglah! Cucumu dalam bahaya!" geram laki laki itu keras.
"Halah! Ndak usah mimpi Mas! Nyai Kedhasihmu itu ndak bakalan mau datang! Sekarang lebih baik sampeyan nyerah saja, dan turuti perintahku. Cabut perjanjian sampeyan dengan Nyai Kedhasih, biar Bu Nengsih bisa pergi dengan tenang!" ujarku santai.
"Kau! Manusia haram jadah! Siapa kau sebenarnya hah?!" kini dukun itu mengacungkan kerisnya ke arahku. Akupun menahan langkahku untuk mendekat ke arahnya. Bisa berabe urusannya kalau sampai laki laki itu gelap mata dan menyerangku.
"Aku cuma orang biasa Mas, yang ndak suka dengan cara sampeyan mencari rezeki. Apa sampeyan ndak sadar, sudah berapa banyak orang yang menjadi korban tipu muslihat sampeyan? Secara lahir sampeyan membantu mereka, tapi kenyataannya sampeyan justru menjerumuskan dan menyengsarakan mereka. Sampeyan sadar to, seperti apa sengsaranya orang orang yang sudah sampeyan jadikan tumbal itu? Eling Mas, semua perbuatan itu ada balasannya. Dan sampeyan..."
"Halah! Banyak bacot!" tanpa kuduga, laki laki itu sengan cepat menerjang ke arahku, dengan bilah keris ditangannya tepat mengarah ke dadaku. "Anak kemarin sore berani menceramahiku. Lebih baik kau juga kujadikan tumbal buat Nyai Kedhasih!"
Dengan bertubi tubi laki laki itu menyerangku, sambil mulutnya tak henti hentinya mengucapkan sumpah serapah. Aku hanya bisa berkelit dan menghindar, karena memang aku sama sekali tak ahli dalam berkelahi. Nyaris saja beberapa kali ujung keris itu mengenaiku. Ruangan sempit dan gelap itupun semakin porak poranda akibat amukan si dukun.
Hingga akhirnya, aku mendapat kesempatan juga untuh balas menyerang. Saat laki laki itu sedikit lengah, dengan sekuat tenaga aku menyeruduk tubuh laki laki itu, hingga kami jatuh bergulingan dilantai. Pergulatan serupun terjadi diatas lantai yang gelap dan dingin itu, saling memagut, meremas, dan mendesah....., eh, salah ding, maksudnya saling memukul, menjambak, dan mencakar, hingga pada akhirnya aku berhasil mengunci tangannya yang sedang memegang keris dan memelintirnya kebelakang. Kududuki tubuh laki laki itu dalam posisi tertelungkup, sedang sebelah tanganku lagi kugunakan untuk menjambak rambutnya.
"Diam! Atau kupatahkan batang lehermu!" ancamku.
"Hahaha....! Lakukan saja! Kau pikir aku takut hah?! Meski kaubunuh aku sekalipun, perjanjian itu tak akan pernah kubatalkan! Kau tau anak muda? Jika kubatalkan perjanjian itu, maka aku juga akan mati! Jadi apa bedanya? Lebih baik aku mati dengan membawa tumbal sebanyak banyaknya! Hahaha...! Orang orang itu, yang pernah menjadi korbanku, mereka juga akan sengsara selamanya jika kau berani membunuhku!"
"Sial!" kesal, dengan sekuat tenaga kuhentakkan kepala laki laki itu kelantai, hingga laki laki itu kehilangan kesadarannya. Kalau begini caranya, bisa gagal semua rencanaku. Dukun sialan ini sepertinya memang benar benar keras kepala. Sekarang bagaimana caranya aku memutuskan perjanjian itu? Andai saja tadi di alam gaib aku sempat menanyakannya kepada Nyai Kedhasih! Tapi belum tentu juga siluman perempuan itu mau memberitahu. Kyai Jambrong? Ia dan siluman itu juga sudah sepakat untuk tidak saling ikut campur. Jadi mustahil kuharapkan bantuannya.
"Arrrgghhhhh...!!!" kesal kuacak acak rambut di kepalaku, sambil terus berpikir keras. Ah iya, Ningrum, mungkin gadis itu.....
"Aku juga tak tahu caranya," bisikan Ningrum kudengar jelas, bersamaan dengan kemunculan sosoknya di hadapanku. "Tapi sepertinya perempuan itu tahu."
"Perempuan? Perempuan yang mana?" tanyaku.
"Perempuan berkerudung tadi, istri dari dukun itu!" bisik Ningrum lagi.
"Ah, iya, kenapa aku nggak kepikiran sih!" segera aku bangkit dan kembali ke ruang tamu, setelah terlebih dahulu memastikan bahwa dukun itu benar benar telah pingsan.
Ruang tamu itu telah benar benar berantakan kini. Slamet nampak berdiri menyandar pada tembok dengan wajah babak belur dan nafas kembang kempis. Sementara kedua lawannya, sepertinya keadaannya lebih parah lagi. Keduanya tergeletak tak bergerak di tengah tengah ruangan. Segera kuhampiri si perempuan berkerudung yang kini tengah meringkuk di sudut ruangan sambil menangis terisak isak itu.
"Mbak, jangan takut," pelan kusentuh bahu perempuan itu. "Kami tak bermaksud jahat, percayalah. Aku dan temanku ini hanya berusaha untuk menyadarkan suamimu yang telah jauh tersesat. Ayo, berdirilah, semua sudah selesai. Semua baik baik saja Mbak. Tapi aku butuh bantuanmu sedikit saja. Kau mau membantuku kan? Semua ini juga demi kebaikan suamimu Mbak."
Pelan perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatapku lekat lekat. Aku mengangguk dan tersenyum, lalu kuulurkan tanganku, berusaha untuk membantunya berdiri. Sedikit ragu perempuan itu menyambut uluran tanganku.
"Siapa namamu?" tanyaku begitu perempuan itu telah berdiri.
"Selasih," perempuan itu menjawab dengan setengah menggumam.
"Jadi mbak Selasih, maukah engkau membantuku?" tanyaku lagi.
"Eh, a...apa yang bi..sa kubantu?" jawabnya terbata.
"Kau tau soal ritual ritual yang sering dilakukan oleh suamimu?"
Selasih mengangguk ragu. "Ada di kitab itu!"
"Kitab? Kitab apa?"
"Ikut aku." perempuan itu melangkah pelan masuk ke ruang dalam. Akupun mengikutinya, setelah sebelumnya membantu Slamet yang sudah babak belur itu untuk berdiri.
"Ini," perempuan itu mengeluarkan sebuah kitab yang terlihat susah sangat usang dari dalam lemari, lalu menyerahkannya padaku. "Semua ilmu, tata cara, serta perlengkapan rirual ritual yang sering dilakukan oleh suamiku, semua tertulis di kitab itu."
Segera kubuka dan kutelusuri lembar demi lembar isi kitab yang itu. Dahiku mengernyit saat menyadari bahwa seluruh isi kitab itu ditulis dengan menggunakan aksara jawa. Meski agak kesulitan, akhirnya kutemukan juga halaman yang kucari. Sebuah halaman yang berisi catatan tata cara rirual untuk mengobati perempaun yang mandul dan persyaratannya.
"Mbak bisa tolong sediakan semua persyaratan yang tertulis di halaman ini?" pintaku sopan.
Lagi lagi perempuan itu hanya mengangguk, lalu bergegas masuk ke ruangan dapur. Tak lama ia kembali dengan membawa sebuah bokor yang berisi aneka sesajen yang aku butuhkan.
Bokor itu lalu kubawa kedalam ruangan gelap tempat si dukun biasa melakukan ritualnya. Sekali lagi kubaca catatan didalam kitab itu, sebelum aku memulai ritual aneh ini.
"Sampeyan yakin ini akan berhasil Mas?" tanya Slamet.
"Kita coba dulu Met," jawabku setengah tak yakin, sebelum memulai ritual aneh ini.
Apakah ritual yang kulakukan ini akan berhasil? Kita tunggu di part selanjutnya gansist.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya