Semboja Kedhung Jati (Part 14)
JEJAKMISTERI - "Sampeyan yakin ini akan berhasil Mas?" tanya Slamet.
"Kita coba saja dulu Met, kita ikuti saja semua petunjuk di dalam kitab ini," jawabku sambil mempersiapkan sesajen yang tadi diberikan oleh Selasih.
"Tunggu," Selasih menyela sambil mendekatiku. "Biar saya saja yang melakukannya!"
"Eh...?" aku dan Slamet sama sama melengak dan menatap ke arah perempuan itu.
"Melakukan sebuah ritual tidak bisa asal begitu saja. Butuh persiapan. Ada lelaku yang sebelumnya harus dilakukan. Dan kalian, saya yakin kalian belum melakukannya. Jadi, biar aku saja yang melakukan ritual itu!" ujar perempuan itu lagi.
"Jangan percaya Mas," bisik Slamet kepadaku. "Meski apa yang ia katakan itu mungkin benar, tapi dia tetaplah istri dari dukun itu. Mustahil kalau dia mau mencelakakan suaminya sendiri. Bisa bisa malah kita nanti yang dibikin celaka sama dia."
"Terserah kalian! Kalian boleh saja tak mempercayaiku, dan melakukan ritual itu sendiri. Tapi perlu kalian ingat, sebagai istrinya, aku tau lebih banyak soal suamiku itu daripada kalian. Dan yang lebih penting lagi, ritual ini hanya bisa dilakukan sekali saja. Kalau sampai gagal, tak akan bisa diulang lagi." kata perempuan itu lagi, dengan nada datar.
"Bagaimana Met?" bisikku, meminta pertimbangan kepada Slamet.
"Masih meragukan Mas, aku curiga perempuan ini justru sedang berusaha untuk menjebak kita," jawab Slamet, juga sambil berbisik.
"Tapi kalau apa yang dia katakan itu ternyata benar, akan sia sia saja usaha kita malam ini," bisikku lagi.
"Iya juga ya," Slamet nampak ragu, lalu menoleh kearah perempuan itu. "Coba beri kami alasan, kenapa aku harus mempercayaimu, dan kenapa kau berniat untuk membantu kami?" tanya Slamet.
"Nanti kalian akan tahu, kalau ritual yang kulakukan itu sudah selesai," jawab Selasih.
"Itu bukan sebuah alasan!" dengus Slamet.
"Itu terserah kalian. Aku juga tak memaksa, hanya mencoba membantu. Kalau kalian keberatan, silahkan lakukan ritualnya sendiri. Tapi..."
"Aku percaya padamu," selaku, sambil menyerahkan bokor ditanganku kepada perempuan itu. "Tolong, bantu kami."
"Mas...!" Slamet mencoba mencegah tindakanku, tapi aku menggeleng ke arahnya.
"Sudahlah Met, percaya saja kepadanya," ujarku.
"Yach, terserah sampeyan saja lah. Tapi ingat ya Mbak, kalau sampeyan coba coba menipu kami, sampeyan akan tau akibatnya."
"Ya," perempuan itu tersenyum lembut. "Aku perempuan, dan sendirian. Sedang kalian laki laki dan berdua. Tak ada alasan bagiku untuk berbuat macam macam. Tolong bantu membereskan meja beserta peralatan yang berantakan ini."
Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku dan Slametpun mengikuti perintah perempuan itu. Meja pendek beserta segala macam isinya yang berantakan akibat perkelahianku dengan si dukun itu kami bereskan kembali. Selasih lalu duduk menhadap meja itu, memilah milah benda benda aneh yang berserak diatas meja, dan menyalakan dupa. Suasana kamar yang gelap berubah menjadi remang remang. Bau asap kemenyan menguar memenuhi ruangan sempit itu.
"Mas, sampeyan tolong bantu aku ya, lakukan apa yang nanti saya minta. Dan sampeyan Mas Slamet, tolong jaga suami saya. Jangan sampai saat siuman nanti dia sampai mengganggu ritual yang kita lakukan ini. Apapun yang terjadi, ritual ini harus kita selesaikan sampai akhir. Jika terjadi hal hal yang menurut kalian diluar nalar, abaikan saja. Jangan sekalipun merasa takut!" tegas Selasih.
Aku mengangguk, lalu duduk dihadapan perempuan itu, dibatasi oleh meja pendek yang penuh dengan benda benda aneh dihadapan kami. Sedang Slamet, ia segera bersiaga disamping si dukun yang masih tergeletak pingsan itu.
Perempuan itu lalu komat kamit sambil memejamkan matanya. Sesekali tangannya menambahkan kemenyan dan entah apa, aku tak tahu pasti. Asap semakin tebal membumbung memenuhi ruangan itu. Selasih semakin cepat menggumamkan kata kata yang tak jelas, sambil sesekali meyuruhku melakukan ini dan itu. Aku hanya mengikuti segala perintahnya. Sampai pada suatu ketika, kudengar suara mengerang dari si dukun yang sepertinya mulai sadar.
"Arrgghhh...! Apa yang...., kau! Selasih, apa yang....! Perempuan haram jadah! Beraninya kau...!"
"Bhuaaakk...!!!" kepalan tangan Slamet menghantam keras tengkuk si dukun yang sedang berusaha untuk bangkit dan mendekat ke arah Selasih itu.
"Diam! Jangan berani macam macam!" dengus Slamet keras.
"Kau...!"
"Bhuuaakk...!!!" kembali kepalan tangan Slamet menghajar tengkuk si dukun.
"Sudah kubilang diam!" bentak Slamet.
"Arrggghhh...!!! Se...lasih! Ku..mohon, ja....ngan...! Arrrggghhhh.....!!!" laki laki yang sudah babak belur itu tiba tiba menggelepar gelepar diatas lantai, seiring dengan mantera mantera yang semakin gencar diucapkan oleh Selasih.
"Tidaakkkk...!!! Jangaannn...!!! Se...lasih! Baj*ng*n kau! Arrrggghhh...!!! Panaaaaaasssss....!!!!" laki laki itu menjerit setinggi langit sambil terus menggelepar gelepar diatas lantai. Lewat ekor mataku aku mencuri curi pandang, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan laki laki itu. Dan bulu kudukku merinding seketika, saat menyadari perubahan yang terjadi dengan tubuh laki laki itu.
Pelan namun pasti, kulit si dukun itu mulai menghitam dan berkeriput. Tubuhnya juga mengempis, seolah seluruh daging di dalam tubuhnya menyusut. Kopiah putih yang kini telah terlepas dan terlempar entah kemana, menampakkan rambut si dukun itu yang mulai rontok berguguran. Slamet yang juga menyadari perubahan itu sampai mundur beberapa tindak dan bersandar di dinding kamar.
"Wedhus! Apa apaan ini?" sentak Slamet keras.
"Arrrrggghhhh....!!!" diiringi dengan lolongan panjang, tubuh laki laki itu lalu mengejang, untuk kemudian diam tak bergerak, bersamaan dengan Selasih yang juga telah menyelesaikan ritualnya. Perempuan itu lalu bangkit, meraih cawan berisi cairan kental kemerahan berbau amis di atas meja yang menjadi salah satu pelengkap ritualnya, lalu menghampiri sosok sang suami yang telah tergeletak tak berdaya itu.Dengan sedikit memaksa Selasih lalu menuangkan cairan itu ke mulut sang suami.
"Mas Slamet, bisa tolong nyalakan lampunya?" kata Selasih.
Slamet meraba raba permukaan tembok kamar, mencari posisi sakelar berada, lalu menekannya .
"Klak!" lampu menyala, menerangi jasad si dukun yang masih tergeletak tak berdaya diatas lantai. Aku dan Slamet sampai terpekik kaget melihat kondisi si dukun yang kini tak jauh berbeda dengan kondisi jasad Bu Nengsih yang beberapa waktu lalu kami lihat.
Kurus kering dan penuh dengan keriput, hanya menyisakan tulang berbalut kulit yang menghitam dan berkerut kerut. Nafas yang tersendat sendat menandakan kalau laki laki itu sebenarnya masih hidup, meski dengan kondisi yang sangat mengerikan.
"Wedhus! Apa yang sebenarnya terjadi?" tanpa sadar Slamet kembali mengumpat.
"Itulah wujud asli dari si bandot tua penyembah siluman itu!" Selasih menghela nafas lega. "Ritual yang kita lakukan sepertinya berhasil! Dan dari apa yang kalian lihat sekarang, pasti kalian bisa menebak seperti apa sebenarnya laki laki itu."
Aku dan Slamet hanya bisa saling pandang, tak mengerti arah pembicaraan Selasih.
"Bandot tua ini, umurnya sudah hampir seratus tahun! Hanya karena ia bekerjasama dengan siluman sialan itu saja, maka ia selalu terlihat muda. Ia menyediakan tumbal tumbal untuk siluman mesum itu, agar si siluman bisa menempati raga perempuan perempuan yang dijadikannya tumbal dan mendapatkan kenikmatan dari laki laki yang berhasil digodanya, dengan imbalan sedikit kesaktian, kekayaan, dan umur yang panjang." dengus Selasih sambil menatap jasad sang dukun dengan pandangan jijik.
"Lalu kamu...?" hampir serempak aku dan Slamet bertanya.
"Kalian pikir aku dengan sukarela bersedia menjadi istri keenam laki laki bejat itu? Ibuku salah satu korban dari tipu muslihatnya. Jika aku tak mau diperistri olehnya, maka nasib ibuku juga akan seperti kerabat kalian yang bernama Bu Nengsih itu! Sekarang semua sudah selesai. Kalian boleh pulang. Soal laki laki ini biar aku yang mengurusnya!"
"Mas, coba hubungi Ambar dulu, tanyakan apa yang terjadi dengan Bu Nengsih sekarang," bisik Slamet.
Aku segera mengeluarkan ponselku dan mencari kontak Ambar. Namun belum sempat aku menghubunginya, sebuah pesan masuk dari dari Ambar. Segera kubuka dan kubaca pesan itu yang disertai emoticon berduka itu.
"Mas. Cepat kembali kesini. Ibu sudah ndak ada."
Bersamaan dengan itu, samar juga kudengar bisikan dari Ningrum. "Terimakasih Mas, kini aku sudah bisa pergi dengan tenang bersama ibu. Semua sudah berakhir. Tapi ada yang masih ingin disampaikan oleh ibu kepada Mas Indra. Cepat kembali ke Karang*****! Aku dan ibu menunggumu!"
Kutunjukkan pesan dari Ambar itu kepada Slamet. Anak itu menghela nafas panjang begitu membacanya.
"Jadi, kita pulang sekarang Mas? Bagaimana dengan Selasih? Nggak tega juga kalau kita harus meninggalkannya dengan keadaan yang seperti ini," ujar Slamet.
"Tak usah kalian perdulikan aku. Aku bisa mengurus semuanya. Kalian, cepatlah pergi, sebelum kedua kacung suamiku itu sadar kembali!" ucap Selasih, lebih mirip sebuah perintah daripada sebuah permintaan.
"Bagaimana kalau kita bagi tugas Met, aku tak ke Karang*****, memastikan keadaan disana, dan kamu menemani Selasih disini, sambil...."
"Tak perlu! Kalian pergilah! Kumohon!" tegas Selasih.
"Emmm..., Baiklah kalau begitu, maaf kalau kami sudah banyak merepotkan dan menimbulkan masalah disini. Aku juga berterimakasih kepadamu Selasih. Tanpa kamu mungkin kami tak bisa berbuat apa apa. Kami pamit, nanti setelah semua urusan kami selesai, kami janji akan kembali mengunjungimu kesini!" ujarku, yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh perempuan itu.
Aku dan Slamet lalu pergi meninggalkan rumah si dukun itu, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati kami masing masing. Selasih, entah perempuan seperti apa dia itu, dan apa yang dirasakannya saat ini. Biar bagaimanapun, dukun itu tetaplah suaminya. Dan apa yang baru saja ia lakukan terhadap sang suami, sudah pasti akan menimbulkan bekas luka yang mendalam didalam hatinya.
Ah, mungkin suatu saat aku harus menemuinya kembali. Untuk saat ini urusan dengan Ambar dan Ningrum lebih penting. Ada yang mau disampaikan Bu Nengsih kepadaku sebelum pergi, begitu kata Ningrum tadi, membuatku semakin penasaran. Pelan kuputar tuas gas lebih dalam, hingga motor tua milik Slamet itu melaju lebih kencang, membelah kesunyian malam, meninggalkan desa si dukun sepi dan mencekam.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya