Semboja Kedhung Jati (Part 15 END)
JEJAKMISTERI - Malam telah lewat. Dan dini haripun menjelang, saat kami tiba kembali di desa Karang*****. Kulihat rumah Bu Nengsih telah ramai. Sepasang bendera merah nampak terpasang di kiri kanan pintu gerbang yang terbuka lebar. Lampu lampu neon besar terpasang di sudut kiri kanan halaman, menerangi beberapa pemuda desa yang sibuk menata kursi.
Di sudut lain halaman, beberapa orang juga nampak duduk bergerombol, meraut beberapa bilah papan dan bambu yang akan dijadikan perlengkapan pemakaman. Di teras rumah, orang orang tua duduk diatas kursi sambil sesekali saling berbisik membahas sesuatu.
Mbok Darmi dengan tergopoh gopoh datang menyambut kedatanganku, lalu membawaku masuk kedalam rumah, dimana jenazah Bu Nengsih tengah disemayamkan. Ambar duduk bersimpuh disamping jasad yang kini terbujur kaku terselimuti kain jarik itu. Ujung kerudung hitam yang ia kenakan menjuntai menutupi kedua bahunya yang nampak turun naik menahan isak tangisnya.
Tanpa meperdulikan tatapan aneh dari beberapa warga yang berkumpul disitu, aku lalu duduk disamping gadis itu. Slamet, entah nyasar kemana anak itu. Sejak masuk ke halaman tadi langsung menghilang ke arah dapur.
Pelan kubuka sedikit kain jatik penutup jenazah itu. Wajah Bu Nengsih terlihat begitu damai kini, sangat jauh berbeda dengan yang kulihat siang tadi. Kututup kembali jenazah itu, lalu dengan khusyu' kupanjatkan doa untuk almarhum.
"Mbar, aku turut berduka ya. Kamu yang sabar. Tabahkan hatimu, dan ikhlaskan kepergian ibumu," bisikku lirih, sambil kuusap bahu gadis itu, berusaha memberi kekuatan kepadanya.
"Iya Mas. Terimakasih. Aku ikhlas, meski ini terasa sangat berat. Mungkin ini memang jalan terbaik buat ibu. Doakan ya Mas, semoga Tuhan mengampuni semua kesalahan ibu, dan memberikan tempat yang layak untuk ibu di alam sana," desah Ambar disela isak tangisnya.
"Amiiinnnn..!!! Insya Allah akan selalu kudoakan Mbar," ujarku pelan.
"Mas Indra jangan pulang dulu ya, tunggu sampai besok. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, juga ada beberapa amanat dari ibu sebelum pergi tadi," sambungnya lagi.
"Iya, aku akan menunggu sampai upacara pemakaman selesai besok."
"Alhamdulillah. Sekali lagi terimakasih banyak ya Mas."
Aku mengangguk, lalu membantu Ambar untuk berdiri dan membawanya agak menjauh dari jasad sang ibu, karena seorang laki laki setengah baya yang sepertinya salah seorang sesepuh di desa itu telah bersiap untuk mengkafani jenasah Bu Nengsih.
Duduk diatas tikar di sudut ruangan sambil bersandar ke tembok, anganku melayang, mengingat kejadian yang baru saja kualami. Semua seolah seperti mimpi. Tanpa sengaja bertemu Ningrum, lalu berkelana ke alam antah berantah bersama Kyai Jambrong, terlibat pertikaian dengan Nyai Kedhasih dan dukun abal abal dari desa sebelah. semua terjadi begitu cepat, dan sulit dinalar dengan akal sehat. Bahkan aku masih belum bisa paham, kenapa tiba tiba aku bisa melihat makhluk halus bernama Ningrum itu.
"Mas, bangun. Jenazah sudah siap mau diberangkatkan tuh, sampeyan ikut ke makam ndak?" Suara Slamet mengejutkanku. Ah, rupanya tanpa sadar aku tertidur bersandar di sudut ruangan. Bergegas aku bangkit dan keluar.
Benar saja, peti mati berwarna putih itu telah siap dipikul oleh beberapa laki laki di halaman. Akupun menyibak kerumunan dan ikut ambil bagian memikul peti mati itu. Iring iringan pengantar jenazah lalu berjalan pelan menuju ke pemakaman desa yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah Ambar.
Upacara pemakaman berjalan lancar dan khidmat. Untuk kesekian kalinya aku memanjatkan doa untuk almarhumah, lalu menabur bunga setaman diatas tempat peristirahatan Bu Nengsih. Satu persatu para pelayat mulai beranjak pulang, tinggal menyisakan beberapa orang yang masih punya hubungan dekat dengan keluarga Ambar.
Tengah asyik aku memanjatkan doa, tiba tiba kurasakan sentuhan hangat di punggungku, seolah sedang ada yang memelukku dari belakang, disusul dengan aroma lembut wangi bunga semboja yang menelusup ke indera penciumanku.
"Mas Indra, terimakasih banyak ya atas semua bantuanmu! Kini aku bisa pergi dengan tenang bersama ibu! Aku tak bisa membalas semua kebaikanmu ini! Tapi aku janji, semua jasa jasamu, tak akan pernah kulupakan! Titip Ambar adikku ya Mas! Tolong sesekali kunjungi dia! Kasihan! Dia tak punya siapa siapa lagi sekarang!"
"Ningrum?" aku menoleh kebelakang. Namun tak kudapati sosok gadis itu. Hanya suaranya yang kudengar sayup sayup, seolah bergerak semakin menjauh. "Jadi semuanya sudah selesai ya? Bagaimana dengan jasadmu yang masih terkubur di dasar sungai? Juga pacarmu dan keluarganya yang ternyata telah membunuhmu itu?"
"Itu sudah bukan urusanku lagi Mas! Urusanku di dunia benar benar telah selesai! Sudah saatnya aku pergi. Jasadku, biarkan saja disungai itu! Mas boleh sesekali mengunjunginya, ya itung itung menziarahi dan mendoakanku, kalau Mas nggak keberatan. Dan soal pacarku dan keluarganya, biarlah itu pihak yang berwenang yang mengurusnya. Aku yakin Mas, sepandai pandainya orang menyimpan bangkai, suatu saat akan tercium juga busuknya. Sudah ya Mas, aku pamit! Sekali lagi terimakasih banyak! Aku senang bisa sempat mengenalmu Mas, meski cuma sesaat!"
"Selamat jalan Ningrum! Semoga kau bahagia dialam sana!" bisikku lirih. Tak ada sahutan lagi dari Ningrum. Hanya desir angin yang membawa aroma wangi kembang semboja yang terdengar, berkesiur menerpa wajahku. Sekuntum kembang semboja yang tumbuh di dekat makam Bu Nengsih,terlepas dari tangkainya, melayang terbawa angin didepan wajahku. Tanpa sadar tanganku terulur menangkap kuntum kembang itu sebelum jatuh luruh ketanah. Kuhirup aroma wanginya, dan aku merasakan kehadiran Ningrum didalam hatiku.
***
Siang harinya, selesai upacara pemakaman, sesuai dengan permintaan Ambar aku ikut kembali ke rumah Ambar. Ada beberapa hal yang masih harus ia sampaikan padaku katanya.
Ditemani oleh beberapa kerabat dekatnya, juga suami dari Mbok Darmi, kami duduk diatas tikar yang digelar di ruang tengah. Setelah berbasa basi sebentar, Ambarpun mengutarakn semua wasiat dari sang ibu untukku.
Tak banyak sebenarnya. Hanya sekedar ucapan terimakasih atas semua usaha yang telah kulakukan. Juga sebuah amplop coklat tebal yang mau tak mau harus kuterima, karena mereka memaksaku untul menerimanya.
"Ini bukan apa apa Nak Indra, hanya sekedarnya, anggap saja sebagai tanda ucapan terimakasih dari kami. Lagipula ini wasiat dari orang yang telah meninggal. Sebuah wasiat sebisa mungkin harus ditunaikan kan?" salah seorang laki laki yang ternyata masih saudara jauh Bu Nengsihenyelipkan amplop itu ke tanganku.
"Dan satu lagi Mas," Ambar menyela. "Ibu juga berpesan..., ah, bagaimana ya? Tak enak aku untuk mengatakannya Mas! Tapi..." Ambar menoleh ke arah suami Mbok Darmi. "Sampeyan saja yang ngomong Pak, kan sampeyan juga mendengar saat ibu mengatakan hal itu."
Pak Darmo, suami dari Mbok Darmi itu nampak gugup. Ia menatapku dan Ambar secara bergantian, lalu menatap ke arah laki laki saudara Bu Nengsih itu.
"Katakan saja Pak. Biar bagaimanapun itu adalah sebuah wasiat dari orang yang sudah meninggal. Soal bagaimana nanti tanggapan Nak Indra, itu hak dia untuk menentukan," saudara dari Bu Nengsih itu ikut menimpali.
"Emmm..., anu, sebenarnya begini Mas Indra, dan juga semuanya yang hadir disini. Tadi sebelum meninggal, Almarhumah sempat berpesan untuk ..., emmm, intinya, Bu Nengsih bermaksud menitipkan Non Ambar kepada Mas Indra, mengingat kini Non Ambar sudah dewasa, dan Bu Nengsih dan Non Ningrum juga sudah ndak ada, jadi Bu Nengsih berharap ada orang yang bisa mendampingi Non Ambar sepeninggal beliau. Orang yang bisa membimbing dan mendampingi Non Ambar. Dan menurut Bu Nengsih Mas Indralah adalah orang yang tepat. Begitu kurang lebih pesan Almarhumah semalam," jelas Pak Darmo.
Sedikit kaget aku mendengar ucapan Pak Darmo tersebut. Sedang Ambar hanya menunduk menahan malu.
"Nah, bagaimana Ambar, ibumu berpesan seperti itu?" tanya saudara Bu Nengsih.
"Saya..., saya ngikut aja Pakdhe gimana baiknya," jawab Ambar pelan, nyaris tak terdengar.
"Nak Indra sendiri, bagaimana?" saudara Bu Nengsih beralih menatapku.
"Emmm..., maaf, maksudnya menitipkan itu gimana ya Pak? Saya masih kurang begitu paham," jawabku jujur.
"Lah, sampeyan ini gimana to? Masa belum paham," saudara Bu Nengsih menahan senyum. "Jelasnya begini Nak, Ambar kan perempuan, sudah dewasa juga. Dan menurutku juga parasnya nggak jelek jelek amat. Sudah waktunya Ambar untuk mempunyai pendamping hidup. Sedang Nak Indra sendiri..."
"Waduh, mohon maaf sebelumnya Pak, bukannya saya menolak niat baik bapak dan keluarga, tapi..."
"Tapi kenapa Nak? Apa Ambar kurang menarik?"
"Bukan begitu pak, tapi...."
"Dia udah punya istri dan anak satu Pak!" Slamet tiba tiba nyeletuk, membuat laki laki saudara Bu Nengsih itu menepuk jidat seketika.
"Oalaaahhh...!!! Maaf kalau begitu Nak Indra. Saya benar benar tidak tahu. Saya kira masih bujangan. Kalau Nak Slamet sendiri gimana?" kata laki laki itu lagi.
"Saya Pak? Kenapa dengan saya?" tanya Slamet tak mengerti.
"Apa Nak Slamet juga sudah berkeluarga?"
"Nah, kalau teman saya ini masih bujangan Pak," selaku bersemangat, membalas kelancangan Slamet tadi. "Dan sudah waktunya juga punya pendamping hidup. Sepertinya cocok kalau...."
"Eh, nggak! Nggak! Aku ndak mau! Jangan libatkan aku dalam masalah lagi Mas! Cukup sampeyan saja yang punya istri galak! Aku ndak mau ikut ikutan!" sergah Slamet cepat, membuat kami semua tertawa serempak.
"Hahaha, keponakan saya ini memang nampaknya sedikit galak Nak Slamet. Tapi sebenarnya dia baik kok. Tapi kalau Nak Slamet nggak mau juga kami nggak memaksa." ujar si laki laki saudara Bu Nengsih itu.
"Bukan nggak mau Pak! Tapi saya merasa belum siap! Mohon maaf, saya sama sekali belum ada niat untuk berkeluarga," Slamet meralat ucapannya.
"Wah, sayang sekali ya, padahal Ambar butuh seorang pendamping, untuk membangun kembali bisnis warisan keluarganya yang belakangan ini agak berantakan," ujar laki laki itu.
"Begini saja Pak, dan juga kamu Ambar. Saya nggak bisa janji, tapi akan saya usahakan untuk sesekali main kesini, biar tali silaturahmi masih tetwp bisa terjalin. Ya anggap saja sekarang kita saudara Mbar! Jadi kalau kamu perlu sesuatu, jangan segan segan lagi untuk menghubungiku. Kau sudah menyimpan nomorku kan? Lagipula desa tempat tinggalku juga tak begitu jauh dari sini," ujarku mencoba memberi jalan tengah.
"Wah, usul yang bagus itu Nak Indra. Saya setuju. Bagaimana Mbar?" kata si laki laki itu.
"Eh, iya. Saya juga setuju Pakdhe. Dan Mas Indra, terimakasih banyak ya. Kita baru kenal, tapi Mas Indra sudah banyak membantu. Sekali lagi saya ucapkan banyak banyak terimakasih." jawab Ambar sambil masih tetap menunduk.
"Alhamdulillah! Akhirnya semua menemukan jalan keluar. Tinggal kasusnya si Ningrum itu, bagaimana ceritanya Nak Indra?" tanya laki laki itu.
"Soal itu, saya juga tak begitu tau banyak Pak, soalnya Ningrum nggak cerita apa apa soal kematiannya," terpaksa aku sedikit berbohong, mengingat pesan Ningrum pagi tadi di pemakaman. "Lebih baik bapak membuat laporan orang hilang saja ke kepolisian. Tapi tolong, soal pertemuan saya dengan arwah Ningrum jangan diceritakan. Saya nggak mau dianggap sebagai orang yang...."
"Ah, iya. Saya paham. Akan saya pertimbangkan saranmu itu Nak. Tapi kalau suatu saat kami butuh bantuanmu, saya harap Nak Indra masih bersedia membantu kami."
"Insya Allah Pak, selama saya mampu akan saya bantu."
Alhamdulillah! Aku menghela nafas lega. Sepertinya petualanganku bersama keluarga Ningrum selesai sampai disini. Dan aku berharap ini adalah yang terakhir kalinya. Sungguh tak enak menghadapi kasus yang berhubungan dengan hal hal berbau gaib seperti ini, meski aku suka menulis dan membuat cerita yang berhubungan dengan hal hal gaib.
Tapi ada untungnya juga, pengalamanku ini bisa aku jadikan bahan untuk cerita yang akan kutulis di laman ini. Jarang-jarang aku membuat cerita dari pengalaman pribadi seperti ini.
Setelah puas berbasa basi, aku dan Slametpun pamit pulang, dan berjani akan kembali malam nanti untuk mengikuti pengajian di rumah ini. Ambar, dan semua yang masih hadir di rumah itu melepas kepergian kami sambil kembali mengucapkan kata terimakasih.
Sepanjang perjalanan, pikiranku kembali melayang. Masih banyak misteri yang belum bisa aku mengerti. Tentang aku yang tiba tiba bisa melihat penampakan makhluk halus, tentang kehadiran kembali Kyai Jambrong, tentang nasib si dukun beserta istrinya Selasih, dan...., tentang Indri yang minggat dan belum kembali sampai saat ini.
Entahlah, hidup memang tak pernah lepas dari yang namanya masalah. Semua misteri dan masalah yang kujalani ini, biarlah semua terjadi menurut takdirnya sendiri. Aku hanya bisa menjalani. Aku yakin, semua masalah pasti punya jalan keluar, dan setiap misteri suatu saat akan terungkap dengan sendirinya.
Dan saat semua masalah dan misteri itu terungkap, mungkin aku akan kembali dan menceritakannya di sini, di laman ini, Jejak Misteri & Kisah Nyata.
Pelan kulajukan motor tua Slamet meninggalkan desa Karang*****. Dan pelan juga mulai kugores pena untuk mengabadikan kisah ini, dan membagikannya kepada kalian, para reader setiaku.
Sementara aku pamit, dan akan kembali nanti saat aku mendapatkan pengalaman yang baru.
Wasaalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
--=TAMAT=--
*****
Sebelumnya