Semboja Kedhung Jati (Part 11)
JEJAKMISTERI - "Ibu..." pelan pelan Ningrum melorot turun dari punggung Kyai Jambrong, lalu mendekati sukma sang ibu yang sudah tak berdaya itu.
"Ning...rum a...nakku...!" sukma Bu Nengsih mengangkat sebelah tangannya, berusaha menggapai sang anak yang sudah sekian lama ia rindukan itu.
"Ibu..." Ningrum menyambut tangan sang ibu dan menggenggamnya erat erat. Isak tangis mulai terdengar dari kedua sukma manusia yang telah lama tak saling bersua itu.
"Ibu..., maafkan Ningrum Bu. Ningrum salah, Ningrum tak pernah mendengar semua kata kata ibu. Sekarang Ningrum...., Ningrum...!"
"Tidak anakku! Kamu sama sekali tidak bersalah! Ibu yang salah! Semua ini karena ibu, sampai kau pun harus ikut menanggung akibatnya! Maafkan ibu anakku, maafkan ibu...."
"Kyai, boleh aku ikut mendekat kesana?" bisikku pada harimau tungganganku itu. Kyai Jambrong hanya menjawab dengan dengusan kasar. Akupun segera turun dari punggung harimau itu, dan pelan pelan mendekat ke arah sukma Ningrum dan Bu Nengsih.
"Kenapa Bu? Kenapa ibu bisa sampai seperti ini? Apa yang ibu lakukan sampai siluman itu mengurung ibu disini? Apa yang kurang dari kehidupan kita Bu? Kita sudah cukup bahagia dengan semua usaha peninggalan kakek, kenapa ibu masih juga melakukan semua ini?" rentetan pertanyaan meluncur dari bibir Ningrum, membuat isak tangis Bu Nengsih semakin menjadi jadi.
"Ningrum anakku, maafkan ibu Nak, ibu khilaf, ibu gelap mata, ibu...., ah, andai kamu mengerti apa yang ibu rasakan dulu Nak! Dan ibu berharap kamu tak akan pernah merasakannya. Karena itu ibu selama ini tak pernah mengijinkanmu untuk menjalin hubungan dengan laki laki itu."
"Apa maksud ibu? Ningrum sama sekali tak mengerti Bu. Apa hubungannya antara apa yang telah ibu lakukan selama ini dengan hubunganku dengan laki laki itu? Apakah harta yang ibu dapat dengan mengikat perjanjian dengan siluman itu akan lenyap kalau aku menjalin hubungan dengan laki laki? Kalau memang benar seperti itu, betapa sempitnya jalan pikiran ibu, lebih memilih harta daripada kebahagiaanku."
"Justru sebaliknya anakku, semua yang ibu lakukan ini, semua demi kamu Nak. Ah, sepertinya kamu belum mengerti juga. Duduklah, biar ibu jelaskan semuanya. Dan kau anak muda..." Bu Nengsih menatapku sejenak. Aku mendekat ke arah perrmpuan itu.
"Terimakasih, kau telah banyak membantu dan mengantarkan Ningrum sampai kemari. Duduklah, kau juga boleh mendengar apa yang akan kuceritakan ini, agar bisa memetik hikmahnya dan bisa kau jadikan pembelajaran dalam hidupmu."
Akupun segera duduk bersimpuh dihadapan perempuan itu, meski sebenarnya ada rasa tak tega melihat kondisinya yang sangat mengenaskan itu. Entah sudah berapa lama perempuan itu dijadikan ganjal meja batu yang berat itu. Tubuh rentanya sudah nyaris gepeng dengan luka luka yang terus saja mengeluarkan darah hitam kental berbau busuk. Hanya kedua tangan dan kakinya saja yang bisa bebas bergerak, yang sesekali meronta berusaha untuk membebaskan diri.
"Tak usah kaupikirkan tentang kondisiku ini," ujar perempuan itu, seolah tau apa yang sedang kupikirkan. "Dengarkan saja ceritaku baik baik."
Aku hanya mengangguk pelan, tak kuasa menjawab ucapan perempuan itu.
"Dan kau Ningrum, jika kau pikir ibu melakukan semua ini semata mata hanya karena harta, kau salah anakku. Salah besar! Karena seperti yang sudah kau bilang tadi, harta peninggalan kakekmu itu, sudah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia. Seharusnya. Tapi, apalah arti sebuah harta kalau ibu selalu hidup dalam kesepian Nak? Bertahun tahun ibu mengharapkan adanya keturunan setelah menikah dengan bapakmu. Namun harapan ibu sepertinya memang tinggal harapan, karena ibu memang ditakdirkan menjadi perempuan mandul. Sangat menyedihkan anakku, saat dokter memvonis ibu tak bisa memiliki keturunan. Namun ibu tak mau menyerah begitu saja. Segala daya dan upaya terus ibu lakukan, sampai pada suatu ketika, ibu dapat kabar kalau ada seorang yang bisa membantu orang orang seperti ibu ini. Tanpa ragu ibupun mendatanginya. Ajaib Nak! Setelah beberapa kali ibu 'berobat' ke orang itu, tak lama kemudian ibu hamil, dan lahirlah kamu. Ambar menyusul dua tahun kemudian. Tapi siapa sangka, orang yang membantu ibu itu, ternyata bekerjasama dengan perempuan siluman itu, tanpa sepengetahuan ibu. Setahun setelah Ambar lahir, bapakmu meninggal, menjadi tumbal dari keegoisan ibumu ini yang tak bisa menerima takdir. Dan tidak hanya sampai disitu saja Nak, siluman serakah itu rupanya tak puas hanya dengan mendapatkan bapakmu, tapi semua laki laki yang menjalin hubungan dengan ibu. Makhluk bejat itu rupanya telah bersemayam dalam raga ibumu ini tanpa ibu sadari, dan diam diam menyedot saripati kehidupan setiap laki laki yang berhubungan dengan ibu."
"Lalu apa hubungannya dengan Ningrum Bu? Kenapa ibu juga melarang Ningrum menjalin hubungan dengan laki laki?" sela Ningrum.
"Itulah anakku! Siluman serakah itu sepertinya tak pernah mau berhenti. Dulu, saat berobat ke orang pintar itu, memang salah satu syaratnya adalah anak sulung yang ibu dapat, akan menjadi penerus ibu. Waktu itu ibu mengiyakannya saja, karena ibu memang tak sadar kalau ada campur tangan siluman dalam ritual yang ibu lakukan bersama orang itu. Andai saja ibu tau Nak, ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Namun paling tidak ibu masih bisa berusaha untuk mencegah, dengan melarangmu berhubungan dengan laki laki."
"Jadi maksud ibu...."
"Ya, raga ibu yang ditempati oleh siluman itu, semakin lama semakin tua dan renta. Sudah tak menarik lagi untuk dijadikan alat oleh siluman itu untuk menjerat kaum laki laki dan dijadikan korban. Karena itulah, begitu usiamu menginjak duapuluh tahun, siluman itu mulai mengincarmu untuk ia jadikan raga baru. Ibu berusaha mencegahnya dengan melarangmu menjalin hubungan dengan laki laki, agar tak ada laki laki yang menjadi korban kebejatan siluman itu. Karena begitu kamu menikah nanti, otomatis siluman yang bersemayam dalam raga ibu itu akan berpindah ke ragamu. Apa yang ibu lakukan itu, dengan melarangmu menjalin hubungan dengan laki laki, rupanya membuat siluman itu murka. Ia mengurung sukma ibu disini, dan menguasai raga ibu sepenuhnya, agar bisa bebas mempengaruhimu tanpa ibu bisa ikut campur tangan lagi. Tragis memang. Tapi takdir berkata lain. Bersamaan dengan si siluman yang mengurung ibu disini, disaat itu juga engkau kabur dari rumah. Hahaha..., ibu ingat siluman itu sampai pusing tujuh keliling saat menyadari kau telah minggat dari rumah. Tak mungkin juga ia menggunakan raga Ambar, karena dulu perjanjiannya adalah anak sulung yang akan menjadi penerus ibu. Tak mau menyerah, siluman yang bersemayam dalam raga ibu itu terus berusaha mencarimu, dengan raga ibu yang semakin lama semakin rusak, karena dengan dikurungnya ibu disini, otomatis ibu telah mati. Raga ibu sudah menjadi mayat yang masih bisa beraktifitas hanya karena dirasuki oleh siluman itu. Mayat hidup yang semakin lama semakin rusak dan membusuk, sampai akhirnya..."
"Sebentar Bu," aku memberanikan diri untuk menyela. "Siluman itu, setahuku dia lumayan hebat. Kenapa sampai kesulitan menemukan Ningrum saat Ningrum kabur dari rumah?"
"Ah, kau lumayan cerdas juga rupanya anak muda," Bu Nengsih tersenyum samar, senyuman yang lebih mirip sebuah seringaian di mataku. "Laki laki pacar si Ningrum itu, bapaknya juga orang yang sedikit ngerti. Ia tau siapa Ningrum, dan apa akibatnya kalau sampai anak laki lakinya sampai menikah dengan Ningrum. Sayangnya, alih alih mereka membantu Ningrum, mereka justru berencana untuk melenyapkan Ningrum. Tragis memang. Orang orang seperti bapaknya pacar Ningrum itu, seorang pengusaha yang lumayan sukses juga, biasanya lebih suka mengambil jalan pintas dan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan masalah, apalagi masalah yang menyangkut hal hal berbau gaib seperti ini. Karena itu mereka memilih untuk melenyapkan Ningrum, daripada harus menyelamatkannya dari pengaruh buruk siluman itu."
"Jadi...?!"
"Ya. Bapak dari laki laki yang menjadi pacar Ningrum itulah yang melenyapkan Ningrum dengan racun. Jangan tanya bagaimana cara mereka melakukannya. Orang orang seperti mereka bisa melakukan apa saja dengan harta yang mereka miliki. Yang jelas, Ningrum akhirnya mati sesaat setelah makan malam bersama pacarnya itu di sebuah rumah makan. Tak punya pilihan lain, karena takut dan panik, pacar Ningrum itu mau tak mau menuruti usulan dari sang bapak untuk membuang jasad Ningrum dan menenggelamkannya di sungai, tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya."
"Biadab!" tanpa sadar aku mengeram marah. "Manusia macam apa keluarga pacar si Ningrum itu, sampai tega berbuat seperti itu?"
"Cinta Nak! Cinta bisa membutakan mata siapa saja. Anak si pengusaha itu, pacar si Ningrum, tak mau mendengar nasehat sang ayah agar menjauhi Ningrum dan mencari perempuan lain. Bisa dibilang dia sudah cinta mati dengan Ningrum. Bahkan mengancam akan kimpoi lari jika orang tuanya tak mau merestui. Tragis bukan? Sadar apa yang akan terjadi dengan sang anak kalau sampai nekat menikah dengan Ningrum, akhirnya mereka memilih jalan pintas untuk melenyapkan Ningrum."
"Jadi selama ini...?!"
"Ya, laki laki pacar si Ningrum itu sama sekali tak mengetahui kalau bapaknya yang menyebabkan kematian Ningrum. Dia itu, anak yang baik sebenarnya, tapi terlahir ditengah tengah keluarga yang tak baik. Sama seperti Ningrum!"
Aku tertegun, tak menyangka kalau ternyata kisah dibalik kematian Ningrum ini ternyata begitu panjang dan rumit. Seperti cerita sebuah sinetron, rumit dan berbelit belit. Sementara Ningrum, gadis itu semakin terguguk mendengar cerita sang ibu.
"Tak usah menangis anakku. Kini kau telah tau semuanya. Tak perlu juga kau mengharap maaf dari ibu, karena seharusnya ibulah yang seharusnya minta maaf kepadamu. Pulanglah Nak, tempatmu bukan disini. Biar semua karma ini ibu yang menanggungnya!"
"Bu, Ningrum..., Ningrum tak akan pergi tanpa Ibu. Siluman itu...., siluman jahat yang telah menjebak ibu...," Ningrum bangkit dan berbalik, menatap nanar ke arah siluman perempuan yang sejak tadi hanya berdiri diam disamping Kyai Jambrong. "Kau...! Bebaskan sukma ibuku! Atau akan ku obrak abrik istanamu ini!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya