Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 7)


JEJAKMISTERI - Sejenak aku dan Slamet terpana, melihat kemunculan sesosok perempuan muda yang sepertinya baru terbangun dari tidur siangnya. Hanya mengenakan tanktop dan celana pendek sebatas paha, wajah kusut dan rambut acak acakan, serta mata yang menyipit menatap ke arah kami. Inikah Bu Nengsih, ibunya Ningrum?

"Itu Ambar, adikku," bisik Ningrum.

Ah, pantas saja. Kecantikan gadis itu hanya sedikit dibawah level kecantikan Ningrum. Andai saja ia sedikit menunjukkan kesan ramah seperti kakaknya. Namun sayang, sifat gadis itu sepertinya sangat bertolak belakang dengan sang kakak. Dari raut wajahnya saja aku sudah bisa menilai kalau aku akan sedikit kesulitan bicara dengan gadis bernama Ambar ini.

"Ada apa?" tuh kan, baru sekali menyapa saja sudah kurasakan nada ketus di suaranya.

"Eh, anu, ada sedikit perlu dengan Bu Nengsih. Apakah beliau ada?" sahutku sedikit gugup. Sejenak gadis itu terdiam. Sepertinya dia agak terkejut saat kusebut nama sang ibu.

"Ada perlu apa?" tanyanya lagi, masih dengan nada ketus.

"Emmm, sedikit urusan bisnis," lagi lagi aku beralasan.

"Masuklah," gadis itu memberi isyarat dengan menelengkan kepalanya, lalu menghilang kembali kedalam rumah.

Aku menelan ludah. Sebuah sambutan yang kurang mengenakkan. Bagaimana nanti aku menjelaskan soal Ningrum, kalau cara bicara gadis itu saja sudah seperti itu. Ah, mudah mudahan sifat Bu Nengsih tak seperti anak bungsunya itu.

"Mas, kok malah ngelamun lho, disuruh masuk tuh," seruan Slamet mengagetkanku.

"Sebentar Met, aku tak ngatur nafas dulu," ujarku.

"Walah, baru juga lihat yang begituan, udah sesak nafas aja. Gimana kalau...."

"Crigis!" sungutku. "Aku lagi mikir gimana nanti ngomong soal Ningrum sama cewek tadi. Sepertinya agak galak Met, sama kayak Retno."

"Cieeee, masih inget sama Retno ternyata ya," goda Slamet.

"Wedhus!" tanpa menanggapi gurauan Slamet aku lalu melangkah masuk ke teras. Perasaanku semakin tak enak begitu menginjakkan kaki di teras yang berubin mengkilap. Entah hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh dengan rumah ini. Yang jelas aku merasakan hawa yang berbeda. Hawa dingin yang menekan perasaan dan membuat buku kudukku sedikit merinding. Singup kalau kata orang jawa.

"Ngati ati Le, mlebu nang omah iki, podho wae awakmu mlebu nang susuhe kala!" (Hati hati Le, masuk ke rumah ini sama saja kamu telah masuk ke sarangnya kala) samar kudengar suara serak dan berat dari arah belakangku, seolah sang pemilik suara sedang berbisik di tengkukku.

"Udah deh Met, jangan bercan...." ucapanku terhenti saat melihat Slamet ternyata masih berada di tengah tengah halaman, memindahkan motor bututnya kebawah naungan pohon mangga yang rimbun. Mungkin agar tak kepanasan.

Aku semakin merinding. Kalau Slamet masih disana, lalu siapa yang berbisik tadi? Tak mungkin Slamet, karena jelas jelas aku mendengar suara bisikan itu terasa sangat dekat. Ningrum? Tak mungkin juga, karena aku yakin suara tadi adalah suara seorang laki laki.

"Kenapa Mas? Kok bengong?" seru Slamet sambil melangkah mendekat ke arahku.

"Barusan kamu ngomong apa Met?" aku balik bertanya.

"Aku nanya, sampeyan kenapa malah bengong disitu?"

"Bukan yang itu, yang sebelumnya."

"Apa? Aku ndak ngomong apa apa kok. Lha sampeyan lihat sendiri kan tadi barusan aku mindahin motor. Sayang kalau kepanasan."

"Ada yang mengikutimu Mas!" Ningrum berbisik.

"Eh, siapa?"

"Apa to Mas? Sampeyan ini kok tiba tiba jadi aneh gitu?" tanya Slamet.

"Aku lagi ngomong sama Ningrum Met," jelasku.

"Owh."

"Harusnya aku yang nanya Mas, kenapa kamu bawa bawa begituan kesini," ujar Ningrum.

"Bawa begituan apa to?"

"Lha itu, prewanganmu?"

"Prewangan? Prewangan apa? Jangan nakut nakutin gitu lah Rum. Lihat penampilan adikmu tadi saja sudah serem, ini malah kamu ngomong yang enggak enggak."

"Lho, jadi bukan kamu to yang bawa?"

"Bawa apaan? Aku malah nggak ngerti soal yang begituan."

"Aneh!" Ningrum menggumam. "Kalau bukan prewangan kamu, lalu siapa dong?"

"Ya mana kutahu. Memangnya apa to yang kamu lihat?"

"Aku ndak bisa lihat Mas. Tapi aku merasa ada yang mengikutimu semenjak tiba di depan gerbang tadi. Mangkanya aku ndak berani dekat dekat sama kamu. Hawanya kayak berat gitu, bikin aku pusing dan panas dingin."

"Aneh," kini aku yang terheran heran. Mungkinkah tadi yang berbisik memperingatkanku itu....

"Kok malah bengong disitu? Ayo masuk!" seruan Ambar dari dalam rumah mengejutkanku. Akupun segera masuk ke ruangan tamu yang sangat luas dan mewah itu. Rasa takjub tak bisa kubendung lagi. Seumur umur belum pernah aku memasuki rumah yang semegah ini.

"Duduklah," ujar Ambar yang kini telah berganti pakaian dengan kaos ketat yang meski masih menonjolkan beberapa beberapa bagian tubuhnya, namun terlihat lebih sopan daripada hanya mengenakan tanktop seperti tadi, meski bawahannya masih tetap sama dengan yang tadi, celana pendek longgar sebatas paha.

Akupun duduk di sofa empuk berlapis kain beludru halus itu, sambil sedikit menunduk, tak sanggup membalas tarapan mata Ambar yang penuh rasa curiga itu. Sementara Slamet duduk disebalahku. Ningrum seperti biasa memilih untuk berdiri di pojok ruangan. Sementara Ambar yang duduk dihadapanku, menatapku dan Slamet secara bergantian, sambil tangannya mengelus elus si Bleky yang mendekam di sebelahnya.

"Jadi, berapa lagi yang harus kubayar?" tanya gadis itu, tanpa basa basi sama sekali. Membuatku menjadi bingung sendiri.

"Bayar? Bayar apa?" tanyaku.

"Tadi kau bilang kesini karena ada urusan bisnis kan? Soal apa lagi kalau bukan soal hutang piutang dengan ibuku itu?".

Waduh, ternyata aku salah memilih alasan tadi. Malah dikira debt collector. "Emmm, sebenarnya aku datang kemari bukan karena soal itu."

"Lalu?" Ambar semakin tajam menatapku.

"Aku hanya dimintai tolong untuk menyampaikan pesan kepada Bu Nengsih," jawabku.

"Pesan apa? Dan dari siapa?"

"Sebuah permintaan maaf, dari Ningrum."

"Mbak Ningrum?" gadis itu menegakkan punggungnya begitu nama sang kakak kusebut. "Oh, jadi kamu laki laki bejat yang dulu membawa kabur kakakku?! Masih punya nyali ya kamu datang kemari! Bagus! Jadi aku tak perlu repot repot...."

"Tunggu! Jangan salah paham dulu!" cepat cepat aku menukas, melihat perubahan sikap Ambar yang sepertinya menjadi sedikit beringas itu. "Bukan seperti itu! Aku bukan laki laki yang kau maksud itu! Bahkan aku sama sekali tak mengenal kakakmu. Aku hanya tak sengaja bertemu dengannya, lalu...."

"Cih! Alasan! Kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan kata katamu itu? Paling juga kalian sekarang telah menyesal. Dulu nekat kimpoi lari, terus sekarang hidup kalian susah, dan bermaksud kembali kesini, berharap mendapat belas kasihan...."

"Ambar!" tanpa sadar aku menyebut nama gadis itu dengan nada agak keras. "Eh, maaf, tapi aku memang bukan laki laki yang kamu maksud itu. Boleh percaya boleh tidak, tapi aku kesini hanya sekedar untuk menyampaikan pesan dari Ningrum itu. Dia minta maaf, karena dulu tak mendengar kata kata Bu Nengsih dan malah mengikuti cowoknya kabur dari rumah. Itu saja. Soal kamu mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang penting aku sudah menyampaikan pesannya. Yuk Met, kita pulang," kucolek Slamet yang sejak tadi hanya diam mendengarkan obrolan kami.

"Tunggu!" ujar Ambar akhirnya. "Dimana Mbak Ningrum sekarang? Dan kenapa dia tak datang sendiri kesini?"

"Soal itu aku nggak tau. Tapi aku ketemu dia di waduk Kedhung Jati sana."

"Kedhung Jati?"

"Iya, aku tinggal disana, jauh jauh datang kemari hanya untuk menyampaikan pesan itu. Tapi malah..."

"Ah, maaf," suara Ambar terdengar sedikit melunak. "Duduklah kembali. Masih ada yang ingin kutanyakan. Oh ya, kalau boleh tau, siapa namamu?"

"Indra. Dan ini temanku Slamet," sedikit kesal aku memperkenalkan diri. Gadis ini, seenaknya saja berkamu kamu kepadaku, padahal sudah jelas jelas aku jauh lebih tua darinya.

"Mas Indra," seolah tau yang kupikirkan, kini gadis itu menambah embel embel kata Mas didepan namaku. "Jadi Mas Indra betemu dengan kakakku di waduk Kedhung Jati?"

"Ya." jawabku singkat.

"Apa yang dilakukannya disana?"

"Aku nggak tau."

"Lalu kenapa Bukan Mbak Ningrum sendiri yang datang kemari? Kenapa justru menyuruh Mas Indra yang katanya tadi nggak saling mengenal sama sekali. Sudah lupa jalan pulang ke rumah sendiri? Atau malu karena..."

"Bukan nggak mau, tapi nggak bisa."

"Nggak bisa?"

"Ya. Kalau bisa, mungkin sudah semenjak dahulu Ningrum pulang."

"Kenapa?"

"Karena...."

Sampai disini aku kembali bingung. Haruskah aku bicara jujur kalau Ningrum sudah mati, dan yang kutemui hanyalah arwahnya? Atau aku berbohong saja kalau....

"Kakakmu itu sudah mati!" tiba tiba Slamet nyeletuk, membuatku menepuk jidat seketika. Anak ini, seenaknya saja kalau bicara.

"Mati?" kini Ambar menatap ke arah Slamet.

"Iya. Temanku ini, digentayangi arwah kakakmu sampai nyaris terkencing kencing karena ketakutan. Mangkanya kami bela belain datang kesini dan menyampaikan pesan kakakmu itu, agar dia nggak meneror kami lagi."

"Slamet!" sentakku kesal, mendengar Slamet bicara blak blakan seperti itu

"Lagian, dari tadi ngomong kok mbulet mbulet nggak jelas gitu. To the point begini kan cepet kelar urusannya," sungut Slamet yang sepertinya juga merasa kesal dengan sikap Ambar.

Ambar sendiri kini menatap ke arahku dan Slamet secara bergantian. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Aku hanya bisa menunggu, apa tanggapannya setelah mendengar kata kata Slamet barusan.

"Kalian boleh pulang sekarang. Dan jangan pernah kembali lagi kesini," kata Ambar akhirnya, setelah terdiam selama beberapa detik.

"Jadi...?"

"Kalian pikir aku anak kemarin sore yang bisa kalian bodoh bodohi dengan cerita konyol seperti ini?! Jelek jelek begini aku juga pernah sekolah. Arwah gentayangan konon! kalian pasti dukun abal abal yang mau menipuku kan? Pergi sekarang, atau kusuruh Bleky untuk mengusir kalian!"

"Tapi..."

"Pergi kataku! Atau..."

"Kau punya tahi lalat si bokong sebelah kiri, sampai kelas dua SMA kau masih suka ngompol kalau tidur, dan juga... ngiler!" entah kesurupan setan darimana, aku mengatakan kata kata yang dibisikkan Ningrum kepadaku itu dengan cepat.

"Apa?!"

"Ya. Barusan Ningrum berkata begitu. Itu rahasia yang hanya kalian berdua yang tau kan?"

"Jadi...?"

"Ya. Dia disini Ambar, duduk di sebelahmu. Dia ingin memelukmu, tapi tak bisa, karena memang dia tak bisa menyentuh apa apa. Karena itulah dia meminta bantuanku untuk menyampaikan pesannya padamu. Juga kepada Bu Nengsih. Dia menyesal, atas apa yang telah ia lakukan dulu. Dan dia tak akan pernah bisa tenang di alam sana, selama kalian belum mau memaafkannya."

"Mbak Ningrum," luruh sudah kegarangan yang sejak tadi diperlihatkan oleh gadis bernama Ambar itu. Tubuhnya terkulai lemas menyandar pada sandaran sofa. Pelan namun pasti, mata gadis itu mulai berkaca kaca. Sejenak suasana menjadi hening. Kubiarkan gadis itu meresapi kesedihannya.

"Apa yang diceritakan Mbak Ningrum kepada kalian?" pelan gadis itu akhirnya bertanya.

"Tak banyak. Seperti yang kubilang tadi, dia hanya memintaku untuk menyampakan pesannya itu."

"Kenapa dia bisa meninggal?"

"Aku tak tau."

"Dimana makamnya? Bisa kalian mengantarku kesana?"

"Aku juga tak tau." terpaksa aku berbohong. Tak etis rasanya kalau harus kuceritakan bagaimana Ningrum bisa meninggal dan dimana sekarang jasadnya bersemayam.

"Ah, sayang sekali. Mbak Ningrum, dia satu satunya saudara yang kumiliki, dan sekarang...., sekarang dia benar benar pergi, tanpa aku bisa untuk mengunjungi makamnya," gadis itu mulai terisak.

"Mas Indra, tak bisakah Mas Indra menanyakan kepada Mbak Ningrum, dimana ia dimakamkan? Dan laki laki yang dulu membawanya kabur itu ....."

Aku menggeleng, karena kulihat sosok Ningrum yang kini duduk disebelah Ambar itu juga menggeleng. Sepertinya Ningrum tak mau menambah kesedihan Ambar dengan menceritakan soal kematiannya.

"Sayang sekali!" Ambar mendesah.

"Tanyakan kepada Ambar, dimana ibu?" kudengar Ningrum berbisik. Sedikit aneh memang, setiap kata yang diucapkan Ningrum cuma terdengar seperti sebuah bisikan di telingaku. Padahal jarak kami duduk agak jauh, terhalang oleh meja kaca yang lumayan besar.

"Ningrum ingin melihat ibunya. Dimana Bu Nengsih sekarang?"

"Dilantai atas. Sudah beberapa bulan terakhir ini kesehatan ibu memburuk, mungkin karena terlalu memikirkan Mbak Ningrum. Dan karena itu juga tadi kukira kalian adalah penagih hutang, karena semenjak kepergian Mbak Ningrum dan ibu sakit, bisnis keluarga kami berantakan. Kami terlilit hutang, dan...."

"Boleh kami menengok ibumu?" ujarku cepat, memotong ucapan Ambar tentang kondisi keluarganya yang sepertinya sekarang tidak baik baik saja. Dan siapa yang menyangka, pertanyaan yang barusan itu sepertinya sebuah pertanyaan yang akan aku sesali seumur hidup, karena di lantai atas rumah itu, tempat Bu Nengsih beristirahat, sesuatu yang lebih buruk ternyata telah menungguku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close