Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 6)


JEJAKMISTERI - "Mas Drag! Tangi Mas! Wis bedhug songolikur lho iki! Sampeyan mangkat kerjo po ora?"(Mas Drag! Bangun Mas! Udah siang lho ini! Sampeyan berangkat kerja nggak?) samar kudengar suara cempreng Slamet membangunkanku. Akupun menggeliat dan membuka mataku. Dengan mata masih mengantuk aku lalu bangun dan melihat jam yang menempel di dinding. Baru jam enam pagi.

"Hoaaaeeemmm...!" aku menguap dan merenggangkan badanku yang terasa pegal. Ketiduran di sofa dengan posisi meringkuk sungguh tak nyaman rasanya. Apalagi semalam sempat marathon dari rumah ke waduk lalu balik lagi ke rumah. Ditambah dengan jam tidur yang sangat kurang, karena selepas shubuh aku baru sempat memejamkan mata, membuat rasa malas menderaku.

"Baru juga jam enam Met," ujarku sambil berdiri dan bermaksud untuk ke kamar mandi. Namun langkahku terhenti tiba tiba saat melihat Ningrum telah berdiri di pojokan ruang tamu sambil tersenyum ke arahku. Sungguh senyum yang dalam sekejap bisa menghilangkan rasa kantukku. Andai saja dia bukan hantu....

"Kamu? Sejak kapan kamu disini?" tanyaku heran, karena seingatku setelah ngobrol semalam gadis itu pamit untuk kembali ke waduk.

"Lho, sampeyan ki piye to Mas? Lha wong sudah jelas jelas dari semalam aku disini gitu kok! Kan sampeyan sendiri yang..."

"Ningrum Met," ujarku memotong ucapan Slamet, sambil menelengkan kepalaku ke pojok ruangan.

"Eh? Serius Mas? Mosok pagi pagi gini itu hantu udah nongol sih?" Slamet ikut menatap ke sudut ruangan, meski aku yakin anak itu tak bisa melihat keberadaan Ningrum.

"Jadi kan Mas kita ke Karang*****?" Ningrum masih mengumbar senyum manisnya. Sungguh, penampilan gadis ini, benar benar bisa merontokkan imanku, kalau saja aku tak ingat bahwa sudah ada Indri yang menjadi ibu dari anakku. Cantik, anggun, dan menggemaskan.

"Nanti agak siangan ya Rum. Nggak enak juga kalau pagi pagi harus bertamu. Apalagi ke rumah orang yang sama sekali tak kukenal," ujarku beralasan. Padahal aku sedang berpikir apa yang akan kukatakan kepada keluarga Ningrum nanti kalau sudah bertemu.

"Siang?" senyum di wajah Ningrum memudar. "Panas Mas. Lagian Karang***** kan jauh, berangkat pagi juga sampai disana udah siang."

Aku hanya tersenyum kecut. Baru tau kalau ada hantu kok takut sama panas. Tapi ada benarnya juga, Karang***** lumayan jauh. Kalau berangkat siang bisa bisa sampai sana udah kesorean.

"Ya udah kalau gitu, tunggu sebentar. Aku tak mandi dulu," ujarku, lalu aku menoleh ke arah Slamet. "Kayaknya hari ini aku nggak kerja lagi Met."

"Lho, kenapa Mas? Kemarin kita sudah bolos lho, masa hari ini bolos lagi. Bisa dipecat kita nanti kalau keseringan bolos."

"Aku ada sedikit urusan. Kamu kalau mau berangkat ya berangkat aja. Tapi kalau boleh aku pinjam motormu ya, kamu berangkat kerja jalan kaki aja."

"Wah, ya ndak bisa gitu dong Mas. Kita ini kan sepaket. Kalau sampeyan ndak masuk aku juga," ujar Slamet. "Memangnya ada urusan apa to Mas? Penting ya?"

"Aku mau ke Karang*****."

"Oh, masalah Ningrum to?"

"Iya."

"Ya sudah kalau begitu, aku ikut ke Karang***** saja Mas."

"Ndak papa kamu ikut? Tadi katanya takut dipecat."

"Hehe, ndak papalah. Dipecat nggak sendiri ini."

"Yo wis kalau begitu, aku tak mandi dulu. Kamu bikin kopi aja dulu Met, sama beli sarapan sekalian," ujarku sambil menuju ke arah kamar mandi. Sementara Slamet segera keluar untuk mencari sarapan.

Sambil mandi aku berpikir keras, apa yang akan kukatakan kepada keluarga Ningrum nanti? Nggak mungkin juga kalau aku mengatakan telah bertemu dengan arwah anak mereka yang telah mati. Bisa bisa malah dikira orang sinting.

Arrgghhh!!! Sial! Salahku juga sih, kenapa aku begitu gampang menyanggupi permintaan Ningrum itu. Salah satu kelemahanku ya begini, susah menolak kalau ada yang meminta bantuan kepadaku, meski kadang aku harus bersusah payah untuk melakukannya. Dan kali ini, hantu pula yang minta tolong. Kalau aku menolak....

Eh, baru aku sadar. Kenapa ya tiba tiba aku bisa melihat hantu? Seumur umur baru kali ini aku melihat hantu. Apakah ini ada hubungannya dengan pengalamanku bertemu dengan Kyai Jambrong di Gunung Kidul kemarin itu? Aku masih ingat, saat aku menolak keinginan harimau jadi jadian itu untuk ikut denganku, makhluk itu bilang kalau ia akan mengawasiku dari kejauhan. Kalau memang benar begitu, kenapa aku harus khawatir? Jika benar ini semua akibat ulah dari harimau jadi jadian itu, tentu dia juga sedikit banyak akan membantu.

Ups! Edan! Kenapa aku jadi berharap kepada makhluk itu? Tanpa sadar aku menepuk jidatku sendiri. Sadar Ndra, sadar, jangan berharap selain kepada Yang Diatas Sana!

"Mas Drag! Buruan to mandinya! Lama banget lho, aku sudah kebelet nih," gedoran Slamet di pintu kamar mandi membuyarkan lamunanku. Buru buru aku merampungkan ritual mandiku, lalu keluar hanya dengan mengenakan handuk yang melilit tubuh bagian bawahku.

"Mandi aja kok setahun!" tak kuhiraukan gerutuan Slamet yang segera masuk ke kamar mandi sambil memegangi perutnya. Aku lantas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Sekilas kulihat Ningrum masih berdiri di tempatnya tadi. Entah mengapa, ia sepertinya sangat suka berdiri di pojokan ruang tamu itu.

Singkat cerita, setelah ngopi dan sarapan aku segera menggeber motor tua Slamet menuju ke arah desa Karang*****. Slamet duduk di boncengan, sementara Ningrum nyempil di tengah tengah, diantara aku dan Slamet. Tak sempat terpikir olehku, kenapa dia ikut ngebonceng. Kenapa tidak melayang atau terbang seperti yang ada di adegan film film itu.

Sampai di Karang*****, hari sudah beranjak siang. Atas arahan dari Ningrum, aku menghentikan motor yang kukendarai didepan gerbang rumah megah berlantai dua itu. Benar dugaanku. Melihat bangunan yang begitu megah ini, bisa dipastikan kalau Ningrum berasal dari keluarga yang berada. Nyaliku semakin ciut dibuatnya.

"Met, gimana ini?" bisikku pada Slamet yang masih nangkring di boncengan.

"Aku bingung je Met. Nanti, kalau sudah ketemu sama ibunya Ningrum aku mesti ngomong apa?" tanyaku lagi.

"Aneh sampeyan ini Mas. Sampeyan kan sudah sering nulis adegan adegan yang kayak gini di thread sampeyan, masa masih bingung juga."

"Bedalah Met. Ini dunia nyata, bukan cerita fiksi. Kalau sekedar cerita mah, aku bebas mau nulis kayak gimana. Lha ini, memang aku bisa menentukan reaksi ibunya Ningrum kalau aku bilang sudah ketemu sama arwah anaknya."

"Hmmm, iya juga ya," Slamet nampak berpikir sejenak. "Apa si Ningrum itu nggak bisa bantu Mas?"

Ningrum yang kutatap hanya menggeleng. "Kalau aku bisa, ngapain aku bersusah payah minta tolong sama kamu Mas."
"Ndak bisa Met," jawabku.

"Tapi Ningrum masih disini kan Mas, ikut sama kita?"

"Lha ini nyempil di tengah tengah."

"Huasssuuu! Jadi dari tadi aku mangku dhemit to Mas?" sontak Slamet melompat turun dari atas jok motor, membuat Ningrum tertawa cekikikan.

"Ndak bilang dari tadi sampeyan Mas," Slamet menepuk nepuk jaket dan celana yang dikenakannya, seolah sedang menyapu kotoran yang menempel disana.

"Sampeyan masih bisa to kominikasi sama si Ningrum itu Mas?"

"Kominikasi? Komunikasi kali Met."

"Iya itu maksudku Mas. Sampeyan masih bisa ngomong sama Ningrum to?"

"Iya, bisa."

"Ya udah kalau begitu, sampeyan serahkan saja semua padaku Mas. Sampeyan pencet saja belnya. Panas ini lama lama berdiri disini."

Meski masih ragu, akhirnya kuturuti saja kata kata Slamet. Kupencet bel yang menempel di tembok pagar samping pintu gerbang. Tak lama, terlihat pintu rumah itu terbuka, lalu muncul sosok setengah baya menatap heran ke arah kami. Itukah ibunya Ningrum? Penampilannya biasa biasa saja. Bahkan terkesan sangat sederhana. Hanya mengenakan tapih kain jarik lusuh dan baju kebaya yang juga tak kalah lusuhnya. Sungguh sangat kontras dengan kondisi rumahnya yang megah bagaikan istana itu.

"Itu Mbok Darmi, pembantu di rumahku. Bilang saja kalau mau ketemu sama Bu Nengsih, itu nama ibuku," bisik Ningrum seolah tau apa yang sedang kupikirkan.

"Siapa ya?" seru perempuan itu sambil mendekat ke pintu gerbang.

"Maaf, apa benar ini rumah Bu Nengsih?" jawabku sopan.

Perempuan itu nampak terkejut saat aku menyebut nama Bu Nengsih. Jelas terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedikit menegang. Sejenak ia menatapku, lalu beralih menatap Slamet agak lama.

"Iya benar," jawab perempuan itu akhirnya. "Mas mas ini darimana ya? Dan ada perlu apa sama ibu?"

"Kami dari Kedhung Jati Bu, ada sedikit perlu dengan Bu Nengsih, emmmm, urusan bisnis tepatnya," jawabku asal. Entah dapat darimana kalimat itu, tapi urusan bisnis tampaknya paling cocok untuk dijadikan alasan yang tidak menimbulkan kecurigaan.

"Oh, tunggu sebentar ya," kata perempuan itu sambil berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

"Lho, gimana to? Kok nggak dibukain pintu gerbangnya, malah ditinggal masuk lagi?" ujar Slamet setengah menggerutu.

"Mbok Darmi nggak berani sembarangan membukakan pintu untuk tamu sebelum mendapat ijin dari ibuku. Tenang aja, sebentar lagi dia juga pasti balik kok. Mudah mudahan ibu berkenan untuk menemui kalian," lagi lagi Ningrum berbisik kepadaku.

Benar saja. Tak sampai lima menit perempuan tua itu telah kembali sambil menenteng serenceng kunci yang lalu ia gunakan untuk membuka gembok pintu gerbang itu. Aku hanya berdecak heran melihat ukuran gembok yang digunakan untuk mengunci pintu gerbang besi itu. Lebih besar dari ukuran kepalan tanganku sepertinya.

"Monggo, silahkan," dengan sopan perempuan itu mempersilahkan masuk. Akupun segera mendorong motor tua Slamet memasuki halaman rumah yang luas itu. Slamet sendiri dengan pedenya mendahuluiku. Namun tiba tiba...

"Bruukkkk...!!!"

"Grrrrrrrrrrr.....!!!"

"Wedhus! As*!" sambil menjerit lantang Slamet melompat dan berlindung dibelakang punggungku. Seekor anjing entah dari jenis apa (ukurannya hampir sebesar kambing, dengan moncong panjang, telinga tegak, dan bulu tebal kecoklatan) telah menghadang kami sambil menggeram dan memamerkan lidahnya yang kemerahan.

"Hihihihihi....!!!" Ningrum kembali tertawa cekikikan, sementara aku hanya bisa mengelus dada, menahan agar jantungku tak sampai copot karena kaget melihat kehadiran makhluk menyeramkan yang menghadang kami itu.

"Bleky! Come here!" seru Mbok Darmi yang kini telah sampai di teras. Edan! Gaul juga ini pembantu, sok pake bahasa bule segala.

"Bleky! Sit down!" kembali Mbok Darmi berseru, karena makhluk itu seolah tak mengindahkan perintahnya. Si Bleky justru berlari lari kecil ke arah kami dengan lidah menjulur dan memperlihatkan gigi geligi tajamnya.

"Wis! Modyar tenan ki Met!" desisku sambil menstandarkan motor dan bersiap untuk kabur.

"Ndak usah takut Mas. Dia nggak bermaksud untuk menyerang kok. Lihat ekornya. Kalau niatnya mau menyerang posisi ekornya nggak akan seperti itu," lagi lagi Ningrum berbisik di telingaku.

Ah, syukurlah. Anjing besar itu memang tak menyerang kami, tapi ia hanya mengendus endus ke arah...., tunggu! Apakah binatang ini bisa menyadari kehadiran Ningrum? Kulihat ia mengendus endus tepat ditempat posisi ningrum berdiri.

"Bleky! Come here!" kembali terdengar seruan dari arah teras. Namun kali ini bukan suara Mbok Darmi, tapi suara merdu seorang gadis yang kini tengah berdiri bersandar pada kusen pintu rumah megah itu.

Aku dan Slamet terpana. Seorang perempuan muda, cantik, dengan hanya mengenakan tanktop dan celana pendek sebatas paha memamerkan wajah mengantuknya ke arah kami. Sepertinya kedatanganku telah mengganggu tidur siangnya. Sambil bersidekap perempuan itu memicingkan mata, menatap ke arahku dan slamet secara bergantian. Inikah Bu Nengsih, ibunya Ningrum?
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close