Semboja Kedhung Jati (Part 5)
JEJAKMISTERI - "Sampeyan ndak lagi ngerjain aku kan Mas?" kudengar suara Slamet yang berjalan di belakangku. Dengan kesal aku berbalik dan melotot ke arah anak itu.
"Ngerjain dhengkulmu mlocot itu! Kamu nggak lihat wajahku masih pucat kayak gini? Lagian apa untungnya aku sampai nyaris terkencing kencing lari dari sini ke waduk kalau cuma buat ngerjain kamu? Kurang kerjaan banget!" dengusku kesal.
"Haha, ya siapa tau aja, sebenarnya sampeyan cuma mau ditemani karena Mbak Ndut lagi nggak ada dirumah gitu," ujar Slamet sambil nyengir.
"Wedhus!" sungutku kesal. "Kalau cuma begitu, nggak perlu aku mengarang cerita soal hantu segala. Dipancing pake sebungkus rokok juga kamu langsung lupa sama cewekmu yang di waduk tadi."
"Hehehe, iya juga ya," Slamet menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lha terus sekarang mana?'
"Apanya?" tanyaku.
"Ya cewek yang kata sampeyan hantu itu."
"Tadi disini Met," aku menunjuk lincak yang ada di teras rumahku yang sekarang sudah kosong itu. "Tapi kok sekarang nggak ada ya? Apa jangan jangan sudah pergi Met?"
"Kayaknya nggak mungkin deh Mas kalau pergi," Slamet berspekulasi.
"Kenapa nggak mungkin Met?" tanyaku heran.
"Ya kalau dari yang sampeyan ceritakan tadi, bahwa dia sudah bersusah payah ngikutin sampeyan dari waduk kesini, masa begitu sudah sampai disini langsung pergi gitu aja."
"Iya juga ya," gumamku, membenarkan pendapat Slamet. "Atau jangan jangan....., waduh! Gawat Met!"
"Gawat kenapa Mas?" kini Slamet yang bertanya heran.
"Kayaknya tadi aku lupa mengunci pintu deh Met!"
"Lha terus? Apa hubungannya lupa mengunci pintu sama hantu Mas?"
"Kamu gimana sih Met? Kalau pintu rumah nggak aku kunci, itu berarti itu hantu bisa saja kan masuk ke rumahku!"
"Hahaha, sampeyan ini lucu Mas. Memang pengaruhnya apa pintu dikunci sama hantu Mas? Mau sampeyan kunci pake gembok kapal juga kalau hantu bisa nembus. Kecuali kalau sampeyan nguncinya pake jimat!"
"Iya juga ya Met," lagi lagi aku membenarkan pendapat Slamet. "Lha terus sekarang baiknya gimana Met?"
"Lha kok nanya sama aku to Mas? Ini kan rumah sampeyan."
"Emmm, gini aja deh Met, coba kamu buka sedikit pintunya, terus kamu intip kedalam."
"Nggak mau ah. Kenapa juga aku yang harus mengintip. Sampeyan saja Mas. Kan ini rumah sampeyan."
"Tapi aku takut je Met. Kalau pas aku buka pintunya terus tiba tiba itu perempuan nongol di depan wajahku gimana? Serem lho Met."
"Emang seserem apa sih Mas? Sampai sampeyan ketakutan gitu?"
"Ya pokoknya serem Met. Mukanya itu lho, busuk penuh belatung, matanya copot gondhal gandhul nempel di pipi, terus bibirnya robek sampai ke telinga, sampai kelihatan....."
"Alah, sudah Mas, ndak usah diceritain! Sekarang buka saja pintunya. Kalau itu hantu berani macem macem, biar kukencingi wajahnya yang busuk itu," ujar Slamet memotong ucapanku.
"Semprul! Jangan asal kalau ngomong Met! Nanti...."
"Siapa tadi yang ngomong mau mengencingi wajahku? Sini biar kubikin bengkak burungnya!" belum sempat aku membuka pintu, sebuah suara terdengar dari dalam rumah. Aku tertawa geli mendengarnya.
"Kenapa tertawa Mas?" tanya Slamet heran.
"Bener Met. Dia ada di dalam rumah."
"Kok sampeyan tau?"
"Barusan aku dengar dia ngomong."
"Ngomong apa Mas?"
"Coba cek isi celanamu Met, ada yang bengkak nggak?"
Entah memang konyol atau tak sadar, Slamet membuka resleting celananya. "Masih utuh Mas, nggak ada yang bengkak. Memangnya kenapa to?"
"Barusan dia bilang mau bikin bengkak burung orang yang bilang mau mengencingi wajahnya."
"Wedhus! Demit mesum ternyata! Nggak malu apa perempuan ngomongin perabotan laki laki!" gerutu Slamet yang baru sadar kalau dikerjain.
"Makanya jangan sompral," ujarku mengingatkan.
"Sudah ah, kita masuk saja Mas. Sepertinya dia nggak jahat kok. Tapi bilang dulu sama dia, jangan pasang wajah seram lagi. Dan jangan bikin kaget," ujar Slamet. Akupun segera memutar handle pintu setelah sebelumnya berteriak kedalam.
"Rum, aku masuk ya, tapi tolong, jangan pasang wajah seram lagi. Dan jangan bikin kaget," seruku sambil pelan pelan membuka pintu.
"Ada Mas?" Slamet yang penasaran ikut mengintip ke dalam.
"Ada Met, tuh lagi berdiri di pojokan, lagi ngelihatin fotoku kayaknya," ujarku yang memang sangat jelas melihat Ningrum tengah berdiri di sudut ruang tamu.
"Wah, jangan jangan dia naksir sampeyan Mas, pake ngelihatin foto segala," ujar Slamet setengah berbisik.
"Hush! Jangan asal kalau ngomong! Mau anumu beneran dibikin bengkak beneran?!"
"Hehehe, ya jangan lah Mas," Slamet terkekeh sambil memegangi selangkangannya. "Tapi bisa saja lho Mas. Buat apa coba dia sampai ngikutin sampeyan ke rumah kalau bukan karena naksir sampeyan?"
"Ngawur kamu! Kan tadi aku sudah bilang kalau dia mau minta tolong sama aku. Eh, dia melotot lho Met, ngelihatin ke arah kamu," ujarku yang memang melihat Ningrum bersidekap sambil melotot ke arah Slamet.
"Wah, jangan jangan dia mulai terpesona melihat ketampananku Mas," Slamet terkekeh. "Eh, bentuknya kayak gimana sih Mas? Masih serem atau..."
"Enggak Met. Udah nggak serem. Udah cantik sekarang."
"Cantikan mana sama Mbak Ndut Mas?"
"Ngawur kamu. Masa mau dibandingin sama emaknya Aish!"
"Hehe, guyon lho Mas. Ya sudah, sampeyan ajak ngobrol aja dulu itu si hantu. Aku tak bikin kopi dulu," kata Slamet sambil ngeloyor ke arah dapur.
"Lho Met, kok malah ditinggal lho, orang suruh nemenin juga," Slamet tak mengacuhkan kata kataku. Kini tinggal aku seorang yang berdiri di tengah ruang tamu, agak jauh dari tempat Ningrum berdiri. Jujur, meski kini wujud Ningrum sudah kembali ke wujud aslinya, namun rasa takut masih menghantuiku, mengingat bahwa makhluk di hadapanku ini bukanlah manusia.
"Menyebalkan!" gadis itu mendengus sambil menatap ke arah dapur. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada. Entah sudah berapa kali semenjak bertemu aku mendengar kata 'menyebalkan' terucap dari bibir gadis itu. "Kok kamu mau sih temenan sama orang kayak gitu?"
"Eh..., emmm...., Slamet maksudmu?" ujarku sedikit gugup.
"Jadi namanya Slamet?" gadis itu beralih menatapku.
"Eh...., iya. Dia...., dia sebenarnya baik kok, meski kadang tingkahnya agak sedikit konyol. Nggak usah dimasukin ke hati ya semua kata katanya tadi," jelasku. Agak khawatir juga aku kalau sampai gadis ini berbuat yang macam macam kepada Slamet.
"Terserahlah! Aku nggak ada urusan sama dia. Urusanku sama kamu Mas. Dan maaf, kalau tadi aku sempet bikin kamu ketakutan gitu. Kukira kamu sudah biasa melihat yang seram seram, nggak taunya...." gadis itu tertawa kini. Mungkin mentertawakan diriku yang tadi lari terbirit birit saat melihat wajah menyeramkan yang diperlihatkannya.
"Iya, nggak papa kok, aku cuma kaget saja tadi," kilahku. "Oh ya, kalau boleh tau, apa maksudmu sampai menampakkan diri kepadaku dan mengikutiku sampai disini?"
"Menampakkan diri?" gadis itu bertanya heran. "Aku sama sekali tak mengerti. Justru aku yang awalnya heran Mas, kenapa kamu bisa melihatku. Tapi, sudahlah, itu tak terlalu penting juga. Yang jelas, aku senang, akhirnya ada manusia yang bisa melihat dan berkomunikasi denganku. Sudah lama aku menunggu saat saat seperti ini."
"Lalu?" meski belum begitu mengerti dengan semua kejadian yang kualami malam ini bersama Ningrum, tapi rasa penasaranku terhadap masa lalu gadis ini mengalahkan rasa penasaranku yang tiba tiba bisa melihat hantu.
"Duduklah Mas, akan kuceritakan semuanya," kata gadis itu.
Akupun duduk di sofa panjang di ruang tamu itu, sementara Ningrum dusuk di sofa yang ada di hadapanku. Slamet muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan sepiring gorengan yang tadi aku beli di waduk saat menjemput anak itu.
"Dimana dia Mas?" bisik Slamet sambil meletakkan nampan di atas meja. Aku hanya memberi isyarat bahwa gadis itu tengah duduk di hadapanku.
"Mbak," dengan gaya yang dibuat buat sesopan Slamet meletakkan salah satu cangkir kopi yang dibawanya dihadapan Ningrum. "Ini aku buatin kopi pahit, spesial buat sampeyan. Monggo dinikmati."
Sama sepertiku, Ningrum juga mendelik melihat tingkah Slamet itu. Apa maksudnya coba, pake nyiapin kopi segala buat Ningrum, wong sudah jelas jelas dia itu hantu, mana mau disuguhi kopi. Pahit lagi kopinya.
"Ya sudah Mas, sampeyan tanyai dia, apa maunya sampai ngikutin sampeyan kemari, aku tak rebahan dulu sambil nonton tv," Slamet lalu beranjak ke depan meja tv dan merebahkan tubuhnya diatas karpet yang memang sengaja aku gelar disitu. Seolah tak meperdulikanku, ia lalu sibuk dengan ponselnya. Sementara Ningrum mulai menceritakan semua kisahnya sejak awal dia kabur dari rumah dan meninggal lalu jadi arwah gentayangan.
Aku mendengar semua cerita gadis itu dengan seksama. Dan saat gadis itu memintaku untuk membantunya meminta maaf kepada keluarganya, entah mengapa aku seolah tak kuasa menolak. Dengan gampangnya aku berjanji bahwa siang nanti aku akan menemui keluarganya di desa Karang*****.
"Bagaimana dengan laki laki yang menjadi pacarmu itu?" tanyaku begitu Ningrum mengakhiri ceritanya.
"Entahlah Mas, aku sudah tak peduli lagi padanya. Mungkin aku memang salah telah memilih laki laki yang salah, yang akhirnya menjerumuskanku kedalam masalah yang menjeratku sekarang ini," desah gadis itu pelan.
"Enggak, maksudku, tadi kamu cerita, sebelum meninggal kamu sempat makan bareng sama pacarmu itu. Apakah dia yang membunuhmu?" tanyaku lagi.
"Aku juga tak tau Mas. Yang aku ingat, sehabis aku makan itu aku merasa pusing dan mual yang teramat sangat, terus aku nggak ingat apa apa lagi. Saat sadar aku sudah menjadi seperti ini, dan melihat jasadku telah tenggelam terbungkus karung di dasar sungai itu."
"Sampai sekarang jasadmu masih disana?" tanyaku lagi.
"Ya. Mungkin sudah tinggal tulang belulang saja, karena kejadiannya sudah sangat lama."
"Malang sekali nasibmu Rum," aku mendesah, membayangkan seperti apa rasanya mengalami nasib seperti gadis itu.
"Ya mungkin ini sudah menjadi nasibku Mas. Aku juga sudah tak peduli lagi dengan pacarku itu, atau jasadku yang masih di dasar sungai. Yang kuinginkan hanya satu, kata maaf dari ibuku. Karena hanya dengan itu aku bisa tenang di alamku yang sekarang."
"Sebentar, dari tadi kamu cuma bilang soal ibumu. Bagaimana dengan ayahmu?"
"Ayahku, dia sudah lama meninggal, semenjak aku sekolah SMP kalau nggak salah. Jadi praktis semenjak itu aku tinggal hanya dengan ibu dan adikku. Karena itulah, aku merasa ibu pasti sangat terpukul saat aku pergi dari rumah, dan...." gadis itu mulai terisak.
"Ya sudah, nggak usah sedih lagi. Nanti biar aku coba bantu semampuku," ujarku mencoba menghibur, meski aku belum yakin bantuan apa yang bisa kuberikan kepada gadis itu. Datang ke rumah orang yang sama sekali tak kukenal, lalu mengatakan bahwa anak mereka telah mati dan menjadi arwah gentayangan, sungguh bukan hal yang mudah untuk aku lakukan. Tapi aku yakin, selama niatku baik, pasti nanti akan ada jalan. Mungkin Ningrum bisa sedikit membantu. Juga Slamet. Kepandaian anak itu dalam mempermainkan kata bisa aku manfaatkan.
"Terimakasih ya Mas, aku tak salah menilaimu. Ternyata kamu beneran orang baik, tidak seperti...," Ningrum melirik ke arah Slamet yang masih asyik memainkan ponselnya sambil tiduran diatas karpet.
"Sudah, jangan hiraukan dia. Mending kamu bersiap dari sekarang. Menjumpai keluargamu dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini, tentu bukan hal yang mudah untuk kau lakukan."
"Iya. Aku tak bisa membayangkan...., ah, entahlah Mas. Tapi terimakasih sekali lagi. Mudah mudahan ibu dan adikku bisa menerima kenyataan yang menimpaku ini. Kalau begitu aku pamit dulu Mas, nanti aku kembali lagi kalau kamu sudah siap. Sepertinya kamu juga butuh istirahat. Malam ini, sepertinya malam yang berat untukmu. Maaf kalau sudah merepotkan," gadis itu berdiri lalu melayang keluar menembus pintu.
Aku hanya bisa memandangi kepergiannya dengan berjuta pikiran yang berkecamuk di benakku. Semua kejadian yang aku alami malam ini, seperti mimpi saja rasanya. Dan aku berharap semua ini memang hanya mimpi, meski aku yakin ini bukanlah sebuah mimpi.
"Yess!!! Bakalan viral ini kalau aku unggah di medsos!" seruan Slamet membuyarkan lamunanku.
"Apa sih Met, bukannya tidur malah main hp mulu. Sudah mau shubuh ini."
"Coba lihat Mas, bagus nggak kalau video ini aku unggah di medsos?" Slamet bangun dan menunjukkan sebuah video yang ada di ponselnya. Sejenak aku mengernyitkan dahiku. Membaca judul video yang dibuat oleh Slamet itu sudah membuatku curiga. "DIDUGA STRESS KARENA DITINGGAL MINGGAT ISTRI, LAKI LAKI INI MENGALAMI GANGGUAN JIWA DAN SUKA NGOMONG SENDIRIAN!"
Dan benar saja, saat kuputar video itu, ternyata itu adalah rekaman saat aku ngobrol dengan Ningrum barusan. Tentu saja tanpa ada penampakan Ningrum di dalamnya.
"Arrrrrggghhhh.....!!!SLAMEEETTTT....!!!!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya