Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 4)


JEJAKMISTERI - "Sial!" kesal kuhenyakkan kembali pantatku ke permukaan lincakyang tadi aku duduki. Kenapa juga laki laki itu harus pakai acara kabur segala. Padahal aku sudah berharap banyak padanya. Sekian lama aku bergentayangan di waduk itu, berharap suatu saat ada orang yang bisa melihat dan menolongku, eh, nggak taunya yang kutemui justru laki laki penakut yang langsung kabur begitu tau siapa aku sebenarnya.

Ah, tapi memang salahku juga sih, kenapa juga aku menunjukkan wajah seram seperti tadi. Tapi aku tak punya cara lain lagi. Lagipula, kukira laki laki itu sudah terbiasa melihat penampakan penampakan seram seperti tadi, mengingat bahwa dia bisa melihatku, itu berarti dia bukan orang sembarangan. Nggak taunya penakut!

Ingat saat tadi pertama kali aku melihat laki laki itu, aku jadi tersenyum sendiri. Siapa sangka kalau akhirnya penantianku selama ini nggak sia sia. Seperti biasa, begitu malam menjelang, aku menuju ke bawah bendungan tempat biasa aku nongkrong di malam hari. Salah satu tempat favoritku selain warung kopi yang berada di ujung bendungan itu, yang menjadi tempat istirahatku di waktu siang hari. Bukan tanpa alasan kalau aku memilih warung yang itu dari sekian banyak warung yang bertebaran di sekitaran waduk. Perempuan tua si pemilik warung, menanam pokok kembang semboja di depan warungnya. Kembang yang menjadi favoritku semenjak aku masih hidup dulu.

Ya. Aku sangat menyukai kembang Semboja. Bahkan setelah aku mati dan menjadi arwah gentayangan, aku masih menyukai kembang yang kata orang adalah bunga kuburan itu. Tak jarang, aku memetik kembang yang tumbuh didepan warung itu dan menyelipkannya di telingaku. Entah mengapa, aku merasa semakin cantik kalau sudah menghias telingaku dengan kembang itu.

Oh ya, kalian pasti penasaran, kenapa aku sampai bergentayangan. Bagaimana aku mati, aku sendiri juga tidak tahu. Yang aku ingat waktu itu, aku sedang makan bersama kekasihku, sambil membahas tentang hubungan kami. Lumayan lama aku berpacaran dengannya, meski tak mendapat restu dari orang tuaku.

Waktu itu, aku mendesak pacarku untuk segera menikahiku. Terdengar sedikit berlebihan sebenarnya, seorang perempuan sampai kabur dari rumah dan mengejar ngejar laki laki yang jadi pacarnya untuk segera menikahinya. Tapi aku punya alasan yang kuat, kenapa aku sampai melakukan hal seperti itu. Aku tak bisa menceritakan alasan secara mendetail. Malu! Karena itu menyangkut harga diriku sebagai seorang perempuan.

Bukan sekali itu saja aku mendesak pacarku untuk segera menikahiku. Tapi laki laki itu selalu memberikan alasan yang sama. Belum siap! Bosan rasanya mendengar alasan yang sama dari waktu ke waktu. Tapi aku tak mau menyerah. Sampai malam itu, sepertinya menjadi malam terakhir aku menagih janji kepada laki laki itu. Selesai makan bersamanya, aku merasakan pusing dan mual mual yang teramat sangat, lalu mendadak semua menjadi gelap. Aku tak ingat apa apa lagi. Dan begitu aku sadar, aku melihat diriku yang lain telah terbungkus karung dan tenggelam di dasar sungai yang kini telah dibangun menjadi sebuah waduk itu.

Ya. Aku mati! Dan arwahku gentayangan. Bukan semata mata karena rasa dendam kepada pacarku, tapi lebih ke rasa bersalah kepada keluargaku. Mereka sangat menyayangiku. Tapi aku membalas kasih sayang mereka dengan cara seperti ini. Ingin aku kembali pulang dan meminta maaf kepada ibu dan adikku. Tapi aku tak tau caranya. Karena itulah setiap malam aku bergentayangan di waduk ini, berharap ada orang yang bisa menolongku. Sampai akhirnya laki laki itu datang, dan disinilah aku sekarang.

Kembali ke kisah awal aku bertemu laki laki itu tadi. Begitu aku sampai di bawah bendungan, aku sedikit terkejut, karena ternyata ada orang disitu. Duduk diatas batu yang biasa aku duduki. Awalnya aku merasa heran, kenapa ada orang yang bersusah payah memancing di tempat ini? Padahal sudah jelas jelas tak banyak ikan di sini.

Tapi, ya sudahlah. Malah kebetulan, aku jadi ada teman dari bangsa manusia. Biasanya yang menemaniku disini selain nyamuk ya makhluk makhluk sejenisku yang sudah terlebih dahulu menghuni tempat ini.

Aku lalu duduk di dekat laki laki itu, yang sepertinya tak menyadari kehadiranku. Ia justru asyik memandangi kunang kunang yang berterbangan di area persawahan sana. Aneh. Orang memancing bukannya memperhatikan joran pancingnya kok malah ngelihatin kunang kunang sambil setengah ngelamun gitu.

"Malam malam kok ngelamun di tempat seperti ini. Nanti kesambet baru tau rasa," ujarku sedikit keras. Toh aku mau bicara sekeras apapun dia tak akan bisa mendengar dan melihatku.

Namun diluar dugaanku, laki laki itu menoleh ke arahku. Apakah dia bisa melihat atau mendengar suaraku barusan? Tapi rasanya mustahil. Mungkin ia cuma sedikit peka, dan merasa merinding atau gimana gitu, seperti orang kebanyakan saat berada berdekatan dengan makhluk sepertiku.

Sambil menikmati pemandangan di tengah kali, aku mencuri curi pandang ke arah laki laki yang terus saja menatap ke arahku itu. Penasaran, apakah orang itu benar bisa melihatku atau tidak, aku kembali berkata. "Nggak sopan ngelihatin orang lama lama sampai nggak berkedip gitu."

Diluar dugaan, laki laki itu merespon ucapanku. Ia buru buru mengalihkan pandangannya ke joran pancingnya sambil mengucap maaf.

Astaga! Benarkah ia bisa melihatku? Kalau benar, ini kesempatanku. Aku bisa memanfaatkan orang ini untuk menyampaikan permintaan maafku kepada keluargaku. Tapi tunggu dulu. Aku belum tau laki laki macam apa yang berada di hadapanku ini. Iya kalau dia orang baik baik. Kalau enggak? Kembali kulirik orang itu, yang ternyata masih mencuri curi pandang ke arahku.

"Sudah dibilang nggak sopan ngelihatin orang lama lama gitu, masih juga mencuri curi pandang!" lagi lagi aku berkata dengan nada yang kubuat seketus mungkin, sambil tetap memandang ke arah tengah sungai.

"Iya, maaf. Aku cuma heran, kamu perempuan, ngapain malam malam berada di tempat seperti ini?" laki laki itu berkata sambil mengangkat jorannya dan kembali memasang umpan. Dari nada bicaranya, aku bisa menarik dua kesimpulan. Antara dia belum menyadari siapa diriku sebenarnya, atau dia sudah terbiasa menghadapi makhluk sepertiku.

"Itu bukan urusanmu!" aku menjawab dengan nada yang masih ketus. Tanpa kuduga, laki laki itu justru tertawa tertahan.

"Kenapa tertawa?" tanyaku pura pura kesal. Padahal aku tau apa yang ia pikirkan. Ia menyamakan aku dengan istrinya yang juga galak sepertiku.

"Eh, enggak kok," laki laki itu berkilah, sambil kembali sibuk dengan joran pancingnya. "Kamu nggak takut apa, malam malam berada di tempat seperti ini?" tanyanya.

"Sudah kubilang itu bukan urusanmu! Masih juga bertanya! Menyebalkan!" aku pura pura merajuk.

"Iya iya, maaf. Aku cuma.."

"Sudah! Jangan berisik! Aku kesini untuk mencari ketenangan! Nggak taunya kamu malah datang dan merusak suasana! Menyebalkan!" lagi lagi aku bersungut dengan nada kesal.

"Lho, bukannya aku yang lebih dahulu datang ke tempat ini? Kenapa justru dia yang marah dan merasa terganggu? Seharusnya kan aku yang marah?" jelas kudengar suara batin laki laki itu.

"Ini tempat umum, bukan tempat milik kakek moyangmu! Siapa saja bebas untuk datang ke tempat ini!" ujarku.

Laki laki itu nampak terkejut. Aku sendiri baru sadar kalau tanpa sengaja telah menyahuti suara batinnya.

"Sudah tau begitu, kenapa masih marah marah?" ujar laki laki itu.

"Terserah aku dong, mau marah kek, mau enggak kek! Itu bukan urusanmu! Kalau nggak mau dengar aku marah marah, pergi sana! Jangan ganggu aku!" seruku.

Laki laki itu juga nampak kesal. Terbukti ia segera berdiri dan membereskan peralatan pancingnya, lalu beranjak pergi. Wah, gawat! Bisa hilang kesempatanku kalau laki laki itu sampai ngambek dan beneran pergi.

"Dimana mana laki laki sama saja ya. Nggak pernah peka dan memahami perasaan perempuan!" kupancing ia dengan kata kata itu, yang ternyata sukses menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.

"Maksud kamu apa?" tanya laki laki itu bingung.

"Ya kamu itu. Sudah tau aku lagi begini! Malah ditinggal gitu aja. Dihibur kek apa gimana gitu!'

Laki laki itu nampak bingung, menggaruk garuk kepalanya yang aku yakin tak terasa gatal sama sekali.

"Aneh! Tadi katanya nggak mau diganggu! Giliran mau ditinggal ngatain nggak peka! Sekarang siapa yang menyebalkan coba?"

Yess! Berhasil! Pancinganku sukses membuat laki laki itu kembali duduk di tempatnya tadi tadi. Mulai memasang umpan dan melempar kail. Sedetik, dua detik, sampai beberapa menit kemudian ia masih tetap asyik dengan joran pancingnya. Tanpa berkata, bahkan tanpa melirikku sama sekali. Aku semakin kesal karena merasa diacuhkan.
"Aku kabur dari rumah!" akhirnya aku berinisiatif untuk membuka suara. Namun tak ada respon. Laki laki itu masih asyik dengan joran pancingnya. Menyebalkan!

"Aku nggak tau lagi mesti kemana!" ujarku lagi, sambil meliriknya. Tetap saja, ia masih sok sibuk dengan joran pancingnya. Benar benar menyebalkan!

"Boleh aku menginap dirumahmu? Semalam saja!" kesal, aku mengeluarkan jurus terakhirku.

"Tidak!" nah, kan. Akhirnya laki-laki itu bersuara juga, meski hanya sepatah.

"Tidak?" aku pura pura tak paham.

"Maaf ya, bukannya aku tak mau membantu," laki laki itu berkata sambil terus asyik dengan joran pancingnya. "Tapi asal kamu tau, aku datang kesini karena ingin melupakan masalahku. Istriku, minggat dari rumah gara gara perempuan. Dan sekarang kau malah memintaku untuk mengijinkanmu menginap di rumahku? Itu sama saja kau ingin membunuhku!"

Aku tertawa mendengar kata katanya itu. Laki laki ini terlalu jujur. Dan sepertinya dia bukan tipe laki laki nakal. Meski ia bilang istrinya minggat gara gara perempuan, tapi aku yakin itu hanyalah sebuah kesalahpahaman saja. Dan ia tak sepenuhnya menyalahkan sang istri. Itu menandakan kalau ia orang yang sangat bisa memahami perasaan perempuan. Orang yang sangat tepat untuk kumintai bantuan.

"Kenapa tertawa?" laki laki itu mendengus kesal.

"Nggak papa! Aku hanya tak menyangka kalau ternyata kamu adalah tipe laki laki yang takut sama istri."

"Cih!" laki laki itu mendecih kesal, sepertinya ia tak suka aku ledek seperti itu.

"Kaubilang tadi istrimu sedang tak ada dirumah?" sambungku lagi.

"Kalau iya memang kenapa?" tanya laki laki itu.

"Itu berarti kalau aku menginap di rumahmu semalam ini saja, dia nggak bakalan tau kan?"

Tanpa kuduga, ucapanku itu membuat laki laki itu bangkit dengan tiba tiba, membereskan peralatan memancingnya, lalu mendekat ke arahku sambil menatapku dengan tatapan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Aku tau apa yang ia pikirkan. Ia mengira aku adalah bagian dari perempuan perempuan nakal yang mangkal di waduk sana, yang sedang berusaha untuk merayunya. Tapi apa peduliku? Kini aku telah yakin kalau laki laki ini adalah orang baik dan bisa membantuku. Jadi, apapun yang terjadi, aku tak akan pernah melepaskannya.

"Nona!" nada suara laki-laki itu sedikit berubah. "Kau belum tau perempuan seperti apa istriku itu! Sedikit saja ada aroma parfummu yang menempel di sarung bantal yang ada di rumahku, maka itu sudah cukup untuk dia menabuh genderang perang! Tidak hanya kau yang nanti bakalan habis dijambak dan di cakar cakar olehnya, tapi aku juga bisa dijadikan perkedel! Jadi kusarankan, lebih baik kamu mencari laki laki lain saja yang bisa kau goda!"

Laki laki itu langsung pergi setelah mengucapkan kata kata itu. Aku tersenyum puas, lalu diam diam mengikutinya. Ternyata dia tidak langsung pulang, melainkan singgah ke salah satu warung yang ada di waduk dan berbicara dengan seseorang. Mungkin temannya

Penasaran, aku diam-diam mendekat dan menguping pembicaraan mereka. Kudengar laki laki itu menggerutu, karena sang teman tak mau mengantarnya dan justru menyuruhnya pulang sendiri dengan berjalan kaki.

Sungguh, aku tak suka dengan temannya itu. Wajahnya itu, terlihat sangat menyebalkan. Aku yakin, sifatnya juga pasti lebih menyebalkan lagi.

Laki-laki itu lalu pulang dengan berjalan kaki. Aku masih terus mengikutinya dari kejauhan, agar tak sampai ketahuan. Ternyata rumahnya tak begitu jauh dari waduk itu. Rumah mungil yang terlihat asri, menandakan kalau si pemilik rumah merawat dan menjaga rumah itu dengan sangat sungguh sungguh.

Laki-laki itu masuk ke dalam. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Ikut masuk begitu saja? Rasanya mustahil. Ia bisa terkaget kaget kalau melihatku tiba tiba berada di dalam rumahnya, padahal jelas jelas pintu sudah ia tutup rapat rapat. Sebagai makhluk astral, aku tentu saja tak bisa menyentuh atau membuka pintu itu. Kalau menembusnya aku bisa. Berteriak memanggilnya? Rasanya kok kurang sopan. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya saja diluar. Duduk di atas lincak sambil berharap laki laki itu kembali keluar.

Harapanku terkabul. Laki-laki itu benar benar kembali keluar, dan terlihat sangat terkejut begitu melihatku telah duduk di teras rumahnya.

Aku kembali merayunya agar mengijinkanku menginap malam ini. Tapi laki-laki itu ternyata memiliki pendirian yang sangat teguh. Ia tetap menolak, dan malah bermaksud untuk memberiku uang agar aku cepat cepat pergi dari rumahnya.

Kesal, akhirnya aku kembali mengeluarkan jurus terakhirku. Jurus air mata buaya. Ya. Aku pura pura menangis. Dan laki laki itupun termakan oleh jurusku. Ia meminta maaf, lalu mengajakku ngobrol panjang lebar. Aku suka caranya berbicara. Lugas, namun tak memandang rendah pada lawan bicaranya. Sampai pada bagian saat aku harus menjelaskan siapa diriku, aku sedikit ragu. Apakah aku harus jujur, atau berbohong.

Ah, buat apa aku berbohong. Toh dia bisa melihatku, pasti dia juga tau siapa diriku. Akhirnya aku berkata jujur. Tapi dia malah tertawa, dan menuduhku mengarang cerita, saat kuceritakan bahwa aku sebenarnya adalah hantu. Untuk meyakinkannya, aku menyuruhnya untuk menyentuhku. Tapi dia tak mau. aku tak mau menyentuh perempuan yang bukan istriku, begitu katanya. Sebuah kalimat yang membuatku semakin terkagum kagum kepadanya.

Tak ada cara lain, akhirnya aku memintanya untuk memandang wajahku, dan saat dia serius menatapku, aku merubah wujudku menjadi sosok yang 'sedikit' menyeramkan. Pikirku, kalau dia sudah biasa melihat makhluk astral, tentu dia juga sudah biasa melihat sosok sosok yang menyeramkan.

Tapi dugaanku salah. Begitu melihat wujudku yang telah kurubah, laki laki itu langsung menjerit setinggi langit dan lari tunggang langgang seperti maling yang kepergok si tuan rumah.

Aku nyaris tak bisa menahan tawa jika mengingat kejadian itu, sampai tak sadar kalau waktu sudah mendekati pagi hari. Ada rasa cemas menghampiriku, saat laki laki itu tak kunjung kembali juga.

Tapi ini kan rumahnya. Cepat atau lambat ia pasti kembali. Aku yakin itu. Jadi untuk apa aku khawatir. Aku hanya butuh sedikit bersabar. Sambil menunggu laki laki itu pulang, kenapa aku tak masuk saja? Siapa tau di dalam sana aku bisa menemukan sesuatu yang menyenangkan.

Berpikir begitu, aku lalu bangkit dan melayang menembus pintu yang sebenarnya lupa belum dikunci oleh laki laki itu. Benar benar teledor! Bagaimana kalau sampai ada maling yang masuk coba.

Ada rasa kagum saat aku memasuki rumah ini. Meski kecil, namun rumah ini terlihat sangat bersih dan rapi, menandakan kalau si nyonya rumah termasuk orang yang rajin. Makhluk sepertiku, sudah jelas tak akan betah lama lama tinggal ditempat seperti ini.

Mataku lalu tertuju pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding. Foto laki-laki itu bersama seorang perempuan bertubuh tinggi besar dan seorang gadis kecil berambut keriting. Pasti itu istri dan anaknya. Tanpa sadar aku tersenyum. Pantas saja laki laki itu takut pada istrinya. Lha wong istrinya tinggi besar begitu, sedang laki laki itu perawakannya kurus kecil. Sekali disentil sama istrinya juga pasti langsung mental.

Tengah asyik aku memandangi foto itu, dari arah luar terdengar suara berbisik bisik. Ah, akhirnya dia kembali juga. Dan aku yakin dia kembali tidak sendirian tapi bersama temannya yang konyol di waduk tadi.

Syukurlah. Kali ini aku akan berhati hati agar dia tidak ketakutan dan kabur lagi.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close