Semboja Kedhung Jati (Part 3)
JEJAKMISTERI - Sepulang dari waduk, kesialan rupanya masih menguntitku sampai ke rumah. Geratakan membuka lemari dapur untuk menyeduh kopi, ternyata yang kudapati hanyalah toples tempat gula dan kopi yang kosong melompong.
"Asem!" aku mendengus sambil menghempaskan pantatku diatas sofa ruang tamu. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku, yang ternyata....., juga kosong melompong.
"Wedhus tenan!" mau tak mau sepertinya aku harus keluar lagi untuk membeli rokok dan kopi. Kulirik jam yang menempel di dinding. Sudah hampir jam satu dini hari. Ah, mudah mudahan warung Mbok Nah masih buka, batinku sambil membuka pintu.
"Eh, bau ini...?" baru saja aku hendak memutar handel pintu, aroma samar wangi kembang semboja menyapa hidungku. Jangan jangan.....
Benar dugaanku. Begitu aku membuka pintu dan keluar, nampak sosok perempuan yang tadi kutemui di waduk telah duduk diatas lincak di teras rumahku. Mendengar suara pintu terbuka, gadis itu menoleh dan memamerkan senyumnya tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Kamu?! Ngapain kamu disini? Dan..., bagaimana kamu bisa tau rumahku?" tanyaku heran.
"Aku diam diam mengikutimu pas pulang dari waduk tadi," jawab gadis itu.
"Mengikutiku? Untuk apa? Dan...."
"Kan sudah kubilang, aku ingin numpang tidur disini, semalam ini saja." Wah, bener bener nih anak ya. Bisa bisanya dia sampai senekat ini mengikutiku sampai ke rumah.
"Ndhuk, cah ayu, dengar baik baik ya," dengan sedikit kesal akhirnya aku mendekati gadis itu. "Kalau kamu mengira aku adalah laki laki yang mudah untuk kau goda, kamu salah besar! Jelek jelek begini, aku tipe laki laki yang setia. Kalau kamu memang sudah putus asa karena tak mendapatkan pelanggan malam ini, tak perlu repot repot menggodaku. Nih, ada sedikit uang untuk sekedar...."
"Eh, seburuk itukah penilaianmu terhadapku?!" gadis itu menatapku dengan sangat tajam. "Kau samakan aku dengan perempuan perempuan nakal yang suka mangkal di waduk sana?! Tega kamu ya! Kukira kau lelaki baik! Nggak taunya sama saja dengan laki laki lain! Menyesal aku mengikutimu sampai kesini!"
Gadis itu menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Samar samar mulai kudengar isaknya. "Aku sudah lelah! Sudah sekian lama aku terlunta lunta tanpa ada yang mau peduli kepadaku. Dan kini, saat aku mengira bahwa ada orang yang bisa menolongku, ternyata ..., hiks...! hiks...! hiks...!"
"Eh, kok malah..." bingung aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Ada rasa menyesal karena telah mengucapkan kata kata yang ternyata sangat menyinggung perasaan gadis itu.
"Maaf, kalau kata kataku tadi menyinggung perasaanmu," aku menurunkan nada suaraku, lalu ikut duduk disamping gadis itu.
Gadis itu mengangkat wajahnya, lalu mengusap air matanya yang meleleh di pipi. "Ah, harusnya aku yang minta maaf, karena telah mengganggumu."
"Sekarang, coba ceritakan, kamu itu sebenarnya siapa dan darimana. Lalu kenapa sampai terlunta lunta seperti ini? Dan apa yang membuatmu sampai kabur dari rumah?"
"Namaku Ningrum," desah gadis itu pelan.
"Ningrum, nama yang bagus," gumamku. "Berapa usiamu?"
"Duapuluh tahun, kukira."
"Darimana asalmu?"
"Dari desa Karang *****"
"Karang *****?! Karang ***** yang di kecamatan J itu?" tanyaku heran. Setahuku hanya ada satu desa bernama Karang *****. Dan itu letaknya lumayan jauh, berada di kota kecamatan sebelah.
"Iya," Ningrum menjawab pendek.
"Karang *****, lumayan jauh untuk sampai di desa ini. Sejak kapan?" tanyaku lagi.
"Ya?" Ningrum menoleh ke arahku.
"Maksudku, sudah berapa lama kamu kabur dari rumah?"
"Entahlah, aku tak ingat pasti. Tapi yang jelas sudah lumayan lama."
"Kenapa kamu sampai kabur dari rumah?" cecarku dengan pertanyaan yang sudah mirip polisi menginterogasi penjahat.
"Panjang ceritanya Mas....?"
"Ah, iya. Sampai lupa. Panggil saja aku Indra."
"Panjang ceritanya Mas, dan...."
"Ceritakan saja. Aku siap mendengarkan. Siapa tau setelah aku mendengar ceritamu, nanti aku bisa sedikit membantu."
"Ah, sebenarnya...., aku..., ish, aku malulah Mas kalau harus menceritakannya."
Aku tersenyum geli. Sedikit banyak aku sudah bisa meraba, masalah apa yang dihadapi oleh gadis ini. Melihat penampilannya yang aku yakin dia adalah anak dari keluarga orang berada, dan usianya yang masih sangat belia, aku yakin, masalah yang dihadapi oleh gadis ini tak jauh jauh dari masalah cinta.
"Biar kutebak," kataku akhirnya. "Kamu kabur dari rumah, karena orang tuamu tak merestui hubunganmu dengam pacarmu kan? Lalu kamu nekat, kabur dari rumah dengan pacarmu itu. Dan setelah kabur, pacarmu itu..., nggak mau tanggung jawab dan justru menelantarkanmu di desa ini. Atau jangan jangan kamu dan pacarmu itu sudah..."
"Eh, darimana Mas Indra tau kalau...."
"Haha, aku bukan anak ABG lagi Rum. Aku sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kalau cuma masalah seperti itu mah, cuma masalah sepele buatku. Tapi maaf, untuk mengijinkanmu menginap disini, aku benar benar tak bisa. Jangan tanya kenapa, karena itu urusan intern rumah tanggaku. Tapi jangan khawatir, biar kuantar kau pulang malam ini juga. Biar nanti..."
"Andai bisa semudah itu Mas. Tapi sayangnya tak segampang itu."
"Kenapa? Kau takut kena marah orang tuamu? Atau orang tuamu sudah tak mau menerimamu lagi? Itu soal gampang. Biar nanti aku bantu bicara dengan orang tuamu."
"Bukan Mas. Tidak seperti itu, tapi..."
"Tapi kenapa? Apa kamu sudah benar benar tak mau pulang lagi?"
"Bukan Mas. Dengar dulu aku cerita, jangan dipotong begitu."
"Hehe, iya, maaf. Coba kamu cerita, kenapa sampai kamu nggak mau pulang."
"Bukan nggak mau Mas, tapi nggak bisa."
"Kenapa?"
"Karena....., karena...., ah, aku pulangpun sepertinya juga percuma Mas."
"Rum, jangan pesimis begitu. Sebesar apapun kesalahan seorang anak, yang namanya orang tua pasti..."
"Bukan masalah itu Maaassss...., dengar dulu dong aku cerita."
Lagi lagi aku tertawa. Bukan, bukan mentertawakan nasib buruk gadis itu. Tapi aku tertawa karena melihat gadia itu mulai menampakkan sifat aslinya. Dari cara bicaranya barusan nampak jelas kalau gadis ini sedikit manja dan kekanak kanakan.
"Iya deh, aku dengarkan."
"Mas, apa kamu nggak merasakan sesuatu saat pertama melihatku tadi?" tanya gadis itu.
"Merasakan apa?"
"Ya apa gitu. Sesuatu yang diluar kebiasaan atau apa gitu."
"Ya aku merasa agak aneh aja sih, seorang gadis dengan dandanan seperti itu duduk sendirian di tempat gelap dan sepi. Kukira tadi malah kuntilanak lho," jawabku setengah bercanda.
"Memangnya Mas Indra pernah melihat kuntilanak?"
"Amit amit dah, jangan sampai."
"Tapi Mas Indra bisa melihat makhluk halus kan?"
"Kok kamu nanya gitu?"
"Ya kerena Mas Indra bisa melihatku."
"Kenapa enggak? Memangnya kamu..., tunggu, jangan bilang kalau kamu...."
"Benar Mas. Karena itulah aku sampai terlunta lunta selama ini. Sekian lama aku menunggu di waduk itu, berharap bisa ada orang yang bisa melihat dan menolongku. Sampai akhirnya tadi Mas Indra datang dan menyapaku. Harapanku yang sudah nyaris pupus bangkit kembali. Dan karena itulah aku sampai nekat mengikuti Mas Indra kesini, karena mungkin hanya Mas Indra yang bisa menolongku."
"Bwuahahaha...," aku tak bisa menahan tawaku mendengar ucapan gadis itu. Ada ada saja. Dikiranya aku bisa dikibulin apa dengan cerita seperti ini. Dasar anak ABG. Aku yakin, dia cuma mau nyari alasan agar aku tak memaksanya untuk mengantarnya pulang. "Sudah ah, jangan bercanda. Lagian aku bukan anak kecil yang bisa kau takut takuti dengan cerita hantu seperti itu. Kalau kamu beneran hantu, pasti...."
"Kamu ndak percaya Mas?" gadis itu kembali menatapku.
"Sudahlah Rum, ndak usah bikin cerita yang aneh aneh. Kalau memang kamu ndak mau kuantar pulang, ya sudah. Ndak papa. Tapi tetap saja kamu ndak bisa nginap disini. Nanti biar kucarikan tempat..."
"Coba kamu sentuh aku Mas!"
"Eh...?"
"Iya. Coba kamu sentuh aku. Agar kamu percaya. Kalau kamu bisa menyentuhku, berati aku memang bukan hantu."
"Nggak! Aku bukan laki laki kurang ajar. Aku tidak akan menyentuh perempuan kecuali istriku."
"Oh, begitu ya. Baiklah. Bagaimana kalau begini, apa kamu masih belum percaya juga?" Gadis itu beringsut dan mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku.
"Eh, apa yang kau lakukan?"
"Perhatikan Mas. Tatap dan perhatikan baik baik wajahku ini!"
Aku tercekat. Gadis itu beringsut mendekat, hingga wajah kami hanya berjarak sepersekian inci saja. Kini dapat kulihat wajah cantik gadis itu lebih jelas lagi. Juga aroma wangi kembang semboja yang kian menyeruak ke rongga hidungku.
"Tatap baik baik Mas!" bisik gadis itu.
Bagai terkena hipnotis, aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajah gadis itu. Wajah cantiknya, mata lebarnya, hidung bangirnya, bibir mungilnya, dan..., pandanganku sedikit mengabur, seiring dengan senyum yang tersungging di bibir gadis itu. Senyum lebar yang semakin melebar, menarik sudut sudut bibirnya ke arah samping sampai nyaris menyentuh daun telinganya.
"Eh, apa yang...?!"
Aku tak sanggup melannjutkan ucapanku, karena kini kulihat wajah gadis itu seolah meleleh. Eh, bukan meleh ding, tapi membusuk! Serpihan serpihan daging mulai berjatuhan terdorong oleh belatung belatung yang menggeliat berusaha keluar dari dalam wajah gadis itu. Kedua mata lebar gadis itu juga pelan pelan melorot dan menggelantung di pipi. Senyum yang tadi terlihat manis, kini terlihat menyeramkan, karena kedua daging di pipi gadis itu mulai mengelupas, memperlihatkan deretan gigi geligi yang menghitam dan gusi yang memerah.
"KAMU....?! HUWAAAAASSSSUUUU....!!!" tanpa berpikir panjang lagi akupun segera melompat dan berlari secepat aku bisa, meninggalkan sosok menyeramkan itu.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya