Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 2)


JEJAKMISTERI - Waduk Kedhung Jati, sebenarnya bukanlah sebuah waduk, melainkan hanya Damatau bendungan irigasi yang belum lama ini dibangun untuk menggantikan fungsi bendungan yang lama (Dam kali Bagor, tempat Mbah Mo dulu nemu kucing Wedhon dan Lik Mukri yang manggul gedebog pisang yang berubah jadi pocong) yang sudah tak mampu lagi memenuhi pasokan air untuk para petani di desaku.

Dibangun tepat dibawah tempuran (pertemuan antara dua sungai yang menjadi satu) kali Bagor dan kali Gajahan, Dam Kedhung Jati ini memiliki ukuran dan luas yang lebih besar daripada Dam kali Bagor. Maka tak heran kalau warga akhirnya salah kaprah menyebutnya sebagai waduk.

Layaknya sebuah bangunan baru, keberadaan waduk ini tentu saja menarik perhatian warga, terutama yang punya hoby memancing. Apalagi saat peresmiannya dulu Pak Bupati sempat menebar ribuan ekor bibit ikan beraneka rupa kedalam waduk. Maka jadilah, setiap sore menjelang hingga larut malam, waduk ini dipenuhi oleh para pemancing yang tidak saja datang dari desa Kedhung Jati, tapi juga dari desa desa yang lain.

Keberadaan para pemancing ini sendiri kemudian melahirkan inisiatif bagi warga yang tinggal di sekitaran waduk untuk memanfaatkan kesempatan demi mendapatkan tambahan uang. Mereka lalu membuka warung warung sederhana untuk berjualan kopi dan beraneka makanan ringan lainnya. Keberadaan warung warung itu membuat suasana waduk menjadi semakin semarak, terutama di waktu malam hari. Kelap kelip lampu remang remang yang menerangi warung warung itu, jika dilihat dari kejauhan mirip arena pasar malam yang belum tentu setahun sekali digelar di kota kecamatan kami.

Lambat laun, tanpa disadari waduk Kedhung Jati ini sudah menjadi arena tempat wisata kecil kecilan di desaku. Kini bukan hanya para pemancing saja yang tertarik untuk datang, tapi juga warga lain yang hanya sekedar ingin menikmati pemandangan, sambil menikmati secangkir kopi yang disuguhkan oleh si penjaga warung yang rata rata adalah para gadis anak si pemilik warung yang rata rata berwajah manis khas gadis desa. Kaum muda mudi pun tak mau ketinggalan. Mereka biasanya datang di waktu malam minggu bersama pasangan mereka masing masing, memadu kasih sambil menikmati riak air waduk yang dipermainkan angin, sungguh suatu keromatisan tersendiri untuk ukuran anak desa.

Namun, kehadiran waduk ini sedikit banyak juga membawa pengaruh buruk untuk desaku. Entah sejak kapan dan dari mana asalnya, muncul beberapa 'wanita nakal' yang ikut nimbrung meramaikan khazanah dunia malam di waduk itu. Mereka biasa nongkrong di warung warung tersebut, sambil sesekali menebar pesona kepada para pengunjung, berharap bisa mendapatkan sedikit uang untuk menyambung hidup mereka esok hari.

Miris memang. Tapi begitulah kenyataannya. Dan kehadiran wanita wanita nakal itu sedikit banyak juga mempengaruhi pola hidup warga desaku. Tak sedikit dari warga desa Kedhung Jati yang kemudian terpengaruh dan terjerumus kedalam kehidupan malam yang kelam dan menyesatkan.

Seperti malam itu, hari belum terlalu larut saat aku dan Slamet datang ke waduk. Tapi dengan mata kepalaku sendiri aku bisa melihat setidaknya sudah ada lima atau enam perempuan dengan dandanan menor dan pakaian seksi yang duduk bergerombol di salah satu warung milik warga.

"Mas, gimana kalau sebelum memancing kita ngopi ngopi dulu, biar agak segeran dikit," usul Slamet sambil melirik ke arah gadis gadis itu.

"Halah, ngopi apa ngopi? Baru juga nyampai, otakmu sudah ngeres aja Met," sindirku yang tau apa maksud Slamet yang sebenarnya.

"Hehehe, selagi ada kesempatan Mas. Kebetulan kemaren kan kita habis gajian," ujar Slamet terkekeh.

"Ndak ah, kamu kalau mau ngopi dulu ya sana, aku mau langsung nyari spot aja," tolakku sambil meninggalkan Slamet yang juga segera beranjak menuju ke warung itu.

"Anak zaman sekarang, melihat yang bening sedikit saja, sudah lupa sama iman," gerutuku sambil menyusuri pinggiran danau, lalu turun ke bawah bendungan.

Sengaja memang aku memilih tempat itu untuk spot memancingku, karena tujuanku kesini memang bukan untuk mencari ikan, tapi mencari ketenangan dan melupakan masalahku dengan Indri. Tak ada seorangpun di tempat ini, karena memang jarang ada yang mau memancing di bawah bendungan. Selain karena jarang ada ikan, tempat di sekitar bawah bendungan itu sudah lama dikenal sebagai tempat yang angker. (rata rata tempuran atau tempat bertemunya dua aliran sungai menjadi satu memang dipercaya memiliki aura yang berbeda. Tak terkecuali dengan tempuran yang kini dibangun menjadi waduk Kedhung Jati ini. Bahkan saat proses pembangunanya dulu sempat ada kejadian ganjil yang menghebohkan warga dan nyaris merenggut korban. Mungkin di lain waktu ane akan menuliskan kisahnya di story lain.) Namun apa peduliku, aku hanya menginginkan ketenangan, dan hanya di tempat ini aku bisa bebas melakukan apa saja, tanpa takut terganggu oleh para pemancing yang lain.

Ditemani sebatang rokok, aku lalu duduk diatas sebuah batu yang agak menjorok ke tengah sungai, memasang umpan, dan melempar kail. Lama menunggu, tak ada seekor ikanpun yang mau menyambar umpanku. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke arah area persawahan yang membentang luas di kejauhan sana. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan kunang kunang nampak berterbangan dengan cahaya mereka yang berkelap kelip ditengah gelapnya malam. Angankupun melambung jauh ke masa kecil dulu, dimana aku selalu girang saat melihat kunang kunang dan berlarian untuk berusaha menangkapnya.

Ah, sungguh suatu kenangan yang sangat indah. Masa masa kecil dimana kita belum mengenal beban dan permasalahan kehidupan. Tidak seperti sekarang, segudang masalah seolah selalu menghntuku di setiap waktu. Dan Indri, ah, biar bagaimanapun dia tetaplah istriku, ibu dari anak anakku. Meskipun terkadang sikapnya sangat menyebalkan, toh sampai detik ini ia masih setia mendampingiku dalam suasana suka maupun duka

"Malam malam di tempat seperti ini kok ngelamun. Kesambet baru tau rasa!" sontak aku menoleh saat mendengar suara seorang perempuan dari arah samping kananku. Dan betapa terkejutnya aku, tak jauh dari tempatku duduk nampak sesosok perempuan berambut panjang duduk mencangkung sambil menatap tak berkedip ke arah tengah sungai. Samar aroma wangi kembang semboja menyapa indera penciumanku.

Sejak kapan ada perempuan di tempat itu? Dan ngapain dia malam malam di tempat seperti ini? Kalau ditilik dari pakaian yang ia kenakan,gaun panjang berwarna krem yang terbuat dari bahan yang lumayan mewah serta sendal jinjit yang ditempeli merk yang tak bisa dimiliki oleh sembarang orang, jelas dia bukan salah satu dari perempuan nakal yang suka mangkal di warung sana.

"Nggak sopan ya ngelihatin orang lama lama tanpa berkedip begitu," gumam perempuan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari tengah sungai.

"Eh, ma...., maaf," ujarku gugup sambil mengalihkan pandanganku ke joran yang aku pegang. Namun rasa penasaran memaksaku untuk tetap mencuri pandang melalui lirikan ke arah perempuan yang kini menoleh ke arahku dengan ekspresi terkejut.

Terlihat jelas kini, perempuan yang kutaksir baru berusia belasan tahun itu memiliki paras yang lumayan cantik. Wajah oval dengan mata lebar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung kecil mancung, serta bibir mungil merah merekah, serta rambut hitam panjang dengan hiasan sekuntum bunga semboja yang terselip di daun telinganya. Pantas saja tadi sekilas aku mencium aroma wanhi semboja. Sayang, wajah cantik itu terlihat sangat sendu, seolah gadis itu sedang memendam sebuah masalah yang sangat berat.

"Sudah dibilang nggak sopan ngelihatin orang lama lama gitu, masih juga mencuri curi pandang," ketus gadis itu berkata, sambil kembali mengarahkan pandangannya ke tengah sungai.

"Iya maaf," ujarku sambil mengangkat kail dan kembali memasang umpan. "Aku cuma heran aja, seorang gadis sepertimu, ngapain malam malam berada di tempat ini?"

"Bukan urusanmu!" sungut gadis itu tanpa menoleh.

"Wah, galak juga nih anak, sama kayak Indri," batinku sambil tertawa geli.

"Kenapa tertawa?" kini gadis itu menoleh ke arahku.

"Eh, enggak kok," jawabku sambil menahan senyum. "Kamu nggak takut apa malam malam sendirian di tempat seperti ini?"

"Sudah kubilang bukan urusanmu! Masih juga nanya. Menyebalkan!" gadis itu kembali menatap ke arah sungai.

"Iya iya, maaf. Aku cuma...."

"Sudah diam! Aku kesini untuk mencari ketenangan, tapi kamu justru datang dan merusak suasana! Menyebalkan!"

Eh, bukannya aku yang duluan datang, kenapa justru dia yang marah marah? batinku.

"Ini tempat umum, bukan milik kakek moyangmu. Jadi semua orang bebas untuk datang kemari!" What? Apakah gadis ini bisa membaca pikiranku?

"Kalau sudah tau begitu, kenapa kamu marah marah saat aku datang kesini?" ujarku lagi.

"Terserah aku dong! Mau marah kek, mau enggak kek! Kalau nggak mau dengar aku marah marah, pergi sana! Jangan ganggu aku!"

Asem! Sedikit kesal aku lalu membereskan joranku dan beranjak untuk pindah tempat. Wong tujuanku kesini juga untuk mencari ketenangan kok malah ketemu cewek yang judesnya sama persis dengan Indri.

"Dimana mana laki laki memang sama saja ya! Nggak pernah peka dan nggak pernah bisa memahami perasaan perempuan!" ucapan gadis itu sukses menghentikan langkahku.

"Maksud kamu apa?" aku berbalik dan menatap gadis itu.

"Ya kamu itu. Sudah tau aku lagi begini, malah ditinggal pergi gitu aja!"

"Lha katanya tadi nggak mau diganggu, giliran mau ditinggal malah ngatain nggak peka. Sekarang siapa yang menyebalkan coba?" ujarku kesal.

"Dasar laki laki!" rungut gadis itu sambil tetap menatap ke arah sungai.
Gadis ini, benar benar ya! Kalau nggak ingat dia itu seorang perempuan tentu sudah aku maki maki. Tapi melihat wajah sendunya itu, rasanya kok nggak tega juga. Sepertinya dia juga sedang menghadapi masalah besar sepertiku, makanya dia menyendiri di tempat seperti ini. Dan kalau kubiarkan, lalu gadis itu nekat melakukan hal hal yang enggak enggak, bisa runyam urusannya.

Berpikir seperti itu, aku lalu kembali duduk dan melempar kail. Tak kupedulikan kehadiran gadis itu. Biarlah dia dalam kesendiriannya. Yang penting kalau sampai dia nekat melakukan hal hal yang membahayakan dirinya sendiri aku masih disini dan bisa berusaha mencegahnya.

"Aku kabur dari rumah!" ucap gadis itu pelan.

Nah kan, tanpa kuminta akhirnya ia bercerita dengan sendirinya. Dasar perempuan, dimana mana sama saja. Sulit dipahami apa maunya. Aku sengaja diam, tak menanggapi kata katanya itu.

"Aku sekarang nggak tau mau kemana," ujar si perempuan itu lagi.

Aku masih tetap diam sambil pura pura fokus pada joranku.

"Aku tau, kamu mendengar ucapanku," ujar gadis itu lagi.

Aku masih tetap diam.

"Boleh aku numpang menginap di rumahmu? Untuk malam ini saja?"

"Tidak!" untuk pertama kalinya aku menjawab.

"Tidak?" gadis itu melotot ke arahku.

"Maaf ya, bukannya aku tak mau menolongmu. Tapi asal kamu tau, aku kesini karena ingin melupakan masalahku. Istriku, minggat dari rumah gara gara perempuan. Dan sekarang kamu ingin menginap di rumahku? Itu sama saja kamu mau membunuhku!" ujarku menjelaskan.

"Hihihi...!!!" tanpa kuduga, gadis itu justru tertawa mendengar ucapanku.

"Kenapa tertawa?" kini aku yang melotot ke arahnya

"Tak kusangka, kamu ternyata tipe laki laki yang takut sama istri ya."

"Cih," aku hanya mendecih mendengar ucapannya. Mau membatah tapi apa yang ia katakan itu memang benar adanya.

"Kau bilang istrimu sedang pergi?" tanya gadis itu lagi, setelah menyadari bahwa gurauannya tak mampu membuatku tertawa.

"Kalau iya memangnya kenapa?" tanyaku.

"Berarti kalau aku menginap semalam saja dirumahmu, istrimu nggak bakalan tau kan?"

Eh, ucapan macam apa itu? Tidak! Ini pasti sebuah jebakan! Jangan tertipu dengan penampilannya Ndra. Seorang perempuan, bersikeras untuk menginap di rumah laki laki yang bahkan sama sekali tidak dikenalnya, sudah jelas ini. Ini pasti modus baru para perempuan nakal untuk menjerat korbannya.

"Nona," berpikir seperti itu, aku lalu bangkit dan mendekat ke arahnya. "Dengar ya. Kau belum tau orang seperti apa istriku itu. Sedikit saja ada aroma parfummu yang menempel di sarung bantal yang ada di rumahku, maka itu sudah cukup untuk membuatnya menabuh genderang perang. Bukan hanya kamu yang akan habis dijambak dan dicakar cakar, tapi aku juga akan dijadikan perkedel. Jadi, kalau boleh aku sarankan, lebih baik kamu mencari laki laki lain saja yang bisa kamu kelabuhi!"

Berkata begitu, aku lalu bergegas meninggalkan gadis yang hanya terdiam itu. Setan! Hampir saja aku tertipu, rutukku dalam hati. Mereka, para perempuan nakal itu, semakin kesini semakin lihai saja dalam menjerat mangsa.

Dengan membawa rasa kesal aku lalu mencari Slamet yang ternyata masih berada di warung yang tadi. Rasa kesalku menjadi bertambah melihat Slamet yang asyik bercanda dengan salah satu dari gadis gadis berpakaian seksi itu.

"Met, pulang yuk!" seruku sambil menghampiri anak itu.

"Lho, baru juga jam sebelas Mas," Slamet menoleh ke arahku, setelah sebelumnya melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Udah ndak mood! Mancing bukannya dapat ikan malah ketemu dhemit wedok!" sungutku sambil melirik si gadis yang menggelendot di lengan Slamet.

"Walah, tapi aku masih ada urusan je Mas. Sampeyan pulang sendiri aja ya, nanti aku nyusul," ujar Slamet.

"Halah, urusan apa? Kayak orang penting saja kamu!"

"Biasalah Mas, urusan anak muda," jawab Slamet sambil mengerling ke arah si gadis di sebelahnya itu

"As*! Lha terus aku pulangnya gimana? Masa jalan kaki?"

"Sekali kali kan ndak papa to Mas jalan kaki, itung itung olah raga. Sudah tua harus banyak jalan, biar sehat. Jangan dikit dikit naik motor."

"Wedhus!" aku mengumpat sejadi jadinya sambil berlalu meninggalkan Slamet. Samar masih kudengar Slamet dan gadisnya itu tertawa tergelak. Bahkan Slamet masih sempat berteriak meledekku.

"Ati ati Mas, kalau ketemu dhemit wedok lagi ajak pulang aja! Lumayan kan buat teman, mumpung Mbak Ndhut ndak ada dirumah!"

"Jiangkkrik!" sepanjang jalan aku mengumpat sejadi jadinya. Seharian seolah kesialan tak habis habisnya menimpaku. Indri yang minggat, nyaris menjadi korban bujuk rayuan cabe cabean, menjadi bahan olok olokan Slamet, dan kini harus pulang dengan berjalan kaki.

Dan sepertinya kesialan masih terus saja menguntitku, ketika aku sampai dirumah ternyata persediaan rokok dan kopiku habis. Terpaksa, mau tak mau aku harus kembali keluar untuk membeli dua benda yang paling setia menemaniku di setiap malam itu. Mudah mudahan warung Mbok Nah masih buka, batinku sambil membuka pintu.

"Lho, kamu...?!" lagi lagi aku harus dibuat terperanjat, saat aku membuka pintu ternyata telah ada sosok yang menungguku di luar. Sosok yang mampu membuatku melongo sampai beberapa detik, karena sosok itu/ternyata adalah...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close