Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 1)


JEJAKMISTERI - "Glodhak! Krompyang! Praaaannngggg!!!" dering alarm membangunkanku di pagi itu. (abaikan suara nada alarmnya. Itu hanya rekaman suara rantang yang dibanting oleh istriku saat sedang marah)Dengan mata masih mengantuk aku meraba raba permukaan meja kecil disebelah ranjang tempat tidurku, mencari HP jadul kesayanganku. Dan dengan mata yang masih mengantuk juga kulihat bar penunjuk waktu di layar benda pipih itu.

"Wedhus! Kawanen maneh ki!" (Kambing! Kesiangan lagi nih!) sontak aku melompat dari atas ranjang begitu menyadari waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat tigapuluh menit. Dengan langkah tergesa aku lalu keluar dari dalam kamar.

"Ndhut!" seruku, memanggil Indri, istriku yang saat itu entah berada di bagian rumah sebelah mana. "Kenapa nggak dibangunin sih?"

Sepi! Tak ada jawaban. Aku lalu bergegas ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan gosok gigi. Tak ada waktu lagi untuk mandi, kalau tak mau kena omelan mandor proyek tempatku bekerja. Masih dengan handuk yang mengalung di leherku, aku lalu menuju ke meja makan dan membuka tudung saji.

"Lho?!" aku hanya melongo, melihat tak ada apapun dibalik tudung saji itu. Jangankan sarapan, secangkir kopipun tak tersedia.

"Ndhut!" kembali aku berseru memanggil Indri istriku. "Mana kopinya?"

"Kopi?" kali ini terdengar sahutan dari arah kamar Aish, anak semata wayang kami. "Sampeyan mau kopi to? Mbok minta dibikinin sama Retno sana. Kan lebih enak kalau perempuan itu yang bikin!"

"Blaik!" sontak aku menelan ludah. "Retno? Darimana dia tau kalau..., ah, sial! Ini pasti ulah Slamet yang tak bisa menjaga lidahnya! Bisa panjang ini urusannya!" gerutuku dalam hati.

"Retno?" seruku pura pura tak mengerti.

"Ndak usah ngeles Mas!" kali ini Indri keluar dari kamar Aish dengan dandanan rapi, sambil menggandeng anak semata wayang kami itu yang juga telah didandani rapi. "Sampeyan itu ndak bakat jadi tukang bohong! Sampeyan pikir aku ndak tau apa, malem minggu kemaren sampeyan pergi kemana? Pergi dari sore sampai ketemu sore lagi baru pulang, katanya mau nemui teman di Gunung Kidul. Ndak taunya malah gendhak'an sama Retno!"

"Nah kan, bener! Ini semua pasti gara gara Slamet! Awas kamu nanti Met! Kalau ketemu bakalan aku permak mulut embermu itu!" sungutku dalam hati.

"Kamu itu ngomong apa to Ndhut, pagi pagi kok sudah ngelindur gitu?" ujarku.

"Oh, jadi sampeyan ndak mau ngaku? Sampeyan pikir aku ndak tau kalau kemaren itu sampeyan ke Gunung Kidul ketemu sama perempuan bernama Retno? Masih mau ngeles juga?! Mbok ya nyadar to Mas Mas! Mikir! Baru juga jadi tukang bangunan, gaji juga cuma pas pasan buat makan, lha kok berani beraninya sampeyan mau main perempuan! Aku ini kurang apa dimata sampeyan Mas?!" nada suara Indri mulai meninggi, membuatku terdiam seribu bahasa. Aku sudah paham betul sifat perempuan yang telah lima tahun menjadi pendamping hidupku itu. Kalau dia sudah emosi seperti ini, lebih baik aku diam dan mengalah. Bisa runyam urusannya kalau ditanggapi.

"Lha ini, kamu mau kemana? Pagi pagi kok sudah dandan rapi begini? Pake ngajak Aish lagi," tanyaku pelan.

"Mau pulang kerumah simbok! Stress lama lama aku kalau terus terusan begini! Ndak usah disusul! Teruskan saja hubungan sampeyan sama si Retno bocah Gunung Kidul itu!" sungut perempuan itu sambil mengulurkan tangannya. Menyerah, aku menyambut uluran tangan itu. Semarah apapun Indri, setiap mau pergi pasti masih menyempatkan untuk salim dan mencium tanganku. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Namun kali ini sepertinya diluar kebiasaan. Alih alih menyalami tanganku, ia justru menepisnya.

"Kunci motor!" sentaknya.

"Lho, motornya mau kamu bawa to? Terus nanti aku kerja pake apa Ndhut?!"

"Terserah sampeyan! Mau ngesot kek! Mau mbrangkang kek! Bukan urusanku! Lagian itu motor juga motorku! Mau aku bawa kek! mau aku bakar kek! Itu juga terserah aku! Cepat sini kunci motornya!"

Skak mat! Aku tak bisa berkilah lagi. Motor itu dulu memang kubeli atas nama Indri. Terpaksa kuikhlaskan kunci supra tua itu berpindah tangan. Dan mau tak mau nanti berangkat kerja harus nebeng sama Slamet. Itu juga kalau anak itu masih sempet nyamperin aku.

"Aish! Salim dulu sama bapak!" sentak Indri lagi.

"Pak, Aish kerumah eyang dulu ya sama emak. Nanti bapak nyusul ya kalau sudah pulang kerja," celetuk gadis kecilku itu sambil menyalami tanganku.

"Iya. Baik baik ya dirumah eyang. Jangan nakal. Nanti sepulang kerja bapak nyusul kesana," kuelus rambut keriting anak semata wayangku itu.

"Ya sudah! Aku berangkat Mas!" Indri juga lalu menyalami dan mencium punggung tanganku, lalu segera berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.

"Wedhus!" kembali aku mengumpat. Tentu saja setelah suara deru motor supra tuaku tak terdengar lagi. Semua gara gara Slamet. Bisa bisanya anak itu mengadu kepada Indri. Apa coba yang dibilang sama anak itu, sampai Indri bisa semarah itu? Padahal kan kemaren di Gunung Kidul aku cuma mau mencari info soal Mbah Jambrong untuk bahan tulisanku. Ketemu sama Retno juga cuma kebetulan. Dan aku juga nggak ngapa ngapain. Slamet Slamet, awas kamu nanti ya!

Sambil menyeduh kopi aku menggerutu panjang pendek. Meski sebenarnya aku tak begitu khawatir. Sudah menjadi tabiat Indri, kalau ada masalah pasti minggat ke rumah orang tuanya. Palingan juga nggak akan bertahan lama. Tiga atau empat hari juga nanti bakalan balik dengan sendirinya. Dan Aish-lah yang menjadi senjata andalannya. Bilang kalau disana Aish selalu rewel lah, kangen sama bapaknya lah, merengek minta pulang lah, ada saja seribu satu alasannya untuk menutupi rasa malunya. Perempuan, memang sulit dimengeri sifatnya. Minggat minggat sendiri, pulang juga sendiri.

Tengah sibuk aku mengaduk kopi, dari arah depan rumah terdengar raungan cempreng mesin motor dua tak. Tak salah lagi. Itu pasti Slamet. (kita sebut saja Slamet yang ini namanya Slamet 'penceng' ya, buat ngebedain ama Slamet yang kemaren mati diseruduk babi ama Pak Slamet suaminya Bu Ratih) Kami memang bekerja di proyek yang sama, dan sering berangkat bersama sama juga. Biasanya Slamet yang nyamperin aku, sekalian numpang sarapan dirumahku.

"Mas Drag! Mangkat ora?!" (Mas Drag! Berangkat enggak?!) benar saja, terdengar suara teriakan Slamet yang tak kalah cempreng dengan suara mesin motornya itu. Aku lalu bergegas keluar sambil menenteng cangkir kopi.

"Sini dulu Met, ngopi ngopi dulu," kulambaikan tanganku kearah pemuda itu.

"Wah, siap boss! Kebetulan nih, belum sempat ngopi dirumah," seru Slamet lagi, sambil menyandarkan motornya ke pagar bambu di depan rumahku, lalu melangkah masuk ke teras.

"Lho! Cuma kopi doang to? Ndak ada sarapannya Mas?" ujar Slamet sambil duduk, lalu menyambar cangkir kopiku dan menyeruputnya dengan sangat nikmat.

"Wedhus cluthak! (kambing rakus!) kebiasaan kamu Met, main serobot kopi orang aja! Mbok bikin sendiri sana!" sungutku kesal.

"Hehehe..., iya, sorry Mas. Sudah kebiasaan!" Slamet terkekeh sambil bangkit kembali dan masuk ke dapur. Ia memang sudah biasa membuat kopi atau mengambil makanan sendiri kalau di rumahku, karena aku dan Slamet ini memang sudah seperti keluarga sendiri.

"Kok sepi Mas?! Mbak Ndhut sama Aish kemana?" Slamet berteriak dari dalam dapur. Kami memang biasa memanggil Indri dengan panggilan 'Ndhut,' karena perempuan itu memang memiliki body yang lumayan lebar.

"Minggat!" jawabku singkat.

"Walah! Pasti sampeyan habis perang lagi ya?" celetuk Slamet yang telah kembali dari dapur sambil menenteng secangkir kopi. Kami lalu duduk berdua diatas lincak (balai balai bambu) yang ada di teras. "Ndak bosen apa sampeyan ini Mas, sama istri kok sering berantem begitu?"
"Bosan dhengkulmu mlocot itu," sungutku kesal. "Ini semua pasti juga gara gara kamu Met!"

"Lho, kok gara gara aku gimana to Mas?"

"Lha Indri bisa tau soal Retno dari siapa lagi kalau bukan dari kamu!"

"Oalah, soal itu to," Slamet terkekeh. "Ya maaf Mas. Habisnya Mbak Ndhut nanya nanya sama aku, ya mau ndak mau aku harus cerita to."

"Tapi kan ndak harus cerita soal Retno juga. Sudah tau kalau Indri itu sifatnya seperti itu, kamu malah cerita yang enggak enggak!"

"Justru itu Mas, karena Mbak Ndhut itu galak makanya aku cerita. Coba kalau kemaren pas ditanya aku jawabnya bohong, terus ketahuan, kan aku juga yang bakalan celaka. Bisa habis aku dijadikan perkedel sama istri sampeyan itu."

"Halah! Alesan aja kamu! Bilang saja kalau kamu memang seneng lihat aku ribut sama Indri!"

"Aku ndak sejahat itu juga kali Mas. Lagian aku juga ndak cerita yang aneh aneh kok. Pas Mbak Indri nanya kemarin di Gunung Kidul ketemu cewek apa enggak, aku cuma bilang kalau memang sempet ketemu sama Retno, tapi nggak ngapa ngapain gitu. Masa cuma gitu aja Mbak Ndhut marah sih."

"Ya jelas marah lah. Jangankan ketemu cewek, lihat aku mboncengin nenek nenek aja dia pasti marah Met. Kamu kayak ndak hafal sifatnya aja."

"Lha terus gimana dong Mas?"

"Ya ndak gimana gimana."

"Ndak sampeyan susul ke Ngantiyan saja to? Pakai saja itu motorku Mas."

"Males! Kebiasaan nanti kalau setiap minggat aku susul. Nanti juga pasti pulang sendiri kok."

"Wah, sampeyan ini suami yang ndak peka Mas. Masa istri minggat kok dibiarin aja gitu."

"Ndak usah cerewet. Istri istriku ini."

"Iya deh. Lha terus ini gimana, jadi berangkat kerja nggak?"

"Nanggung Met. Sudah jam sembilan. Berangkat juga paling sampai sana cuma mau diomelin sama mandor. Mending bolos aja sekalian."

"Wah, ngajarin ndak bener sampeyan ini Mas."

"Siapa yang ngajarin. Kamu kalau mau berangkat berangkat aja sana. Aku lagi males."

"Ndak ah, kalau sampeyan ndak berangkat aku juga enggak. Kalau gitu mending kita mancing aja gimana Mas? Biar nggak suntuk dirumah?" usul Slamet.

"Mancing apa jam segini Met? Mancing perkara?"

"Ya ndak to Mas, masa mancing perkara. Ya mancing ikan to."

"Males aku Met. Nanti malam saja kalau mau mancing. Siang ini aku mau puas puasin tidur. Ngantuk semalam begadang sampai jam tiga pagi."

"Wah, ide bagus itu Mas. Aku temenin ya?"

"Ngawur kamu!"

"Hehe, ndak gitu maksudnya Mas. Sampeyan kalau mau tidur tidur aja. Aku tak numpang main PS, boleh ya?"

"Sak karepmu Met. Tapi sebelumnya mbok beli sarapan dulu. Aku laper je Met."

"Lho, ndak dimasakin to sama Mbak Ndhut?"

"Pake nanya lagi. Sudah tau kalau..."

"Hehe, iya iya, sini duitnya, aku beliin nasi pecel di warung Mbok Nah."

Jadilah hari itu aku dan Slamet bolos kerja. Waktu seharian kuhabiskan untuk mengganti waktu tidurku yang kurang semalam. Sedang Slamet asyik main PS di ruang tamu.

Malamnya, seperti yang sudah direncanakan, kami berangkat mancing ke waduk Kedhung Jati yang terletak disebelah timur desa. Lumayan, bisa sedikit melepas rasa suntuk, secara dirumah juga mau ngapain. Nggak ada Indri dan Aish membuat suasana rumah menjadi sepi layaknya kuburan. Jadi mending mancing aja, sambil cuci mata melihat cabe cabean bening yang suka mangkal di waduk itu kalau malam.

Namun siapa sangka, niat untuk melepas rasa suntuk itu justru berujung pada sebuah peristiwa yang menjadi awal petualanganku sebagai seorang yang lain daripada orang kebanyakan.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close