Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 8)


JEJAKMISTERI - "Klak!" suara anak kunci yang diputar Ambar menggema di ruangan lantai dua yang luas namung hening itu. Bau tak sedap segera menguar keluar begitu gadis itu membuka pintu satu satunya kamar yang berada disitu. Bau anyir bercampur busuk yang membuat perutku merasa mual tiba tiba. Slamet bahkan tanpa segan segera menutup hidungnya dengan ujung kerah bajunya.

"Maaf kalau keadaannya seperti ini" Ambar mempersilahkan kami masuk ke kamar itu. Sedikit ragu aku melangkah masuk. Begitu juga dengan Slamet. Sementara Ningrum, samar kudengar gadis itu berbisik dari arah belakangku.

"Aku tunggu diluar dulu ya Mas. Tolong tanyakan kepada ibu, kalau dia berkenan memaafkanku, aku akan ikut masuk, tapi kalau tidak...," Ningrum tak melanjutkan bisikannya. Namun aku paham, gadis itu sepertinya masih sedikit ragu. Maka kuiyakan saja permintaannya itu dengan anggukan kepala.

Kamar yang berukuran lumayan besar itu, (sekitar empat kali lima meter), nampak sedikit kosong. Hanya ada sebuah ranjang dengan sesosok tubuh yang terbaring lemah diatasnya. Tubuh renta kurus kering yang sepertinya berada dalam keadaan hidup dan mati, terlihat dari tarikan nafasnya yang tersendat sendat.

Ambar menyalakan lampu. Kini ruangan itu menjadi terang benderang. Dan aku bisa semakin jelas melihat sosok diatas ranjang itu. Tubuh kurus yang hanya menyisakan tulang berbungkus kulit yang keriput dan menghitam tertutup kain jarik dari ujung kaki hingga pertengahan dada. Tak ada reaksi apa apa dari sosok itu saat kami semua memasuki kamarnya. Matanya yang sangat cekung menjorok kedalam menatap nyalang langit langit ruangan, nyaris tanpa berkedip.

"Sejak kapan ibumu seperti ini?" tanyaku pada Ambar, sambil mendekat ke arah ranjang itu, agar bisa lebih jelas lagi melihat kondisi perempuan tua itu. Sungguh, hanya rasa iba yang mampu menuntun langkahku untuk mendekat. Bau tak sedap yang sepertinya memang berasal dari tubuh renta itu sudah tak kupedulikan lagi.

"Beberapa bulan terakhir ini," jawab Ambar pelan. Nada suara gadis itu sudah melunak kini. "Semenjak kepergian Mbak Ningrum, kondisi kesehatan ibu memang semakin memburuk. Namun baru sekitar tiga bulanan ini beliau benar benar down, tak bisa berbuat apa apa lagi. Hanya terbaring lemah siatas ranjang begitu."

"Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja?" tanyaku.

"Sudah sering, bahkan beberapa kali opname, sampai hampir menguras semua tabungan yang kami miliki, tapi tak ada perubahan sama sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk merawatnya saja di rumah."

"Dan selama ini hanya kamu sendiri yang merawatnya?"

"Yach, siapa lagi? Hanya Mbak Ningrum saudara yang kumiliki, tapi dia malah..."

"Ya. Aku mengerti," gumamku sambil menarik kursi dan duduk disamping ranjang itu. "Nggak nyoba cari cara lain? Pengobatan alternatif misalnya?"

"Sudah juga. Tapi hasilnya sama saja. Bahkan orang terakhir yang aku undang untuk mengobati beliau, begitu melihat kondisi ibu langsung kabur tanpa pamit, bahkan sebelum sempat melakukan apa apa."

"Memangnya ibumu ini sebenarnya sakit apa to Mbak?" Slamet ikut bertanya.

"Entalah Mas. Dokter sendiri tak bisa menjelaskan secara pasti. Antara dokter yang satu dengan yang lainnya punya diagnosa yang berbeda beda. Tapi intinya sih sakit tua, meski sebenarnya usia ibu belum terlalu tua."

"Sakit tua? Jompo begitu maksudnya?" tanya Slamet lagi.

"Ya kurang lebihnya begitu Mas," Ambar menarik kursi dan ikut duduk disebelahku. "Mas, boleh aku sedikit bertanya?"

"Ya?" aku menoleh sejenak le arahnya.

"Kalau menurut Mas Indra, bagaimana kondisi ibuku ini sebenarnya?" tanya gadis itu sedikit ragu.

"Eh, kenapa bertanya seperti itu kepadaku?" heran aku balik bertanya.

"Tadi Mas bilang kalau ketemu dengan arwah Mbak Ningrum, itu berarti Mas bisa melihat makhluk halus kan? Apa Mas punya kemampuan lebih gitu? Kalau iya, mbok tolong dilihat kondisi ibuku ini. Siapa tau beliau berjodoh dengan Mas dan bisa sembuh, atau paling tidak..."
"Ambar," aku menukas pelan. "Aku bukan orang seperti itu. Maaf, bukannya aku tak mau membantu, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku bukan dukun atau paranormal. Soal aku bisa ketemu kakakmu itu, aku sendiri juga tak tau kenapa bisa begitu."

"Ah, maaf kalau begitu Mas, kukira..., tapi tak ada salahnya kan Mas kalau dicoba dulu? Siapa tau ada sebuah keajaiban."

Ah, gadis ini, sebegitu putus asanyakah ia sampai berkata seperti itu? Dan lagi lagi rasa iba yang membuatku tak bisa menolak permintaannya. Aku mengangguk, meski tak tau apa yang harus kulakukan.

"Jujur ya Mbar, seperti yang kubilang tadi, aku tak tau apa apa soal yang seperti ini, tapi paling tidak akan kucoba untuk mendoakan ibumu," ujarku setengah tak yakin.

Aku lalu memegang tangan Bu Nengsih sambil memejamkan mata dan membaca doa doa sebisaku. Intinya memohon kepada-Nya agar berkenan untuk memberi kesembuhan pada si sakit. Suasana hening sejenak, hingga aku dengan jelas bisa mendengar desah nafas perempuan tua yang tersendat sendat itu. Dan diantara desah nafas itu, samar samar kudengar suara bisikan yang entah darimana asalnya.

"Le, wong iku wis dudu Bu Nengsih maneh! Bu Nengsih wis mati! Sing ono ngarepmu iku, mung ragane Bu Nengsih sing disusupi iblis! Ngati ati Le, iblis kuwi mbebayani, ngenteni tumbal pungkasan! Tumbal kang wis dijanjekake Bu Nengsih rikolo semono! Tumbal anak mbarep kang durung kasil dipungkasi dening Bu Nengsih!" (Le, orang itu sudah bukan Bu Nengsih lagi! Bu Nengsih sudah mati! Yang ada dihadapanmu itu, hanyalah raga Bu Nengsih yang sudah dirasuki oleh iblis! Iblis kejam yang menunggu tumbal terakhir! Tumbal yang telah dijanjikan oleh Bu Nengsih dahulu kala! Tumbal anak pertama yang belum sempat ditunaikan oleh Bu Nengsih!)

Aku sampai terlonjak kaget mendengar bisikan itu. Peganganku di tangan Bu Nengsih buru buru kulepaskan. Mataku nanar menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Hanya ada Slamet dan Ambar disitu. Lalu, suara bisikan itu? Suara yang sama seperti yang kudengar saat hendak memasuki rumah megah ini. Suara bernada berat dan berwibawa.

"Kenapa Mas?" Ambar bertanya heran, melihat tingkahku yang seperti orang kebingungan.

"Eh, enggak kok, ndak papa," jawabku sedikit gugup.

"Bagaimana keadaan ibu?" tanyanya lagi.

"Ya mudah mudahan Tuhan mendengar doaku Mbar, dan penyakit ibumu ini segera diangkat oleh-Nya," lagi lagi aku menjawab sekenanya.

"Amiinn! Terimakasih banyak Mas," ujar Ambar. "Oh ya, soal Mbak Ningrum bagaimana Mas? Tadi Mas bilang kalau Mbak Ningrum ingin menyampaikan sesuatu kepada ibu?"

"Ah, iya, aku sampai lupa. Ningrum, tadi menunggu diluar kamar ini. Tadi dia bilang, kalau Bu Nengsih bersedia menemui dan memaafkannya, baru dia akan ikut masuk, tapi kalau tidak..."

"Ah, kasihan sekali nasibmu Mbak," Ambar mendesah. "Bisa tolong ajak dia masuk saja Mas. Dengan kondisi seperti ini, aku yakin ibu pasti akan memaafkan Mbak Ningrum. Siapa tau setelah bertemu dengan Mbak Ningrum kondisi ibu bisa membaik."

Kembali aku merasa ragu. Bagaimana kondisi Bu Nengsih akan membaik kalau mendapati kenyataan bahwa anak yang dirindukan selama ini kini datang hanya dalam bentuk arwah? Tapi, bisikan aneh tadi? Tumbal yang belum selesai dituntaskan, dan anak sulung? Bukankah Ningrum anak sulung Bu Nengsih? Mungkinkah...?

"Ajak anak itu masuk, kalau kau ingin mengakhiri penderitaan Bu Nengsih! Tapi kau juga akan ikut menanggung resikonya!" kembali bisikan aneh itu menggema di otakku, membuatku semakin tak tau apa yang harus kulakukan.

Kepalang tanggung, akhirnya kuturuti saja bisikan itu, meski aku tak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Segera kupanggil Ningrum masuk. Dan benar saja, begitu Ningrum melangkah memasuki kamar itu, sesuatu yang diluar jangkauan akal sehatkupun terjadi tepat di depan mataku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close